Wednesday, August 27, 2008

Marhaban Ya Ramadhan

Wahai para mukmin, telah ditetapkan kepada kalian semua untuk berpuasa sebagaimana halnya pernah ditetapkan dan pernah dilakukan oleh orang-orang beriman generasi sebelum kalian agar kalian semua mampu meraih kenyataan hidup takwa, yaitu suatu kesuksesan hidup merunduk patuh berdasarkan ajaran Allah satu-satunya teori hidup paling tahan uji dan paling perkasa tiada tara.

Sunday, August 17, 2008

Arti Proklamator


Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Pernyataan merdeka diproklamasikan oleh Soekarno pukul 10 pagi di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) 56, Jakarta. Naskah proklamasi ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta "atas nama bangsa Indonesia".
Karena menandatangani naskah proklamasi itu, Soekarno dan Hatta disebut "Proklamator Kemerdekaan Indonesia".
Berkaitan dengan proklamator, bolehlah ditanyakan, kapan istilah itu digunakan untuk menyebut kedua pahlawan tersebut. Lalu, apa arti kata itu?
Untuk pertanyaan kedua ini ada jawaban pasti. 'Orang yang memproklamasikan' kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sampai edisi III tak ada perubahan arti untuk lema itu. Kamus lain, seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu–Zen) atau Kamus Umum Bahasa Indonesia (Yandianto), juga memaktubkan ungkapan yang sama.
Kamus Kata Serapan (Surawan Martinus) dan Kamus Kata Serapan Asing (JS Badudu) menyebut kata itu berasal dari bahasa asing. Martinus menulis proklamator berasal dari bahasa Inggris proclamator dengan kata dasar proclaim ditambah dengan –ator yang berarti orang atau pelaku.
Yang aneh, kamus-kamus bahasa Inggris yang disusun oleh penutur aslinya tidak memasukkan kata proclamator. Oxford Advanced Learners’s Dictionary (2000), Concise Oxford Dictionary (1954), dan Chamber’s Children Illustrated (1977) tidak memuat kata itu.
Kamus Inggris–Indonesia yang dibuat di sini juga tidak memunculkan proclamator. Contemporary English Indonesia Dictionary (Peter Salim, 1987) tidak mencantumkan kata itu. Di situ hanya ada proclamatory. Kamus Inggris-Indonesia (John M Echols dan Hassan Shadily, 1995) juga tak mengandung proclamator. Yang mengherankan, The Contemporary Indonesia–English Dictionary (juga oleh Peter Salim, 1997) menerjemahkan proklamator dengan proclamator.
Apa mungkin dari bahasa Belanda? Kamus Indonesia, Indonesisch–Nederlands, Nederlands–Indonesisch (ALN Kramer Sr, 1951) hanya mencantumkan proklamasi (proclamatie) dan proklamir, memproklamirkan (proclameren) atau sebaliknya.
Barangkali dari bahasa Latin? Kamus Latin–Indonesia (K Prent cm, J Adisubrata, WJS Purwadarminta, 1969) ternyata memuat kata yang mirip. Pada halaman 682 ada proclamator. Namun, kok artinya lain sekali: 'tukang teriak (dikatakan soal pengacara yang kurang baik)'. Wah!
Sebenarnya apa sih arti -or yang membentuk proklamator? Dalam bahasa Latin, akhiran –or menunjuk pada pelaku laki-laki dari sebuah kata benda, kata H Witdarmono, penyusun Proverbia Latina. Ia menunjuk kata regio (wilayah) yang, setelah ditambah –or, menjadi rector (rektor) yang berarti penguasa wilayah. Harimurti Kridalaksana (Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonsia, 2007) menyebut –or sebagai salah satu cara membentuk kata dalam bahasa Indonesia, seperti muncul dalam deklamator, koruptor, dan agresor. Ia tidak menyebut proklamator.
Tampaknya kita perlu memahami proklamator sebagai kata bentukan asli Indonesia, yang mungkin "menyimpang" dari kaidah yang biasa. Ia hanya ada dan dimengerti di Indonesia. Seperti juga cara kita merdeka, kata ini pun unik.

TD Asmadi, Wartawan, Tinggal di Jakarta
KOMPAS, 24 Agustus 2007

Saturday, August 16, 2008

Kenangan Tentang Sebuah Negara Bernama INDONESIA


Andaikan pendapat Prof Dr Franz Magnis Suseno menjadi kenyataan, alangkah malangnya nasib bangsa ini. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI Depok. Sabtu pekan lalu, Magnis mengatakan, Indonesia akan tinggal kenangan jika dalam sepuluh tahun ke depan para pemimpin tidak dapat menyadari pluralitas bangsa
(Kompas,27/2).

Pendapat Magnis kiranya berangkat dari kenyataan bahwa konflik dan kerusuhan antarsuku, agama, ras, dan golongan di Indonesia terasa tidak makin menyurut, tetapi justru sebaliknya meningkat. Konflik antara suku Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, yang kini masih membara merupakan salah satu contohnya. Sulit memungkiri kenyataan bahwa berbagai konflik dan kerusuhan sosial kini menjadi semacam kecenderungan baru di dalam masyarakat kita.

Apakah itu berarti bahwa mimpi buruk seperti yang diramalkan oleh Prof Samuel P Hutington tentang the clash of civilizations menjadi kenyataan? Dalam artikelnya di Foreign Affairs (1993) yang berjudul the clash of civilizations (dibukukan dengan judul yang sama) Huntington berpendapat, perang masa depan tidak lagi perang antara negara-negara nasional atau perang antara kekuatan-kekuatan modal, tetapi perang antar kultur, antar peradaban. Maklum, dengan globalisasi, batas negara nasional dan batas kekuatan modal akan kabur dengan sendirinya. Yang masih ada hanyalah batas kultural. Perbedaan peradaban inilah yang akan menjadi medan laga bagi peperangan di masa depan (masa kini).

Bahkan Huntington berpendapat, bentrok peradaban ini merupakan ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia. Akan tetapi sebaliknya, tatanan internasional berdasarkan peradaban merupakan jaminan yang sangat meyakinkan untuk melawan perang dunia.

Ada enam alasan mengapa terjadi benturan antarperadaban. Pertama, perbedaan antarperadaban tidak hanya nyata tetapi juga mendasar. Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antar orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari indentifikasi lokal mereka yang sudah berakar dalam, selain memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi, Barat berada di puncak kekuatan dan di sisi lain kembalinya ke fenomena asal. Kelima karasteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat.

Apakah pendapat Huntington itu benar atau tidak, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah atau tidak, yang jelas pendapat tersebut hingga sekarang masih tetap dibicarakan banyak orang. Bukan hanya dibicarakan, melainkan juga dipakai sebagai acuan untuk membedah sebuah konflik dan kerusuhan sosial. Ketika saat ini pecah konflik di Sampit pun, pendapat Huntington itupun kembali dibongkar-bongkar (paling tidak dalam tulisan pendek ini, oleh karena ada yang berpendapat salah satu akar konflik di Sampit adalah adanya perbedaan kultur yang begitu tajam antara etnis Madura dan Dayak).

Contoh kasus
Ramalan Huntington, kalau boleh dibilang begitu, sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi dikawasan Balkan, di Yugoslavia, pasca pemerintahan Josip Broz Tito: keragaman yang di satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikat lengser.

Tiga hari sebelum hari ulang tahunya yang ke-88, Josip Broz Tito meninggal. Hari itu tanggal 4 Mei 1980. Tidak ada yang menyadari, hari itu adalah awal “meninggalnya” sebuah negara yang disebut Republik Federal Sosialis Yugoslavia.

Yugoslavia adalah sebuah negara yang terdiri dari delapan unit federal: enam republik (Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Serbia, dan Slovenia) dan dua provinsi Serbia (Kosovo dan Vojvodina).

Ada bom waktu yang ditinggalkan Tito. Yakni masalah perbedaan etnis. Selama Tito berkuasa, masalah itu tidak pernah diselesaikan bahkan seolah hanya disimpan di lemari es. Dengan pemerintahan tangan besi, Tito memaksakan persatuan hidup di Yugoslavia.

Berbagai cara dilakukan Tito untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan Yugoslavia. Menurut Niccolo Machiavelli, penguasa yang tangguh tidak pernah membiarkan bibit-bibit ancaman tumbuh. Namun, bila hal itu sempat muncul bahkan menimbulkan kerusuhan, haruslah segera diatasi sebelum menjalar dan menjadi besar. Jangan pula ragu menggunakan kekuatan senjata, sebab perang yang ditunda hanya menguntungkan pihak lain (Niccolo Machiavelli, Politik Kekuasaan)

Prinsip itu pula yang kurang lebih ditempuh Tito. Ia yang etnis Kroasia, menyingkirkan seluruh pemimpin Serbia yang ambisius, dan menggantikannya dengan sosok yang lebih setia kepadanya.

Setelah Tito meninggal, Yugoslvia ibarat sapu lidi yang ikatannya putus, lidinya tercerai berai. Sebab utamanya adalah begitu kuatnya ego para elite politiknya, begitu kuatnya ego etnis-etnis tertentu, dan kelompok-kelompok tertentu untuk berjuang dan mementingkan diri sendiri atau etnis atau kelompoknya.

Yugoslavia hancur karena persatuan yang pernah terjadi hanyalah semu, bersatu karena genggaman tangan besi. Kisah yang sama terjadi pula di Uni Soviet. Kebangkrutan komunisme disusul oleh pernyataan kemerdekaan 15 republik yang sebelumnya bergabung membentuk Uni Soviet. Belakangan 11 Republik membentuk persemakmuran negara-negara merdeka (CIS). Akan tetapi, perikatan mereka sudah longgar tidak seperti dulu lagi.

Negeri itu, Yugoslavia, hancur karena persatuan yang pernah tercipta semu, dipaksakan, dan dikembangkan secara tidak adil. Serbia, misalnya, ketika itu mengeluhkan pembangunan republik mereka yang ketinggalan, ketimbang Kroasia dan Slovenia. Berkembangnya ketikapuasan ekonomi ini akhirnya mendorong isu Kosovo muncul.

Etnis Albania di Provinsi Kosovo menuntut otonomi yang lebih besar dengan status republik penuh serta kedaulatan tersendiri. Ujungnya adalah Yugoslavia tercerai berai. Itulah cerita kelabu Yugoslavia.

Sebuah Indonesia
Apakah Indonesia juga akan bernasib malang seperti Yugoslavia? Itu sebuah pertanyaan besar yang saat ini terus bergema di mana-mana, di setiap sudut pelosok negeri ini. Tentu, semua ini berdasarkan kenyataan di lapangan yang carut-marut dan porak-poranda akibat berbagai ragam konflik, akibat kuatnya tuntutan kemerdekaan dari sejumlah wilayah.

Akan tetapi, mereka yang berpendapat optimis akan mengatakan nasib Indonesia tidak akan seburuk Yugoslavia. Sebab , bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang agamis, penuh pengertian dan tenggang rasa, berbudaya tinggi. Akan tetapi yang berpendapat pesimistis akan dengan mudah mematahkan argumentasi itu dengan mengatakan, bukankah di sini agama justru sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan.

Kenyataan di lapangan, memang cenderung mempertanyakan di manakah sebenarnya agama berada atau barangkali apa sesungguhnya peran agama? Semua orang tahu bahwa agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Persoalannya adalah manusia menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.

Padahal, agama baru menjadi kongkrit sejauh dihayati oleh pemeluknya. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana agama bisa menjadi dasar suatu etika untuk mengatasi kekerasan?

Sebelum pertanyaan itu terjawab, temuan atau kenyataan di lapangan juga membenarkan ramalan Huntington. Boleh dikatakan, Indonesia kini sedang menghadapi sebuah perubahan yang mahadahsyat. Perubahan itu begitu dahsyat oleh karena menyangkut “krisis nilai” Hal itu ditunjukkan dengan adanya konflik etnis dan agama. Konflik etnis di Sampit, merupakan salah satu contohnya yang paling baru.

Konflik itu terlihat begitu sulit diatasi oleh karena mengandung berbagai faktor. Misalnya, ekonomi, kebijakan politik regional, dan sentimen-sentimen atas posisi jabatan. Yang lebih rumit lagi, ada kecenderungan konflik itu dibungkus dengan sebuah ilusi, sebuah impian untuk membentuk kelompok eksklusif.

Eksklusivitas biasanya berdalih melindungi diri dari kontaminasi dan menjaga kemurnian kelompok. Sesuatu yang berbeda atau baru tidak diterima bila tidak sesuai dengan tipe-tipe yang dimiliki. Kecenderungan semacam itulah yang kini terjadi.

Dengan kata lain, barangkali dapat dikatakan apa yang terjadi sekarang ini adalah sebuah pergeseran atau ayunan dari nasionalisme ke arah sukuisme. Apabila hal itu benar, maka babak selanjutnya akan jauh mengerikan. Mengapa? Sebab, bukan mustahil yang muncul dalam babak selanjutnya adalah munculnya negara-negara baru dengan ideologi kesukuan disertai dengan sentimen baru.

Sentimen baru itu adalah sentimen primitif yang sengaja dilahirkan untuk menunjukkan ke-aku-an suku (kelompok). Tujuannya adalah untuk membedakan dengan suku dan kelompok lain. Semua itu dibangun dengan identitas-identitas lokal yang primordial sehingga melahirkan kerusuhan dan kekerasan antar etnis. Itulah yang kini tengah dialami, dirasakan Indonesia, sebuah negara yang sangat kaya akan suku, bahasa, etnis, dan agama. Bila, kerusuhan dan konflik antar etnis, misalnya, dibiarkan atau salah penanganannya bukan mustahil sejarah bangsa ini akan memasuki zaman kesukuan baru. Yakni, sebuah zaman yang penuh intrik antar-Identitas dan meruntuhkan republik kesatuan RI.

Dan, Indonesia pun akan tinggal kenangan. Tragis! Tetapi, ini sebuah kekonyolan karena kita tidak mau belajar dari apa yang telah dialami Yugoslavia dan Uni Soviet, misalnya. Sekali pecah, itu berarti selamanya pecah. Apakah hal itu yang dikehendaki?

Tuesday, August 12, 2008

Kapan MERDEKA ???


Di tengah beragamnya pemaknaan orang atas kata ”merdeka”, ternyata cukup banyak juga warga yang masih merasa belum merdeka. Mereka juga merasa, bangsa Indonesia masih terjajah oleh tekanan bangsa lain.
Demikian kesimpulan yang dihasilkan jajak pendapat menyambut hari jadi ke-63 Indonesia terhadap 863 pemilik telepon di sepuluh kota di Indonesia.
Sebanyak 32,4 persen responden menyatakan, mereka belum merasa merdeka. Enam dari setiap sepuluh (60,1 persen) responden juga menyatakan, saat ini Indonesia belum merdeka dari tekanan bangsa lain.
Jika pada periode awal kemerdekaan orang memaknai kemerdekaan sebagai kemenangan persatuan bangsa dan terbebasnya Indonesia dari dominasi dan eksploitasi bangsa asing, saat ini publik disodorkan dialektika soal kemerdekaan dari dominasi dan eksploitasi model baru. Dalam konteks perkembangan global, kemandirian Indonesia sebagai bangsa kembali digugat.
Arus globalisasi yang menjadi tren abad ke-20, oleh sebagian orang, dimaknai sebagai bentuk penjajahan jenis baru yang tak kalah garangnya. Tujuannya tetap sama, yakni eksploitasi. Lebih jauh, dampak yang dikhawatirkan pun sama, yakni kemelaratan.

Kolonialisme baru
Arus modal asing yang masuk berbanding lurus dengan eksploitasi sumber daya yang lebih banyak dinikmati negara-negara lain. Sebagian warga menilai inilah jenis kolonialisme baru yang menjadi ancaman bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Dahnan (54), responden asal Medan, misalnya, mengkhawatirkan globalisasi sebagai ancaman baru. Ia menyatakan bahwa arus globalisasi yang mengikis batas antarbangsa dan mengusung semangat liberalisasi secara membabi buta bisa menjadi ancaman besar bagi kemajuan Indonesia.
Globalisasi yang lebih banyak dibungkus dalam kesepakatan kerja sama ekonomi dinilai dapat memperburuk kondisi negara-negara berkembang yang rapuh secara ekonomi.
Kerja sama ekonomi antara negara berkembang dan negara maju tak jarang menjerat negara yang lebih lemah dalam kesepakatan-kesepakatan yang kian memperparah kondisi ekonomi mereka.
Apa respons warga atas kondisi perekonomian bangsa Indonesia saat ini? Sebanyak 65 persen responden mengaku malu dan kecewa atas kondisi perekonomian saat ini dan hanya 5 persen mengaku bangga dengan kondisi perekonomian sekarang.
Sebagian warga memaknai secara sederhana arah perkembangan bangsa Indonesia setelah 63 tahun kemerdekaannya. Kemajuan atau perbaikan kualitas hidup adalah indikasi yang lebih sering digunakan sebagai ukuran mereka.
Sebut saja Habil (74), responden asal Makassar, yang menjadi saksi hidup atas proses tumbuhnya negara ini. Ia mengungkapkan bahwa secara fisik memang banyak hal yang berubah lebih baik.
”Saya, pada tahun 1945, ke mana-mana cuma bisa jalan kaki, sekarang transportasi bagus, tapi mahal. Pendidikan maju, tapi banyak yang enggak mampu bayar. Sistem pemerintahan pun jauh lebih baik, dari sentralistik jadi desentralisasi, tapi justru memperkuat lagi semangat kedaerahan,” kata Habil.
Lelaki pensiunan guru itu mengilustrasikan betapa kemajuan Indonesia di satu sisi tampak nyata, tetapi di sisi lain ternyata bersifat semu.
Menurut dia, banyak yang secara fisik sepertinya berubah, tapi secara maknawi tidak berubah. Kemajuan yang baik menjadi percuma jika tidak dapat diakses secara merata.
”Merdeka soal apa dulu, Mas. Dulu, di tahun ’60-an, ibu saya ngantre minyak tanah dan susah nyari beras. Kemarin-kemarin ini tetangga saya masih banyak yang ngantre minyak tanah dan susah beli beras karena mahal. Belum lagi minyak goreng langka, biaya pendidikan mahal, harga BBM melambung. Lah, apanya yang merdeka kalo kita tambah susah?” demikian kata Anin (47), responden dari Jakarta.
Begitulah suara-suara rakyat yang menjadi entitas riil dalam konsep negara bangsa ini, berkutat pada pertanyaan soal kondisi bangsa yang sudah merdeka, tapi di banyak hal belum merdeka.

Bangga atau malu?
Menghadapi berbagai tekanan dari luar, tampaknya Indonesia harus menghitung ulang kekuatannya. Padahal, sejumlah modal bangsa terasa kedodoran saat ini.
Kebanyakan responden menilai kian lemahnya tenggang rasa dan solidaritas sosial, toleransi terhadap perbedaan suku dan agama, toleransi terhadap perbedaan pendapat, dan lemahnya rasa keadilan.
Selain itu, mereka juga merasakan lemahnya kerelaan warga negara Indonesia berkorban untuk bangsanya serta menipisnya penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Citra Indonesia juga diperlemah oleh aneka kasus korupsi yang terjadi di dalam negeri. Stigma sebagai negara korup tidak hanya diutarakan oleh pihak asing, warga bangsa ini juga menyadari bahwa hal paling buruk yang membuat malu adalah lekatnya korupsi dengan budaya elite.
Korupsi dirasa semakin parah dilakukan oleh elite-elite yang berada di pusaran kebijakan. Terbongkarnya sejumlah kasus korupsi menggiring kekecewaan publik terhadap situasi bangsa ini.
Kasus terakhir adalah terkuaknya dugaan korupsi yang secara massal dilakukan oleh anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, yang disebut oleh Hamka Yandhu menerima dana aliran dana Bank Indonesia. Ini menggenapi ilustrasi yang menggiring persepsi publik atas citra elite pemimpin bangsa ke titik terendah. ”Korupsi makin menggila, pemerintah pun tidak tegas. Kayaknya banyak intervensi atas penyelesaian korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat negara,” kata Ifan (30), responden asal Jakarta.
Ifan mewakili hampir separuh responden (48 persen) yang menyatakan korupsi sebagai hal yang paling membuat malu sebagai orang Indonesia. Inilah yang memurukkan rasa bangga publik terhadap sistem yang berjalan di negeri ini.
Hanya 5,7 persen dari 863 responden dalam jajak pendapat ini yang merasa bangga dengan lembaga tempat wakil-wakil mereka duduk di Senayan. Sementara 30,6 persen bersikap apatis dan 49,9 persen mengaku kecewa atas lembaga legislatif. Bahkan, 13,1 persen sisanya menyebutkan malu dengan lembaga perwakilan rakyat yang ada.
Demikian juga terhadap tokoh-tokoh pemimpin nasional saat ini. Hanya 18,2 persen responden yang mengaku bangga terhadap para pemimpin bangsa ini. Sementara 36 persen merasa kecewa dan malu dengan para pemimpin nasional itu. Sisanya (44,1 persen) bersikap apatis.
Publik pun ragu menakar kemampuan para pemimpin saat ini.
Lebih dari separuh responden (51,3 persen) menaruh harapan bahwa para pemimpin ini akan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik, sedangkan yang lainnya (43,4 persen) meragukan kemampuan para pemimpin bangsa saat ini. Jika demikian, ke arah mana bangsa ini hendak di bawa dan oleh siapa, mungkin baru bisa dilihat setelah pemilu mendatang.

Sumber: KOMPAS, 11 Agustus 2008

Monday, August 4, 2008

Pola Berpikir Harus Diubah

Bangsa Indonesia harus segera mengubah pola berpikirnya dari yang sibuk memikirkan diri sendiri, saling menghancurkan, dan cepat puas dengan apa yang dimiliki menjadi pola pikir yang berusaha untuk meningkatkan produktivitas demi meningkatkan daya saing dalam percaturan global.

"Pemerintah dan sektor swasta saat ini sibuk dengan berbagai persoalan kompleks yang melilit perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan juga kelihatan sibuk memperebutkan kue ekonomi yang ada, bukannya berusaha memperbesar kue tersebut dengan meningkatkan daya saingnya," ujar Profesor Michael E Porter dari Harvard Business School kepada Kompas seusai seminar bertema "How to Make Indonesia More Competitive", Rabu. (29/11) di Jakarta.
Seminar itu diselenggarakan Program Magister Manajemen Universitas Indonesia dan Kadin Pasar Modal. Porter tercatat sebagai guru besar yang dijuluki The Most Influential Business Thinker dan menjadi penasihat ekonomi negara-negara berkembang yang terbukti meningkatkan daya saingnya. Konsepnya, kluster dan daya saing, dipakai Pemerintah Singapura, Malaysia, Vietnam, China, Brasil, Kosta Rika, dan sebagainya.
Porter mengatakan, semua persoalan di Indonesia sebenarnya sudah sangat dipahami pemerintah dan sektor swasta. Sayangnya, upaya yang dilakukan tidak menghasilkan perubahan signifikan. Masih terjadi inefisiensi di berbagai bidang yang disebabkan antara lain aturan yang terlalu banyak dan panjang, kurangnya tenaga ahli, dan ketidakcukupan infrastruktur.
Akibatnya, menurut Porter, sejak krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan, daya saing tidak cukup baik, investasi asing langsung tidak mengalami pertumbuhan berarti, dan pertumbuhan ekspor juga tidak menggembirakan.
"Padahal, seluruh dunia sedang bergerak sangat cepat. Maka sebenarnya inilah momentum tepat bagi Indonesia untuk berubah, tumbuh lebih signifikan dengan peningkatan daya saing," ujar Porter.
Perubahan yang dilakukan harus terintegrasi. Di satu sisi, sektor swasta harus mengembangkan bisnisnya dengan pola berpikir untuk menjadi yang terbaik. Selain itu, produknya harus punya keunikan. "Jangan bersaing pada dimensi yang sama. Itu strategi yang salah," kata Porter.
Di sisi lain, pemerintah harus menjadi katalisator bagi perkembangan sektor swasta. Pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi dan kebijakan.
Asosiasi atau kamar dagang juga harus berubah peran dari lembaga lobi pencari proteksi menjadi lembaga kerja sama yang mempromosikan persaingan sehat, menyatukan industri pemberi akses terhadap pengetahuan dan riset.
Sebenarnya, menurut Porter, Indonesia memiliki kelebihan dalam hal sumber daya alam yang melimpah. Indonesia saat ini juga mempunyai pemimpin yang baik dan memiliki banyak pemikir cerdas. "Lalu kenapa Indonesia masih tetap stagnan? Saya pikir penyebabnya sebagian adalah masalah mentalitas dan perilaku. Selain itu, tidak adanya kolaborasi dan tidak adanya rasa untuk membangun win-win opportunity sehingga setiap pihak bisa merasa mereka adalah bagian dari tim," ujarnya.
Berdasarkan Global Competitiveness Report 2006-2007 yang memeringkatkan 121 negara, secara keseluruhan Indonesia berada di posisi ke-35. Jika memasukkan parameter produk domestik bruto per kapita, Indonesia berada di peringkat ke-83.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah tidak menyangkal berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi saat ini. "Terus terang saya tidak ingin Indonesia menjadi negara yang gagal," ujarnya.
Dia menambahkan, sudah saatnya semua pihak bertindak dan tidak lagi hanya berbicara. Tidak lagi sibuk membicarakan keburukan satu sama lain, melainkan harus saling mendukung. Upaya untuk menjadi kompetitif harus didukung dan dikerjakan semua pihak.

Sulit berkembang
Dalam seminar lain bertajuk "Gerakan Peningkatan Produktivitas Nasional", Wakil Ketua Umum Kadin Anthon Riyanto menilai rendahnya implementasi kebijakan infrastruktur, pelayanan publik, penegakan hukum, perpajakan, dan perburuhan menyebabkan dunia usaha sulit berkembang. Dunia usaha membutuhkan seluruh kebijakan tersebut untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri.
Menurut Anthon, beban biaya produksi terus bertambah karena pengusaha harus menanggung setiap kenaikan ongkos yang muncul akibat kelambanan pemerintah merealisasikan kebijakannya.
Kondisi buruk infrastruktur, misalnya, menyebabkan ongkos transportasi mahal. Ekonomi biaya tinggi akibat lemahnya penegakan hukum dan birokrasi masih menjadi momok bagi pengusaha. Aparat pemerintahan dan penegak hukum masih belum optimal berperan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Berbagai upaya reformasi birokrasi yang gencar dilaksanakan pemerintah selama ini pun belum banyak berkontribusi pada iklim investasi. Penyebabnya, laju reformasi yang dijalankan pemerintah tetap belum mampu mengejar kecepatan proses reformasi yang sudah berjalan di negara lain.
Anthon mencontohkan pertumbuhan bisnis di Vietnam, yang tahun 2003 relatif masih di belakang Indonesia, kini sudah mulai menyusul. Bahkan, pada beberapa sektor industri, seperti sepatu dan tekstil, Vietnam sudah menjadi salah satu negara tujuan investasi dunia di Asia Tenggara.
"Jadi, jangan lagi membandingkan Indonesia dengan China karena dengan Vietnam saja kita sudah mulai kehabisan napas. Harus ada gebrakan dari pemerintah agar berbagai persoalan penghambat produktivitas nasional dapat segera diatasi," katanya.
Berbagai reformasi aturan hukum yang dijalankan, misalnya amandemen undang-undang tentang investasi, perpajakan, serta bea dan cukai, juga tertahan akibat tarik-menarik kepentingan dan mengendap di parlemen.
Sumber: KOMPAS, 30 November 2006