Tuesday, December 30, 2008

Mengenal Dinar dan Dirham Islam


Karena banyaknya pengunjung yang mengira bahwa Dinar Iraq dan lain sebagainya adalah sama dengan Dinar Islam. Maka perlu saya buat penjelasan yang sangat jelas bahwa Dinar Iraq dan sejenisnya adalah tidak sama dan bukan Dinar Islam. Dinar Iraq adalah uang kertas biasa, sedangkan Dinar Islam adalah uang emas 22 karat 4.25 gram.

Lebih jauh agar kita mengenal Dinar Islam ini lebih dekat, berikut saya petikkan uraian dari buku saya (Mengembalikan Kemakmuran Islam Dengan Dinar dan Dirham) yang menjelaskan detil tentang Dinar Islam.

Uang dalam berbagai bentuknya sebagai alat tukar perdagangan telah dikenal ribuan tahun yang lalu seperti dalam sejarah Mesir kuno sekitar 4000 SM – 2000 SM. Dalam bentuknya yang lebih standar uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Julius Caesar ini pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak dan sebaliknya dengan perbandingan 12 : 1 untuk perak terhadap emas. Standar Julius Caesar ini berlaku di belahan dunia Eropa selama sekitar 1250 tahun yaitu sampai tahun 1204.

Di belahan dunia lainnya di Dunia Islam, uang emas dan perak yang dikenal dengan Dinar dan Dirham juga digunakan sejak awal Islam baik untuk kegiatan muamalah maupun ibadah seperti zakat dan diyat sampai berakhirnya Kekhalifahan Usmaniah Turki tahun 1924.

Standarisasi berat uang Dinar dan Dirham mengikuti Hadits Rasulullah SAW, ”Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah” (HR. Abu Daud).

Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab sekitar tahun 642 Masehi bersamaan dengan pencetakan uang Dirham pertama dimasa Kekhalifahan, standar hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan yaitu berat 7 Dinar sama dengan berat 10 Dirham.

Berat 1 Dinar ini sama dengan 1 mitsqal atau kurang lebih setara dengan berat 72 butir gandum ukuran sedang yang dipotong kedua ujungnya . Dari Dinar-Dinar yang tersimpan di museum setelah ditimbang dengan timbangan yang akurat maka di ketahui bahwa timbangan berat uang 1 Dinar Islam yang diterbitkan pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah 4.25 gram, berat ini sama dengan berat mata uang Byzantium yang disebut Solidos dan mata uang Yunani yang disebut Drachma.

Atas dasar rumusan hubungan berat antara Dinar dan Dirham dan hasil penimbangan Dinar di museum ini, maka dapat pula dihitung berat 1 Dirham adalah 7/10 x 4.25 gram atau sama dengan 2.975 gram .

Sampai pertengahan abad ke 13 baik di negeri Islam maupun di negeri non Islam sejarah menunjukan bahwa mata uang emas yang relatif standar tersebut secara luas digunakan. Hal ini tidak mengherankan karena sejak awal perkembangannya-pun kaum muslimin banyak melakukan perjalanan perdagangan ke negeri yang jauh. Keaneka-ragaman mata uang di Eropa kemudian dimulai ketika Republik Florence di Italy pada tahun 1252 mencetak uangnya sendiri yang disebut emas Florin, kemudian diikuti oleh Republik Venesia dengan uangnya yang disebut Ducat.

Pada akhir abad ke 13 tersebut Islam mulai merambah Eropa dengan berdirinya kekalifahan Usmaniyah dan tonggak sejarahnya tercapai pada tahun 1453 ketika Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel dan terjadilah penyatuan dari seluruh kekuasan Kekhalifahan Usmaniyah.

Selama tujuh abad dari abad ke 13 sampai awal abad 20, Dinar dan Dirham adalah mata uang yang paling luas digunakan. Penggunaan Dinar dan Dirham meliputi seluruh wilayah kekuasaan Usmaniyah yang meliputi tiga benua yaitu Eropa bagian selatan dan timur, Afrika bagian utara dan sebagian Asia.

Pada puncak kejayaannya kekuasaan Usmaniyah pada abad 16 dan 17 membentang mulai dari Selat Gibraltar di bagian barat (pada tahun 1553 mencapai pantai Atlantik di Afrika Utara ) sampai sebagian kepulauan nusantara di bagian timur, kemudian dari sebagian Austria, Slovakia dan Ukraine dibagian utara sampai Sudan dan Yemen di bagian selatan. Apabila ditambah dengan masa kejayaan Islam sebelumnya yaitu mulai dari awal kenabian Rasululullah SAW (610) maka secara keseluruhan Dinar dan Dirham adalah mata uang modern yang dipakai paling lama (14 abad) dalam sejarah manusia.

Selain emas dan perak, baik di negeri Islam maupun non Islam juga dikenal uang logam yang dibuat dari tembaga atau perunggu. Dalam fiqih Islam, uang emas dan perak dikenal sebagai alat tukar yang hakiki (thaman haqiqi atau thaman khalqi) sedangkan uang dari tembaga atau perunggu dikenal sebagai fulus dan menjadi alat tukar berdasar kesepakatan atau thaman istilahi. Dari sisi sifatnya yang tidak memiliki nilai intrinsik sebesar nilai tukarnya, fulus ini lebih dekat kepada sifat uang kertas yang kita kenal sampai sekarang .

Dinar dan Dirham memang sudah ada sejak sebelum Islam lahir, karena Dinar (Dinarium) sudah dipakai di Romawi sebelumnya dan Dirham sudah dipakai di Persia. Kita ketahui bahwa apa-apa yang ada sebelum Islam namun setelah turunnya Islam tidak dilarang atau bahkan juga digunakan oleh Rasulullah SAW– maka hal itu menjadi ketetapan (Taqrir) Rasulullah SAW yang berarti menjadi bagian dari ajaran Islam itu sendiri, Dinar dan Dirham masuk kategori ini.

Di Indonesia di masa ini, Dinar dan Dirham hanya diproduksi oleh Logam Mulia - PT. Aneka Tambang TBK. Saat ini Logam Mulia-lah yang secara teknologi dan penguasaan bahan mampu memproduksi Dinar dan Dirham dengan Kadar dan Berat sesuai dengan Standar Dinar dan Dirham di masa awal-awal Islam.

Standar kadar dan berat inipun tidak hanya di sertifikasi secara nasional oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), tetapi juga oleh lembaga sertifikasi logam mulia internasional yang sangat diakui yaitu London Bullion Market Association (LBMA).

Seperti di awal Islam yang menekankan Dinar dan Dirham pada berat dan kadarnya - bukan pada tulisan atau jumlah/ukuran/bentuk keping - maka berat dan kadar emas untuk Dinar serta berat dan kadar perak untuk Dirham produksi Logam Mulia di Indonesia saat ini memenuhi syarat untuk kita sebut sebagai Dinar dan Dirham Islam zaman sekarang.

Seluruh Dinar dan Dirham yang diperkenalkan & dipasarkan oleh Gerai Dinar adalah produksi langsung dari Logam Mulia - PT. Aneka Tambang, Tbk.

Sumber: geraidinar.com

Thursday, December 11, 2008

Kuncinya, Kembalikan Kepercayaan


Berbeda dengan krisis 1997/1998 yang dipicu faktor domestik, seperti ketergantungan konglomerat yang luar biasa pada utang luar negeri, tingginya proporsi utang jangka pendek valas, dan buruknya corporate governance, ada anggapan krisis sekarang ini sepenuhnya bersumber dari faktor eksternal.

Namun, tak semua panelis setuju dengan pandangan ini. Krisis sekarang, menurut mereka, juga dipicu kerentanan di dalam negeri Indonesia sendiri. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah berusaha meyakinkan bahwa kondisi fundamental ekonomi solid sehingga masyarakat dan investor tak perlu panik. Namun, persoalan yang dihadapi sekarang ini sebenarnya bukan fundamental ekonomi, tetapi kepercayaan.

”Ini krisis likuiditas dan kepercayaan, bukan fundamental. Isunya bukan lagi fundamental ekonomi. Problem di Indonesia adalah indecisiveness (ketidaktegasan) dalam proses pembuatan kebijakan,” ujar seorang panelis.

Ia mencontohkan apa yang terjadi di pasar modal, maju-mundurnya pemerintah dengan keputusan menghentikan suspensi perdagangan yang ditujukan untuk melindungi emiten tertentu (menyusul anjlok tajamnya harga saham perusahaan tersebut) sebagai salah satu pemicu hancurnya kepercayaan bursa.

Faktor ini, ditambah keputusan BI untuk tetap menaikkan atau mempertahankan suku bunga di tengah ancaman resesi global dan perlambatan ekonomi domestik, menjadi dua faktor yang ikut memicu memburuknya secara dramatis krisis, terutama indeks saham sejak awal Oktober. Langkah BI menaikkan suku bunga dan upaya pemerintah menekan defisit APBN di awal krisis dianggap nyeleneh dan melawan arus global. Dalam situasi krisis, mestinya yang ditempuh adalah kebijakan stimulus dan pelonggaran moneter.

Ia mengibaratkan perekonomian Indonesia sekarang ini seperti kapal besar yang terdampar di sungai kecil karena airnya mengering di tengah krisis likuiditas yang melanda sistem keuangan global sebagai sungai besarnya. Lambat atau cepat, kapal ini akan kolaps jika air (likuiditas) tak segera mengalir. Dalam kondisi itu, pemerintah sebagai nakhoda sibuk menyerukan semua pihak agar tak panik, tetapi sikap pemerintah sendiri justru mempertontonkan kepanikan. Salah satunya, memberlakukan auto rejection atau penghentian perdagangan jika harga saham mengalami penurunan hingga titik tertentu.

Di perbankan, ketidakpercayaan ditunjukkan antara lain berbondong-bondongnya nasabah yang memindahkan simpanan dananya ke bank-bank besar, khususnya bank BUMN. Migrasi ini terutama dipicu krisis kepercayaan ke sektor perbankan, terutama bank-bank kecil, terkait tak adanya jaminan penuh pemerintah bagi simpanan nasabah. Mereka juga melihat, kalau Indover, anak perusahaan BI, saja bisa ditutup, bagaimana dengan bank-bank swasta?

Migrasi dana nasabah ini kian memperburuk ketimpangan likuiditas di perbankan dengan bank- bank besar kebanjiran likuiditas. Bank Mandiri, seperti dilaporkan Jakarta Post, mengalami lonjakan dana pihak ketiga (DPK) lebih dari Rp 10 triliun dalam sebulan menjadi Rp 157 triliun. Sementara DPK BCA sudah melampaui Rp 200 triliun, Mandiri Rp 245,3 triliun, dan BRI Rp 173,39 triliun.

Di kalangan industri perbankan sendiri, krisis kepercayaan ditunjukkan sikap konservatif berlebihan yang membuat transaksi antarbank tidak berjalan sehingga memperparah krisis likuiditas, menghambat penurunan suku bunga kredit, dan fungsi intermediasi.

Karena persoalannya lebih krisis kepercayaan, yang harus dilakukan adalah memulihkan lebih dulu kepercayaan, termasuk di sini menghindari pernyataan konyol. Ancaman pemerintah untuk menindak tegas mereka yang berusaha mengambil keuntungan dari transaksi di pasar saham, menurut panelis, menunjukkan salah kaprah pemahaman mengenai prinsip cara kerja pasar modal. Demikian pula pernyataan seorang pejabat tinggi yang mengatakan wajar saja bagi pemerintah untuk menyelamatkan sebuah kelompok usaha besar dari ancaman kebangkrutan.

Menurut sejumlah panelis, prinsip penyelamatan karena dalih too big to fail seharusnya hanya berlaku bagi institusi perbankan karena sifatnya yang sistemik, dan bukan untuk perusahaan di pasar modal. Terlihat di sini ada kebingungan luar biasa mengenai peran pemerintah di pasar modal.

Selain tidak berfungsinya pasar modal dan tak ditegakkannya aturan, hancurnya pasar modal di Indonesia juga disebabkan merajalelanya apa yang disebut toxic assets dan toxic behaviour yang selama ini tak tersentuh otoritas pasar modal. Disebut toxic assets karena pergerakan nilai asetnya bukan hanya ditentukan oleh fundamental perusahaan, tetapi juga karena digoreng-goreng. Ini sangat destruktif karena mengakibatkan kerusakan masif yang sistemik terhadap kepercayaan pada institusi pasar modal.

Contoh toxic asset itu adalah Share Repo Agreement yang berpotensi menciptakan market overhang. Saat ini ada upaya mengubah produk tersebut menjadi instrumen utang jangka menengah dan panjang (medium term/long term debt). Produk tersebut tidak jarang ditawarkan kepada investor yang tidak paham dan tidak memiliki kesesuaian profil risiko.

Akibatnya banyak investor atau calon investor yang tergiur dan kejeblos. Ditambah minimnya edukasi, hal ini memunculkan rasa jera dan kesan bahwa pasar modal memang benar-benar arena judi. Karena itu, jangan heran kalau uang umat gereja dan masjid pun ikut-ikutan nyangkut di pasar modal. ”Selama ini tak diregulasi karena orang berpikir, ’Ah, ngapain fixed something that ain’t broke? ’Apalagi semua pihak menikmati pesta pora itu dan tak menginginkan gelembung itu meletus,” ujarnya.

Krisis global sekarang ini, seperti dikatakan seorang panelis, menyadarkan kita betapa rapuhnya tatanan yang ada sehingga muncul tuntutan untuk dilakukannya penataan ulang terhadap sistem finansial global dan interaksi hubungan ekonomi antarbangsa. Ironisnya, masih kata si panelis, perekonomian kita justru mengarah ke pola AS yang rapuh itu.

sri hartati samhadi
KOMPAS, 11 Desember 2008

Friday, October 31, 2008

Black Friday, Resesi, dan Kapitalisme


Gonjang-ganjing pasar keuangan dunia memasuki babak baru sejak penutupan pasar Wall Street Jumat lalu. Indeks Dow Jones terus menurun. Harga minyak dunia juga turun meskipun OPEC memangkas produksinya sebanyak 1,5 juta barel per hari dan seluruh mata uang utama dunia turun, kecuali USD dan yen.

Penutupan indeks Dow Jones di level 8.378 bukan hanya merupakan angka terendah selama 5,5 tahun. Tetapi, secara resmi, indeks tersebut sudah memasuki secular bear market, yakni indeks terkoreksi lebih dari 40 persen dari puncaknya, 14.450 poin, pada November 2007.

Berdasar sejarah pasar keuangan dunia, kondisi bear market seperti itu hanya pernah terjadi dua kali, yaitu Depresi 1929 dan Resesi Dunia 1970. Keduanya membutuhkan waktu yang panjang untuk kembali pulih. Bahkan, dalam kasus Depresi 1929, Dow Jones butuh lebih dari sembilan tahun untuk melampaui poin tertinggi yang dicapai sebelumnya.

Bagi pelaku pasar keuangan dunia, September dan Oktober adalah dua bulan yang selalu membuat miris dan waswas. Peristiwa Crash 1987 yang dikenal dengan black monday terjadi pada Oktober. Sedangkan runtuhnya Twin Tower WTC 2001 yang sempat membuat kepanikan pasar terjadi pada September.

Kebetulan atau tidak black friday di Wall Street kemarin terjadi persis 79 tahun setelah black thursday 24 Oktober 1929 yang menandai awal mula great deppression. Meskipun penyebab utamanya berbeda, substansi akar masalahnya tetap sama, yakni aktivitas kapitalisme yang tidak terkontrol.

Cikal bakal rentetan peristiwa yang terjadi sekarang bermula dari uang murah hasil kebijakan Greenspan yang memotong drastis suku bunga The FED menjadi satu persen. Dasar kebijakannya adalah menstimulasi gairah pasar setelah Dot.com Crash 1999 dan Twin Tower WTC 2001.

Stimulasi Greenspan ini ternyata cukup manjur karena pasar mulai pulih serta bayangan resesi cepat sirna dan terlupakan. Dengan tersedianya uang murah yang melimpah itu, para Maverick Wall Street yang bermental seperti Gordon Gecko, the greed is good, serasa mendapat mainan baru dan semakin kreatif.

Produk subprime mortgage merupakan salah satu invensi para Maverick tersebut. Dengan bekal suku bunga rendah, mereka menjual kredit perumahan tanpa mengindahkan tata cara kelayakan pemberian kredit. Karena obsesi mengejar komisi dan bonus penjualan menjadi prioritas utama, mereka tidak peduli siapa dan bagaimana kemampuan para penerima KPR itu dalam mengangsurnya.

Pemegang subprime mortgage itu, yang juga dikenal dengan NINJA (non income, non jobs, and assets), memang sangat rentan terhadap pergerakan suku bunga. Dengan bunga rendah saja, sebenarnya, mereka sudah kewalahan mengangsur, apalagi ketika suku bunga merangkak naik.

Parahnya lagi, para Gordon Gecko pencipta subprime mortgage itu semakin kreatif dalam keserakahannya. Hasil penjualan KPR kepada para NINJA tersebut dipaket ulang dan dijual kepada para investor di seluruh dunia dalam bentuk CDO (collateralized debt obligation).

Meskipun yang dibeli investor itu sebenarnya utang orang-orang yang kapabilitas keuangannya diragukan, mantra dan pesona Wall Street rupanya lebih sakti daripada akal sehat. Dengan demikian, ketika CDO tersebut dikatakan sebagai sarana investasi baru, para investor percaya dan bahkan berebut membelinya.

Kreativitas para Gordon Gecko tersebut tidak hanya berhenti di situ. Sebab, mereka membungkus paket investasi barunya tersebut dalam bentuk investasi derivatif, yakni utang para NINJA itu menjadi modal awal investasi yang bisa dilipatgandakan hingga puluhan kali lipat.

Para investor kawakan sudah mengindikasikan sejak jauh hari konsekuensi keserakahan itu. Warren Buffet pada 2003 sudah mengatakan bahwa derivatif tersebut tidak ubahnya seperti senjata pemusnah masal dalam pasar keuangan. George Soros pada 2006 dan Greenspan pada 2007 mengindikasikan kemungkinan AS memasuki resesi.

Runtuhnya bangunan investasi CDO itulah yang menyeret dunia memasuki resesi. Meski para pemimpin dunia sangat sibuk menenangkan pasar dengan jaminan, melakukan stimulasi, bahkan aksi intervensi bersama, pasar melihat itu semua belum cukup untuk mengembalikan krisis kepercayaan.

Matinya Kapitalisme?
Para pelaku pasar keuangan dunia saat ini hanya punya dua alternatif tindakan, yaitu keluar dari pasar segera -yang menambah tekanan jual- atau menunggu sampai saat kepercayaan sudah kembali pulih.

Alasan mereka sangat sederhana, tapi bernas. Wajah Wall Street sekarang ini sangat berbeda dengan Depresi 1929. Saat itu dan resesi-resesi yang lain, lima investment bank sebagai penggerak 80 persen aktivitas Wall Street tetap kokoh dan terus berbisnis.

Tetapi, bila dua di antara mereka (Bear Stern dan Lehman Brothers) bangkrut, investment bank terbesar di dunia Merryl Lynch merger murah dengan Bank of America dan dua sisanya (Goldman Sach dan Morgan Stanley) berubah menjadi bank komersial/umum, efek sekarang ini pasti lebih dari sekedar badai.

Terlebih lagi bila dimasukkan pula bailout pemerintah AS terhadap dua penyedia KPR utama, Feddie Mac dan Fanni Mae, serta asuransi terbesar di dunia AIG, sudah pasti ramifikasinya bertambah rumit.

Sejumlah pengamat secara tegas menyatakan bahwa kapitalisme secara formal sudah mati di AS bertepatan dengan bailout 700 miliar dolar. Itu menandai dimulainya kontrol negara atas perusahaan yang sudah dinasionalisasi.

Tetapi, kalau dilihat lebih mendalam lagi, sebenarnya, yang terjadi saat ini sangat merepresentasikan ajaran ekonomi klasik Adam Smith. Dalam bukunya, Wealth of Nation (1783), Smith menekankan pentingnya struktur, fungsi, dan etika dalam perekonomian.

Smith yakin, kalau semua faktor tersebut tetap dalam keseimbangan, fungsi perekonomian juga dapat diharapkan berjalan normal. Namun, bila ekuilibrium terganggu, the invisible hand akan memaksa fungsi-fungsi tersebut agar kembali normal.

Inikah saatnya kapitalisme putih (the invisible hand) memerangi kapitalisme hitam yang sudah terlalu serakah atau memang dunia saat ini perlu tata cara, fungsi, dan struktur ekonomi yang baru?

Herry Juliartono , pemain pinggiran ASX (Australian Stock Exchange), tinggal di Australia
Jawa Pos, 27 Oktober 2008

Wednesday, September 24, 2008

Indonesia Tak Punya Manajemen Demokrasi yang Baik


Demokrasi di Indonesia belum menjadi berkah bagi kemajuan kehidupan rakyat, bahkan justru menambah beban mereka. Hal itu bukan dikarenakan sistem yang salah, melainkan manajemen demokrasi yang tidak baik. Hal itu diungkapkan pengamat politik Eep Saefulloh Fatah dalam diskusi terbatas di Grha Kompas Gramedia, Bandung, pada Selasa (5/8/2008) malam. Peserta yang hadir ialah para pengamat politik, akademisi, aktivis partai politik, dan penggiat demokrasi di Kota Bandung, antara lain Tjetje Hidayat Padmadinata, Dede Mariana, Asep Warlan Yusuf, Upa Sapari, dan Kang Acil dari Bandung Spirit.

Eep menuturkan, selama sepuluh tahun reformasi, demokrasi berjalan tanpa manajemen yang baik. Akibat yang timbul antara lain ialah biaya demokrasi yang mahal dan ketidakmampuan demokrasi memenuhi hak rakyat. “Bayangkan saja, dalam setahun, rakyat bisa mengikuti hampir sebelas kali coblosan pemilu, yakni mulai dari pemilihan kepala desa, camat, bupati, gubernur, legislatif tingkat satu dan dua, lalu DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan Presiden,” ujar Eep. Indonesia, kata Eep, rata-rata mengadakan pemilu sepuluh kali dalam sebulan.

Rakyat di satu sisi telah jenuh dan letih menghadapi proses demokrasi yang berlarut-larut, sementara mereka tidak merasakan dampak positif dari penyelenggaraan itu. Kualitas pemilu yang buruk, lanjut Eep, disebabkan oleh tugas Komisi Pemilihan Umum yang makin berat karena KPU kini mengurusi pula pemilihan kepala daerah. “Wewenang KPU besar, tapi kompetensi mereka masih kecil,” kata Eep.

Muda soal ideologis
Mengenai isu generasi tua dan muda dalam Pemilu 2009, Eep mengungkapkan bahwa usia bukan menjadi jaminan. “Muda bukan soal biologis, tetapi soal ideologis,” ujarnya. Akan menjadi sia-sia apabila pemimpin berusia muda tampil dengan membawa pandangan-pandangan yang lama. Meski demikian, Eep menilai demokrasi Indonesia akan kembali memiliki harapan jika yang muncul dari Pemilu 2009 adalah para pembaru dari politisi generasi kedua reformasi. “Selama ini generasi kedua tidak bisa muncul karena sistem yang tidak mendukung,” ujarnya.

Tjetje Hidayat mengungkapkan, kualitas legislatif terpilih pada Pemilu 2009 nantinya tidak bisa diharapkan karena ada permainan uang di balik pencalonan. Siapa pun calon yang memiliki uang, kata Tjetje, bisa menempati nomor urut teratas. Praktik tersebut lazim berjalan di dalam mekanisme internal partai politik. “Saya mungkin akan golput saat memilih calon legislatif karena sudah tahu kebobrokan mekanismenya,” ujar Tjetje. Adapun solusi untuk buruknya manajemen demokrasi, kata Asep Warlan Yusuf, ialah dengan menyiapkan desain yang jelas tentang arah kehidupan bernegara.

KOMPAS, 7 Agustus 2008
Technorati Profile

Tuesday, September 2, 2008

Bercerai Kita Runtuh


Indonesia bersatu karena faktor eksternal. Namun, keruntuhannya akibat faktor internal.
Kita tak mampu menjaga kesatuan karena tak ada "musuh" bersama. Kini, zamannya lu, lu; gue, gue, bukan "kamu adalah aku", kita; tetapi "kami dan mereka".
Mengakui yang lain, yang berbeda, menghormati, dan ikut menjaga keberbedaan kini dinilai tidak waras. Yang waras adalah gua, gua; lu, lu. Kamu bukan aku. Dan karena kamu mengganggu keberadaanku, kamu harus minggir atau aku lenyapkan.

Prinsip "kamu bukan aku" ini sudah menjalar dalam hubungan negara-rakyat, milik umum-milik privat, perusahaan-buruh, kepala sekolah-murid, lurah-penduduk. Kita kaget saat rel KA digergaji agar gerbongnya terguling, saat kaca-kaca jendela KA retak dilempari batu, lampu-lampu taman dipecahi, monumen dan arkeologi dikotori grafiti, trotoar jadi kaki lima, kolong jalan layang menjadi hunian.
Itu semua hanya gejala kecil yang baru timbul. Selama ini kita menganggap waras-waras saja saat prinsip lu, lu; gue, gue, yang jauh lebih raksasa, telah berlangsung puluhan tahun. Gua pejabat, lu rakyat. Lu memotong rel KA, gua memotong anggaran perbaikan kampung dan dana bantuan bencana. Lu menyerobot lahan kosong di kota, gua menyerobot ratusan hektar hutan tropis. Lu bikin grafiti di sejumlah situs purbakala, gua telah lama membiarkan benda milik negara diperdagangkan di luar negeri. Lu bikin rumah di kolong jembatan layang, gua menggusur hunian kumuh di kota demi "kepentingan umum". Apa yang kini kau lakukan, cuma tiruan dari yang aku lakukan puluhan tahun lalu.

Zaman edan
Gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu tanaman di halaman tetangga tampak seperti gajah. Kita buta terhadap hukum kausalitas. Kekurangajaran rakyat kecil, ketidakwarasan rakyat kecil, kenekadan rakyat kecil yang kian berani dan menonjol akhir-akhir ini adalah akibat pertunjukan teater negara yang selama ini kita mainkan. Jika para pembesar boleh menggusur paksa, membabati hutan, membiarkan banjir, lumpur, menyerbu keluarga kami, mengapa saya tidak boleh membangun rumah di lahan kosong milik mereka? Jika mereka boleh memotong anggaran miliaran rupiah sehingga jembatan runtuh, bangunan SD ambruk, dan jatuh korban, mengapa saya tidak boleh memotong rel kereta api, menggali jalan umum. Mengapa mereka yang sudah puluhan tahun melanggar hukum dibiarkan hidup mewah, sedangkan kami yang melanggar hukum demi nyawa sendiri dituduh biadab?
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ketika guru-guru (lelaki) kencing berdiri di tepi jalan, murid-murid mungkin kaget akan ketidakwarasan guru-guru ini. Namun, saat kencing berdiri itu dianggap waras-waras saja oleh para guru, para murid menirunya lebih ekstrem. Mereka kencing sambil berlari sepanjang jalan. Inilah zaman edan. Dalam zaman edan, yang waras itu edan, dan yang edan itu waras. Inilah yang terjadi pada zaman reformasi ini. Membunuh, merampok, dan mencuri milik umum itu dianggap baik, menipu publik itu baik asal semua ada hubungannya antara urusan privat dan umum. Semua ketidakwarasan itu waras belaka selama terjadi oposisi biner antara privat dan publik. Namun, ketidakwarasan itu jelas tidak waras jika menyangkut hubungan publik-publik dan privat-privat.
Mencuri milik negara atau milik umum itu wajar. Malah tidak waras kalau ada pribadi yang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Merusak milik negara itu juga wajar-wajar belaka, baik pribadi pejabatnya maupun rakyat kecil yang terpepet. Sebaliknya, atas nama negara, atas nama publik, seorang pejabat sah-sah saja menggusur, merampas, menghancurkan milik rakyat kecil.
Yang berkuasa dan yang tak berdaya adalah pasangan kembar oposisi. Pasangan kembar ini bukan saling melengkapi, saling menghormati, saling mengakui, dan saling mengawini, melainkan pasangan perseteruan. Negara dan rakyat pasangan permusuhan, pertikaian, perceraian. Setelah bersatu pada masa revolusi, bulan madu negara-rakyat ini menjadi pasangan musuh. Rakyat mulai berani dan beringas merusak barang-barang milik negara, milik umum.

Kontradiksi etika
Rakyat adalah murid yang baik, penurut. Tetapi jika yang seharusnya dipatuhi, disegani, dituruti, diteladani malah kencing berdiri, apa boleh buat jika rakyat mengencingi guru-guru itu. Negara ini rusak oleh pemimpinnya sendiri. Para pengelola negara bersikap kontradiktif dengan etikanya sendiri. Yang seharusnya menjadi teladan, menjadi pecundang. Yang seharusnya mengayomi, ikut merusak. Yang seharusnya melayani, minta dilayani. Yang seharusnya membantu malah minta bantuan. Bukan melindungi, malah mengancam.
Bagaimana rakyat dapat tahan menonton teater negara ini. Kini saatnya rakyat memainkan teaternya sendiri. Jika dalam teater negara rakyat jadi korban, dalam teater rakyat negara jadi korban. Rakyat mulai merusak milik negara. Lambang-lambang pemerintahan dihujat. Benda-benda milik pemerintah dirusak.
Ini tanda-tanda zaman, sebuah gejala-gejala awal. Rakyat sudah tidak waras lagi menggergaji rel kereta api, merusak jalan tol, membakar gedung mewah kabupaten, mencorengi monumen-monumen negara. Jika teater negara ini tidak segera menghentikan lakon lamanya, tidak heran jika ketidakwarasan rakyat akan meningkat bukan saja pada lambang milik negara dan pemerintahan, melainkan menjurus kepada aktor-aktornya. Peradilan rakyat akan muncul. Revolusi Perancis dan revolusi Khmer Merah di Kamboja bisa terwujud di Indonesia. Kegilaan tidak akan dapat dibendung lagi.
Seuntung-untungnya yang gila, lebih untung yang tidak ikut gila, meski tak dapat bagian.

Jakob Sumardjo, Esais
KOMPAS, 25 Agustus 2007

Wednesday, August 27, 2008

Marhaban Ya Ramadhan

Wahai para mukmin, telah ditetapkan kepada kalian semua untuk berpuasa sebagaimana halnya pernah ditetapkan dan pernah dilakukan oleh orang-orang beriman generasi sebelum kalian agar kalian semua mampu meraih kenyataan hidup takwa, yaitu suatu kesuksesan hidup merunduk patuh berdasarkan ajaran Allah satu-satunya teori hidup paling tahan uji dan paling perkasa tiada tara.

Sunday, August 17, 2008

Arti Proklamator


Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Pernyataan merdeka diproklamasikan oleh Soekarno pukul 10 pagi di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) 56, Jakarta. Naskah proklamasi ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta "atas nama bangsa Indonesia".
Karena menandatangani naskah proklamasi itu, Soekarno dan Hatta disebut "Proklamator Kemerdekaan Indonesia".
Berkaitan dengan proklamator, bolehlah ditanyakan, kapan istilah itu digunakan untuk menyebut kedua pahlawan tersebut. Lalu, apa arti kata itu?
Untuk pertanyaan kedua ini ada jawaban pasti. 'Orang yang memproklamasikan' kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sampai edisi III tak ada perubahan arti untuk lema itu. Kamus lain, seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu–Zen) atau Kamus Umum Bahasa Indonesia (Yandianto), juga memaktubkan ungkapan yang sama.
Kamus Kata Serapan (Surawan Martinus) dan Kamus Kata Serapan Asing (JS Badudu) menyebut kata itu berasal dari bahasa asing. Martinus menulis proklamator berasal dari bahasa Inggris proclamator dengan kata dasar proclaim ditambah dengan –ator yang berarti orang atau pelaku.
Yang aneh, kamus-kamus bahasa Inggris yang disusun oleh penutur aslinya tidak memasukkan kata proclamator. Oxford Advanced Learners’s Dictionary (2000), Concise Oxford Dictionary (1954), dan Chamber’s Children Illustrated (1977) tidak memuat kata itu.
Kamus Inggris–Indonesia yang dibuat di sini juga tidak memunculkan proclamator. Contemporary English Indonesia Dictionary (Peter Salim, 1987) tidak mencantumkan kata itu. Di situ hanya ada proclamatory. Kamus Inggris-Indonesia (John M Echols dan Hassan Shadily, 1995) juga tak mengandung proclamator. Yang mengherankan, The Contemporary Indonesia–English Dictionary (juga oleh Peter Salim, 1997) menerjemahkan proklamator dengan proclamator.
Apa mungkin dari bahasa Belanda? Kamus Indonesia, Indonesisch–Nederlands, Nederlands–Indonesisch (ALN Kramer Sr, 1951) hanya mencantumkan proklamasi (proclamatie) dan proklamir, memproklamirkan (proclameren) atau sebaliknya.
Barangkali dari bahasa Latin? Kamus Latin–Indonesia (K Prent cm, J Adisubrata, WJS Purwadarminta, 1969) ternyata memuat kata yang mirip. Pada halaman 682 ada proclamator. Namun, kok artinya lain sekali: 'tukang teriak (dikatakan soal pengacara yang kurang baik)'. Wah!
Sebenarnya apa sih arti -or yang membentuk proklamator? Dalam bahasa Latin, akhiran –or menunjuk pada pelaku laki-laki dari sebuah kata benda, kata H Witdarmono, penyusun Proverbia Latina. Ia menunjuk kata regio (wilayah) yang, setelah ditambah –or, menjadi rector (rektor) yang berarti penguasa wilayah. Harimurti Kridalaksana (Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonsia, 2007) menyebut –or sebagai salah satu cara membentuk kata dalam bahasa Indonesia, seperti muncul dalam deklamator, koruptor, dan agresor. Ia tidak menyebut proklamator.
Tampaknya kita perlu memahami proklamator sebagai kata bentukan asli Indonesia, yang mungkin "menyimpang" dari kaidah yang biasa. Ia hanya ada dan dimengerti di Indonesia. Seperti juga cara kita merdeka, kata ini pun unik.

TD Asmadi, Wartawan, Tinggal di Jakarta
KOMPAS, 24 Agustus 2007

Saturday, August 16, 2008

Kenangan Tentang Sebuah Negara Bernama INDONESIA


Andaikan pendapat Prof Dr Franz Magnis Suseno menjadi kenyataan, alangkah malangnya nasib bangsa ini. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI Depok. Sabtu pekan lalu, Magnis mengatakan, Indonesia akan tinggal kenangan jika dalam sepuluh tahun ke depan para pemimpin tidak dapat menyadari pluralitas bangsa
(Kompas,27/2).

Pendapat Magnis kiranya berangkat dari kenyataan bahwa konflik dan kerusuhan antarsuku, agama, ras, dan golongan di Indonesia terasa tidak makin menyurut, tetapi justru sebaliknya meningkat. Konflik antara suku Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, yang kini masih membara merupakan salah satu contohnya. Sulit memungkiri kenyataan bahwa berbagai konflik dan kerusuhan sosial kini menjadi semacam kecenderungan baru di dalam masyarakat kita.

Apakah itu berarti bahwa mimpi buruk seperti yang diramalkan oleh Prof Samuel P Hutington tentang the clash of civilizations menjadi kenyataan? Dalam artikelnya di Foreign Affairs (1993) yang berjudul the clash of civilizations (dibukukan dengan judul yang sama) Huntington berpendapat, perang masa depan tidak lagi perang antara negara-negara nasional atau perang antara kekuatan-kekuatan modal, tetapi perang antar kultur, antar peradaban. Maklum, dengan globalisasi, batas negara nasional dan batas kekuatan modal akan kabur dengan sendirinya. Yang masih ada hanyalah batas kultural. Perbedaan peradaban inilah yang akan menjadi medan laga bagi peperangan di masa depan (masa kini).

Bahkan Huntington berpendapat, bentrok peradaban ini merupakan ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia. Akan tetapi sebaliknya, tatanan internasional berdasarkan peradaban merupakan jaminan yang sangat meyakinkan untuk melawan perang dunia.

Ada enam alasan mengapa terjadi benturan antarperadaban. Pertama, perbedaan antarperadaban tidak hanya nyata tetapi juga mendasar. Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antar orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari indentifikasi lokal mereka yang sudah berakar dalam, selain memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi, Barat berada di puncak kekuatan dan di sisi lain kembalinya ke fenomena asal. Kelima karasteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat.

Apakah pendapat Huntington itu benar atau tidak, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah atau tidak, yang jelas pendapat tersebut hingga sekarang masih tetap dibicarakan banyak orang. Bukan hanya dibicarakan, melainkan juga dipakai sebagai acuan untuk membedah sebuah konflik dan kerusuhan sosial. Ketika saat ini pecah konflik di Sampit pun, pendapat Huntington itupun kembali dibongkar-bongkar (paling tidak dalam tulisan pendek ini, oleh karena ada yang berpendapat salah satu akar konflik di Sampit adalah adanya perbedaan kultur yang begitu tajam antara etnis Madura dan Dayak).

Contoh kasus
Ramalan Huntington, kalau boleh dibilang begitu, sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi dikawasan Balkan, di Yugoslavia, pasca pemerintahan Josip Broz Tito: keragaman yang di satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikat lengser.

Tiga hari sebelum hari ulang tahunya yang ke-88, Josip Broz Tito meninggal. Hari itu tanggal 4 Mei 1980. Tidak ada yang menyadari, hari itu adalah awal “meninggalnya” sebuah negara yang disebut Republik Federal Sosialis Yugoslavia.

Yugoslavia adalah sebuah negara yang terdiri dari delapan unit federal: enam republik (Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Serbia, dan Slovenia) dan dua provinsi Serbia (Kosovo dan Vojvodina).

Ada bom waktu yang ditinggalkan Tito. Yakni masalah perbedaan etnis. Selama Tito berkuasa, masalah itu tidak pernah diselesaikan bahkan seolah hanya disimpan di lemari es. Dengan pemerintahan tangan besi, Tito memaksakan persatuan hidup di Yugoslavia.

Berbagai cara dilakukan Tito untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan Yugoslavia. Menurut Niccolo Machiavelli, penguasa yang tangguh tidak pernah membiarkan bibit-bibit ancaman tumbuh. Namun, bila hal itu sempat muncul bahkan menimbulkan kerusuhan, haruslah segera diatasi sebelum menjalar dan menjadi besar. Jangan pula ragu menggunakan kekuatan senjata, sebab perang yang ditunda hanya menguntungkan pihak lain (Niccolo Machiavelli, Politik Kekuasaan)

Prinsip itu pula yang kurang lebih ditempuh Tito. Ia yang etnis Kroasia, menyingkirkan seluruh pemimpin Serbia yang ambisius, dan menggantikannya dengan sosok yang lebih setia kepadanya.

Setelah Tito meninggal, Yugoslvia ibarat sapu lidi yang ikatannya putus, lidinya tercerai berai. Sebab utamanya adalah begitu kuatnya ego para elite politiknya, begitu kuatnya ego etnis-etnis tertentu, dan kelompok-kelompok tertentu untuk berjuang dan mementingkan diri sendiri atau etnis atau kelompoknya.

Yugoslavia hancur karena persatuan yang pernah terjadi hanyalah semu, bersatu karena genggaman tangan besi. Kisah yang sama terjadi pula di Uni Soviet. Kebangkrutan komunisme disusul oleh pernyataan kemerdekaan 15 republik yang sebelumnya bergabung membentuk Uni Soviet. Belakangan 11 Republik membentuk persemakmuran negara-negara merdeka (CIS). Akan tetapi, perikatan mereka sudah longgar tidak seperti dulu lagi.

Negeri itu, Yugoslavia, hancur karena persatuan yang pernah tercipta semu, dipaksakan, dan dikembangkan secara tidak adil. Serbia, misalnya, ketika itu mengeluhkan pembangunan republik mereka yang ketinggalan, ketimbang Kroasia dan Slovenia. Berkembangnya ketikapuasan ekonomi ini akhirnya mendorong isu Kosovo muncul.

Etnis Albania di Provinsi Kosovo menuntut otonomi yang lebih besar dengan status republik penuh serta kedaulatan tersendiri. Ujungnya adalah Yugoslavia tercerai berai. Itulah cerita kelabu Yugoslavia.

Sebuah Indonesia
Apakah Indonesia juga akan bernasib malang seperti Yugoslavia? Itu sebuah pertanyaan besar yang saat ini terus bergema di mana-mana, di setiap sudut pelosok negeri ini. Tentu, semua ini berdasarkan kenyataan di lapangan yang carut-marut dan porak-poranda akibat berbagai ragam konflik, akibat kuatnya tuntutan kemerdekaan dari sejumlah wilayah.

Akan tetapi, mereka yang berpendapat optimis akan mengatakan nasib Indonesia tidak akan seburuk Yugoslavia. Sebab , bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang agamis, penuh pengertian dan tenggang rasa, berbudaya tinggi. Akan tetapi yang berpendapat pesimistis akan dengan mudah mematahkan argumentasi itu dengan mengatakan, bukankah di sini agama justru sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan.

Kenyataan di lapangan, memang cenderung mempertanyakan di manakah sebenarnya agama berada atau barangkali apa sesungguhnya peran agama? Semua orang tahu bahwa agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Persoalannya adalah manusia menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.

Padahal, agama baru menjadi kongkrit sejauh dihayati oleh pemeluknya. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana agama bisa menjadi dasar suatu etika untuk mengatasi kekerasan?

Sebelum pertanyaan itu terjawab, temuan atau kenyataan di lapangan juga membenarkan ramalan Huntington. Boleh dikatakan, Indonesia kini sedang menghadapi sebuah perubahan yang mahadahsyat. Perubahan itu begitu dahsyat oleh karena menyangkut “krisis nilai” Hal itu ditunjukkan dengan adanya konflik etnis dan agama. Konflik etnis di Sampit, merupakan salah satu contohnya yang paling baru.

Konflik itu terlihat begitu sulit diatasi oleh karena mengandung berbagai faktor. Misalnya, ekonomi, kebijakan politik regional, dan sentimen-sentimen atas posisi jabatan. Yang lebih rumit lagi, ada kecenderungan konflik itu dibungkus dengan sebuah ilusi, sebuah impian untuk membentuk kelompok eksklusif.

Eksklusivitas biasanya berdalih melindungi diri dari kontaminasi dan menjaga kemurnian kelompok. Sesuatu yang berbeda atau baru tidak diterima bila tidak sesuai dengan tipe-tipe yang dimiliki. Kecenderungan semacam itulah yang kini terjadi.

Dengan kata lain, barangkali dapat dikatakan apa yang terjadi sekarang ini adalah sebuah pergeseran atau ayunan dari nasionalisme ke arah sukuisme. Apabila hal itu benar, maka babak selanjutnya akan jauh mengerikan. Mengapa? Sebab, bukan mustahil yang muncul dalam babak selanjutnya adalah munculnya negara-negara baru dengan ideologi kesukuan disertai dengan sentimen baru.

Sentimen baru itu adalah sentimen primitif yang sengaja dilahirkan untuk menunjukkan ke-aku-an suku (kelompok). Tujuannya adalah untuk membedakan dengan suku dan kelompok lain. Semua itu dibangun dengan identitas-identitas lokal yang primordial sehingga melahirkan kerusuhan dan kekerasan antar etnis. Itulah yang kini tengah dialami, dirasakan Indonesia, sebuah negara yang sangat kaya akan suku, bahasa, etnis, dan agama. Bila, kerusuhan dan konflik antar etnis, misalnya, dibiarkan atau salah penanganannya bukan mustahil sejarah bangsa ini akan memasuki zaman kesukuan baru. Yakni, sebuah zaman yang penuh intrik antar-Identitas dan meruntuhkan republik kesatuan RI.

Dan, Indonesia pun akan tinggal kenangan. Tragis! Tetapi, ini sebuah kekonyolan karena kita tidak mau belajar dari apa yang telah dialami Yugoslavia dan Uni Soviet, misalnya. Sekali pecah, itu berarti selamanya pecah. Apakah hal itu yang dikehendaki?

Tuesday, August 12, 2008

Kapan MERDEKA ???


Di tengah beragamnya pemaknaan orang atas kata ”merdeka”, ternyata cukup banyak juga warga yang masih merasa belum merdeka. Mereka juga merasa, bangsa Indonesia masih terjajah oleh tekanan bangsa lain.
Demikian kesimpulan yang dihasilkan jajak pendapat menyambut hari jadi ke-63 Indonesia terhadap 863 pemilik telepon di sepuluh kota di Indonesia.
Sebanyak 32,4 persen responden menyatakan, mereka belum merasa merdeka. Enam dari setiap sepuluh (60,1 persen) responden juga menyatakan, saat ini Indonesia belum merdeka dari tekanan bangsa lain.
Jika pada periode awal kemerdekaan orang memaknai kemerdekaan sebagai kemenangan persatuan bangsa dan terbebasnya Indonesia dari dominasi dan eksploitasi bangsa asing, saat ini publik disodorkan dialektika soal kemerdekaan dari dominasi dan eksploitasi model baru. Dalam konteks perkembangan global, kemandirian Indonesia sebagai bangsa kembali digugat.
Arus globalisasi yang menjadi tren abad ke-20, oleh sebagian orang, dimaknai sebagai bentuk penjajahan jenis baru yang tak kalah garangnya. Tujuannya tetap sama, yakni eksploitasi. Lebih jauh, dampak yang dikhawatirkan pun sama, yakni kemelaratan.

Kolonialisme baru
Arus modal asing yang masuk berbanding lurus dengan eksploitasi sumber daya yang lebih banyak dinikmati negara-negara lain. Sebagian warga menilai inilah jenis kolonialisme baru yang menjadi ancaman bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Dahnan (54), responden asal Medan, misalnya, mengkhawatirkan globalisasi sebagai ancaman baru. Ia menyatakan bahwa arus globalisasi yang mengikis batas antarbangsa dan mengusung semangat liberalisasi secara membabi buta bisa menjadi ancaman besar bagi kemajuan Indonesia.
Globalisasi yang lebih banyak dibungkus dalam kesepakatan kerja sama ekonomi dinilai dapat memperburuk kondisi negara-negara berkembang yang rapuh secara ekonomi.
Kerja sama ekonomi antara negara berkembang dan negara maju tak jarang menjerat negara yang lebih lemah dalam kesepakatan-kesepakatan yang kian memperparah kondisi ekonomi mereka.
Apa respons warga atas kondisi perekonomian bangsa Indonesia saat ini? Sebanyak 65 persen responden mengaku malu dan kecewa atas kondisi perekonomian saat ini dan hanya 5 persen mengaku bangga dengan kondisi perekonomian sekarang.
Sebagian warga memaknai secara sederhana arah perkembangan bangsa Indonesia setelah 63 tahun kemerdekaannya. Kemajuan atau perbaikan kualitas hidup adalah indikasi yang lebih sering digunakan sebagai ukuran mereka.
Sebut saja Habil (74), responden asal Makassar, yang menjadi saksi hidup atas proses tumbuhnya negara ini. Ia mengungkapkan bahwa secara fisik memang banyak hal yang berubah lebih baik.
”Saya, pada tahun 1945, ke mana-mana cuma bisa jalan kaki, sekarang transportasi bagus, tapi mahal. Pendidikan maju, tapi banyak yang enggak mampu bayar. Sistem pemerintahan pun jauh lebih baik, dari sentralistik jadi desentralisasi, tapi justru memperkuat lagi semangat kedaerahan,” kata Habil.
Lelaki pensiunan guru itu mengilustrasikan betapa kemajuan Indonesia di satu sisi tampak nyata, tetapi di sisi lain ternyata bersifat semu.
Menurut dia, banyak yang secara fisik sepertinya berubah, tapi secara maknawi tidak berubah. Kemajuan yang baik menjadi percuma jika tidak dapat diakses secara merata.
”Merdeka soal apa dulu, Mas. Dulu, di tahun ’60-an, ibu saya ngantre minyak tanah dan susah nyari beras. Kemarin-kemarin ini tetangga saya masih banyak yang ngantre minyak tanah dan susah beli beras karena mahal. Belum lagi minyak goreng langka, biaya pendidikan mahal, harga BBM melambung. Lah, apanya yang merdeka kalo kita tambah susah?” demikian kata Anin (47), responden dari Jakarta.
Begitulah suara-suara rakyat yang menjadi entitas riil dalam konsep negara bangsa ini, berkutat pada pertanyaan soal kondisi bangsa yang sudah merdeka, tapi di banyak hal belum merdeka.

Bangga atau malu?
Menghadapi berbagai tekanan dari luar, tampaknya Indonesia harus menghitung ulang kekuatannya. Padahal, sejumlah modal bangsa terasa kedodoran saat ini.
Kebanyakan responden menilai kian lemahnya tenggang rasa dan solidaritas sosial, toleransi terhadap perbedaan suku dan agama, toleransi terhadap perbedaan pendapat, dan lemahnya rasa keadilan.
Selain itu, mereka juga merasakan lemahnya kerelaan warga negara Indonesia berkorban untuk bangsanya serta menipisnya penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Citra Indonesia juga diperlemah oleh aneka kasus korupsi yang terjadi di dalam negeri. Stigma sebagai negara korup tidak hanya diutarakan oleh pihak asing, warga bangsa ini juga menyadari bahwa hal paling buruk yang membuat malu adalah lekatnya korupsi dengan budaya elite.
Korupsi dirasa semakin parah dilakukan oleh elite-elite yang berada di pusaran kebijakan. Terbongkarnya sejumlah kasus korupsi menggiring kekecewaan publik terhadap situasi bangsa ini.
Kasus terakhir adalah terkuaknya dugaan korupsi yang secara massal dilakukan oleh anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, yang disebut oleh Hamka Yandhu menerima dana aliran dana Bank Indonesia. Ini menggenapi ilustrasi yang menggiring persepsi publik atas citra elite pemimpin bangsa ke titik terendah. ”Korupsi makin menggila, pemerintah pun tidak tegas. Kayaknya banyak intervensi atas penyelesaian korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat negara,” kata Ifan (30), responden asal Jakarta.
Ifan mewakili hampir separuh responden (48 persen) yang menyatakan korupsi sebagai hal yang paling membuat malu sebagai orang Indonesia. Inilah yang memurukkan rasa bangga publik terhadap sistem yang berjalan di negeri ini.
Hanya 5,7 persen dari 863 responden dalam jajak pendapat ini yang merasa bangga dengan lembaga tempat wakil-wakil mereka duduk di Senayan. Sementara 30,6 persen bersikap apatis dan 49,9 persen mengaku kecewa atas lembaga legislatif. Bahkan, 13,1 persen sisanya menyebutkan malu dengan lembaga perwakilan rakyat yang ada.
Demikian juga terhadap tokoh-tokoh pemimpin nasional saat ini. Hanya 18,2 persen responden yang mengaku bangga terhadap para pemimpin bangsa ini. Sementara 36 persen merasa kecewa dan malu dengan para pemimpin nasional itu. Sisanya (44,1 persen) bersikap apatis.
Publik pun ragu menakar kemampuan para pemimpin saat ini.
Lebih dari separuh responden (51,3 persen) menaruh harapan bahwa para pemimpin ini akan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik, sedangkan yang lainnya (43,4 persen) meragukan kemampuan para pemimpin bangsa saat ini. Jika demikian, ke arah mana bangsa ini hendak di bawa dan oleh siapa, mungkin baru bisa dilihat setelah pemilu mendatang.

Sumber: KOMPAS, 11 Agustus 2008

Monday, August 4, 2008

Pola Berpikir Harus Diubah

Bangsa Indonesia harus segera mengubah pola berpikirnya dari yang sibuk memikirkan diri sendiri, saling menghancurkan, dan cepat puas dengan apa yang dimiliki menjadi pola pikir yang berusaha untuk meningkatkan produktivitas demi meningkatkan daya saing dalam percaturan global.

"Pemerintah dan sektor swasta saat ini sibuk dengan berbagai persoalan kompleks yang melilit perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan juga kelihatan sibuk memperebutkan kue ekonomi yang ada, bukannya berusaha memperbesar kue tersebut dengan meningkatkan daya saingnya," ujar Profesor Michael E Porter dari Harvard Business School kepada Kompas seusai seminar bertema "How to Make Indonesia More Competitive", Rabu. (29/11) di Jakarta.
Seminar itu diselenggarakan Program Magister Manajemen Universitas Indonesia dan Kadin Pasar Modal. Porter tercatat sebagai guru besar yang dijuluki The Most Influential Business Thinker dan menjadi penasihat ekonomi negara-negara berkembang yang terbukti meningkatkan daya saingnya. Konsepnya, kluster dan daya saing, dipakai Pemerintah Singapura, Malaysia, Vietnam, China, Brasil, Kosta Rika, dan sebagainya.
Porter mengatakan, semua persoalan di Indonesia sebenarnya sudah sangat dipahami pemerintah dan sektor swasta. Sayangnya, upaya yang dilakukan tidak menghasilkan perubahan signifikan. Masih terjadi inefisiensi di berbagai bidang yang disebabkan antara lain aturan yang terlalu banyak dan panjang, kurangnya tenaga ahli, dan ketidakcukupan infrastruktur.
Akibatnya, menurut Porter, sejak krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan, daya saing tidak cukup baik, investasi asing langsung tidak mengalami pertumbuhan berarti, dan pertumbuhan ekspor juga tidak menggembirakan.
"Padahal, seluruh dunia sedang bergerak sangat cepat. Maka sebenarnya inilah momentum tepat bagi Indonesia untuk berubah, tumbuh lebih signifikan dengan peningkatan daya saing," ujar Porter.
Perubahan yang dilakukan harus terintegrasi. Di satu sisi, sektor swasta harus mengembangkan bisnisnya dengan pola berpikir untuk menjadi yang terbaik. Selain itu, produknya harus punya keunikan. "Jangan bersaing pada dimensi yang sama. Itu strategi yang salah," kata Porter.
Di sisi lain, pemerintah harus menjadi katalisator bagi perkembangan sektor swasta. Pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi dan kebijakan.
Asosiasi atau kamar dagang juga harus berubah peran dari lembaga lobi pencari proteksi menjadi lembaga kerja sama yang mempromosikan persaingan sehat, menyatukan industri pemberi akses terhadap pengetahuan dan riset.
Sebenarnya, menurut Porter, Indonesia memiliki kelebihan dalam hal sumber daya alam yang melimpah. Indonesia saat ini juga mempunyai pemimpin yang baik dan memiliki banyak pemikir cerdas. "Lalu kenapa Indonesia masih tetap stagnan? Saya pikir penyebabnya sebagian adalah masalah mentalitas dan perilaku. Selain itu, tidak adanya kolaborasi dan tidak adanya rasa untuk membangun win-win opportunity sehingga setiap pihak bisa merasa mereka adalah bagian dari tim," ujarnya.
Berdasarkan Global Competitiveness Report 2006-2007 yang memeringkatkan 121 negara, secara keseluruhan Indonesia berada di posisi ke-35. Jika memasukkan parameter produk domestik bruto per kapita, Indonesia berada di peringkat ke-83.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah tidak menyangkal berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi saat ini. "Terus terang saya tidak ingin Indonesia menjadi negara yang gagal," ujarnya.
Dia menambahkan, sudah saatnya semua pihak bertindak dan tidak lagi hanya berbicara. Tidak lagi sibuk membicarakan keburukan satu sama lain, melainkan harus saling mendukung. Upaya untuk menjadi kompetitif harus didukung dan dikerjakan semua pihak.

Sulit berkembang
Dalam seminar lain bertajuk "Gerakan Peningkatan Produktivitas Nasional", Wakil Ketua Umum Kadin Anthon Riyanto menilai rendahnya implementasi kebijakan infrastruktur, pelayanan publik, penegakan hukum, perpajakan, dan perburuhan menyebabkan dunia usaha sulit berkembang. Dunia usaha membutuhkan seluruh kebijakan tersebut untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri.
Menurut Anthon, beban biaya produksi terus bertambah karena pengusaha harus menanggung setiap kenaikan ongkos yang muncul akibat kelambanan pemerintah merealisasikan kebijakannya.
Kondisi buruk infrastruktur, misalnya, menyebabkan ongkos transportasi mahal. Ekonomi biaya tinggi akibat lemahnya penegakan hukum dan birokrasi masih menjadi momok bagi pengusaha. Aparat pemerintahan dan penegak hukum masih belum optimal berperan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Berbagai upaya reformasi birokrasi yang gencar dilaksanakan pemerintah selama ini pun belum banyak berkontribusi pada iklim investasi. Penyebabnya, laju reformasi yang dijalankan pemerintah tetap belum mampu mengejar kecepatan proses reformasi yang sudah berjalan di negara lain.
Anthon mencontohkan pertumbuhan bisnis di Vietnam, yang tahun 2003 relatif masih di belakang Indonesia, kini sudah mulai menyusul. Bahkan, pada beberapa sektor industri, seperti sepatu dan tekstil, Vietnam sudah menjadi salah satu negara tujuan investasi dunia di Asia Tenggara.
"Jadi, jangan lagi membandingkan Indonesia dengan China karena dengan Vietnam saja kita sudah mulai kehabisan napas. Harus ada gebrakan dari pemerintah agar berbagai persoalan penghambat produktivitas nasional dapat segera diatasi," katanya.
Berbagai reformasi aturan hukum yang dijalankan, misalnya amandemen undang-undang tentang investasi, perpajakan, serta bea dan cukai, juga tertahan akibat tarik-menarik kepentingan dan mengendap di parlemen.
Sumber: KOMPAS, 30 November 2006

Wednesday, July 30, 2008

Demokrasi oh, Demokrasi


Demokrasi memang menjengkelkan. Cara yang harus ditempuh memusingkan, hasil yang diraih jarang memuaskan.
Demokrasi tidak memberi kesejahteraan, tetapi justru melahirkan pertikaian dan pemiskinan. Rakyat yang seharusnya diposisikan sebagai penguasa tertinggi dalam arena perpolitikan, ironisnya, dijerumuskan dalam keterasingan. Intinya, demokrasi hanya melahirkan absurditas, keadaan yang tidak bisa dimengerti dengan kejernihan nurani atau akal waras.
Keadaan itulah yang menjadikan demokrasi gampang mendatangkan banyak kekecewaan. Kondisi buruk yang diembuskan demokrasi diperparah elite politik dan aparat penegak hukum yang menunjukkan aksi-aksi keblunderan. Simak misalnya, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan pengulangan pemilihan kepala daerah Sulawesi Selatan di Kabupaten Bone, Gowa, Tana Toraja, dan Bantaeng. Bukankah ini menjadikan ketidakpastian berakumulasi?
Banyak perilaku wakil rakyat tidak mencerminkan aspirasi pemilihnya. Bahkan, opini publik sengaja disingkirkan guna mencapai aneka kepentingan sesaat. Bagaimana mungkin wakil rakyat memilih seseorang yang kredibilitasnya diragukan untuk memimpin komisi yang berperan melibas korupsi? Itu hanya sebuah contoh nyata tentang betapa demokrasi amat mencederai perasaan rakyat. Kasus-kasus pencederaan nurani sejenis itu mudah ditampilkan sehingga membentuk statistik politik yang mengundang kegeraman.
Bukan kebetulan jika Wapres Jusuf Kalla yang juga ketua partai besar berujar, demokrasi cuma cara, alat, atau proses, dan bukan tujuan. Demokrasi boleh dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat. Inikah tanda-tanda zaman tentang kejenuhan dan kemuakan terhadap demokrasi? Jika elite politik diselimuti gejala kemualan terhadap demokrasi, bagaimana dengan rakyat yang telanjur percaya pada janji-janji manis demokrasi?

Kritik Plato
Bagaimana kita bisa keluar dari labirin demokrasi? Salah satu jawaban yang dapat dikedepankan adalah jika kita bisa membaca dengan baik pengkritik demokrasi. Kecaman atas pelaksanaan demokrasi bukan fenomena yang sama sekali baru. Filsuf Plato (428-348 SM) mengingatkan, demokrasi merupakan kekuasaan yang menunjukkan kemerosotan jiwa. Plato memberi resep, negara seharusnya dikendalikan filosof-raja.
Perpaduan kedua sosok itu niscaya akan menyembuhkan berbagai bobrok demokrasi, dan otomatis negara dipimpin oleh pencinta kebijaksanaan yang mengetahui hakikat kebenaran dan keadilan. Dan sosok ini mampu menerapkan aneka gagasan itu dalam praktik perpolitikan.
Seperti diuraikan Mark Moss (A Critical Account of Plato’s Critique of Democracy), Plato mengecam demokrasi karena tiga alasan.
Pertama, demokrasi mengarah pada "aturan gerombolan" yang dengan kekuasaannya menjadi kaki tangan "pencari kenikmatan" yang tujuan utamanya kepuasan dari hasrat yang sesaat.
Kedua, demokrasi mengarah pada aturan yang dikendalikan kaum pandir yang memiliki keterampilan retorika, namun tidak memiliki pengetahuan yang benar.
Ketiga, demokrasi mengarah pada ketidaksepakatan dan pertikaian yang secara intrinsik buruk dan harus dihindarkan.
Kritik Plato atas demokrasi memang meyakinkan, dan persis seperti yang kita alami. Solusi yang ditawarkan Plato sekilas menjanjikan. Tetapi, siapa yang kini pantas dianggap figur manifestasi perpaduan filosof-raja? Jika dibaca dalam perspektif berkebalikan, kritik Plato dapat digunakan untuk memperbaiki demokrasi.
Sistem perwakilan yang didominasi partai politik amat rentan melahirkan kekuasaan kaum gerombolan. Ini menunjukkan, seleksi dan pengawasan yang ketat harus diaplikasikan untuk memilih elite politik berkredibilitas tinggi.

Masalah moralitas
Kelihaian elite politik dalam bersilat lidah harus dipatahkan. Mekanisme yang dapat dijalankan adalah dengan melakukan evaluasi terhadap kemampuan elite politik dalam berkomunikasi. Sebab, demokrasi berproses dalam diskursus. Tetapi, diskursus dalam demokrasi tidak identik adu mulut penuh kekosongan.
Diskursus yang berlangsung dengan pemakaian bahasa itu, seperti ditegaskan Jurgen Habermas (dalam Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, 2000: 221-222), harus memuat empat klaim, yakni kejelasan, kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Jika salah satu klaim tidak terpenuhi, proses yang terjadi bukanlah komunikasi, tetapi manipulasi.
Demokrasi memang tidak setara dengan pertikaian tanpa ujung. Untuk meraih pengambilan keputusan dalam demokrasi, lazim dijalankan dengan mekanisme suara terbanyak. Namun, prosedur ini amat rentan menghasilkan permufakatan jahat. Bukankah suara terbesar belum tentu menjadi cermin kebaikan?
Cara terbaik lain yang dapat ditempuh adalah konsensus. Pada domain ini, rasionalitas tujuan yang hanya mengatasnamakan rakyat dan menjadikannya alat untuk bertikai wajib dihilangkan. Rasionalitas komunikatif harus dikerahkan guna mencegah distorsi politik dengan kesengajaan. Artinya, demokrasi mewajibkan praktik deliberasi, yakni keterlibatan dan kemampuan rakyat dalam mengawasi setiap pengambilan keputusan.
Akhirnya, demokrasi bermuara pada masalah moralitas. Kemerosotan demokrasi lebih banyak disebabkan oleh elite politik yang tidak memiliki integritas moral. Integritas moral bukan sekadar bermakna kehidupan pribadi elite politik telah berkesesuaian dengan persetujuan publik. Integritas moral, ungkap Matthew Collins (dalam Integrity, Sincerity, and the Truth, 2003), berarti terciptanya kesatuan antara nurani yang secara internal terdapat pada manusia, perilaku eksternal yang dapat dilihat secara fisik, dan kepatuhan pada hukum moral.
Integritas moral pada demokrasi adalah keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengutamakan kepentingan rakyat. Pelanggaran integritas moral adalah pengkhianatan demokrasi. Jangan berharap pada demokrasi jika elite politik tidak mengenal integritas moral!
Triyono Lukmantoro, Dosen Etika Profesi Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro, Semarang. KOMPAS, 11 Januari 2008

Monday, July 28, 2008

Bangsa yang Sekarat


Apa yang dulu berperan besar membentuk Indonesia, dari tiada menjadi ada? Sebuah ide, tepatnya bangunan ide-ide yang ditumpuk-tumpuk menjadi kekuatan oleh elemen-elemen perjuangan nasional. Siapa yang paling berperan di dalamnya? Siapa lagi kalau bukan cendekiawan yang bahu-membahu dengan rakyat jelata. Halangan besar yang bernama kolonialisme, todongan senjata, dan minimnya dukungan internasional, dengan susah-payah berhasil dilewati ketika kemerdekaan sudah menjadi ide bersama.
Pasca jatuhnya Soeharto, ketika sejumlah cendekiawan yang selama Orde Baru ada di pinggiran kekuasaan, bahkan dipenjara, memutuskan terjun ke politik, harapan perbaikan kehidupan bangsa kembali menyembul dalam pikiran saya. Saya berharap ada sesuatu yang dipertaruhkan, juga dipertarungkan, yaitu ide-ide besar guna melepaskan belitan krisis multidimensional yang mencekik tubuh bangsa Indonesia.
Saya berharap, mereka menyalakan obor-obor penerangan bagi bangkitnya harapan rakyat, di tengah gelombang kegelapan nurani yang menutupi udara Indonesia. Cendekiawan, yang berfungsi mirip resi dalam negara-negara berkembang tentu bisa menguak kabut gelap, dan mengundang datangnya sinar matahari yang memberi harapan bagi berkembangnya kehidupan.
Dengan kehadiran cendekiawan, politik tidak hanya sekedar persekongkolon merebut kekuasaan atas dasar kepentingan kotak-kotak politik yang bernama partai. Baju partai hanya dijadikan sebagai identitas pengenal tanpa perlu memberatinya dengan muatan-muatan ideologis yang kalau tidak dibawakan dengan penuh ketelitian bisa berakibat fatal bagi para pengikut politik yang fanatik.
Namun, apa yang saya temukan kini? Kekeringan ide-ide besar. Nyaris tak ada ide baru yang mengundang keterlibatan banyak pihak untuk mendiskusikannya dan menjadikan ide itu sebagai tujuan bersama untuk melepaskan bangsa dan belitan krisis. Yang saya saksikan justru perebutan kekuasaan menjadi satu-satunya ide yang dijadikan lahan keroyokan politisi kita. Padahal, selama lebih 38 tahun (1959-1998) kekuasaan menjadi sesuatu yang ditakuti bahkan oleh kaum cendekiawan, saking seringnya digunakan untuk menindas manusia dan kemanusian. Kekuasaan juga membunuh ide-ide, dan memenjarakan pemikiran dan pemikirnya seperti kita lihat dari banyaknya kaum pembangkang yang ditahan tanpa proses hukum yang layak. Kini kekuasaan yang menakutkan itu dicoba ditaklukkan oleh para politisi kita untuk bisa digenggam dan digunakan demi tujuan politik masing-masing.
Ketika ide-ide besar terpuruk dan kekuasaan menjadi tujuan, saat itu juga nasib bangsa dipertaruhkan. Siapapun yang menjadi politisi dan cendekiawan di masa sekarang tentu diberi beban sejarah untuk menyelamatkan bangsa dari kehancurannya. Bagi politisi yang memegang kekuasaan kita tentu berharap, kekuasaan itu bisa digunakan semaksimal mungkin untuk menyelamatkan bangsa. Lebih-lebih bagi cendekiawan yang terjun ke politik, kekuasaan yang diraihnya harus bisa dijadikan sebagai alat untuk menebas kemiskinan, kebodohan, dan penyakit-penyakit sosial budaya yang diidap bangsa ini. Pada saat politisi dan cendekiawan mengabaikan soal penting ini sejarah akan mengutuk mereka sebagai orang pertama yang paling bertanggung jawab atas tenggelamnya bangsa Indonesia ke kuburan sejarah.
Sebagai bangsa kita tidak lagi mempunyai kebanggaan. Indonesia lebih mirip seperti animal farm (peternakan binatang) dari pada sekumpulan orang-orang beradab yang memiliki peradaban tinggi, sebagai bangsa kita saling membunuh atas nama apapun dan dengan cara apapun. Siapapun yang hidup di Indonesia kini, terutama para politisi dan cendekiawan mempunyai kontribusi atas pembunuhan demi pembunuhan itu. Bila pelaku pembunuhan menggunakan pedang atau senapan para politisi dan cendekiawan mengunakan kata-kata dan pena. Media juga berperan, sekecil apapun karena turut menyebarkan kata-kata, pena politisi dan cendekiawan ke medan-medan pertempuran.
Pembunuhan bukan sekadar pelampiasan dendam menahun tetapi sudah menjadi bagian kebiasaan, yang lama-kelamaan bisa menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Soalnya budaya dibentuk berdasar kebiasaan. Kebiasaan membunuh itu sebetulnya bukan perilaku masyarakat yang baru sama sekali, karena pernah dipraktekkan pasca G 30-S PKI. Pembunuhan menjadi sesuatu yang menurut pendapat awam dibolehkan kalau yang dibunuh itu pelaku kejahatan.
Kebiasaan ini, dalam Islam, disebut qhisos, yaitu utang nyawa bayar nyawa. Tetapi, apa yang terjadi dalam komunitas bangsa ini jauh dari hukum-hukum agama karena yang dibunuh dan dibakar belum tentu seorang pembunuh. Sekali pembunuhan menjadi kebiasaan sulit sekali menghentikannya, karena perilaku ini ibarat kita membangunkan zombie. Ketika kita tak mampu memberikan suguhan darah lagi kepada zombie maka ia akan membunuh kita. Zombie-zombie berwujud manusia itulah yang sekarang bergentayangan di masyarakat kita.
Sebagai bangsa kita tak lagi mempunyai rasa saling percaya. Rasa saling tidak percaya itu ditunjukkan dengan sangat telanjang oleh elite politik dan merembes ke masyarakat bawah. Padahal, bangsa ini dibentuk atas dasar saling percaya antara kaum pergerakan yang beragam ideologi, etnis, pemikiran dan latar belakang sejarah. Ketika rasa saling percaya hilang, yang tersisa hanyalah rasa curiga. Kecurigaan memperbesar perselisihan dan konflik yang sebetulnya kecil. Rasa curiga berbeda dengan kritisisme, karena kritisisme dibangun atas dasar keakuratan data dan keinginan untuk memperbaiki keadaan dari sesuatu yang kita kritik.
Sebagai bangsa kita sedang sekarat. Kita sekarat karena kehilangan banyak darah, akibat pembunuhan demi pembunuhan. Kita sekarat karena kemiskinan dan kelaparan yang melanda daerah-daerah bencana. Kita sekarat karena tak ada lagi ide-ide yang ditawarkan para politisi di panggung politik. Kita juga sekarat karena belitan kekuasaan makin mencekik nafas kita.
Seperti Gibran yang menangisi proses kematian yang melanda bangsanya karena kelaparan, kita juga patut menangis. Bangsa ini mati, pelan-pelan, bukan karena perang melawan para agresor. Bangsa ini mati bukan karena ditenggelamkan oleh Tuhan, seperti Fir’aun atau seperti benua Atlantis. Bangsa ini mati karena kesalahannya sendiri dan karena manusia itu tidak belajar dari kesalahannya. Bangsa ini mati dipimpin oleh manusia-manusia berjiwa kerdil yang mempertaruhkan nasib rakyat diujung tanduk.
Dan nanti, di akherat kita semua harus bertanggung jawab atas kematian ini. Yang paling besar memegang kekuasaan, tentu mempunyai pertanggungjawaban paling besar. Sedangkan rakyat kecil yang mati kelaparan mungkin lebih tepat diberi ganjaran yang layak, karena mereka hanyalah akibat dari kelalaian dari politisi dan cendekiawannya.

Oleh : Indra J. Piliang,
Pengajar Sejarah dan Politik, Peneliti CSIS,Kompas, 18 Desember 2000.

Sunday, July 27, 2008

BUKU PUTIH PRABOWO


Saya Prajurit Setia
Bagi kita, Buku Putih, siapa pun penulisnya, hanya kebenarannya yang pada akhirnya akan bicara. Walau manusia pintar memutih-mutihkan dirinya, manusia bisa dikelabui, tetapi tidak setitik pun bagi Tuhan YME. Tuhan mengetahui betul isi buku putih itu benar-benar putih, atau hitam yang coba diputih-putihkan.
[Kata Pengantar dari Penerbit “TOTALITAS”]

Inilah sosok Prabowo: Seorang pebisnis Indonesia yang sedang kelelahan pada usianya yang mendekati 50 [tulisan ini dirilis tahun 2000], jauh dari keluarga, terus menerus dalam perjalanan. Ada lagi sisi Prabowo yang lain; penyiksa orang-orang tak bersalah di Timor Timur, penculik para aktivis pro-demokrasi, otak kerusuhan dan perkosaan di Jakarta bulan Mei 1998, konspirator kudeta yang gagal yang mencoba menyandera seorang presiden Indonesia.
Prabowo yang disebut pertama adalah Prabowo sebagai daging dan darah atau tubuh seorang manusia, sedang sisi Prabowo lainnya adalah ciptaan guntingan berita dan rumor. Prabowo yang disebut pertama kini hidup di luar Indonesia terutama karena sisi reputasinya itu telah menggantikannya. Prabowo si perancang jahat merupakan cerita yang lebih menarik bagi para wartawan, merupakan seteru yang lebih mudah ditempa jadi berbagai bentuk bagi para aktivis dan kambing hitam yang lebih gampang bagi para politisi. Sekali-sekali, ada saja orang yang berteriak Prabowo agar dipanggil pulang untuk diadili. Namun demikian, orang jadi bertanya-tanya, apa gerangan rintangan yang lebih menghalangi jalan menuju keadilan di Indonesia: realitas atau mitos?
Untuk sampai pada realitas itu, staff correspondent Asiaweek untuk Indonesia, Jose Manuel Tessoro, bukan hanya mengadakan wawancara mendalam dengan Prabowo, yakni wawancara pertama dengan sebuah publikasi internasional sejak Mei 1998, Tessoro juga melakukan investigasi. Hasilnya adalah uraian bernuansa tinggi tentang peristiwa-peristiwa dramatis, yang di dalamnya sejumiah perorangan mengemukakan pendapat atau argumentasi yang didasarkan pada ambisi, kepentingan sendiri, loyalitas dan ketakutan. Apakah Prabowo bersalah atas peristiwa 1998? Menurut dia sendiri, tidak! Tetapi ia tidak menyebutkan siapa, meskipun berdasarkan persepsi mengenai pertarungan Presiden Wahid dan Jenderal Wiranto baru-baru ini, ini adalah sesuatu yang senantiasa dilupakan.
Kini muncul tuntutan-tuntutan, membuka kembali kasus-kasus lama: serangan-serangan, kekejaman dan inisiden lain di waktu lampau. Barangkali saja, setelah beberapa dasawarsa tidak ada pertanggungjawaban dari para pemimpin, rakyat Indonesia ingin mengetahui yang sebenarnya dan ingin mengendalikan urusan politik. Dengan memaparkan ceritanya, Prabowo sendiri –disadari atau tidak- malahan membantu memulai proses itu.

Kambing Hitam?
Arkian malam hari, pada tanggal 21 Mei 1998, lusinan prajurit mengambil posisi sekitar Istana Merdeka dan rumah kediaman Habibie, yang kurang dari 24 jam sebelumnya telah menjadi presiden ketiga Indonesia. Komandan dari pasukan ini adalah Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang ganas.
Seminggu sebelumnya, ia telah mengatur pasukan-pasukan gelap ini dalam keadaan siap menunggu perintah -pasukan khusus rahasia, penjahat-penjahat pusat kota, muslim radikal untuk membunuh, membakar, memperkosa, menjarah, dan menyebarkan kebencian etnis ke dalam hati penduduk Jakarta. Tujuannya adalah untuk merongrong rivalnya, Panglima ABRI, Jenderal Wiranto dan untuk memaksa mertuanya, Soeharto, mengangkatnya sebagai pimpinan Angkatan Darat –suatu langkah yang dalam waktu huru-hara akan lebih mendekatkan Prabowo menjadi presiden.
Pengunduran diri Soeharto yang prematur dari kedudukan presiden menggagalkan ambisi Prabowo. Maka ia mengerahkan amarahnya kepada Habibie. Bencana buat Indonesia -dan mimpi buruk bagi Asia Tenggara- boleh jadi akan menyusul, jika tidak karena datangnya perintah dari Wiranto untuk membebas-tugaskan Jenderal yang tak terkendali itu dari posisi komando. Diamuk amarah, Prabowo membawa pasukannya ke halaman istana dan mencoba mendobrak masuk dengan senjata lengkap ke dalam kamar-kamar Habibie. Tetapi akhirnya ia diperdayakan. Percobaan kudetanya merupakan klimaks dari drama 10 hari yang mengitari kejatuhan Soeharto, pemimpin Indonesia selama tiga dekade.
Masalahnya adalah tidak semua itu benar. Bahkan mungkin tidak satu pun di antaranya yang benar.
Yang pertama mengatakan demikian adalah Prabowo. “Saya tidak pernah mengancam Habibie,” katanya. Apakah Prabowo merencanakan kerusuhan bulan Mei terhadap etnis Cina Indonesia untuk menjatuhkan Wiranto atau Soeharto? “Saya tidak berada di belakang kerusuhan-kerusuhan itu. Itu adalah bohong besar,” jawabnya tegas. “Saya tidak pernah mengkhianati Pak Harto. Saya tidak pernah mengkhianati Habibie. Saya tidak pernah mengkhianati tanah air saya.”
Prabowo, 48 tahun, bukanlah seorang suci. Selama 24 tahun, ia menjadi anggota militer Indonesia, yang dengan setia mematuhi perintah-perintah presiden. Ia membina Kopassus untuk memerangi pemberontakan dan terorisme dalam negeri. Prabowo juga menikah dengan putri kedua Soeharto dan ia menikmati kekayaan, kekuasaan, dan kebebasan dari tanggung jawab yang dimiliki oleh keluarga presiden. Ia mengakui penculikan sembilan aktivis pada permulaan 1998, yang beberapa di antaranya mengalami penyiksaan. Kira-kira 12 orang lainnya yang diduga diculik dalam operasi yang sama masih belum diketahui keberadaannya.
Tetapi, apakah Prabowo itu iblis? Di bulan Agustus 1998, DKP [Dewan Kehormatan Perwira] menyatakannya bersalah dalam menafsirkan perintah dan direkomendasikan untuk dikenakan sanksi atau dihadapkan ke pengadilan militer, Prabowo kemudian dipecat. Dalam laporannya di bulan Oktober 1998, mengenai kerusuhan bulan Mei, TGPF [Tim Gabungan Pencari Fakta] meminta agar ia diperiksa mengenai ketersangkutannya dalam kerusuhan-kerusuhan itu. Sejak itu media massa Indonesia dan luar negeri mengaitkan namanya dengan kata-kata seperti “rencana jahat”, kejam dan sembrono, “seorang fanatik yang haus kekuasaan”. Sebuah surat kabar Asia menulis: “Ia disebut benci pada orang Cina.” Keyakinan bahwa dialah yang mencetuskan kerusuhan-kerusuhan dan gagal mengekangnya telah masuk ke dalam buku-buku sejarah. “Sayalah monster di belakang segala-galanya,” kata Prabowo dengan ironi yang tidak disembunyikannya.
Kendati begitu, hampir dua tahun setelah Soeharto mengundurkan diri, belum juga ada bukti yang mengemuka yang menghubungkannya dengan kerusuhan-kerusuhan yang memicu pengunduran diri itu. Gambaran lengkap dari hari-hari itu masih saja kabur oleh cerita-cerita yang saling bertentangan dan narasumber­-narasumber yang tidak disebut namanya. Di bulan September 1998, Marzuki Darusman, yang pada waktu itu Ketua TGPF dan sekarang Jaksa Agung, mengungkapkan renungannya kepada wartawan: “Saya kira masalahnya bukan hanya sekedar Prabowo. Saya akui ia adalah pemegang rahasia yang ketat. Dan mungkin ia cenderung mengungkapkan sedikit kalau terpaksa. Prabowo telah diadili oleh opini publik dan dinyatakan bersalah. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksiannya. Ia kini menghabiskan seluruh waktunya di luar negeri, walaupun surat kabar-surat kabar setempat mengatakan bahwa ia mengada-kan kunjungan singkat, yang tidak banyak diketahui orang di bulan Januari lalu, kunjungan pertama dalam 15 bulan (istrinya menetap di Indonesia, putra mereka belajar di Amerika Serikat).
Apa yang muncul dari uraian Prabowo sendiri, dirangkaikan dengan penyelidikan independen yang dilakukan Asiaweek, adalah kisah yang jauh berbeda, lebih bernuansa daripada penilaian yang sejauh ini diterima di kalangan luas bahwa kejatuhan Soeharto bermula pada pertarungan antara yang baik dan yang jahat, -dan bahwa Prabowo adalah sang penjahat. Kisah ini adalah laporan dari dan tentang elite politik Indonesia, suatu pengungkapan mengenai sifat perubahannya yang berbahaya dan kompleksitas para pelakunya. Laporan ini menentang apa yang selama ini diterima oleh banyak pihak mengenai negeri ini: militernya, keluarga penguasa yang lalu, sejarahnya. Keputusan apapun yang Anda simpulkan, Anda tidak akan mungkin lagi melihat kejatuhan Soeharto di masa lampau -atau kecaman-kecaman pedas dan konflik-konflik yang berkecamuk sekarang ini- dengan cara yang sama.

Masa Menjelang Peristiwa
Banyak cerita yang beredar di Jakarta mengenai Prabowo. Dalam narasi populer mengenai kejatuhan Soeharto, bekas perwira pasukan khusus itu sering digambarkan sebagai perancangnya: seorang jenius jahat yang, kalau ia mau menjelaskannya, dapat menunjukkan bagaimana seluruh busur lingkaran peristiwa-peristiwa yang dirancangnya terdiri dari suatu konspirasi yang cerdik, namun memiliki cacat yang mematikan. Tetapi pada akhir kekuasaan Soeharto, ia bukan satu-satunya tokoh. Ada banyak pelaku, dengan demikian banyak motif dan manuver. Di tengah-tengah kerusuhan sosial dan keruntuhan ekonomi, bagi para elite di Jakarta sudah jelas jauh sebelum Mei 1998, bahwa persoalannya bukanlah apakah presiden akan melangkah turun, melainkan kapan. Buat mereka, yang paling penting adalah bagaimana supaya survive atau bahkan memperoleh keuntungan. Itu berarti memainkan suatu permainan yang sulit: tetap di tempat atau setidak-tidaknya kelihatan tetap di tempat -tanpa ragu-ragu setia kepada Soeharto- namun pada saat yang sama bergerak ke posisi yang tebaik demi masa depan tanpa Soeharto.
Para Mahasiswa dan rakyat yang beroposisi, walaupun mendapat sorotan yang menonjol, adalah permainan yang paling tidak berkekuatan. Keputusan-keputusan yang sesungguhnya, diambil di sekitar presiden yang uzur itu. Ada anak-anak Soeharto. Ada Wapres Habibie. Ada menteri-menteri dan pimpinan MPR/DPR. Dan ada angkatan bersenjata, dengan kedua jenderal utama, Wiranto dan Prabowo.
Dalam masa menuju bulan Mei, Prabowo berada nyaman di tengah. Di bulan Maret 1998, ia dipromosikan dari komandan Kopassus, untuk memimpin Kostrad. Jabatan baru ini menjadikannya jenderal berbintang tiga. Teman sekelasnya dari Kopassus, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin telah menjadi komandan garnisun Jakarta sejak September 1997 (Pangdam Jaya). Bekas atasan Prabowo di Kopassus, Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, berkedudukan sebagai Kasad. Teman-teman lain, termasuk bos Kopassus, Mayjen Muchdi Purwopranjono.
Satu-satunya jenderal yang tidak sejalan dengan Prabowo adalah atasannya, Wiranto. “Antara kami berdua tidak ada kesesuaian yang serasi,” kata Prabowo. “Kami tidak pernah bertugas dalam kesatuan yang sama. Kami berasal dari latar belakang yang beda.” Wiranto dibesarkan di Jawa Tengah yang tradisional. Prabowo dibesarkan di luar negeri, di ibukota-ibukota Eropa dan Asia. Sementara penempatan-penempatan Prabowo adalah tugas-tugas lapangan dan tempur, sedangkan Wiranto bertugas di jabatan-jabatan staf dan komando teritorial. Setelah empat tahun sebagai ajudan Soeharto, Wiranto melesat cepat dari Panglima Kodam Jaya menjadi Panglima Kostrad. Di tahun 1997, ia menjadi Kasad. Bulan Mei 1998, Soeharto menjadikannya Panglima ABRI dan Menhan.
(Asiaweek telah mengirim pernyataan-pernyataan dan komentar Prabowo, maupun pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam artikel ini kepada Wiranto. Ajudan Wiranto menjawab, bahwa sang jenderal memutuskan untuk memberikan tanggapannya kepada Asiaweek dalam terbitan kemudian).
Wiranto dan Prabowo seimbang. Tetapi dalam bulan Maret, ketika MPR kembali memilih Soeharto dan menunjuk Habibie sebagai Wapres, Prabowo tampaknya melangkah lebih tinggi. Ia adalah sahabat lama Habibie. Mereka sama-sama memiliki temperamen Barat dan idealisme yang optimistis. “Saya suka pada visi teknologi tingginya,” kata Prabowo. “Itu menawan hati saya. Selalu saja ada ucapan: Kita akan tunjukkan bahwa Indonesia bisa jadi besar.” Mereka sering bertemu. Bagi rekan-rekannya sesama jenderal, Prabowo adalah pembela Habibie yang paling bersemangat.
Melihat keadaan kesehatan Soeharto yang menurun –ia terkena stroke ringan Desember 1997- kesempatan Habibie untuk menggantikannya menjadi lebih baik dibandingkan para wapres sebelumnya. Bagi Prabowo, kenaikan Habibie berarti kesem-patan menjadi bos militer: “Beberapa kali dikatakannya: Jika saya menjadi presiden. Anda menjadi panglima ABRI. Anda akan menjadi bintang empat.”
Artinya, andaikata terjadi suksesi yang teratur rapi.
Keruntuhan rupiah yang mulai pada bulan Oktober 1997, telah mendatangkan gelombang-gelombang keresahan sosial di seluruh Nusantara. Januari berikutnya, sebuah bom meledak di sebuah apartemen di Jakarta yang dihuni oleh anggota-anggota PRD terlarang. Pihak militer berusaha keras menghadapi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang vokal. Beberapa aktivis menghilang secara misterius. Pada tanggal 27 April, Pius Lustrilanang mengungkapkan di depan umum -yang pertama diungkapkan oleh para aktivis yang diculik- mengenai penculikan dan pengurungan dirinya selama dua bulan. Ketika diinterograsi, kata Lustrilanang, ia disetrum dan dibenamkan dalam air. Sekalipun Wiranto membantah dengan mengatakan bahwa penculikan itu bukan kebijakan militer, namun kecurigaan rakyat ditujukan kepada militer, dan terutama Kopassus yang pada waktu itu masih diidentikkan dengan Prabowo.
Walaupun ia punya reputasi setia kepada Soeharto. Prabowo juga terus berteman dengan para pengecam rezim "Orde Baru". Mereka ini berkisah sejak dari Jenderal Nasution yang dikecewakan, yang sezaman dengan Soeharto sampai kepada Adnan Buyung Nasution yang turut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum, yang membela dan membantu para aktivis anti-Soeharto. Prabowo membina hubungan pula dengan tokoh-tokoh Islam yang merasa sebagai korban ketidakadilan militer yang dipengaruhi Kristen dan pemerintah, maupun merasa dikucilkan dalam perekonomian yang didominasi etnis Cina. Di antara mereka adalah: Amein Rais, seorang profesor Yogyakarta yang serangan-serangannya terhadap kekuatan Kristen dan modal Cina berubah jadi kecaman terbuka terhadap Soeharto. Hubungan-hubungan Prabowo yang tidak konvensional dan keakrab-annya dengan Habibie, membuatnya unik bila dibandingkan dengan orang-orang lain yang mengelilingi Soeharto.

Kerusuhan-kerusuhan
Drama bermula pada hari Selasa, tanggal 12 Mei, ketika Prabowo menerima telpon. Beberapa orang mahasiswa tertembak mati dalam sebuah demonstrasi di Universitas Trisakti. Naluri pertama Prabowo adalah menyalahkan pasukan keamanan yang tidak disiplin. “Kadang-kadang polisi dan prajurit kami begitu tidak profesional. Kami mendapat satuan-satuan seperti ini ... ya Tuhan, ini konyol. Itulah reaksi saya yang pertama.”
Merasa akan datangnya situasi darurat, ia menuju Makostrad di Lapangan Merdeka, tepat di samping garnisun Jakarta. Sebagai Pangkostrad, tugas Prabowo adalah menyediakan orang dan peralatan. “Saya menyiagakan pasukan-pasukan saya, untuk mengirimkan mereka,” katanya. “Pasukan-pasukan ini selalu berada di bawah kendali operasional komandan garnisun. Begitulah sistem kami. Pada dasarnya kapasitas saya adalah sebagai penasehat. Saya tidak punya wewenang.”
Ia pulang ke rumah jauh setelah tengah malam, tetapi pagi-pagi keesokan harinya sudah berada kembali di Makostrad, tanggal 13 Mei. Sementara gerombolan-gerombolan liar mulai menjarah dan membakar gedung-gedung, Prabowo sepanjang hari memikirkan bagaimana cara bergerak masuk dan menyiagakan batalyon-batalyonnya. Kerisauan lain: Wiranto telah direncanakan akan memimpin upacara angkatan darat keesokan paginya di Malang, Jawa Timur –jaraknya 650 km lebih dari ibukota yang sedang kacau. Sepanjang hari tanggal 13, kata Prabowo, ia mencoba membujuk Wiranto agar membatalkan penampilannya. “Saya menyarankan agar kami membatalkan upacara di Malang,” katanya. “Hasilnya: tidak. Upacara jalan terus. Saya telpon kembali. Bolak-balik delapan kali saya menelepon kantornya. Delapan kali saya diberitahu bahwa acara jalan terus.”
Jadi pukul enam pagi, pada hari Kamis, tanggal 14, Prabowo tiba di Halim. Katanya, mengingat keadaan yang sedang tegang ia heran melihat sebagian besar perwira senior berada di sana. Dalam penerbangan dan upacara, katanya, ia dan Wiranto tidak banyak bicara satu sama lain. Mereka tiba di ibukota kembali setelah tengah hari. Prabowo kembali ke Makostrad, di mana ia berpapasan dengan Sjafrie. Pangdam Jaya itu akan melakukan tinjauan ke bagian barat ibukota dengan helikopter, Prabowo menerima ajakan Sjafrie untuk menemaninya. Selagi mereka mengamati kerusuhan hari kedua dari udara yang berasap, Prabowo ingat bertanya kepada dirinya sendiri: “Mengapa hanya sedikit pasukan yang ada?”
Kira-kira pukul 15.30, ia meninggalkan Makostrad untuk menjumpai Habibie. Presiden berada di Cairo, Mesir, sejak 9 Mei menghadiri sebuah konferensi puncak. Wapres dan Prabowo bicara mengenai kemungkinan terjadinya suksesi. Prabowo menyebutkan bahwa berdasarkan konstitusi, Habibie akan menggantikan presiden. Kemudian muncul permbicaraan mengenai panglima militer yang akan datang. “Harusnya saya sudah melihat adanya perubahan,” kata Prabowo. “Ia mengatakan: kalau nama Anda muncul, saya akan setujui. Sekarang sudah ada perubahan besar.”
Dalam perjalanannya kembali ke Makostrad, Prabowo memperhatikan bahwa urat nadi bisnis utama di Jakarta tampaknya tidak terjaga. Ia menemui komandan garnisun: “Saya katakan: Sjafrie, di Jalan Thamrin tidak ada pasukan. Ia yakin bahwa di sana cukup pasukan. Ia mengajak saya turut pergi, dan kami lihat!” Prabowo menyarankan mengambil separuh dari 16 kendaraan lapis baja yang sedang mengawal Departemen Pertahanan dan mengirimkannya ke Jalan Thamrin. Ini dilaksanakan.
Ketika malam tiba, Prabowo mendapat telpon dari sekretarisnya, Buyung dan serombongan tokoh berbagai kelompok ingin bertemu dengannya. (Pertemuan 14 Mei ini kemudian menjadi sentral penyelidikan mengenai kerusuhan-kerusuhan yang terjadi). “Ketika saya tiba di Makostrad, mereka sudah di sana,” kata Prabowo. “Saya tidak panggil mereka. Mereka bertanya: Apa yang terjadi?” Buyung Nasution ingin tahu apakah benar apa yang dikatakan oleh desas-desus yang menyebar luas, bahwa Prabowo-lah yang merencanakan kerusuhan-kerusuhan yang telah terjadi, penembakan Trisakti, maupun penculikan-penculikan. Ia juga bertanya, apakah ada persaingan antara Prabowo dari Wiranto. Prabowo membantah semuanya. “Mana bisa ada persaingan?” Ia menjelaskan sekarang. “Ia bintang empat, saya bintang tiga. Saya mencoba berada di garis urutan yang benar. Tetapi setelah dia, saya akan menjadi calon yang punya harapan, bukan?”
Setelah suatu briefing komando yang dipimpin Wiranto yang berakhir larut malam, Prabowo tiba di tempat pertemuan berikutnya hampir pukul 1.00 dini hari. Dua orang teman dekat dari NU menyarankan agar Prabowo menemui Abdurrahman Wahid, yang sudah tidur ketika ia tiba. Namun demikian, Gus Dur masih menerima Prabowo dan bertanya tentang situasi yang sedang galau. “Saya katakan, kami akan dapat mengendalikannya besok,” kata Prabowo.
Setelah tukar pakaian, ia menuju pangkalan udara Halim, di mana Soeharto menurut jadwal tiba dini hari tanggal 15 Mei, Jumat. Prabowo menunggu dalam mobil jeepnya, sementara Wiranto menyambut Soeharto. Kemudian mereka bertiga, dengan sebagian besar perwira senior, menuju ke kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Prabowo mengatakan; Soeharto tampak bersikap dingin terhadapnya. Prabowo yakin, Soeharto mengira menantunya sedang bersekongkol melawannya. Berkata Prabowo; “itu dimuat dalam surat kabar-surat kabar bahwa Jenderal Nasution -yang semua orang tahu menyukai saya- mengatakan agar Amien Rais bicara kepada Jenderal Prabowo mengenai pemeliharaan situasi. Ini tentu sudah disampaikan kepada Pak Harto.”
Pada akhir kekuasaannya, Soeharto sudah menjadi tergantung kepada para menteri, para jenderal dan anak-anaknya yang mengelilinginya sebagaimana halnya mereka tergantung kepadanya. Ia adalah pemimpin mereka, tetapi dalam beberapa hal, ia juga adalah tawanan mereka. “Ada suatu seni intrik istana yang sudah berusia seribu tahun,” kata Prabowo. “Bisikkan sesuatu dengan sangat halus kepada seseorang, dan racuni pikirannya. Saya mencoba memberikan informasi, tetapi saya dianggap mencampuri soal yang bukan urusan saya. Ada orang-orang yang meracuni pikirannya: bahwa keberadaan menantunya di sana hanya untuk merebut kekuasaan.” Prabowo kini percaya, bahwa ini turut menjadi penyebab kejatuhannya.

Pengunduran Diri
Cucuran seruan yang menuntut perubahan, dengan cepat menjadi arus yang deras. Fraksi-fraksi partai berkuasa, mantan-mantan jenderal -semua mulai menuntut pengunduran diri presiden. Pada tanggal 15, pimpinan NU menyampaikan pernyataan yang terdiri dari lima pokok. Salah satu pokok menggaris bawahi rasa hormat mereka terhadap sikap Soeharto di Mesir, di mana ia telah mengatakan; “Kalau saya tidak dipercaya lagi, saya akan menjadi pandito.” Tanggapan NU itu adalah suatu cara diplomatis untuk mengatakan bahwa mereka pun berpendapat masa kekuasaannya sudah habis.
Prabowo melewatkan sebagian besar akhir pekan dari tanggal 15 hingga 17, menangani pasukan-pasukannya di Makostrad. Pada Sabtu malam, tanggal 16, ada sebuah pernyataan pers dari Mabes ABRI yang mendukung pendirian NU. Prabowo langsung menemui Presiden. “Pak, ini berarti militer minta Bapak turun!” Katanya kepada Soeharto.
Presiden menyuruh menantunya mengecek ke Subagyo (Kasad), Prabowo mengatakan, Kasad mengatakan bahwa ia belum tahu mengenai pendirian ini. Kedua jenderal tersebut melapor kepada Soeharto. Pagi-pagi tanggal 17, Mabes ABRI menarik pernyataan itu sebelum dimuat sebagian besar surat kabar. Menurut Prabowo, kemudian pagi itu juga, Wiranto tiba di Cendana untuk menegaskan bahwa ia pun tidak tahu mengenai pernyataan itu.
Jose Manuel Tessoro (koreponden Asiaweek di Jakarta) memperoleh copy pengumuman pernyataan itu, yang bertanggal 16 Mei. Pengumuman itu tidak memuat tanda tangan, juga tidak menggunakan kepala surat ABRI. Untuk memahami keberadaannya, Jose Manuel Tessoro menemui Brigjen A. Wahab Mokodongan, Kapuspen ABRI di bulan Mei 1998. Ia membenarkan bahwa pihak militer harus menariknya kembali, tetapi ia menegaskan tidak tahu dari mana asalnya. Sehabis sebuah konferensi pers larut malam, katanya, ia terkejut menemukannya dalam berkas fotokopinya. Ketika ia melaporkannya kepada Wiranto, Pangab itu memerintahkan diadakan penyelidikan. Mokodongan mengatakan pihak intelijen mengecek komputer-komputer yang ada di seluruh kompleks Mabes ABRI yang luas itu. “Tidak ada yang seperti ini,” katanya.
Jose Manuel Tessoro berbicara dengan tiga orang wartawan Indonesia yang meliput peristiwa-peristiwa 1998. Dua orang ingat bahwa mereka telah menerima pernyataan itu waktu berlangsungnya konferensi pers Mokodongan. (Salah seorang ingat Mokodongan membacakannya). Wartawan lain (wanita) mengatakan bahwa majalahnya menerima fac-nya dari kantor Mokodongan. Dengan demikian sumber asalnya tetap tersembunyi. Bagaimana bisa sebuah pernyataan yang begitu peka muncul tanpa sepengetahuan Mokodongan atau Panglima ABRI?
Pada tanggal 18, Prabowo bertemu dengan Amien Rais. Tokoh oposisi itu seingat Prabowo mengatakan kepadanya: “Saya pikir keadaan sekarang ini tidak bisa dipertahan-kan. Saya kira Anda harus meyakinkan Pak Harto supaya mengundurkan diri.” Tetapi Prabowo sama sekali tidak punya wewenang untuk melakukan itu. Di Cendana, malam itu, katanya, ia berjumpa dengan Wiranto, yang menyampaikan kepadanya bahwa anak-anak Soeharto ingin melawan. “Bagaimana kita bisa,” seru Prabowo. Hari itu, Amien Rais telah mengeluarkan seruan untuk mengadakan demonstrasi pada tanggal 20 Mei di Monas. Mencegah protes itu, yang diperkirakan akan menarik ribuan orang, bisa mengakibatkan jatuhnya banyak korban.
Berikutnya Prabowo bertemu putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut). Kata Prabowo, Tutut bertanya kepadanya, apa yang harus mereka lakukan berikutnya. “Saran saya,” katanya, “Anda harus mengganti Wiranto, atau buatlah dekrit darurat. Soeharto tidak mau melakukan satu pun dari kedua saran itu. Maka saya katakan: “Jalan lain yang mana lagi?” Tutut bertanya kepada Prabowo, apa yang akan terjadi kalau ayahnya turun? Prabowo menjawab: Berdasarkan konstitusi, Habibie naik jadi Presiden.
Seruan langsung agar Soeharto mengundurkan diri datang pada hari yang sama. Pada pukul 15.00 tanggal 18 Mei, sementara gedung MPR/DPR dipenuhi oleh para mahasiswa yang berdemonstrasi, Ketua MPR Harmoko meminta Soeharto mengundurkan diri. Malam harinya, Wiranto, di depan konferensi pers yang dipenuhi wartawan, menyatakan bahwa pernyataan Harmoko adalah “pendapat pribadi”.
Mengenai kehadiran para mahasiswa di gedung MPR/DPR, pada malam sebelumnya Wiranto telah bertemu dengan suatu kelompok termasuk pimpinan alumni Universitas Indonesia, Hariadi Darmawan. Kelompok ini menegaskan bahwa para mahasiswa beren-cana bergerak ke MPR dan membahas bagaimana cara terbaik mencegah kemungkinan terjadinya kerusuhan. Ada orang yang menyarankan agar para mahasiswa itu dikawal oleh militer atau diangkut dengan kendaraan. Keesokan paginya, kata Panglima Kodam Jaya, Sjafrie, diinstruksikan oleh dua orang ajudan Wiranto untuk menyiapkan transportasi. Kira-kira pukul 10.00 pagi, katanya, ia juga diberi tahu bahwa pimpinan MPR telah memberi izin masuk. Mahasiswa menolak sebagian besar kendaraan militer, tetapi selama mereka datang dengan kendaraan, Sjafrie menjamin perjalanan mereka ke gedung MPR tidak akan dihalangi.
Keesokan harinya, tanggal 19 Mei, Prabowo berpartisipasi sepenuhnya dalam usaha mengamankan Monas dari demonstrasi protes yang direncanakan Amien Rais. Malam itu Wiranto bertemu dengan para perwira senior untuk membahas demonstrasi tersebut. “Pertemuan yang dipimpin oleh Wiranto itu mengatakan bahwa perintahnya ialah bagaimana pun demonstrasi itu harus dicegah.” Seingat Prabowo, “Saya bertanya berkali-kali apa maksudnya. Apakah kami menggunakan peluru tajam? Ia tidak mau memberikan jawaban tegas.” Sepanjang malam, Amien Rais menerima utusan-utusan untuk membu-juknya agar membatalkan demonstrasi itu. Ia akhirnya mengalah dan demonstrasi yang dikhawatirkan itu dibatalkan. Tetapi pada tanggal 20 Mei, Soeharto dapat dua pukulan. Empat belas dari menteri-menterinya mengundurkan diri dari kabinet. Dan secara berturut-turut orang-orang yang diajaknya turut dalam sebuah “Komite Reformasi”, menolak.
Setelah matahari terbenam, Prabowo mengunjungi Habibie. “Saya katakan kepada-nya: Pak, kemungkinan besar, Pak Tua akan turun. Apa Bapak sudah siap? Ia sudah siap. Ya ... ya ... ya. Kata saya: Bapak harus mempersiapkan diri.” Dari rumah Habibie, Prabowo kembali ke Cendana. “Setelah semua aman, saya masuk, masih mengenakan pakaian kamuflase,” katanya. “Saya mengira akan memperoleh pujian, karena telah berhasil mencegah demonstrasi. Tidak ada pembunuhan. Tidak ada korban. Prajurit memegang teguh disiplin. Sjafrie telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan kemudian, bam!”
Di ruang dalam, kata Prabowo, keluarga Soeharto sedang duduk bersama Wiranto. Yang pertama keluar adalah Siti Hutami Endang Adiningsih putri bungsu Soeharto. Prabowo ingat: “Mamiek melihat saya dan menudingkan telunjuknya kira-kira beberapa sentimeter dari hidung saya, sambil berkata: Pengkhianat! Dan kemudian: Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi. Jadi, saya keluar. Saya menunggu. Saya ingin masuk. Saya katakan saya perlu penjelasan. Istri saya menangis pula.” Prabowo pulang ke rumahnya. Keesokan paginya, tanggal 21 Mei, pukul 09.05 setelah MPR/DPR dan Kabinet berpaling dari Soeharto, Presiden yang telah 32 tahun berkuasa itu, mengundurkan diri. Pidato pengunduran dirinya yang singkat itu disiarkan ke seluruh Indonesia.
Sekalipun mendapat hinaan malam sebelumnya di Cendana, Prabowo tetap saja menghadiri upacara 21 Mei itu, untuk memberikan dukungan moril kepada pengganti Soeharto, yaitu Habibie. Setelah Habibie mengucapkan sumpah, Wiranto melangkah ke depan mengucapkan janjinya, akan melindungai Soeharto dan keluarganya.
Ketika keluarga presiden berangkat kembali ke Cendana, Prabowo ikut serta. “Saya ikut sekadar menghibur Pak Harto, katanya. “Tetapi saya sudah dituduh sebagai pengkhianat. Situasinya sangat tegang antara saya dan anak-anak Pak Harto lainnya. Kemudian istri saya mengatakan kepada saya bahwa ada laporan-laporan yang mengatakan saya mengadakan pertemuan-pertemuan dengan Habibie setiap malam. Saya juga bertemu dengan Gus Dur, Amien Rais, Buyung Nasution. “Tetapi kami tidak mengkoordinir kejatuhan Soeharto. Kami membicarakan cara terbaik untuk meredakan kekerasan.” Soeharto tidak menjawab permintaan Asiaweek untuk memberi tanggapan terhadap pernyataan-pernyataan Prabowo.

Pemecatan
Habibie sudah menjadi Presiden. Pukul 04.00 tanggal 21 Mei, Prabowo menjumpai sahabatnya itu untuk menyampaikan ucapan selamat. “Ia mencium kedua belah pipi saya,” kata Prabowo, yang minta diberi kesempatan bertemu pada malam harinya.
Larut malam, Prabowo tiba di kediaman Habibie, ditemani oleh komandan Kopassus, Muchdi. Oleh karena Wiranto mungkin akan tetap menjadi Menhan, Prabowo menganjurkan agar Kasad Subagyo dijadikan Panglima ABRI guna mencegah terlalu banyak kekuasaan di satu tangan. Langkah itu juga akan membuat Prabowo menjadi calon terbaik menggantikan Subagyo. “Ya, saya mencoba mempengaruhi Habibie,” kata Prabowo mengakui. “Saya dekat kepadanya!” Kapan pun, kata Prabowo, ia tidak pernah mengancam presiden yang baru itu. Setelah itu ia kembali ke Makostrad.
Keesokan harinya, 22 Mei, setelah shalat Jumat, telepon Prabowo berdering. Mabes Angkatan Darat meminta bendera Kostrad. Prabowo mengenang, “Mereka minta bendera saya. Itu berarti mereka mau mengganti saya.” Ia bergegas kembali ke Makostrad. “Saya ingat Habibie pernah mengatakan: ‘Prabowo, bilamana saja Anda dalam keraguan, datanglah kepada saya kapan saja dan jangan pikirkan soal protokol.’ Saya telah mengenal orang ini selama bertahun-tahun. Saya merasa, baiklah, saya akan mencari Habibie. Ia ada di Istana. Jadi, saya pergi ke sana.”
Ia tiba siang menjelang sore, dengan sebuah iring-iringan terdiri dari tiga mobil Land Rover yang mengangkut staf dan pengawal. “Kami masuk,” kata Prabowo. “Keadaannya sangat tegang. Pengawal kepresidenan menengok kepada saya dengan wajah-wajah aneh. Saya kira waktu itu saya dilaporkan mau menyerang atau apa. Saya menjumpai perwira ajudan dan mengatakan: ‘Saya perlu bertemu dengan Pak Habibie. Saya hanya perlu 10 menit.’ Saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Ini sangat penting buat saya.”
Sebelum memasuki kantor Habibie, kata Prabowo, ia melepaskan pistolnya; “Sebab ini adalah prosedur. Bilamana datang menjumpai perwira senior, kita harus melepas semua senjata. Saya tidak dilucuti!” Kemudian ia melangkah masuk ke kantor presiden. “Ia mencium kedua belah pipi saya,” kata Prabowo. “Saya katakan: Pak, apa Bapak tahu bahwa saya akan diganti hari ini? Ya ... ya ... ya ..., katanya. Mertuamu minta saya menggantimu. Itu yang terbaik. Kalau mau berhenti dari Angkatan Darat, saya akan mengangkatmu sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat. Itulah yang dikatakannya,” kata Prabowo, ia terpaku. “Ya Tuhanku, apa ini?” Ia mengenang pikirannya waktu itu. “Dalam pikiran saya, Habibie pada waktu itu masih suka pada saya, tetapi ia sedang dikelabui orang. Saya pergi ke Subagyo, ketika saya masuk, saya berpapasan dengan beberapa jenderal pendukung saya. Pesan mereka: Ayo, kita bikin konfrontasi. Kata saya: Tenang saja. Saya berjumpa dengan Muchdi di sana. Kata kami: Kami rela minggir, tetapi berilah sedikit waktu, supaya pertukaran komando ini kelihatan sebagai sesuatu yang normal. Saya kira Subagyo pergi menjumpai Wiranto. Wiranto berkata: Tidak, harus hari ini!”

Sang ‘Mastermind’
Sudahpun dihalau oleh para iparnya, dicampakkan oleh sekutunya dan dipecat oleh rivalnya, yang terburuk belum menimpa Prabowo. Dalam bulan-bulan berikutnya, perwira-perwira yang dianggap dekat dengan dia, dipindahkan atau dicopot dari tugas aktif. Pada tanggal 25 Juni, Wiranto melepaskan Sjafrie dari jabatannya sebagai Pangdam Jaya, awal dari pergantian yang mencakup luas. Berdasarkan penemuan DKP komandan Kopassus Muchdi dan seorang kolonel dibebaskan dari tugas.
Tambahan pula desas-desus yang tak kunjung bisa dihentikan bahwa Prabowo dan sekutu-sekutunya telah memicu kerusahan-kerusuhan bulan Mei. Pada tanggal 23 Juli, Habibie membentuk TGPF yang beranggotakan 18 orang untuk menemukan "otak perencana" (mastermind) di belakang kerusuhan-kerusuhan di enam kota besar, termasuk Jakarta. Setelah tiga bulan, TGPF menyimpulkan bahwa penculikan-penculikan, krisis ekonomi, sidang MPR, demonstrasi-demonstrasi dan penembakan di Trisakti semuanya bertalian erat dengan kerusuhan-kerusuhan.
Yang pertama dari sembilan rekomendasinya adalah agar pemerintah menyelidiki pertemua tanggal 14 Mei di Kostrad “untuk mengetahui peranan Letjen Prabowo dan pihak-pihak lain dalam proses yang menuju kerusuhan.” Laporan itu tidak menyebut Prabowo sebagai dalang kerusuhan dalam ringkasan yang diumumkan kepada media. Tetapi laporan itu mengacu kepadanya, kepada pertemuan 14 Mei dan penculikan-penculikan, sejumlah 11 kali. Itu lebih banyak daripada kepada Sjafrie, yang mendapat 4 acuan, atau Wiranto yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Menhan dan Panglima ABRI. Nama Wiranto hanya disebut satu kali dalam konteks turut menandatangani dekrit dan melahirkan TGPF.
Prabowo mengecam insinuasi-insinuasi laporan itu. “Apa motivasi yang mendorong kami untuk menghasut kerusuhan­-kerusuhan?” tanyanya. “Kepentingan kami adalah pemerintah selamat. Saya adalah bagian dari rezim Soeharto. Andaikata Pak Harto terus memerintah tiga tahun lagi, mungkin saya menjadi jenderal bintang empat. Mengapa saya harus membakar ibukota? Itu bertentangan dengan kepentingan pribadi saya, apalagi prinsip­-prinsip saya.” Ia menyalahkan logika laporan itu. “Bagaimana saya bisa mengada-kan pertemuan pada tanggal 14?” katanya. “Kerusuhan-kerusuhan dimulai pada tanggal 13. Dan mereka yang menemui saya itu adalah orang-orang yang disebut sebagai lawan-lawan Orde Baru.”
Ia membantah kesan bahwa ia anti-Cina. Dikatakannya, bahwa seperti halnya banyak orang Indonesia, ia berpendapat bahwa tidaklah sehat bila suatu minoritas menguasai sebagian besar ekonomi. “Para usahawan Cina mengira saya ingin menggusur mereka. Padahal model saya adalah New Economic Policy‑nya Malaysia.” Bukankah itu berarti bahwa ia tidak akan mengobarkan kerusuhan untuk memberi etnis Cina pela-jaran?” “Katakanlah bahwa Anda tidak percaya bahwa saya punya rasa kemanusiaan,” katanya membantah. “Kalau kami memusnahkan orang Cina, ekonomi kami pun akan turut musnah. Sama saja dengan bunuh diri sendiri …. Kalau sayalah yang mengobarkan kerusuhan-kerusuhan tersebut, mengapa saya tidak dituntut? Beban pembuktian ada di pihak penuduh.”
Untuk mencari bukti itu, koresponden Asiaweek di Jakarta (JM Tessoro) kembali ke hasil kerja TGPF. Ia menelaah copy laporan lengkap yang terdiri dari enam jilid (hanya jilid satu, ringkasan eksekutif yang diberikan kepada pers). Empat dari kelima jilid selebihnya berisikan laporan korban dan kerusakan, keterangan-keterangan saksi mata mengenai kerusuhan dan perkosaan, serta usaha mendeteksi adanya pola-pola. Satu jilid berisi transkrip wawancara yang diadakan perwira-perwira militer yang bertugas ketika terjadi kerusuhan. Sebagai tambahan, saya bicara dengan sembilan dari 18 anggota TGPF, demikian juga dengan pengamat Politik Hermawan Sulistyo yang mengepalai tim terpisah yang terdiri dari 12 orang yang melakukan banyak kerja mondar-mandir untuk mengum-pulkan data.
Apakah kerusuhan-kerusuhan itu diorganisir? Banyak diantara yang melapor kepada tim berpendapat demikian, akan tetapi dalam keenam jilid laporan itu tidak ada bukti yang mendukung keterangan para saksi mata, apalagi yang menunjuk kepada seseorang yang berada di belakang kerusuhan itu. Sifat kerusuhan itu masih perlu dipertanyakan. Tinggallah sekarang pertemuan tanggal 14 Mei. Namun ketika saya bicara dengan tiga dari mereka yang hadir dalam pertemuan itu, termasuk anggota TGPF Bambang Widjojanto, semua membantah adanya hubungan antara mereka dengan kerusuhan, sebagaimana halnya juga dikatakan oleh sejumlah peserta pertemuan dalam sebuah konferensi pers sehari setelah laporan TGPF diumumkan. Gambaran yang mereka lukiskan cocok dengan keterangan Prabowo.
Kalau begitu apakah Pangkostrad membiarkan kerusuhan­-kerusuhan merebak sehingga tidak dapat dikendalaikan? Ini tentu sulit untuk dilakukan, karena ia sama sekali tidak punya wewenang. Berdasarkan prosedur baku, polisi ibukota menangani keamanan. Komando akan beralih kepada Pangdam Jaya bila polisi tidak mampu menjaga hukum dan ketertiban, suatu fakta yang ditunjukkan oleh Kapolda Mayjen Polisi Hamami Nata kepada TGPF pada tanggal 28 Agustus 1998 dan diperkuat oleh Sjafrie. Mantan Pangdam Jaya itu memastikan waktu peralihan komando: sekitar tengah hari tanggal 14. Kaum perusuh sudah mulai menyerang pos-pos polisi, maka polisi ditarik mundur demi keselamatan mereka. Dari tanggal 14 dan seterusnya, Sjafrie memegang kendali: menjelang tanggal 15, sebagian besar kerusuhan sudah dipadamkan. Sjafrie membantah keras bahwa Prabowo punya kendali atas dirinya. “Prabowo tidak pernah mempengaruhi saya,” kata Sjafrie. “Dia adalah sahabat saya, tetapi saya punya prinsip-prinsip tugas saya.” Pada waktu itu, sesungguhnya, perwira atasan Sjafrie adalah Wiranto.
Pengumuman laporan TGPF diundurkan ke tanggal 3 November karena adanya pertikaian mendalam di kalangan tim. “Situasinya sangat politis,” kata anggota TGPF Nursyahbani Katjasungkana mengakui. “Pendapat-pendapat sudah lebih dulu terbentuk. Maka dalam proses pengumpulan fakta, sulit membedakan dengan tajam antara fakta dan pendapat.” Debat-debat jadi macet dalam perpecahan antara anggota sipil dan militer, antara mereka yang ingin membatasi temuan-temuan pada bukti-bukti yang dapat diterima berdasarkan hukum dan mereka yang ingin melukiskan apa yang mereka sebut “fakta sosial”. Suatu hal yang menjadi pertentangan yang eksplosif: jumlah korban perkosaan.
Sulistyo mengatakan dari 109 kasus yang dilaporkan, timnya hanya mampu mengecek kebenaran dari 14 kasus. Tetapi beberapa orang yang duduk dalam tim gabungan itu -yang telah menjumpai sendiri perkosaan yang dilaporkan- merasa bahwa angka itu harusnya lebih tinggi. Angka hitungan yang muncul dalam laporan terakhir adalah 66 perkosaan yang sudah dicek kebenarannya, plus 19 korban pelecehan seksual dan kekerasan.
Transkrip kesaksian yang disampaikan oleh Prabowo dan Sjafrie ke TGPF mengenai kegiatan-kegiatan mereka antara 12 dan 14 Mei tidak berisi informasi yang berbeda dari apa yang mereka katakan kepada saya hampir 20 bulan kemudian. Hampir semua anggota TGPF yang saya temui menyangkal adanya usaha luar untuk mempengaruhi penyelidikan itu. Beberapa di antara mereka mengatakan tidak dipengaruhi prasangka mereka sendiri atau rumor yang menghubungkan Prabowo dengan kerusuhan-kerusuhan itu.
Kendati demikian pada tanggal 12 Oktober 1998, TGPF memanggil Kasad Subagyo semata-mata dalam kapasitas sebagai ketua DKP yang menyelidiki Prabowo. Dalam transkrip, para anggota yang menanyai Subagyo pada waktu itu mencari hubungan antara hilangnya empat pemuda dalam puncak kerusuhan dan penculikan para aktivis yang terjadi sebelumnya. Tetapi Subagyo, setidak-tidaknya dalam catatan, tidak dapat memberikan hubungan itu. Dalam laporan terakhir, masih saja ditarik garis antara penculikan-penculikan pra bulan Mei yang dilakukan Prabowo dan kerusuhan.
Munir dari Kontras tidak melihat hubungan itu. “Di bulan Mei, saya melihat gerakan di kalangan elite untuk mendorong situasi politik ke arah perubahan,” katanya. “Ini beda dengan penculikan, yang merupakan suatu konspirasi mempertahankan sistem yang ada.” Seorang anggota TGPF, I Made Gelgel, sekarang mengakui adanya masalah penafsiran ini. “Tidak masuk akal,” katanya, “bahwa di satu pihak Prabowo akan membentengi kekuasaan mertuanya, dan di pihak lain menggerakkan kerusuhan-kerusuhan.”

‘Kudeta’
Pada tanggal 30 Juni 1998, dalam suatu pertemuan dengan pimpinan Dewan Dakwah Islam. Habibie bercerita bagaimana Prabowo telah mengancamnya. Menurut anggota Dewan Hartono Mardjono, Habibie mengatakan mendapat laporan dari asisten militernya, Sintong Panjaitan bahwa kediaman Habibie telah dikepung oleh pasukan-pasukan Kostrad dan Kopassus. Panjaitan, kata presiden telah menyelamatkan keluarga presiden dengan menerbangkan mereka ke Istana. Kata Hartono Mardjono, pada saat itu juga ia membantah cerita Habibie. Katanya, tak mungkin Prabowo mengancam Habibie, sebab, pada hari menjelang mundurnya Soeharto, Prabowo mendesak semua orang yang dikenalnya supaya mendukung Habibie. Tetapi pendapatnya itu, kata Mardjono, “dilewatkan begitu saja oleh Habibie.”
Habibie mengisahkan cerita yang sama kepada Sunday Times London. “Rumah saya dikepung oleh dua kelompok pasukan,” katanya dalam sebuah wawancara yang diterbit-kan pada tanggal 8 November 1998. “Satu kelompok adalah pasukan biasa, yang bertang-gung jawab kepada Wiranto, yang memerintahkan diadakannya lingkaran penjagaan untuk melindungi saya, dan kelompok yang satu lagi adalah pasukan Kostrad, yang bertanggung jawab kepada Prabowo. “Pada tanggal 15 Februari 1999, Habibie mengatakan di depan suatu pertemuan wartawan-wartawan Asia dan Jerman di Jakarta. “Pasukan-pasukan di bawah komando seseorang yang namanya tidak akan saya sembunyikan, Jenderal Prabowo, dipusatkan di berbagai tempat, termasuk tempat saya.” Pada waktu itu, katanya Wiranto telah melaporkan situasi kepadanya dan telah melindunginya.
Masalah utama dari semua versi cerita Habibie tersebut ialah bahwa sebenarnya, pasukan-pasukan yang mengawal rumahnya adalah atas perintah Wiranto, bukan Prabowo. Pada briefing komando tanggal 14 Mei, panglima ABRI itu, telah mengarahkan Kopassus mengawal rumah-rumah presiden dan wakil presiden. Perintah-perintah ini diperkuat secara tertulis pada tanggal 17 Mei kepada komandan-komandan senior, termasuk Sjafrie, Pangdam Jaya pada waktu itu. Dalam kesaksiannya di depan DPR pada tanggal 23 Februari 1999, Wiranto dengan terus terang mengatakan: “Tidak ada percobaan kudeta.” Ketika minta tanggapan Habibie terhadap pernyataan-pernyataan Prabowo, asistennya, Dewi Fortuna Anwar menjawab untuk Habibie, “bahwa, Pak Habibie tidak perlu membuat bantahan langsung terhadap tuntutan-tuntutan Prabowo.” Dewi Fortuna Anwar menganjurkan agar saya bicara kepada beberapa orang, termasuk Panjaitan, yang kesemuanya hadir di istana pada tanggal 22 Mei.
Prabowo yakin ia bisa saja melancarkan kudeta pada hari-hari kerusuhan di bulan Mei itu. Tetapi yang penting baginya ia tidak melakukannya. “Keputusan memecat saya adalah sah,” katanya. “Saya tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada republik.”

Penculikan-penculikan
ABRI selalu menganggap bahwa Prabowo telah menyalah-tafsirkan perintah mengenai penculikan para aktivis di bulan-bulan awal 1998. Di depan DKP, Prabowo mengakui “kesalahannya”, tetapi sekarang ia juga bersikeras bahwa ia mengikuti perintah-perintah yang juga diketahui rekan-rekannya. Atasan-atasan Prabowo, mantan Pangab Feisal Tanjung dan penggantinya Wiranto, terus-menerus menyangkal bahwa perintah itu berasal dari mereka atau panglima tertinggi, Soeharto.
Berkata Prabowo, bahwa ia tidak pernah diberitahu secara langsung keputusan DKP. “Saya mendengarnya lewat radio,” katanya. “Orang-orang ini tidak punya nyali meng-hadapi saya.” Ia masih tetap keberatan. “Saya ingin mengatakan begini,” kata Prabowo tegas. “Semua yang saya lakukan, saya lakukan atas sepengetahuan atasan-atasan saya, dengan persetujuan mereka dan berdasarkan perintah mereka. Mungkin saja tidak semua perintah itu menurut garis rantai komando, sebab atasan-atasan saya suka bekerja melompat melalui beberapa tingkat. Tetapi saya mengatakan ini tanpa ragu-ragu.” Tujuan operasi itu, katanya, adalah untuk menghentikan pengeboman. “Kami ingin mencegah kampanye teror,” katanya. Sebagian besar yang ditahan, katanya, sudah ada namanya dalam daftar orang-orang yang dicari polisi. Tetapi, katanya “melihat ke belakang, saya memang berlaku kurang hati-hati.” Ia tidak pernah mengunjungi sel-sel para aktivis yang diculik itu, dan percaya saja pada laporan-laporan dari orang-orang yang ditugaskan untuk operasi itu. Dikatakannya, ia tidak pernah memerintahkan penyiksaan.
Aktivis Pius Lustrilanang mengatakan, bahwa ketika berada dalam kurungan, dua orang tahanan lain mengatakan kepadanya bahwa mereka memang berencana memasang bom. Anggota PRD, Feisol Reza, salah seorang yang diculik, membantah keterlibatan partainya. “Isu bom itu dibuat-buat oleh militer,” katanya. “Kami hanya korban.” Akan tetapi, Lustrilanang mengemukakan bahwa tujuan penculikan bukan hanya pencegahan bom. Menurutnya, ia dan yang lain-lain ditahan untuk mencegah demonstrasi-demons-trasi yang dapat melumpuhkan sidang MPR bulan Maret 1998. Prabowo mengatakan, bahwa operasi itu adalah operasi tunggal. “Saya punya kecurigaan,” katanya, “tetapi pada akhirnya itu tetap tanggung jawab saya.” Menurut Kontras, setidak-tidaknya masih ada 12 orang aktivis yang hilang. Kata Lustrilanang, setidak-tidaknya tiga orang yang ditahan bersamanya. Prabowo menunjukkan keterkejutannya atas pengungkapan itu dan menga-takan ia tidak tahu mengenai nasib mereka yang masih hilang. Ia tetap tidak mau membukakan identitas sumber perintah yang diterimanya.

“Orang Luar Sejati”
Keterlibatan Prabowo dalam penculikan dan dukungannya yang terang-terangan kepada Habibie boleh jadi menghukumnya di mata publik dan Soeharto. Tetapi loyalitas-nya, baik kepada presiden maupun wakil presiden merupakan bukti terkuat untuk menentang tuduhan bahwa ia melancarkan kerusuhan atau kudeta, yang akan membaha-yakan kedua orang itu. Pertanyaannya barangkali bukanlah mengapa Prabowo berbalik menentang mertuanya dan sahabatnya, melainkan mengapa kedua mereka berbalik menentang dia.
Sebagian sebabnya adalah Prabowo. “Ia mengira dirinya orang dalam, padahal ia adalah seorang outsider sejati,” kata Daniel Lev, ahli sejarah asal Amerika. Pendidikannya di luar negeri memberinya pandangan Barat, yang menyebabkan masalah baginya dalam politik angkatan darat dan keluarga Soeharto. Bahkan kredensial Islamnya dianggap kurang oleh para radikal yang digabunginya. Untuk memuaskan pihak konservatif, ia menginginkan terlalu banyak perubahan, padahal ia sendiri adalah bagian kental dari rezim lama untuk bisa diterima sebagai seorang reformis. Andaikata ia benar-benar merebut kekuasaan, ia mengakui, sebagai menantu Soeharto, ia akan terlibat sebagai pendukung kepentingan-kepentingan suatu rezim. Pendeknya, ia dianggap sangat di luar tempatnya, dan pada akhirnya, tidak sesuai masa.
Faktor lainnya tidak bisa tidak adalah reputasinya -yang sebenarnya, yang dibayang-kan, atau yang diciptakan orang. Reputasi itu boleh jadi telah membuat beberapa anggota TGPF percaya pada teori tertentu tentang kerusuhan-kerusuhan itu. Reputasi itu bisa jadi telah mengekalkan suatu salah pengertian yang mungkin terjadi seputar keamanan sekeliling Habibie. Reputasi itu membuat ia masih dihubungkan dengan kekerasan yang terjadi di Indonesia, seperti kerusuhan yang masih terjadi di Maluku.
Ini semua adalah penjelasan-penjelasan yang gampang. Penjelasan-penjelasan lain lebih sulit lagi. Setelah bulan Mei, Wiranto diberi label “pro-reformasi”, “profesional”, seorang yang akan “melindungi negerinya sementara melangkah menuju demokrasi.” Pada suatu waktu ia lebih populer daripada Habibie, dan masih ada harapan untuk dipilih menjadi presiden, meskipun masih mempertunjukkan loyalitasnya kepada Soeharto. Bagaimana ia bisa menyatukan kedua pertentangan itu? Pertanyaan-pertanyaan lain: Mengapa Wiranto bersikeras membawa perwira-perwira senior ke Jawa Timur pada tanggal 14 Mei? Siapa yang bertanggung jawab atas "pernyataan" mengenai Soeharto? Mengapa ia mengizinkan mahasiswa memasuki gedung MPR/DPR dan membiarkan mereka tinggal di sana sampai Soehato mengundurkan diri?
Prabowo mengakui bahwa versinya tiada lain -adalah versinya sendiri. Peristiwa-peristiwa yang sama mungkin dilihat beda oleh orang lain: Soeharto, Habibie, anak-anak Soeharto, Wiranto. “Saya harus fair,” kata Prabowo mengenai Wiranto. “Ia ingin mengadakan reformasi tetapi ia juga punya ambisi-ambisi politik.” Di matanya sendiri, Prabowo adalah seorang loyal. Bagi orang lain, tindakan-tindakannya bisa saja kelihatan sebagai tindakan-tindakan seorang rival yang berbahaya, seorang pengkhianat, seorang konspirator. Saling curiga, kebingungan dan salah pengertian pasti punya peran dalam drama bulan Mei. Masing-masing pemain kunci boleh jadi berpikir bahwa pihak-pihak lain bermaksud mencelakakan dirinya. Jika politik di Indonesia adalah permainan wayang, maka mungkin pemain-pemain itu takut pada bayangannya satu sama lain.
Orang masih bisa mencari alur dan kontra-alur cerita. Tetapi melihat bahwa yang berperan di sini lebih daripada suatu konspirasi, itu sama dengan melepaskan kebenaran yang rumit dari sangkar fiksi yang cocok. Apa pun kenyataan di belakang kerusuhan-kerusuhan itu, cerita-cerita yang muncul terbukti sangat berguna.
“Setelah TGPF,” kata Munir dari Kontras, menjelaskan siapa yang muncul adalah bahwa Wiranto adalah seorang yang tak bisa dinyatakan bertanggung jawab. Inilah kemenangan politik Wiranto: memperoleh tiket memasuki suatu rezim baru padahal sebenarnya ia adalah bagian dari rezim lama yang digulingkan. Apakah konsolidasi militer dan keberhasilan politik Wiranto mungkin terjadi tanpa akhir karier Prabowo?
Bayang-bayang Prabowo telah digambarkan seperti sehelai selimut yang meliputi kerusuhan-kerusuhan, penculikan, perlakuan kejam di berbagai daerah. Orang tidak perlu repot-repot lagi mencari penjelasan-penjelasan. “Seharusnya jangan dia seorang, yang disalahkan atas semuanya,” kata Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada Asiaweek.
“Itu jalan keluar yang gampang.” Tetapi itulah rute yang telah diambil. Dengan adanya kambing hitam, tidak ada orang yang perlu menjelaskan mengapa seseorang dianiaya, terhambatnya karier orang-orang lain. Tidak ada orang yang perlu mengungkap-kan nasib dari orang-orang yang masih hilang. Tidak ada orang yang perlu mengaku bertanggung jawab. Selama cukup banyak orang yang percaya bahwa kesusahan semua orang lain akan sirna jika orang lain -seseorang, suatu komunitas- dapat disalahkan dan kemudian di lenyapkan.

Citra Kejahatan
Reputasi kekejaman Prabowo di Timtim yang dibelokkan
Reputasi Prabowo begitu rupa, sehingga setelah pemungutan suara di Timor Timur untuk kemerdekaan di bulan Agustus tahun lalu, tersebar laporan-laporan yang mengata-kan ia terlibat dalam perusakan yang terjadi kemudian -setahun lebih setelah ia dipecat. Baru-baru ini sebuah surat kabar Inggris bahkan berspekulasi bahwa pasukan-pasukan penjaga perdamaian Jordania yang disebarkan di wilayah itu bisa digunakan oleh mantan jenderal tersebut untuk menimbulkan kerusuhan (Prabowo sekarang tinggal di Jordania dan ia adalah sahabat Raja Abdullah).
Tanggapan Prabowo terhadap tuduhan-tuduhan seperti itu: “Saya kira itu banyak yang disimpangkan.” Ia tidak membantah bahwa ia mendukung integrasi Timtim dengan Indonesia dan mendukung orang-orang Timtim yang berjuang untuk itu. “Saya kira waktu itu kita punya tujuan yang baik yang perlu didukung,” katanya. “Orang Portugis berada di sana selama 500 tahun, mereka meninggalkan kekacauan. Bagi kami, Fretelin adalah Marxist-Leninist, musuh ideologi. Kami harus membantu orang-orang Timtim yang pro- Indonesia dan banyak di antara mereka yang menentang pro-Indonesia.” Penduduk setempat yang pro-Jakarta membantu kesatuan-kesatuan Prabowo. Mereka tidak dibayar banyak, katanya tetapi ia melihat mereka sebagai pejuang-pejuang integrasi yang paling mengabdi. (Orang-orang Timor Timur yang pro-kemerdekaan tentu saja melihat mereka sebaliknya).
Tetapi keyakinan Prabowo terhadap integrasi tidaklah berarti bahwa ia akan melakukan apa saja untuk mencapainya. “Saya selalu menentang penganiayaan terhadap tawanan,” katanya. “Saya selalu menentang penyiksaan. Saya punya filasafat: tentara rakyat. Kami harus menjaga supaya rakyat berada di pihak kami. Bagaimana itu bisa terwujud kalau mereka dianiaya?”
Prabowo bertugas empat kali di Timtim. Ia tiba di sana untuk pergiliran dinas (tour of duty) yang pertama Maret 1976, kira-kira tiga bulan setelah wilayah itu ditinggalkan Portugal dan diserbu Indonesia. “Kami adalah semacam satuan gempur,” katanya mengenang. “Kami keluar kota Dili selama dua-tiga minggu untuk tugas patroli jarak jauh. Pada suatu kali kami dikepung ratusan gerilya, pada waktu itu kami belum punya helikopter banyak dan cuaca tidak begitu baik. Saya ingat waktu itu saya berharap: “Hei, kalau saya tertembak, mudah-mudahan di pagi hari. Sebab kalau tertembak setelah pukul dua siang, tidak ada helikopter yang bisa datang menolong.”
Di tahun 1978, ia kembali sebagai komandan Kompi 112, dengan nama sandi Nanggala 28. Prestasi pentingnya adalah penembakan Presiden Fretelin, Nicolau Labato, untuk mana Prabowo mendapat kenaikan pangkat. Lima tahun kemudian ia memimpin sebuah task force (satuan tugas) anti gerilya. Akhirnya Prabowo ditempatkan di Timtim dari tahun 1988 hingga 1989, sebagai komandan batalyon 328 lintas udara Kostrad.
Kecurigaan-kecurigaan bahwa pasukan-pasukan Indonesia melakukan kekejaman di Timor Timur sudah tersebar, dan sebuah laporan yang belum lama ini dikeluarkan Komnas HAM melibatkan beberapa perwira tinggi, termasuk mantan panglima ABRI, Jenderal Wiranto, dalam kekerasan yang meletus setelah referendum tahun lalu. Selama dua dekade menyusul invasi 1975, pihak militer menerapkan sikap keras terhadap wilayah itu. Korupsi, disiplin buruk, perlakuan kejam, tampaknya sudah merebak di kalangan perwira dan pasukan yang ditempatkan di Timor Timur.
Pertanyaannya ialah: Berapa jauh Prabowo berpartisipasi dalam semua ini? Untuk memperoleh rincian tentang apa yang dikatakan sebagai perlakuan kejamnya, Asiaweek menghubungi empat LSM terpisah yang memantau kekejaman militer. Mereka adalah: Tapol di London; Solidamor di Jakarta; Yayasan HAK, berdomisili di Dili, dan ETAN di New York. Kepada mereka dimintakan laporan saksi mata, transkrip komunikasi yang tertanggap, dokumen-dokumen yang dibocorkan atau apa saja yang memperkuat cerita-cerita tentang perlakuan tersebut.
Tidak satu pun yang dapat memberikannya. Sumber Tapol mengakui, “Saya kira kami sebenarnya tidak punya senapan berasap (bukti nyata seseorang bersalah).” Ia dan Tri Agus Siswowiharjo dari Solidamor mengatakan, kantor mereka tidak punya data pasti yang menghubungkan Prabowo dengan perlakuan-perlakukan kejam itu. Liem, sumber itu, memberi alasan karena Prabowo “tidak pernah menjadi bagian dari struktur resmi.”
Levidus Malau dari HAK mengatakan, kelompoknya memang punya beberapa data, tetapi sudah hilang dalam peristiwa penghancuran Dili tahun lalu, ETAN mengarahkan kami untuk menelepon seorang warga Timor Timur, yang pendidikan sekolahnya dibiayai Prabowo. Orang tersebut mengatakan ia tidak bisa membenarkan maupun membantah cerita-cerita itu. Direktur media itu dan outreach ETAN, John Miller, menegaskan: “Reputasi Prabowo adalah berdasarkan kenyataan.”
Apa kenyataan itu? Saya meneliti suatu insiden yang menurut laporan, Prabowo terlibat di dalamnya: pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk desa di Cracas, di Kabupaten Viqueque, tenggara kota Dili. Menurut seorang perwira Kopassus yang nieminta namanya tidak disebut, Cracas diratakan dengan tanah tanggal 3 Agustus 1983, sebagai balasan atas terbunuhnya insinyur-insinyur Indonesia oleh Fretelin di desa tersebut. Kesatuan Prabowo, yang salah seorang anggotanya adalah perwira yang tak mau disebutkan namanya tadi, baru tiba di Timor Timur tiga hari setelah peristiwa itu. Kesatuan Prabowo dikirim ke Cracas, mereka menjumpai 30 orang yang selamat yang sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak. Dikatakannya, Prabowo memberi mereka spanduk merah putih dan sepucuk surat untuk disampaikan kepada komandan wilayah. Kesatuan itu kemudian mengawal kelompok penduduk tersebut sejauh tepi sungai penyeberangan. Perwira itu mengatakan, ia tidak tahu apa yang terjadi terhadap mereka setelah itu, tetapi informasi yang diperoleh dari tempat lain mengesankan mereka dibunuh oleh kesatuan Indonesia lain.
Banyak hal yang dipercaya menyangkut Prabowo sesungguhnya tidak cocok dengan fakta. Ia telah disangkut-sangkut dengan peristiwa pembunuhan besar-besaran di pema-kaman Santa Cruz tahun 1991, tetapi ia bahkan tidak berada di Timtim pada saat itu, lagi pula waktu itu ia bertugas di Kostrad, bukan di Koppassus (kelompok pasukan khusus yang menangani soal intelijen dan kontra pemberontakan). September lalu desas-desus tersebar luas yang mengatakan bahwa Prabowo berada di Timor Barat sebagai penasihat milisi pro-Indonesia padahal ia ada di Malaysia sedang diwawancarai Asiaweek.
Kurangnya bukti yang menguatkan kejahatan yang katanya dilakukan Prabowo tentu saja berarti bahwa ia tidak melakukan perlakuan kejam di Timtim. Tidak adanya laporan dari hari ke hari yang dapat dibuktikan secara independen mengenai masing-masing pergiliran tugas (tour of duty) Prabowo, keraguan terhadap catatan mengenai dirinya yang akan tetap ada -dan demikian juga halnya mengenai perwira mana pun yang bertugas di sana. Begitulah hebatnya keburukan namanya- dan citra militer Indonesia di Timtim.
Pada waktu itu ada perang di Timtim; semua orang meninggal berlumuran darah. Tetapi Prabowo, tampaknya telah memasuki konflik yang terjadi di sana -seperti ia mela-kukan banyak hal- sebagai orang idealis. Ia mempunyai konsep-konsep tinggi mengenai perilaku perang dan integrasi yang membuatnya lain dari rekan-rekannya. Ia memerintah-kan pasukannya agar tidak menembak penduduk sipil yang tidak bersenjata sekalipun mereka berkelompok dengan Fretelin bersenjata (suatu kebijaksanaan yang dibenarkan bekas bawahannya). Ia mengatakan gara-gara pendekatannya seperti ini, ia dianggap oleh komandan-komandan lainnya sebagai pengecut. “Banyak perwira Indonesia kurang profe-sional,” katanya. “Mereka juga memiliki sikap kolonialis yang imperialistis. Mereka memperlakukan Timtim sebagai suatu daerah kekuasaan. Saya waktu itu mendesakkan: Tidak, kita harus memenangi hati dan pikiran rakyat. Kalau rakyat tidak bersama kita, kita menghadapi masalah.”
Di tahun-tahun permulaan 1990, Prabowo membujuk Jakarta agar memberikan otonomi untuk wilayah itu -sebuah fakta yang diperkuat duta besar keliling Indonesia, Francisco Lopez da Cruz dan mantan Menlu Ali Alatas, yang keduanya lama terlibat dalam kebijaksanaan mengenai Timtim. Hal itu membuat Prabowo salah seorang dari penganjur otonomi paling awal. “Dalam situasi pemberontakan, harus selalu ada solusi politik,” kata Prabowo. “Dan menurut pikiran saya, daerah otonomi khusus adalah ideal. Tetapi siapa yang mau mendengarkan seorang letnan dua, seorang letnan satu atau seorang kapten?”
Statusnya sebagai menantu Soeharto tidak ada pengaruhnya, sebab orang kuat itu kukuh mengenai soal itu. “Buat dia, integrasi sudah final,” kata Prabowo yang merasa bahwa pilihan Timtim untuk memisahkan diri dari Indonesia untuk sebagian membukti-kan kebenarannya. “Saya selalu menentang pengekalan peperangan di sana. Pada akhir-nya pendirian saya terbukti benar. Beberapa dari mereka yang berada di tingkat atas punya ide gila yang berfikir alangkah baiknya kalau kita bisa mengekalkan perang itu.”
Betapapun jeleknya, Prabowo loyal kepada suatu institusi yang menangani Timtim dengan buruk. Paling-paling ia menempatkan dirinya sejauh mungkin di atas keganasan penyalahtanganan itu dan bahkan mencoba menguranginya. Kalau begitu mengapa ia dianggap sebagai personifikasi kekejaman militer Indonesia? Jawabannya barangkali adalah karena dengan memusatkan perhatian kepadanya, jadi mengaburkan jati diri dari banyak orang yang bertanggung jawab atas pemberian perintah dan pelaku kekejaman. Begitu pula barangkali desas-desus bahwa ia berada di Timor Barat setelah pemungutan suara Agustus lalu, telah membantu mengalihkan pengamatan mengenai sifat pertalian para milisi dengan Jakarta.
Memang adalah suatu ironi bila Prabowo merupakan suatu titik tumpuan yang aneh antara mereka yang tidak menghiraukan hak asasi manusia dan mereka yang mencoba menegakkannya. Para perwira dan birokrat yang memerintahkan, melakukan atau mem-bantu kekejaman di Timor Timur boleh jadi menghendaki agar konsekuensi tindakan mereka jatuh di kepala orang lain. Bagi aktivis hak azasi dan bagi orang Timor Timur pro- kemerdekaan, cerita-cerita mengenai Prabowo yang sudah tersebar luas, memberikan gambaran yang baik dari dosa-dosa Indonesia di Timtim sehingga cerita-cerita itu lebih banyak dilihat dari segi kegunaannya daripada buktinya.
Anggota Komnas HAM Saparinah Sadli turut duduk dalam TGPF yang mengusut kerusuhan-kerusuhan Mei 1998 yang melibatkan Prabowo. Ia mengakui: “Boleh jadi kami sudah dipengaruhi secara tidak sadar. Itu mungkin terjadi.” Ia juga menyatakan bahwa tekanan-tekanan yang sama mungkin juga telah diterapkan pada penyelidikan mengenai amukan yang terjadi di Timor Timur tahun lalu. “Terus terang,” katanya, “Sekarang kami cenderung berpikir bahwa entah bagaimana, Wiranto berada di belakangnya. Apakah memang mantan panglima ABRI itu adalah penjahat yang berada di belakang tragedi Timor Timur? Itu pun mungkin harus menunggu bukti.

Naik dan Jatuhnya Seorang Idealis
Hampir 30 tahun yang lampau, ketika masih seorang taruna. Prabowo menulis kepada seorang sahabat akrabnya tentang perjuangan meraih kekuasaan. “Sebab dengan memperoleh kekuasaan,” tulisnya menjelaskan, “kita dapat berbuat baik.” Bahwa Prabowo itu ambisius, itu bukan rahasia lagi. Sebagian besar orang Indonesia percaya bahwa nafsu meraih kekuasaan inilah yang mendorongnya masuk militer, menikah dengan putri presi-den dan kemudian di bulan Mei 1998 merakit suatu komplotan untuk melawan musuh-musuhnya.
Akan tetapi, mengapa Prabowo menginginkan kekuasaan? Boleh jadi jawabannya adalah ungkapan kisahnya yang paling mengherankan. Mungkin ia adalah seorang pengatur siasat yang tidak sehebat seseorang yang menjawab pertanyaan yang diajukan semua idealis muda kepada diri sendiri: Apakah kita bekerja di dalam atau di luar sistem yang kita ingin ubah? Prabowo menentukan pilihannya dan berpegang pada keputusan itu. Hidupnya sejak itu adalah konsekuensi dari keputusan tersebut.
Kenangan diri Prabowo adalah ketika kakeknya membawanya ziarah ke makam dua orang pamannya yang gugur dalam perjuangan melawan kolonial. Ia diberi nama pamannya yang lebih tua: Subianto. “Kakek menanamkan ke dalam diri saya nilai-nilai ksatria prajurit dan patriotisme,” katanya.
Prabowo melihat nilai-nilai ini diuji ketika ayahnya seorang ekonom terhormat terpaksa keluar dari Indonesia gara-gara ulah pemerintah presiden Indonesia pertama, Soekarno. Sumitro Djojohadikusumo melarikan diri dari Indonesia pada tahun 1958, yang menjadi masa pengasingannya selama 10 tahun. Keluarga itu terus menerus berpindah-pindah yang akhirnya berakhir di Eropa. Di sanalah nasionalisme Prabowo tumbuh, sebagaimana halnya juga kekagumannya pada ide-ide Barat.
Pada tahun 1965, Indonesia melihat naiknya seorang jenderal muda bernama Soeharto menyusul kudeta komunis yang gagal, Prabowo pada waktu itu sudah diterima di sebuah perguruan tinggi Amerika, ketika ia memohon kepada ayahnya agar dibolehkan kembali ke Indonesia. “Banyak peristiwa sedang terjadi.”
Prabowo pulang ke tanah airnya tahun 1968 dan langsung menceburkan diri ke dalam situasi yang sedang bergejolak. Ketika Soeharto menggantikan Soekarno, mulailah terjadi perdebatan di kalangan mahasiswa: Apakah mereka bekerja sama dengan rezim militer yang sedang muncul ataukah tetap di luar sambil berusaha mengawasinya? Banyak di antara tokoh-tokoh politik dan bisnis yang menjadi makmur selama pemerintahan Soeharto, memilih kerja sama. Sebagian besar teman-teman memilih tinggal di luar.
Tetapi keterpesonaan Prabowo pada militer yang ditanamkan oleh kakeknya sangat mendalam dalam dirinya. “Saya katakan kepada teman-teman saya sedang memikirkan masuk jadi militer,” kata Prabowo mengenang. “Mereka menengok kepada saya: Anda serius? Saya jelaskan: Militer itu sangat penting. Seharusnya beberapa di antara kita harus berada di dalam militer. Saudara-saudara jadilah teknokrat. Pada suatu hari kita akan berjumpa dan ambil bagian dalam memodernkan negeri kita.” Beberapa teman bersikap mendukung, lainnya tidak. “Salah seorang di antara mereka berkata: Prabowo nanti Anda akan diindoktrinasi. Anda akan menjadi seorang fasis. Kata saya: Tidak, kita harus melakukan modernisasi dari dalam. Kita harus melaksanakan reformasi dari dalam.”
Pada tahun 1970, Prabowo mendaftarkan diri ke Akademi Militer. Kehidupan di sana jauh beda dari kenyamanan yang telah dikenalnya. Ia merasa bawa para seniornya berlaku lebih keras kepadanya dan anak-anak elite lainya. Ketika pangkatnya diturunkan karena pelanggaran disiplin, ibunya mengatakan kepadanya ia boleh meninggalkan akademi itu kalau mau, ia menolak. Kata saya: “Tidak, saya senang pada Angkatan Darat. Apa pun yang terjadi, saya akan tetap di Angkatan Darat.”
Keputusan itu ternyata mempunyai konsekuensi penting. Angkatan Darat memper-temukannya dengan keluarga presiden. Komandannya dalam pasukan khusus pada awal-awal 1980, adalah ipar Soeharto. Minat keluarga presiden tergugah oleh perwira muda yang berasal dari keluarga terhormat itu dan ia dijodohkan dengan putri kedua Soeharto. Siti Hediati Harijadi (Titiek). Pasangan itu menikah tanggal 8 Mei 1983.
Prabowo tak dapat mengatakan dengan tepat kapan bisik-bisik mulai terdengar setelah itu, tetapi ia tahu isinya. Bahwa ia kesayangan Soeharto. Bahwa perjalanan kariernya telah dibuat lancar melalui promosi. Bahwa ia mendapat perintah-perintah langsung dari presiden dengan melampaui lapisan-lapisan perwira yang lebih senior. Bahwa ia menikmati kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Soeharto maupun bisnis keluarganya sendiri. Prabowo berpendapat bahwa ketidaksenangan itu bukan semata-mata karena hubungannya. Melainkan karena, menantu atau bukan, ia sedang menjalan-kan suatu visi kemiliteran yang berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh pimpinan-nya. “Saya menghendaki kualitas tinggi. Saya menghendaki profesionalisme. Saya meng-hendaki disiplin,” katanya. “Tetapi banyak di antara jenderal yang masa bodoh. Mereka mengatakan saya datang dari keluarga kaya. Tetapi mereka lebih feodal.”
Sebagai pemimpin latihan Kopassus, Prabowo merasionalisasi latihan-latihan, mem-bersihkan manajemennya dan bahkan perwira­-perwiranya dilarang bermain golf, per-mainan yang digemari para jenderal. Pada tahun 1995 ia menjadi wakil komandan Kopassus, ia dinaikkan menjadi komandan tahun berikutnya. Kopassus dengan cepat mencapai reputasi sebagai salah satu cabang militer yang terlatih paling baik -dan punya dana terbaik. Prabowo mengakui bahwa ia memperoleh uang dari kontak-kontak bisnis di luar militer. “Bukan saya saja yang melakukan begitu,” katanya membantah. “Banyak perwira melakukannya. Saya terpaksa melakukan begitu. Budget kami tidak pernah cukup.”
Prabowo juga menyarankan -dengan hati-hati- agar keluarga presiden merangkul perubahan. Selama bertahun-tahun, ia mencoba memperingatkan ketidaksenangan publik yang semakin besar terhadap pemerintahan Soeharto yang otoriter dan korupsi, terutama di kalangan ipar-iparnya. Istrinya pun ikut-ikutan mengembangkan kepentingan-kepen-tingan usahanya. Kata Prabowo, ia berusaha mencegah istrinya tetapi percuma. “Lambat laun saya menjadi dongkol,” katanya. “Ia (Soeharto) terlalu percaya diri. Pada pendapat-nya tidak diperlukan perbaikan pada sistem pemerintahan.” Jadi disamping perselisihan-perselisihannya dengan jenderal-jenderal Soeharto, Prabowo juga meningkatkan ketegangannya dengan anak-anak Soeharto. Katanya: “Pada akhirnya saya sadar bahwa semua senyuman mereka hanyalah kedok semata. Mereka mengatakan sesuatu kepada saya dan melakukan yang lain di belakang saya.”
Namun Prabowo tetap loyal pada Soeharto. “Saya sudah telanjur sebagai seorang samurai,” katanya. “Seorang samurai tidak meninggalkan yang dipertuannya.” Kesetiaan Prabowo boleh jadi menjadi kunci mengapa Soeharto mentolerir dia. Selama Prabowo tetap loyal, semua tingkahnya, obsesinya, ide-idenya untuk mengadakan reformasi, kecaman-kecamannya, kedekatannya dengan lawan-lawan Orde Baru -akan dapat dijadikan aset. “Ada satu hal mengenai Pak Harto,” kata purnawirawan jenderal Hasnan Habib, “ia mengenali orang melalui intuisinya.”
Pergesekan-pergesekannya yang terus menerus dengan atasannya barangkali mem-percepat kejatuhannya. Mantan jurubicara TNI Mayjen Sudrajat teringat ketika ia bermalam-malam hingga larut berdiskusi tentang reformasi militer dengan Prabowo. “Ide-idenya sangat cemerlang,” kenang Sudrajat. “Tetapi ia terlalu kurang sabar. Ia tak mau menunggu hingga sistem itu sendirilah yang mengadakan reformasi. Ia mengadakan jalan-jalan pintas yang menyinggung perasaan atasan-atasannya.” Prabowo mengakui kesalahannya: “Waktu itu saya berpikir, hasil-hasil reformasi itu pada akhirnya akan meluas. Saya tidak banyak memikirkan bagaimana harusnya menyenangkan hati orang. Saya pikir, reputasi saya, performa saya sudah cukup.”
Prabowo dengan naifnya mengira bahwa memenangi permainan politik hanyalah soal keunggulan dirinya sendiri. Ketulus-ikhlasan yang keras kepala ini menopangnya dalam kenaikannya dan perjuangan-perjuangannya dalam lingkungan sistemnya Soeharto dan memberinya kharisma. Tetapi itu jugalah yang membuatnya mudah dimanipulasi dan berkhayal. Pada akhirnya, ia yakin bahwa Orde Baru yang otoriter itu perlu dipertahan-kan. Barangkali pada waktu itu ia tidak punya pilihan lain lagi. Sebagai jenderal dan menantunya Soeharto, ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Orde Baru itu. Sang idealis yang berencana mencapai puncak telah terperosok terlalu dalam.
“Saya tetap berharap agar Soeharto boleh jadi pada akhirnya akan mengadakan reformasi atau menyerahkan kendali kepada seseorang yang mau melakukannya,” katanya. Itulah senantiasa harapan saya: reformasi dari dalam, reformasi dari atas. Tetapi ketika sistemnya menjadi begitu tersumbat, itu tidak dapat dilakukan. Mungkin itulah salah satu dari antara kegagalan-kegagalan saya –yang pada waktu itu tidak dapat saya lihat.” (Asiaweek)

Penutup
Demikianlah, sudah kita baca keseluruhan isi Buku Putih Prabowo. Gagasan yang melontarkan ditulisnya Buku Putih adalah datang dari ayahandanya sendiri Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Prabowo nampaknya tidak mau terus jadi kambing hitam dan “bumper” orang-orang yang ingin cuci tangan atas peristiwa itu.
Untuk meluruskan informasi tentang dirinya dan juga untuk kebenaran sejarahlah maka Prabowo menulis Buku Putih.
Sahabat dekatnya Fadli Zon, Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies (IPS) pernah mengatakan; “Saya yakin Prabowo tidak terlibat kerusuhan itu. Dia hanya dijadi-kan “keranjang sampah” bagi kesalahan TNI baik secara institusi maupun oknumnya. Kerusuhan itu mutlak tanggung jawab Wiranto sebagai panglima,” kata Fadli Zon.
Fadli juga mengusulkan lebih baik bukan hanya Prabowo yang mengeluarkan Buku Putih tapi banyak orang sehingga kita bisa menguji data itu untuk meluruskan sejarah yang mengawali tumbangnya rezim Orde Baru.
Dan, memang, marilah kita nantikan!

Fadli Zon, Penjaga Gawang Prabowo
Kerusuhan 12‑14 Mei 1998, menurut Fadli Zon yang Direktur Eksekutif IPS (Institute for Policy Studies), Prabowo tidak bersalah. Alasannya, Pangkostrad itu tidak memiliki wewenang komando. Sebagai Pangkostrad, kalau diperlukan dia harus menyerahkan pasukan cadangan pada Kodam Jaya, atau menyerahkan kepada Kepolisian. Jadi yang punya garis komando Pangdam dan Polda. Yang teratas tentunya Panglima ABRI. Sementara Kasad, Kopassus, Komandan Marinir, Kostrad tidak bisa memberi komando secara langsung.
Dalam sebuah keterangan pers-nya Fadli Zon mengatakan, Kostrad bila diperlukan bantuannya harus melalui Kodam. Sedangkan waktu kejadian itu, menurutnya yang mengendalikan adalah kepolisian. Menurut Fadli, ada hal yang menarik di sini. Kenapa justeru pada saat itu kepolisian menarik seratus kompi pasukannya. Padahal keberadaan mereka saat itu sangat diperlukan mengamankan instalasi vital dan lain sebagainya. “Nah, hal seperti inilah yang menurut saya perlu dijernihkan oleh Kapolda Hamami Nata. Termasuk kenapa pada tanggal 14 Mei Wiranto justeru ngotot membawa para jenderal ke Malang.
Dalam penuturannya, Fadli mengatakan semua orang tahu pada tanggal 12 Mei ada penembakan mahasiswa di Kampus Trisakti. Tanggal 12 malam orang-orang sudah mulai marah. Kemudian tanggal 13 ada upacara pemakaman yang disusul kerusuhan dan bakar-bakaran di sekitar Kampus Trisakti Grogol.
Dari rangkaian peristiwa itu semua orang bisa memperkirakan tanggal 14 Mei akan terjadi puncak kerusuhan. Padahal di Malang hanya mengikuti upacara seremonial peresmian Pasukan Pemukul Reaksi Cepat pemindahan dari Divisi I Kostrad di Jakarta ke Divisi II Kostrad di Malang.
Masih menurut Fadli, Prabowo sempat delapan kali menelpon Wiranto agar acara itu ditunda saja. Apalagi itu acara di bawah Kostrad. Tapi Wiranto mengatakan harus jalan terus. Yang pergi ke Malang selain Panglima TNI ialah Kasad, Pangkostrad, Danjen Kopassus, dsb.
“Jadi saat itu, Jakarta sempat kosong. Semua itu sampai sekarang tidak ada kejelasannya. TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) pun tak pernah mempersoalkan hal itu, sehingga terkesan TGPF cenderung memojokkan dan mencari-cari kesalahan Prabowo. Apalagi dengan kesimpulan 14 Mei yang sebenarnya pertemuan itu tidak ada apa-apanya,” ujar Fadli Zon.
Menyinggung Buku Putih Prabowo, menurut Fadli Zon agar semuanya bisa menjadi lebih jelas. Selama ini semua orang sudah terlanjur menyalahkan Prabowo. Dia telah diperlakukan seperti keranjang sampah bagi kesalahan-kesalahan TNI, baik institusional ataupun oknum-oknumnya, karena dia memang target yang mudah dijadikan kambing hitam. Itulah sebabnya perlu diluruskan. Sebab kalau kita tidak berani, saya kira bangsa ini tidak akan pernah maju.
Lebih jauh Fadli Zon, dalam membela nama baik rekannya itu, Prabowo menurutnya clear seratus persen. Ia menyebutkan tuduhan terhadap Prabowo selama ini sebagai pembunuhan karakter. Semua kesalahan-kesalahan seolah-olah ditimpakan hanya kepada Prabowo seorang. Fadli mengatakan, ia termasuk salah seorang dari sedikit orang yang mengatakan tuduhan terhadap Prabowo itu tidak benar. Ia menganggap dirinya melawan arus besar.

Prabowo Ingin Berperan Kembali
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Mulyana W. Kusumah kepada pers mengatakan, bahwa secara diam-diam mantan Pangkostrad Prabowo Subianto telah membangun komunikasi politik dengan sejumlah elite politik terkemuka di Tanah Air. Termasuk dengan Ketua MPR Amien Rais dan Presiden Abdurrahman Wahid.
Memang, kata Mulyana, tidak ada jaminan kontak Prabowo dengan tokoh-tokoh penting itu akan meredam masyarakat. Tuntutan masyarakat berkaitan dengan kasus penculikan dan kerusuhan Mei yang disebut-sebut melibatkan Prabowo, menurut Mulyana bakal terus bergulir. Masyarakat, kata Mulyana, masih menempatkan Prabowo dalam daftar pejabat yang harus diperiksa sehubungan kasus tersebut. Tapi, pertemuan-nya dengan Amien Rais dan Gus Dur paling tidak bisa membentengi dirinya dari serangan publik. Apalagi pertemuan itu sudah berlangsung tiga kali. Dampak politik dari relasi tingkat "atas" itu sudah makin menguat.
Dalam analisis Mulyana, pertemuan tersebut selain untuk menunjukkan kepedulian Prabowo terhadap situasi dan kondisi politik di Tanah Air, juga guna memuluskan keinginannya berperan kembali dalam kancah politik.
Menurut Mulyana, pertemuan itu sebagai gambaran bahwa hubungan komunikasi politik antara Prabowo dan elit politik nasional ternyata terus berjalan dengan baik. Fakta ini sekaligus mengoreksi citra Prabowo yang seolah-olah akan terkubur setelah disisihkan oleh pemerintah mantan presiden Habibie.
Dari sudut pandangan politik, Mulyana beranggapan pertemuan itu sedikitnya telah menunjukkan bahwa ada usaha dari Prabowo untuk memperbaiki citra dirinya di mata masyarakat Indonesia.
Menurutnya, bagaimanapun Prabowo merupakan representasi dari kekuatan politik mantan presiden Soeharto. Dengan pertemuan itu, ia punya kepentingan agar diterima kembali di masyarakat Indonesia. Terlepas dari keterkaitannya dengan mantan penguasa Orde Baru itu.
Namun begitu, menurut Mulyana, perjalanan Prabowo belum tentu semulus yang dibayangkan. Karena masyarakat masih belum tentu menerimanya kembali, bila dikaitkan dengan berbagai kasus yang dituduhkan kepadanya. Setidaknya, Prabowo memang masih dibutuhkan untuk dimintai keterangan tentang kasus-kasus penculikan, kata Mulyana.

Sumber:
“Buku Putih” Prabowo [Kesaksian Tragedi Mei 1998]
Penerbit Majalah Berita Populer “TOTALITAS”, Cipayung, Ciputat, Tangerang.Dikutip dari Majalah Asiaweek edisi 3 Maret 2000.