Wednesday, February 13, 2013

Konspirasi Semesta

Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun

Anis Matta Presiden baru PKS menolong bangsa Indonesia dengan menyatakan bahwa ada konspirasi global yang mengancam nasib seluruh bangsa Indonesia, menghalangi kebangkitannya dan merancang secara sistematis kehancurannya. Sebagai seorang warganegara NKRI saya mengucapkan terima kasih yang mendalam atas petunjuk beliau, terutama karena yang menjadi fokus keprihatinan saya adalah nasib anak cucu saya dan kita semua.

Sebab konspirasi global pasti urusannya bukan satu dua tahun, satu dua dekade atau era, melainkan minimal satu dua abad, mungkin malah sudah berlangsung dua millenium lebih sedikit. Dan anak-anak saya kalau sudah dewasa akan ditimpa puncak sukses rekayasa global itu untuk menjadi budak dari suatu pemerintahan global yang melakukan kontrol absolut memasang micro-chip di jidat mereka.

Sesungguhnya sangat indah dan patriotik andaikan wacana tentang Konspirasi Global itu menjadi salah satu alasan mendasar berdirinya PKS dulu. Kenapa sih mas Anis kok baru omong sekarang. Kenapa menunggu Pak Luthfi dijaring KPK. Kenapa setelah PKS dikepung badai baru mas Anis membukakan pengetahuan tentang Konspirasi Semesta Raya itu.

Padahal kan yang menjadi korban seluruh bangsa Indonesia sampai para generasi penerus kita kelak. Apa tega saya menyimpulkan bahwa PKS hanya memikirkan dirinya sendiri saja, sehingga setelah beliau-beliau sendiri terkena “sabet” konspirasi, baru muncul kepentingan untuk melawannya. Kan Konspirasi Global itu musuh kita bersama.

Anis Matta dan Luthfi Hasan Ishaaq

Sebelum ini banyak terdakwa yang membuat pernyataan yang sama tentang konspirasi “besar”. Ada terdakwa video porno, pelecehan seks dll yang juga bilang sedang mengalami “character assassination” oleh suatu konspirasi besar. Ketika muncul isyu di kalangan masyarakat tertentu bahwa saya punya tiga istri, seorang teman juga memberitahukan bahwa ada konspirasi global yang sedang memproses penghancuran citra saya. Untunglah saya tidak punya citra, sehingga penghancuran itu tidak ada sasarannya. Bahkan saya berterima kasih kepada para penyebar rumor itu, sebab langsung fungsional menjadi pengontrol atas diri saya agar tetap bertahan dengan satu istri saja.

Mas Johan Budi jubir KPK aneh juga pernyataannya: “KPK jangan dikait-kaitkan dengan politik”. Pasti yang beliau pakai adalah bahasa publik yang kontekstual dan konotatif. Sebab denotasinya KPK itu lahir dari keputusan politik, dan seluruh pekerjaannya juga sangat bersubstansi politik. Makna dan tujuan seluruh penyelenggaraan politik nasional kenegaraan adalah untuk mengamankan hak-hak seluruh rakyat, harta bendanya, martabat dan nyawanya, dari setiap kemungkinan pencurian, pelecehan dan penghancuran. KPK adalah salah satu ujung tombak kuratif dari proses pengamanan nasional atas hak-hak rakyat itu.

Saya punya saran yang mungkin “kelabu” secara moral, “hitam” secara hukum Indonesia, tapi “putih” secara akal sehat manusia. Di luar kedudukan masing-masing di PKS dan KPK, mas Johan mengajak mas Anis taruhan saja untuk membuktikan salah tidaknya mantan Presiden PKS. Dengan pengawasan berdua atas kebersihan proses peradilannya, kalau beliau divonis bersalah: mas Anis mencabut pernyataan tentang konspirasi. Kalau beliau bebas, mas Johan datang ke rumah mas Anis untuk minta maaf secara pribadi sambil membawa kue-kue, bebuahan dan souvenir.

Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS)

“Taruhan” ini saya sarankan karena dalam “ushulul-fiqh” atau filsafat hukum Islam ada asas bahwa kemudharatan kecil boleh dilakukan dalam rangka menghindarkan kemudharatan besar. Kalau jutaan kader PKS dan rakyat Indonesia dibiarkan bingung oleh soal konspirasi besar yang mas Anis “sengaja tidak mau menyebutnya”, bisa menjadi mudharat besar. Jadi kayaknya bolehlah beliau berdua taruhan saja, kalaupun berdosa ya insyaallah bobot dosanya lebih kecil dibanding kadar manfaat yang dihasilkannya.

Umpamanya ada orang yang bertanya, “Sudahlah, nggak usah ngobrol soal konspirasi, nyatakan saja: mencuri atau tidak?”, rasanya “kurang elite” atau “nggak level” untuk terseret menjawabnya. Termasuk kalau ada yang menjelaskan: kalau KPK memastikan seseorang menjadi terdakwa, itu berbeda dengan apabila dakwaan itu berasal dari Kejaksaan. KPK tidak punya wewenang untuk menerbitkan SP3, sehingga tingkat soliditas yuridisnya sangat tinggi untuk menterdakwakan seseorang.

Oleh karena itu kalau memang saran untuk taruhan ini “syubhat” atau bahkan “haram”, opsi saya berikutnya adalah mas Anis sebagai Presiden PKS bikin konferensi pers lagi, membawa al-Quran, kemudian bersumpah di bawah Kitab Suci kepada Allah swt dan seluruh bangsa Indonesia bahwa beliau Pak Luthfi Hasan tidak melakukan korupsi.

Lebih afdhal jika acara sumpah itu diawali dan diakhiri dengan pembacaan statemen Tuhan: “Apakah kalian mengira bahwa Aku menciptakan kalian semua itu untuk main-main? Dan apakah kalian menyangka bahwa hidup dan segala urusan kalian ini akan bisa menghindar untuk kembali kepada-Ku?”


Kalau saran kedua itu kurang produktif juga secara KPK, PKS atau ke-Indonesia-an, opsi berikutnya adalah mengambil kejadian ini sebagai momentum heroisme nasional mas Anis Matta dan PKS. Tentu saja karakter PKS jauh dari kecenderungan riya’ dan takabur untuk mempahlawan-pahlawankan dirinya. Tetapi maksud saya adalah bahwa ini momentum sangat bagus bagi PKS untuk menolong seluruh bangsa Indonesia dan mengamankan masa depan kita semua.

PKS melihat kasus mantan Presidennya bukan sekedar kasus korupsi dan urusan hukum. Melainkan jauh lebih besar dari itu. KPK hanyalah urusan sejengkal waktu. PKS melakukan kebangkitan besar untuk urusan yang juga sangat besar. PKS menjadi “KPK” untuk menterdakwakan pelaku-pelaku Konspirasi Global demi nasionalisme dan kemerdekaan umat manusia di seluruh muka bumi. Mas Anis Matta memimpin suatu pergerakan nasional dan dunia, menjadikan momentum ini sebagai trigger sejarah: membuka cakrawala peradilan sejarah dunia, menguakkan rahasia tipudaya sejarah yang berlangsung sejak Nabi Isa lahir yang berhasil memfitnah beliau dan merekayasa hingga ke kayu salib —terlepas dari versi kontra versi tentang fakta penyaliban itu.

Tahap berikutnya adalah tipudaya yang dirundingkan 37 tahun sesudah penyaliban, yang buah-buah keberhasilannya tidak saya sebutkan di tulisan ini. Kemudian pembaharuan strategi dan modifikasi aplikasinya sesudah Renaissance, pengkayaan-pengkayaan sesuai dengan tonggak-tonggak perubahan sejarah, abad 17, 18, 19. 20, hingga hari ini, yang berlangsung sangat panjang dan detail, melalui pasal-pasal Takkim, Shadda, Parokim, Libarim, Babill, Onan, Protokol, Gorgah, Plotisme, Qornun, menelusup ke dunia pendidikan, media massa, ruang-ruang sidang parlemen, lembar-lembar informasi jenis apapun saja, bahkan menggerogoti berita-berita firman Tuhan.


Indonesia yang kaya raya adalah “janda muda” yang cantik jelita bahenol sexy yang semua “jawara” dunia tergiur ingin menguasainya, dengan metoda penaklukan dan penjajahan yang terus diperbaharui. PKS berkesempatan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa zaman VOC bukanlah satu-satunya era penjajahan yang kita alami. Dari yang transparan eksplisit penjajahan teritorial hingga yang implisit kultural, intelektual, spiritual, institusional, sistemik-struktural, taktis-strategis, serta semua yang samar-samar lainnya yang tak mungkin tampak di mata awam.

Dan karena ghirah menentang penjajahan itulah maka PKS lahir. Statemen Allah swt bisa dikutip oleh PKS yang memang masyhur dekat dengan-Nya: “Apa yang tidak kalian sukai ini bisa jadi membawa kebaikan bagi kalian, dan apa yang kalian sukai malahan bisa membawa keburukan bagi kalian”. PKS bisa menguraikan ilmu dan pengetahuan kepada rakyat Indonesia untuk melakukan reidentifikasi nilai-nilai. Apa yang mereka junjung selama ini, mungkin justru yang seharusnya mereka tinggalkan. Apa-apa dan siapa-siapa yang mereka idolakan, mereka berhalakan, mereka “tuhan”kan, mungkin saja sebenarnya harus mereka hindarkan. Sebaliknya, yang selama ini mereka remehkan, buang dan singkirkan: itu sesungguhnya yang menyimpan kemashlahatan dan harapan.

Akan tetapi kalau itu semua terlalu ruwet dan merepotkan waktu mas Anis yang sangat sibuk siang malam di banyak tempat, mungkin cukup lakukan satu hal saja: kumpulkan kader-kader PKS di berbagai tempat seluruh Nusantara, misalnya bikin Muhasabah wa Mubahalah di hadapan Allah swt dan Rasulullah Muhammad saw, yakinkan mereka dengan sumpah bahwa mantan Presiden mereka bukan maling.

Emha Ainun Nadjib,
Budayawan
Majalah TEMPO, Edisi 10 Februari 2013

Thursday, February 7, 2013

Tsunami Politik PKS


Dalam acara pelantikan John F Kennedy sebagai presiden Amerika Serikat, seorang penyair besar Amerika, Robert Frost, diundang untuk membacakan puisi. Sebagai eulogi atas puisi Frost, Kennedy berkata: “When power leads man toward arrogance, poetry reminds him of his limitations. When power narrows the area of man’s concern, poetry reminds him of the richness and diversity of existence. When power corrupts, poetry cleanses.”

Kennedy mengakui bahwa kekuasaan dan politik itu cenderung korup. Ketika politik itu kotor, kata Kennedy, puisilah yang akan membersihkannya. Saya tentu tidak sedang “berdeklamasi” untuk menjelaskan perkembangan mutakhir pascapenetapan tersangka Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq atas dugaan kasus penerimaan suap impor daging sapi oleh PT Indoguna Utama.

Politik memang bisa mengubah segalanya. Politik dan korupsi laksana dua sisi keping mata uang. Karena itulah, intelektual besar Mesir, Muhammad Abduh, berkata lirih, “Audzubillah min al-siyasah wa al-siyasiyyin.” (Saya berlindung dari godaan politik dan kaum politisi).


Politik Dagang Sapi
Reputasi politik yang buruk, dalam istilah populer di Indonesia, diringkus dalam kata “dagang sapi.” Inilah pengejawantahan definisi purba tentang politik: siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Politik itu ibarat dagang sapi, dimana negosiasi, tawar-menawar, dan kompromi menjadi bahasa pengantarnya. Tukar-menukar material, juga seks, menjadi mata uangnya.

Kasus impor daging sapi yang diduga melibatkan Luthfi Hasan membantu kita mengkonkretkan abstraksi tentang politik yang jorok. Inilah politik dagang (daging) sapi dalam arti yang sebenarnya. Setidaknya ada dua tafsir yang berkembang untuk menjelaskan kasus ini.

Pertama, penjelasan politik konspiratif. Banyak elite, terutama PKS, yang percaya bahwa penetapan tersangka terhadap Luthfi Hasan adalah bagian dari skenario besar membonsai PKS karena kritisisme mereka selama ini terhadap kekuasaan. Tafsir politik ini diletakkan dalam kerangka politik saling menyandera jelang 2014.

Memang tak ada kebetulan dalam politik, tetapi mengandalkan sepenuhnya pada plot politik semacam ini membuat kita malas berpikir jernih dan sekadar mencari kambing hitam. Seolah-olah KPK hanyalah alat kekuasaan untuk menyenangkan penguasa. Kita lupa, atau pura-pura lupa, bahwa dua tahun terakhir ini justru elite dari partai penguasa yang paling banyak menjadi pesakitan di KPK mulai dari Nazaruddin, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, dan Andi Mallarangeng.


Kedua, tafsir hukum. KPK tentu punya alat bukti yang memadai untuk menetapkan status Luthfi Hasan sebagai tersangka. Bukti penyadapan telepon yang diduga melibatkan pejabat di Kementerian Pertanian yang dipimpin kader PKS dengan Luthfi Hasan, penangkapan tangan AF yang diduga kurir orang nomor satu di PKS menjadi amunisi KPK sebelum menetapkan status tersangka.

Alangkah bodohnya KPK jika mentersangkakan seseorang tanpa alat bukti yang cukup. Jika kita mengikuti konstruksi politik-hukum atas kasus ini, kementerian memang rentan menjadi sapi perahan partai. Biaya politik yang mahal adalah hulu korupsi. Kita selama ini sibuk berdiskusi di hilir, tetapi lupa sumber korupsi justru terletak dalam sistem politik berbiaya tinggi.

Desain multipartai plus sistem proporsional terbuka tanpa diikuti rezim pembatasan spending kampanye hanya akan membuat elite partai berubah menjadi monster ganas yang memakan uang rakyat. Kementerian menjadi ajang jarahan untuk memperebutkan komisi dengan menjual lisensi atau proyek kepada pengusaha yang mampu menukarnya dengan insentif tinggi.


Ujian Besar
Kasus impor daging ini jelas merupakan tsunami politik bagi PKS. Kasus ini melucuti jantung kredibilitas partai yang selama ini menjual tagline bersih, peduli, dan profesional. Kita harus fair, dibanding partai lain, PKS relatif lebih bersih. Sebelumnya tidak pernah ada dalam sejarah kader PKS yang bermasalah di KPK. Namun sekarang, sekali berurusan dengan KPK langsung melibatkan pucuk pimpinan tertinggi PKS dan bukan tidak mungkin juga menyeret Kementerian Pertanian yang dikuasai kader PKS.

Secara hukum, kasus ini memang masih jauh dari selesai. Status Luthfi Hasan masih tersangka, tetapi politik memiliki logika dan hukum sendiri. Premis politik seringkali bergerak jauh lebih cepat ketimbang proses hukum. Hukum politik bertumpu pada opini publik yang kadang jauh lebih kejam ketimbang fakta hukum itu sendiri. Benar bahwa opini yang berkembang di media bergantung pada “kebenaran logis,” sementara fakta hukum berdasarkan pada “kebenaran empiris.”


Seorang tersangka koruptor bisa jadi selamat di meja pengadilan yang terhormat, tetapi secara sosial politik, dia sudah kehilangan kepercayaan di mata masyarakat. Selain citra PKS yang lebam, kasus impor daging ini juga potensial meruntuhkan moral kader. Saya melihat banyak sekali kader PKS di tingkat akar rumput yang ikhlas, berjibaku untuk kepentingan partai tanpa dibayar, bahkan mengeluarkan dana pribadi.

Merekalah tulang punggung partai. Jika mereka mengalami demoralisasi, tentu berdampak negatif bagi PKS dalam mencapai target tiga besar pada 2014. Tak cukup dengan doktrin tsiqah qiyadah (percaya terhadap kepemimpinan partai), tetapi PKS harus melakukan terobosan radikal untuk memulihkan citra dan kepercayaan kader. PKS juga harus bersikap terbuka dan membantu KPK membersihkan oknum-oknum partai yang terlibat.

Inilah ujian besar dan berat bagi PKS untuk merebut kembali marwah partai yang rusak akibat kasus daging impor ini. Semoga PKS lolos dari ujian ini agar pemilih masih bisa bermimpi tentang partai politik yang bersih dari virus korupsi.

Burhanuddin Muhtadi
Pengajar FISIP UIN Jakarta,
Penulis Buku “Dilema PKS: Suara dan Syariah” (2012)

SINDO, 1 Februari 2013