Thursday, October 10, 2013

Pemimpin yang Melampaui Bahasa


Kita tak bisa mengelak dari satu fakta bahwa titik balik perubahan yang paling besar pada Reformasi 1998 adalah terbebasnya kita dari zaman represi —ketika kita tak bisa mengatakan apa pun— memasuki zaman bebas berbicara. Sedemikian bebas: demokrasi menjadi semacam episentrum.

Sebagai episentrum, demokrasi membuat kita melakukan hal positif, tetapi juga melantaskan hal negatif. Demokrasi jadi penegasan untuk kebenaran sekaligus alibi, tempat bersembunyi. Demokrasi adalah sistem pemerintahan berbasis rakyat. Fakta teoretis ini tak selamanya berjalan sesuai dengan praktiknya. Kuasa rakyat tak pernah dapat bermakna sesuai dengan yang diharapkan sistem itu sendiri. Ia selalu berada dalam bayang-bayang pemilik kuasa institusi negara dan terpolitisasi.

Dalam kasus Indonesia saat ini, satu-satunya yang tersisa pada rakyat adalah bahasa. Pelaksanaan demokrasi yang melenceng masih menyediakan ruang luas kepada rakyat berbicara, berserikat. Di sinilah titik ideologi demokrasi dalam hidup bernegara itu. Yang diidealkan di dalam demokrasi itu adalah bahasa.

Pengidealan bahasa dalam demokrasi adalah pembebasan bahasa sebagai sistem, langue, menjadi ekspresi keseharian, parole, yang memberi ruang ujaran individu secara luar biasa. Ujaran-ujaran itu lalu saling terhubungkan dan menjadi suatu wacana.

Kita tahu kemudian, wacana yang berkembang ternyata dangkal, pada lapisan luar belaka. Demokrasi menjadi sihir: menarik semua orang berbicara, berserikat. Di sini demokrasi menemukan titik lincahnya sebab mampu melegitimasi segala yang bebas seolah-olah bermakna positif.


Tiga faktor
Ada tiga faktor yang membuat demokrasi kita bergulir cepat. Pertama, seperti dikatakan Mohammad Hatta, ketika keluar dari represi yang demikian kuat, seseorang atau sekelompok masyarakat akan melesat mencapai kebebasan itu, bahkan sampai pada titik liar. Kita sedang menyaksikannya hari-hari ini.

Kedua, naluri purba kita adalah berbicara. Semua manusia modern turunan tradisi lisan, tetapi keterlambatan sejarah membuat kita melenggang perlahan-lahan, hanya berputar-putar dalam tradisi leluhur itu. Kita sulit masuk ke ruang reflektif dunia membaca dan menulis dalam pengertian modern. Cara membaca dan menulis kita masih “lisan”.

Situasi itu gayung bersambut dengan demokrasi yang memberi keleluasaan berbicara. Jika tradisi berbicara di masa lalu masih berhadapan dengan tabu tertentu, demokrasi saat ini justru menggugurkan tabu itu. Kita memasuki situasi tuturan yang overdosis, hiperoralitas.

Ketiga, kemajuan teknologi informasi ternyata melebarkan ruang bagi berkembangnya hiperoralitas. Jika radio dan TV menandai munculnya masyarakat lisan tingkat kedua, kini kita berada pada kelisanan tingkat ketiga yang dimotivasi teknologi komputer. Dalam masyarakat lisan tingkat kedua, khalayak cenderung pasif mendengar atau menonton perbincangan di radio atau TV. Dalam masyarakat lisan tingkat ketiga, khalayak terlibat aktif dan total berbincang.

Kelisanan tingkat ketiga menandai berpindahnya secara masif situs masyarakat di kota-kota besar: dari situs socious ke situs virtual. Terjadi bedol desa dari masyarakat yang menetap di suatu ruang-waktu statis (sosiologis) yang cenderung bertahan lama ke ruang-waktu dinamis yang liar dan amat sementara, hanya dibatasi log in dan log out komputer.


Karena bersifat sangat sementara ini, manusia virtual bergerak dalam kebercepatan, ketergesa-gesaan. Dunia dalam kapasitas bytes itu kewalahan, tak mampu menata segala soal yang dibawa para imigran sosiologis itu. Terjadilah berbagai ketegangan, keliaran, dan kekacauan dalam segala ihwal hidup.

Tak lagi kita mampu membedakan mana yang terjadi di ruang sosiologis, mana yang hanya terjadi di ruang virtual; mana berita, mana cerita; mana fakta, mana fiksi; dan mana realitas, mana citra. Semua membaur dan melebur dalam dunia baru, dunia maya.

Dengan komputer jejaring, terbentuklah masyarakat netokrat yang sementara, bahkan sporadis. Masyarakat ini sangat reaktif sebab merupakan kumpulan individu yang reaktif meski berpendidikan tinggi.

Masyarakat netokrat dengan segala karakternya pada dasarnya adalah masyarakat bahasa. Di dalam masyarakat bahasa, segala soal pindah menjadi perbincangan. Dalam beberapa segi, ini positif sebab di sana terjadi diskusi, debat, dan uji gagasan. Namun, dalam banyak hal sering menjadi pemicu terjadinya keriuhan dan kericuhan yang mengganggu tatanan nyata di luar dirinya.

Disitulah terjadi paradoks kebebasan berbahasa (demokrasi): semakin segala soal dijelas-jelaskan dalam bahasa, semakin ia jadi tersembunyi. Kini kita sedang berada dalam kematian bahasa, yaitu bahasa yang terus-menerus diucapkan, tetapi tidak memberi pesan substantif dalam hidup.


Pemimpin kreatif
Di Indonesia penghuni masyarakat netokrat tak sebanyak penghuni masyarakat sosiologis, tetapi sifatnya yang dinamis dan liar telah membuat mereka berdaya jelajah luar biasa. Persoalan sekecil apa pun di dalam realitas sosiologis akan menggurita ketika terdeteksi masyarakat netokrat. Ini lantas menggoyahkan atap kenegaraan dan kebangsaan kita yang fondasinya sendiri memang rapuh.

Penyelesaian masalah kenegaraan dan kebangsaan hari ini tak bisa mengabaikan fenomena masyarakat netokrat itu. Masyarakat netokrat bisa menjadi ranah di mana persoalan kebangsaan harus mulai dikelola dan diselesaikan. Ranah kekacauan wacana bisa jadi titik berangkat. Penyelesaiannya harus dimulai dengan kembali menghidupkan bahasa.

Sejauh ini hal itu masih diabaikan. Politisi, pejabat, dan kepala negara tak menyikapi fenomena itu sebagai poin penting yang berpengaruh ke dalam keberlangsungan pembangunan negara-bangsa.


Di dalam teori kreativitas, bahasa menduduki posisi amat penting. Bahasa adalah sumbu kreativitas, dan kreativitas selalu berkorelasi dengan pemahaman mendalam terhadap pengalaman masa lalu. Orang kreatif tidak pernah mengabaikan sejarah. Dapat dipahami mengapa Soekarno menitipkan sejarah sebagai bagian penting yang harus selalu diingat (Jas Merah).

Pemimpin negeri ini di masa depan mestinya memiliki kecerdasan kreatif. Dengan kecerdasan itu, ia akan mampu mengatakan hal yang berkaitan dengan realitas secara tepat, menjelaskannya dengan mendalam, dan menerjemahkan dalam bahasa khalayak, bukan bahasa dirinya sebagai Sang Penguasa.

Di dalam kecerdasan kreatif yang berbasis pada bahasa, semua itu dijelmakan dalam bentuk penciptaan metafora hidup, idiom baru yang segar, yang dengan itu khalayak terinspirasi sekaligus terpesona. Dimasukkan ke dalam gaya kepemimpinan, metafora baru yang dimaksud adalah gaya kepemimpinan yang elegan, tidak sekedar kompromis tetapi berdaya lincah yang tinggi.

KOMPAS, 8 Oktober 2013