Friday, October 31, 2008

Black Friday, Resesi, dan Kapitalisme


Gonjang-ganjing pasar keuangan dunia memasuki babak baru sejak penutupan pasar Wall Street Jumat lalu. Indeks Dow Jones terus menurun. Harga minyak dunia juga turun meskipun OPEC memangkas produksinya sebanyak 1,5 juta barel per hari dan seluruh mata uang utama dunia turun, kecuali USD dan yen.

Penutupan indeks Dow Jones di level 8.378 bukan hanya merupakan angka terendah selama 5,5 tahun. Tetapi, secara resmi, indeks tersebut sudah memasuki secular bear market, yakni indeks terkoreksi lebih dari 40 persen dari puncaknya, 14.450 poin, pada November 2007.

Berdasar sejarah pasar keuangan dunia, kondisi bear market seperti itu hanya pernah terjadi dua kali, yaitu Depresi 1929 dan Resesi Dunia 1970. Keduanya membutuhkan waktu yang panjang untuk kembali pulih. Bahkan, dalam kasus Depresi 1929, Dow Jones butuh lebih dari sembilan tahun untuk melampaui poin tertinggi yang dicapai sebelumnya.

Bagi pelaku pasar keuangan dunia, September dan Oktober adalah dua bulan yang selalu membuat miris dan waswas. Peristiwa Crash 1987 yang dikenal dengan black monday terjadi pada Oktober. Sedangkan runtuhnya Twin Tower WTC 2001 yang sempat membuat kepanikan pasar terjadi pada September.

Kebetulan atau tidak black friday di Wall Street kemarin terjadi persis 79 tahun setelah black thursday 24 Oktober 1929 yang menandai awal mula great deppression. Meskipun penyebab utamanya berbeda, substansi akar masalahnya tetap sama, yakni aktivitas kapitalisme yang tidak terkontrol.

Cikal bakal rentetan peristiwa yang terjadi sekarang bermula dari uang murah hasil kebijakan Greenspan yang memotong drastis suku bunga The FED menjadi satu persen. Dasar kebijakannya adalah menstimulasi gairah pasar setelah Dot.com Crash 1999 dan Twin Tower WTC 2001.

Stimulasi Greenspan ini ternyata cukup manjur karena pasar mulai pulih serta bayangan resesi cepat sirna dan terlupakan. Dengan tersedianya uang murah yang melimpah itu, para Maverick Wall Street yang bermental seperti Gordon Gecko, the greed is good, serasa mendapat mainan baru dan semakin kreatif.

Produk subprime mortgage merupakan salah satu invensi para Maverick tersebut. Dengan bekal suku bunga rendah, mereka menjual kredit perumahan tanpa mengindahkan tata cara kelayakan pemberian kredit. Karena obsesi mengejar komisi dan bonus penjualan menjadi prioritas utama, mereka tidak peduli siapa dan bagaimana kemampuan para penerima KPR itu dalam mengangsurnya.

Pemegang subprime mortgage itu, yang juga dikenal dengan NINJA (non income, non jobs, and assets), memang sangat rentan terhadap pergerakan suku bunga. Dengan bunga rendah saja, sebenarnya, mereka sudah kewalahan mengangsur, apalagi ketika suku bunga merangkak naik.

Parahnya lagi, para Gordon Gecko pencipta subprime mortgage itu semakin kreatif dalam keserakahannya. Hasil penjualan KPR kepada para NINJA tersebut dipaket ulang dan dijual kepada para investor di seluruh dunia dalam bentuk CDO (collateralized debt obligation).

Meskipun yang dibeli investor itu sebenarnya utang orang-orang yang kapabilitas keuangannya diragukan, mantra dan pesona Wall Street rupanya lebih sakti daripada akal sehat. Dengan demikian, ketika CDO tersebut dikatakan sebagai sarana investasi baru, para investor percaya dan bahkan berebut membelinya.

Kreativitas para Gordon Gecko tersebut tidak hanya berhenti di situ. Sebab, mereka membungkus paket investasi barunya tersebut dalam bentuk investasi derivatif, yakni utang para NINJA itu menjadi modal awal investasi yang bisa dilipatgandakan hingga puluhan kali lipat.

Para investor kawakan sudah mengindikasikan sejak jauh hari konsekuensi keserakahan itu. Warren Buffet pada 2003 sudah mengatakan bahwa derivatif tersebut tidak ubahnya seperti senjata pemusnah masal dalam pasar keuangan. George Soros pada 2006 dan Greenspan pada 2007 mengindikasikan kemungkinan AS memasuki resesi.

Runtuhnya bangunan investasi CDO itulah yang menyeret dunia memasuki resesi. Meski para pemimpin dunia sangat sibuk menenangkan pasar dengan jaminan, melakukan stimulasi, bahkan aksi intervensi bersama, pasar melihat itu semua belum cukup untuk mengembalikan krisis kepercayaan.

Matinya Kapitalisme?
Para pelaku pasar keuangan dunia saat ini hanya punya dua alternatif tindakan, yaitu keluar dari pasar segera -yang menambah tekanan jual- atau menunggu sampai saat kepercayaan sudah kembali pulih.

Alasan mereka sangat sederhana, tapi bernas. Wajah Wall Street sekarang ini sangat berbeda dengan Depresi 1929. Saat itu dan resesi-resesi yang lain, lima investment bank sebagai penggerak 80 persen aktivitas Wall Street tetap kokoh dan terus berbisnis.

Tetapi, bila dua di antara mereka (Bear Stern dan Lehman Brothers) bangkrut, investment bank terbesar di dunia Merryl Lynch merger murah dengan Bank of America dan dua sisanya (Goldman Sach dan Morgan Stanley) berubah menjadi bank komersial/umum, efek sekarang ini pasti lebih dari sekedar badai.

Terlebih lagi bila dimasukkan pula bailout pemerintah AS terhadap dua penyedia KPR utama, Feddie Mac dan Fanni Mae, serta asuransi terbesar di dunia AIG, sudah pasti ramifikasinya bertambah rumit.

Sejumlah pengamat secara tegas menyatakan bahwa kapitalisme secara formal sudah mati di AS bertepatan dengan bailout 700 miliar dolar. Itu menandai dimulainya kontrol negara atas perusahaan yang sudah dinasionalisasi.

Tetapi, kalau dilihat lebih mendalam lagi, sebenarnya, yang terjadi saat ini sangat merepresentasikan ajaran ekonomi klasik Adam Smith. Dalam bukunya, Wealth of Nation (1783), Smith menekankan pentingnya struktur, fungsi, dan etika dalam perekonomian.

Smith yakin, kalau semua faktor tersebut tetap dalam keseimbangan, fungsi perekonomian juga dapat diharapkan berjalan normal. Namun, bila ekuilibrium terganggu, the invisible hand akan memaksa fungsi-fungsi tersebut agar kembali normal.

Inikah saatnya kapitalisme putih (the invisible hand) memerangi kapitalisme hitam yang sudah terlalu serakah atau memang dunia saat ini perlu tata cara, fungsi, dan struktur ekonomi yang baru?

Herry Juliartono , pemain pinggiran ASX (Australian Stock Exchange), tinggal di Australia
Jawa Pos, 27 Oktober 2008