Wednesday, November 7, 2012

Membincang Iman


Salah satu arketipe yang sangat penting adalah: anxiety. Yaitu struktur kejiwaan yang menyimpan kegelisahan dan keraguan karena terlalu banyak misteri hidup dimana nalar kita semua tidak sanggup untuk memahami dan menjelaskannya secara rasional, ilmiah.

Kegelisahan ini akan semakin dirasakan ketika seseorang sudah menginjak usia lanjut yang secara statistikal sisa umurnya bisa diprediksi. Perjalanan dan perjuangan hidup sejak tahapan orphan yang tidak berdaya sampai magician yang merasa dirinya hebat, tetap menyisakan pertanyaan dan kegelisahan. Ketika orang sudah merasa sukses dalam hal karier keduniaan, atau sebaliknya merasa gagal dan terpuruk, selalu muncul pertanyaan eksistensial; bukankah semua serial drama hidup ini nantinya akan berakhir dengan kematian? Adakah kehidupan lanjut setelah mati?

Kalau ada, adakah hubungan nasib di dunia ini dengan hidup yang baru? Andaikan mati adalah akhir dari seluruh eksistensi dan tak ada lagi kehidupan, lalu untuk apa semua perjuangan hidup ini aku jalani? Demikianlah, pada diri setiap orang selalu menyimpan pertanyaan dan kegelisahan karena terlalu banyak pertanyaan dan ketidaktahuan terhadap realitas semesta dan kehidupan. Akumulasi pengalaman masa lalu, berbagai cerita orang tua dan ceramah keagamaan, kesemuanya mendorong pada keyakinan bahwa mati bukanlah akhir kehidupan. Ada sumber kehidupan yang tak kenal mati dalam diri setiap orang, entah itu namanya ruh, jiwa, atau istilah lain.


Begitu pun dalam diri setiap orang selalu ada dorongan untuk meraih hidup yang bermakna. Baik bagi diri, keluarga, maupun masyarakat. Dinamika dan jarak antara cita-cita indah yang tak terbatas dan realitas hidup yang mengecewakan selalu memunculkan kegelisahan, kekecewaan, dan semangat untuk selalu berjuang. Adalah keyakinan dan cita-cita mulia yang selalu memberikan amunisi dan semangat untuk selalu melangkah maju membangun kehidupan yang lebih baik. Hasil penalaran rasional dan akumulasi pengalaman hidup tetap saja menyisakan teka-teki dan misteri hakikat kehidupan yang tak terjawab.

Maka orang pun lalu mencari jawab pada agama, yang sentralnya adalah kepercayaan dan keyakinan adanya Tuhan yang serbamaha. Semata berdasarkan penalaran rasional, baik orang yang percaya akan adanya Tuhan maupun mereka yang tidak percaya, masing-masing memiliki basis argumen yang sulit dikompromikan. Bahkan semakin maju perkembangan ilmu pengetahuan, semakin maju pula argumen orang yang mengingkari adanya Tuhan berdasarkan argumen scientific.

Namun jika berbagai teori dan argumen tentang adanya Tuhan dikumpulkan, skornya lebih tinggi dan lebih meyakinkan ketimbang yang mengingkarinya. Bahkan, dikenal pula argumen psikologis yang disebut: the will to believe. Bahwa sesungguhnya dalam diri manusia terdapat dorongan kuat untuk percaya adanya Tuhan. Dorongan ini diperkuat lagi melalui argumen kenabian yang datang dengan memperkenalkan wahyu Ilahiyah yang disebut mukjizat.


Namun, sesungguhnya berbagai argumen dimaksud tetap tidak mampu mengusir anxiety, kegelisahan manusia. Maka sekalipun orang telah mengaku beragama dan yakin adanya Tuhan, aktivitas yang paling utama dari sikap keberagamaannya adalah berdoa. Di dalam doa, setidaknya terdapat dua hal. Pertama rasa gelisah, ragu, takut, khawatir, dan di sisi lain kemudian datang mengadu pada Tuhan untuk mendapatkan kepastian dan ketenangan.

Secara rasional, keyakinan terhadap ajaran kebenaran yang datang dari Tuhan yang kemudian disebut “beriman” dan orangnya disebut “mukmin”, di situ terdapat sebuah loncatan, leap of faith, untuk melenyapkan keraguan. Rasa takut pada hukuman (neraka, punishment, kesengsaraan) dan harapan pada pahala (surga, reward, kebahagiaan) membuat seseorang selalu berusaha untuk hidup hati-hati dan berprestasi. Jadi, dalam sikap dan pilihan iman itu terdapat unsur argumen rasional yang disertai dorongan psikologis karena keraguan dan ketidaktahuan.

Dalam agama Islam dikenal istilah: khauf wa raja’. Harap-harap cemas. Orang beriman memiliki keraguan dan kecemasan, apakah doa dan amal ibadahnya diterima Tuhan? Namun selalu dipungkasi dengan keyakinan dan penuh harap, Tuhan pasti Maha Pengasih, Maha Pengampun, dan Maha Mengabulkan. Inilah perjuangan psikologis yang mewarnai dinamika dan romantika kehidupan seorang yang beriman.


Semakin lanjut usia seseorang, ketika prestasi ilmu, jabatan, dan harta telah diraih semuanya, lalu apa lagi yang hendak dicari? Di sinilah iman memberikan insentif akan makna hidup dan jawaban bagi segenap pertanyaan dalam kehidupan. Dengan ultimate goal kembali kepada Tuhan, sang pencipta dan pemberi kehidupan. Karena Tuhan Mahasuci dan Mahabaik maka hanya dengan kondisi suci dan bekal kebaikan, seseorang akan lebih lancar pulang kembali ke pangkuan Ilahi.

Pada akhirnya iman bukanlah sekadar percaya, melainkan sebuah pengakuan, kepasrahan, keyakinan, dan kesetiaan pada yang diimani sebagai landasan hakiki untuk menjalani hidup agar dapat mengantarkan pada tujuan akhir yang melewati batas-batas sejarah dan kesementaraan duniawi. Kita semua milik Tuhan dan akan dipanggil kembali oleh Tuhan, Sang Pemilik Kehidupan Sejati.

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Koran SINDO, 2 November 2012

Friday, November 2, 2012

Melintasi Cakrawala Sejarah


Bulan Oktober baru saja lewat. Pada sampul biografi pengusaha Julius Tahija (1916-2002) tertera kutipan pernyataannya, ‘Di Indonesia ini, selama mayoritas bangsa kita masih hidup pas-pasan, maka kita yang menduduki posisi ekonomi menonjol patut hidup serba sederhana tanpa suka memamerkan kelebihan pribadi’. Edisi kedua biograļ¬ pejuang kemerdekaan berjudul Melintas Cakrawala itu terbit Oktober tahun lalu.

Seruan moral tersebut meluncur tepat pada Oktober, bulan yang diwarnai catatan-catatan sejarah politik dan sosial penting bagi bangsa ini. Oktober diawali dengan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1, yang memperingati ketetapan bahwa Pancasila menjadi dasar NKRI. Paragraf ke-4 Pembukaan UUD 1945 mencantumkan lima sendi utama: Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Namun kita akhir-akhir ini abai mengamalkannya.


Tanggal penting berikutnya ialah peringatan hari berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober. TKR bermula dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bukan tentara resmi. Tetapi TKR organisasi tentara resmi yang diperlukan oleh sebuah negara merdeka. Setelah digabungi barisan-barisan bersenjata lain yang ada waktu itu, TKR menjadi TNI. Melalui Dekrit Presiden, tanggal 5 Oktober 1945 diperingati sebagai hari kelahiran TNI.

Di bidang politik praktis, Oktober juga mencatat terbentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya yang didirikan golongan militer pada 20 Oktober 1964 untuk menghadapi yang dianggap peningkatan rongrongan PKI. Sekber Golkar menghimpun puluhan organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan. Sesuai ketentuan dan ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada 17 Juli 1971 Sekber Golkar mengubah diri menjadi Golkar; kemudian menjadi Partai Golkar setelah reformasi.

Bulan Oktober memang menghembuskan elan perjuangan. Jauh sebelum perjuangan fisik berangsur mewujud menjadi perjuangan kemerdekaan yang gegap gempita, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 menengarai lahirnya bangsa Indonesia setelah proses perjuangan ideologi yang berlangsung lama melawan penindasan penjajah selama ratusan tahun.


Lintasan Sejarah bagi Orang Muda
Sebagian dari lintasan sejarah yang terpapar tadi mungkin menimbulkan nostalgia pada yang pernah mengalaminya atau ikut berjuang di dalamnya. Tontonan televisi yang informatif dan edukatif tentang masa-masa penderitaan maupun kejayaan masa lalu bisa membangkitkan rasa bangga. Ada yang bertanya, mengapa ada di antara generasi muda masa kini yang terkesan tidak peduli pada sejarah perjuangan masa lalu sekalipun menikmati hasil-hasil pembangunan generasi sebelumnya. Bagaimana kadar rasa kebangsaan mereka?

Dakwa-mendakwa biasa terjadi antargenerasi. Pernah seorang dari angkatan ‘66 menjadi berang ketika disebut hidup di menara gading oleh angkatan sebelumnya. Dia menjawab, generasi muda memiliki masa depan lebih panjang daripada generasi sebelumnya. Itu sebabnya dia lebih berorientasi ke masa depan daripada selalu menengok ke belakang.

Barangkali memang tidak adil mengharapkan pemuda sekarang memiliki alam pikiran seperti alam pikiran pemuda di awal bangkitnya kesadaran nasional. Juga tidak adil bila memastikan bahwa rasa kebangsaannya kalah tebal. Angkatan ‘28, ‘45, ‘55, ‘66, dan angkatan sekarang memiliki gaya hidup berbeda-beda. Tetapi kalau soal rasa kebangsaan, belum tentu yang satu kalah dari lainnya. Bukan tidak mungkin anak-anak sekarang mencemaskan bagaimana membangun kehidupan dan penghidupan masa depan, dan bagaimana memberi respons terhadap tantangan zaman. Tiap generasi adalah produk dari zamannya.


Rakyat Besar, Rakyat Kecil
Sejarah untuk dikenang, sejarah untuk pelajaran. Apa yang bisa dipelajari oleh generasi masa depan tentang kehidupan sekarang? Tahun-tahun terakhir menyaksikan terbukanya kotak pandora berkat kebijakan pemerintahan SBY. Terbongkarlah cela rohaniah sebagian rakyat besar. Berbeda dengan rakyat kecil, rakyat besar menikmati hidup karena dimanjakan oleh kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang kait-mengait.

Menurut Society Today (Richard L Roe, editor, 1971), kekuasaan bisa berarti kemampuan mempertahankan sesuatu sekalipun ada tentangan. Dengan demikian, kekuasaan juga berarti ‘kemampuan’. Sumbernya ada empat: posisi institusional, harta kekayaan, kekuatan fisik, dan kharisma.

Mereka yang memiliki kekuasaan umumnya banyak mengambil keputusan dalam kehidupan masyarakat. Mereka juga kita kenal sebagai kaum elite –dari kalangan pemerintahan, cerdik pandai, bisnis, penegak hukum, gerakan politik, bahkan kalangan agama yang memiliki kharisma, yang mampu memengaruhi lain-lainnya.


Tentu hanya oknum-oknum bermoral rendah yang mengalami cela rohaniah. Selama mereka memegang kekuasaan, mereka cenderung bersikap arogan; suatu gejala yang mengganggu dan menekan perasaan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, khususnya rakyat kecil.

William Fulbright, penulis The Arrogance of Power, menyatakan, “Bila mau berbenah diri, bahaya-bahaya arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan. Tentunya itu berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan yang menganggap diri hebat. Namun pengorbanan itu akan memadai demi akibat-akibat positif yang bisa dihasilkan.

Dalam kaitan itu, patut disebut kemenangan Jokowi yang dianggap kemenangan aspirasi rakyat kecil. Gejala ini sejalan dengan keinginan rakyat banyak untuk membuat perubahan atas kehidupan yang dirasakan kehilangan keteladanan. Gerakan perubahan menjadi tuntutan demi terciptanya kehidupan yang lebih baik.

Toeti Prahas Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 2 November 2012