Saturday, October 27, 2012

Negara Bongkar Pasang


Sebagai bangsa barangkali kita sudah solid. Bangsa Indonesia itu ada dan kita tidak mau Indonesia lenyap, menjadi tidak ada. Namun, sebagai negara kita masih main bongkar pasang struktur.

Struktur kenegaraan kita masih berubah-ubah di segala bidang. Ganti kepala negara ganti struktur. Kita belum menemukan bentuk negara yang baku, hingga kita tak mau mengubahnya lagi. Ibarat dalam tembang, struktur lagu adalah frase yang boleh berubah, namun pengaturannya tetap. Yang dimaksud baku di sini adalah bentuk atau format negara, sedangkan melodi adalah perubahan-perubahan yang didasari motivasi rasa.

Perubahan sebagai hal yang alamiah dalam kehidupan, memang tak terelakkan kalau negara dan bangsa ini tetap ingin berlanjut. Namun, perubahan yang cenderung liar ini, melodi yang demikian menggelora ini, perlu dikendalikan oleh struktur tetap, oleh frase-frase agar tembang dalam kehidupan bernegara ini punya irama peradaban.



Pemahaman yang Salah
Intinya, negara adalah perkawinan antara perubahan dengan keteguhan struktur tetapnya, antara perubahan dan kesinambungan. Dalam situasi Indonesia kini, perubahan yang deras ini tidak terwadahi oleh pengaturan negaranya yang kuat dan tetap, akibatnya chaos dalam chaos. Ini pula yang mengakibatkan jutaan ketidakpastian hidup terjadi tiap hari.

Kalau mau disebut negara gagal, pemerintahan yang sekarang adalah korban dari negara gagal yang kita bangun bersama selama ini. Masalahnya, kapan negara sebagai bentuk, sebagai frase lagu, benar-benar telah terwujud secara permanen dan kita tidak mau mengubahnya lagi karena memang benar-benar sudah jodoh dengan rakyat? Kalau bentuk negara ini sudah jodoh dengan rakyat dan bangsanya, tidak ada keraguan lagi bagi rakyat untuk memercayai lembaga-lembaga pemerintahannya. Jodoh itu ibarat suami-istri yang istri dan anak-anaknya selalu mengatakan “bapak selalu benar”. Yang terjadi sekarang: anak-anak bangsa mengatakan “bapak tak dapat dipercaya!”

Kapan “bapak tidak dapat dipercaya” ini mulai terdengar? Dua kepala negara kita yang awal, Soekarno dan Soeharto, sedikit banyak rakyat masih mengatakan “bapak selalu benar” dalam cara masing- masing. Sampai sekarang ini, kalau Anda pergi ke perdesaan, masih dapat kita jumpai rakyat memasang hiasan dinding potret Soekarno. Potret Soeharto jarang dijumpai meski presiden ini berhasil dipilih tujuh kali sebagai “bapak selalu benar”.

Kedua presiden kita itu mati-matian ngotot mempertahankan Pancasila dan UUD 1945; apa pun makna yang mereka lakukan. Bangunan struktur negara amat jelas. Kedaulatan seluruh rakyat diserahkan kepada MPR yang tiap lima tahun dipilih kembali. Jadi, MPR adalah pemilik kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Namun, sebagai pemilik mandat rakyat, MPR tak mungkin menjalankan pemerintahan karena begitu banyaknya jumlah anggota lembaga negara ini.


Mengikuti kearifan lokal Indonesia, pemilik kekuasaan ini memandatkan kekuasaannya kepada presiden. Jadi, presiden sebagai kepala negara memang melaksanakan kekuasaan dari rakyat, tetapi dia bukan pemilik kekuasaan itu. Itu sebabnya presiden dapat ditegur oleh MPR, bahkan dicabut mandatnya, apabila DPR -sebagai perpanjangan tangan MPR yang bertugas mengawasi- melaporkan ketidakberesan pemegang mandat rakyat ini kepada MPR. Angkatan bersenjata dan rakyat adalah penjaga kedaulatan istana negara.

Akibat makna kearifan lokal UUD 1945 ini dipahami secara budaya modern, terjadilah bongkar pasang struktur negara ini. UUD 1945 dicocok-cocokkan dengan trias politika Eropa. Karena lembaga MPR itu tak ada dalam literatur kenegaraan dunia, dinilai tak benar, lalu dibonsai peranannya dalam lembaga negara. Sebaliknya, DPR dihidupkan dengan cara meniru parlemen-parlemen Barat. Lebih parah lagi DPR ini diisi orang-orang partai yang menjamur dan buta pengalaman kenegaraan. Alhasil, semuanya jadi lembaga amatir.

Dalam kekacauan pikir campuran modern dan kearifan lokal ini, pemilihan umum diadakan berkali-kali: baik untuk legislatif maupun eksekutif, dari presiden sampai lurah desa. Soal biaya tidak masalah karena uang selalu tersedia.

Gelombang amatirisme ini melanda semua lini lembaga negara. The wrong man in the wrong place. The right man in the wrong place. Akan tetapi, tidak pernah jodoh dalam the right man in the right place.

Sejak awal kita telah salah memahami UUD 1945, terutama lembaga MPR yang agung ini. Lembaga ini seharusnya menampung semua aspirasi rakyat dari semua golongan yang ada. Bukan hanya partai politik. Memang ada perwakilan daerah (DPD), tetapi juga tetap dibaca sebagai perwakilan politik belaka. Seharusnya MPR adalah lembaga budaya rakyat. Ada perwakilan adat yang nyata-nyata masih hidup di tengah-tengah kita. Ada perwakilan raja-raja Indonesia, kaum tani, kaum buruh, kaum cendekia, kaum agama, kaum perempuan, kaum pengusaha, dan seabrek yang lain. Memang merepotkan karena masih harus dibangun lembaga-lembaga golongan tersebut.


Para Resi Bangsa
Penggagas UUD 45 rupanya memahami benar budaya dan adat Indonesia yang tak ada duanya di dunia ini. Mereka tidak mereduksi MPR sebatas golongan politik kepartaian. Kiranya mereka membayangkan bahwa orang-orang yang terpilih untuk duduk di MPR adalah kaum resi yang terpilih oleh golongannya sebagai telah kenyang makan garam di bidangnya masing-masing.

Presiden dan aparat eksekutif bawahannya adalah raja atau ratu, sedangkan angkatan bersenjata dan rakyat adalah pelindung dan penjaga kedaulatan negara.

Apa yang dipercayai sebagai “bapak selalu benar” adalah para resi bangsa ini. Usia tua tidak apa. Kita boleh meragukan presiden, tetapi kita memiliki pegangan kebenaran yang kokoh, yakni MPR. Gedung MPR yang bentuknya rumit seperti Pentagon di AS ini boleh rapat dan sidang siang-malam dengan uang sidang yang tinggi. Namun, semua keputusannya adalah kebenaran dan kekuatan karena diketuk palu oleh para resi bangsa.

Jakob Sumardjo
Budayawan
KOMPAS, 20 Oktober 2012

Thursday, October 18, 2012

Presiden


Presiden kita berikutnya jangan asal presiden. Rakyatlah yang harus mencari pemimpin bukan menunggu orang-orang yang menyodorkan diri untuk menjadi pemimpin.

Rakyat adalah pemegang kedaulatan. Mari kita belajar untuk tidak meneruskan tradisi kelalaian: membiarkan diri dipimpin “pemimpin setoran” perusahaan bernama partai politik. Parpol tidak perlu pemimpin sejati. Ekspektasi parpol adalah laba sehingga dipilihlah pemimpin yang paling menguntungkan perusahaannya.

Kalau konstitusi dan undang-undang tidak memungkinkan rakyat mencari pemimpin, berarti undang-undang dibuat tanpa kejernihan ilmu, kejujuran demokrasi, dan kecintaan kepada rakyat.

Saya tidak percaya bangsa Indonesia hobi masuk ranjau sehingga menjalani sejarah dengan gairah sakit jiwa mencari ranjau-ranjau baru. Apakah penderitaan dan ketertindasan sudah menjadi narkoba psikologi dan budaya kita?


Mari melipatgandakan kriteria dibanding presiden-presiden sebelumnya. Ini negara besar dan kaya raya, tetapi dikelola dengan kesembronoan melampaui batas. Ini kepulauan raksasa dengan manusia-manusia spesifik dan multitalenta, tetapi di titik nadir ketidakpercayaan diri. Ini garuda yang mabuk jadi emprit.

Calon pemimpin tidak sekadar diuji integritas, kredibilitas, dan kematangan profesionalnya. Ia harus punya visi dan berani mengambil risiko pribadi untuk keperluan rakyat.

Secara nalar, presiden dan pemerintah berani tidak makan sebelum rakyatnya kenyang. Ibarat kepala keluarga, saat kenduri ia makan terakhir. Kalau kebakaran, anggota keluarga ia selamatkan dulu. Ia siap jadi orang paling sedih.

Secara agama presiden adalah orang yang paling berat hatinya melihat penderitaan rakyat dan tidak cengeng atas penderitaannya sendiri. Kalau malaikat mendadak mencabut nyawanya, presiden merintih, “Rakyatku, rakyatku....” Bukan “Ibu...”, “Istriku...”, atau “Anakku....”


Hamba dengan Tuhan
Adab sosial Bangsa Jawa menemukan idiom manunggaling kawula lan Gusti. Menyatunya hamba dengan Tuhan.

Bukan berarti hamba adalah rakyat, Presiden adalah Tuhan. Itu pemahaman manipulatif kekuasaan politik. Dalam demokrasi, Tanah Air dan lembaga negara adalah hak milik rakyat. Presiden pada posisi dimandati, dipinjami sebagian kedaulatan dalam batas ruang dan waktu tertentu. Maka tafsir feodal “menyatunya hamba dengan Tuhan” tidak bisa dipinjam untuk mengabsolutkan kekuasaan.

Mungkin sebagian raja masa lalu memperdaya rakyat dengan penafsiran rakyat adalah “kawula” dan raja adalah “Gusti”. Namun, sejak Sunan Kalijaga pada abad ke-14 hingga ke-16 menginovasikan kehadiran Semar dalam peta kekuasaan raja-raja lewat wayang, struktur hubungan vertikal hamba-Gusti rakyat-raja menjadi relatif.


Semar adalah rakyat biasa. Lengkapnya Ki Lurah Semar Badranaya, tinggal di dusun Karang Kedempel. Pada saat yang sama ia adalah Panembahan Ismaya, dewa senior berposisi sangat tinggi, di atas Batara Guru yang jadi presiden Jagat Raya. Di atas Semar adalah Sang Hyang Widhi (istilah Arabnya ”Ilahi”) atau Sang Hyang Wenang (”Robbi”), atau Tuhan.

Kehadiran Semar melengkungkan struktur kedaulatan vertikal menjadi bulatan. Semar ada di titik tertinggi di bawah Tuhan, sekaligus di titik terendah bersama rakyat. Dua titik itu satu sehingga garis lurus vertikal jadi bulatan. Inilah indahnya desain demokrasi Sunan Kalijaga.

Maka dalam diri seorang presiden, kawula dengan “Gusti” itu manunggal. Di dalam entitas tugas kepresidenan, rakyat dengan Tuhan menyatu. Kalau Presiden menindas rakyat, Tuhan sakit hati. Kalau Presiden mengkhianati Tuhan, rakyat turut tertimpa kehancuran.
Isi kepala presiden adalah upaya menyejahterakan rakyat. Isi dadanya adalah “rasa bersalah” karena belum maksimal bekerja, serta “kerendahan hati” kepada Tuhan dan rakyatnya.

Maka sejak semula ia tidak menawar-nawarkan diri, memasang gambar wajahnya di sepanjang jalan, menyatakan “aku yang baik”. Kata tukang becak di Yogyakarta: Bisa rumangsa, ora rumangsa bisa: sanggup merasa tak mampu, bukan mampu merasa “bisa”. Rakyat yang menilai apakah presiden bisa atau ber-bisa.


Sebenarnya mengherankan melihat orang Jawa kehilangan kearifan lokalnya dan terseret model aplikasi tipu-daya demokrasi untuk memilih pemimpin.

Seluruh cara mencalonkan diri —entah menjadi presiden atau lurah— sangat menunjukkan bahwa mereka “rumangsa bisa”. Ini membuat semua orang yang berkualitas “bisa rumangsa” minggir dari politik. Dengan demikian, hampir mustahil rakyat akan memperoleh pemimpin dambaan dari antara para pemamer wajah yang bermutu “rumangsa bisa”.

Di masjid dan mushala mana pun tidak ada orang bodoh tak tahu diri yang berteriak, “Ayo berbaris makmum, saya yang paling pantas menjadi imam shalat”.

Dalam kehidupan manusia yang berakal, pemimpin lahir dari apresiasi rakyatnya. Rakyat pulalah yang mendaulatnya menjadi pemimpin. Presiden kita haruslah orang yang mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti, tahu tentang banyak hal, dan ada sesuatu yang seseorang ataupun masyarakat belum tahu. Tugasnya sebagai presiden adalah mencari tahu. Ia berdiri paling depan menembus kegelapan untuk menemukan cahaya.


Keluasan Hati
Presiden menjadi presiden karena ia punya kesanggupan akal, stamina mental, keluasan hati, kesabaran rohani, dan kekompakan frekuensi dengan seluruh unsur jagat raya untuk membawa “oleh-oleh” buat rakyatnya sesuatu yang rakyat belum tahu. Untuk Indonesia yang hancur lebur sekarang ini, presiden wajib berani mati.

Presiden adalah pengambil keputusan pertama dan utama untuk melangkahkan kaki menapaki kegelapan. Sebab, manusia itu hidup dulu baru mengerti, bukan mengerti dulu baru hidup.

Ya. Masa depan itu gelap. “Aku”, kata Tuhan, “memperjalankan hamba-hamba-Ku menembus kegelapan malam hari”. Hidup adalah malam hari karena “sekarang” sesungguhnya tak ada. Tatkala engkau berada di “se”, tiba-tiba sudah “ka”. Tatkala engkau tiba di “ka”, “se” sudah masa silam yang “tiada”, sementara “rang” adalah masa depan yang engkau tak tahu.


Jika engkau melembut, waktu tampak olehmu. Jika engkau meregang, ketidak-terbatasan ruang tak terjangkau olehmu. Maka kuda-kuda terbaik adalah kerendahan hati. Itulah “kesadaran debu”.

Tak bisa kau tempuh gelapnya “rang” dengan modal “merasa bisa”. Hari siang pun gelap. Sebab, matahari bukan benar-benar bercahaya. Ia hanya mengantarkan kesadaran tentang cahaya. Orang menanam tak tahu panennya, orang berjualan tak tahu berapa calon pembelinya. Orang lahir tak tahu matinya.

Mungkin itu sebabnya Tuhan menuntun melalui salah satu sifat-Nya: Kalau mau jadi presiden, pertama sekali kamu harus “mempelajari kegaiban dan menyaksikannya”. ‘Alimul-ghaibi was-syahadah.’ Kognitif dan empiris. Kegaiban yang paling utama adalah rahasia hati rakyatmu. Di situlah sesungguhnya cahaya itu berada.

Emha Ainun Nadjib
Budayawan
KOMPAS, 13 Oktober 2012

Friday, October 12, 2012

Sosok Prajurit-Pejuang


Struktur dan mekanisme kejiwaan yang senantiasa melekat dalam diri kita juga melahirkan arketipe yang disebut warrior atau sosok prajurit-pejuang, yaitu naluri untuk membela diri dan mengalahkan lawan.

Setiap saat seseorang senantiasa dihadang lawan. Hanya saja apa dan siapa yang dianggap lawan yang mesti ditaklukkan, masing-masing berbeda situasinya. Lawan atau musuh yang nyata tetapi sosoknya abstrak adalah kemiskinan dan kebodohan. Yang lebih ganas lagi daya rusaknya kalau tidak segera ditumpas adalah korupsi dan peredaran narkoba.

Dalam masyarakat tradisional, yang namanya musuh adalah sosok orang sebagaimana dulu penduduk Nusantara dijajah oleh Belanda sehingga obyek yang hendak dihadapi juga jelas. Tapi pada zaman modern sosok musuh mengalami transformasi bentuk menjadi sebuah sistem sehingga masyarakat tidak mudah memahami yang pada gilirannya juga sulit untuk melawan.

Seperti halnya korupsi yang merampas uang rakyat hingga triliunan, sosoknya tidak mudah ditangkap dibandingkan pencuri sepeda motor. Pada dasarnya yang diperjuangkan oleh sosok warrior dalam setiap diri manusia adalah sesuatu yang amat mulia, yaitu harga diri (dignity, self esteem). Siapa pun orangnya kalau harga dirinya dihina pasti akan marah dan melawan. Hal itu juga berlaku untuk harga diri sebuah kelompok dan bangsa serta negara.


Oleh karena itu hampir semua negara memiliki prajurit yang menjaga keamanan dan martabat bangsanya yang siap tempur menghadapi musuh. Namun kesadaran akan harga diri ini yang paling utama mestinya tertanam kuat pada setiap warganya. Meskipun sosok warrior tumbuh sejak kanak-kanak, hal itu penting didampingi dengan kesadaran moral-spiritual agar naluri dan dorongan berperang tersalur untuk tujuan yang lebih mulia.

Pada masa kanak-kanak sikap warriorship ini kadang terlihat dalam hal berantem dengan temannya memperebutkan layang-layang putus. Semakin dewasa, hal yang diperebutkan dan menggugah semangat warriorship mungkin beralih seperti berebut jabatan, mulai dari jabatan direktur, bupati, gubernur hingga jabatan sebagai presiden.

Ada pola yang sama, apa yang dilakukan semasa kanak-kanak dengan perilaku di usia dewasa, yaitu semangat berperang untuk menunjukkan bahwa “aku yang lebih kuat, lebih pantas, dan lebih berhak menjadi pemenang”. Baik polisi maupun penjahat kedua-duanya adalah warrior, tetapi tujuan yang hendak diraih berbeda sehingga etikanya juga berbeda.

Begitu pun dalam peperangan memperebutkan jabatan bupati, gubernur atau presiden, misalnya, ada prajurit-pejuang yang teguh memegang etika dan prinsip fairness, ada pula yang tak segan menggunakan cara-cara licik dan jahat demi sebuah kemenangan dan kekuasaan. Mereka yang masuk tipe kedua ini kalaupun memenangi pertarungan sesungguhnya hanyalah kemenangan semu karena justru membunuh prinsip harga diri (dignity, self esteem).


Semangat dan jiwa sportif ini sangat dijunjung tinggi dalam pendidikan olahraga yang mestinya diajarkan kepada semua warga negara sejak dini sehingga sifat warriorship berkembang sehat mengingat hidup adalah panggung kompetisi, pertempuran, dan peperangan. Tanpa semangat ini sebuah bangsa akan kalah dalam persaingan global.

Di Indonesia dengan kekayaan alam dan jumlah penduduk yang melimpah, ternyata mental prajurit-pejuang yang setia mempertahankan harga diri dan martabat bangsa-negara semakin menurun. Harga diri bangsa dilecehkan oleh bangsa lain. Pejabat tinggi pengambil kebijakan mudah menyerah di hadapan rayuan uang dan kekuasaan yang diraih dengan cara tidak fair, tidak sportif, dan tidak bermartabat.

Padahal republik ini terlahir berkat perjuangan dan pengorbanan para warrior bangsa. Kembali pada pembahasan seputar arketipe, sosok warrior itu selalu melekat menjadi pelindung dan pejuang bagi orphan yang lemah dan merupakan ujung tombak bagi wanderer yang selalu berkelana mencari jati diri dan prestasi. Setiap saat kita dihadapkan pada persoalan dan tantangan hidup yang mesti ditaklukkan. Kapan pun, dan di mana pun.

Oleh karena itu salah satu kriteria pemimpin yang diperlukan oleh sebuah bangsa adalah mereka yang memiliki mental dan jiwa warriorship. Yang sadar akan harga diri bangsa dan masyarakat, yang berani mengambil risiko (risk taking), yang tidak gentar menghadapi lawan, yang siap dan berambisi untuk memenangi pertarungan, tetapi juga bersikap sportif ketika ternyata menemui kekalahan.

Dalam medan tempur itulah sosok warrior yang tergerak dan bangkit jiwanya menerima setiap tantangan, tetapi hatinya akan merasa hampa bila tanpa didasari cita-cita mulia, yaitu arketipe berikutnya yang namanya sang altruis.

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Koran SINDO, 5 Oktober 2012