Wednesday, February 26, 2014

Siaga Satu, Banjir Janji Politik!


Banjir bandang yang melanda beberapa wilayah Indonesia mulai surut. Musibah tersebut menyisakan derita dan nestapa bagi yang terkena serta memberikan pekerjaan rumah bagi penyelenggara negara agar mereka lebih serius menanggulangi petaka tersebut.

Namun, surutnya air belum akan segera membebaskan masyarakat dari ancaman banjir. Karena bencana yang mengintip publik dan tidak kalah dahsyatnya adalah banjir janji politik siklus lima tahunan. Lonceng bahaya tersebut akan bergema saat dimulainya pelaksanaan kampanye pemilihan umum legislatif (pileg) melalui rapat umum serta iklan media massa cetak dan elektronik yang akan dimulai 16 Maret sampai 5 April 2014.

Persaingan internal saling “mematikan” di antara sesama kader partai politik, akibat kerancuan sistem pileg antara sistem proporsional dan suara terbanyak, diperkirakan akan menimbulkan gelombang pasang janji-janji muluk para politisi, terutama mereka yang motivasinya semata kekuasaan. Pemilu yang seharusnya dirayakan untuk menyongsong kemenangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan menjadi festival tanpa makna.

Janji sebagai etika sosial dan bagian dari peradaban, karena terkait dengan niat, komitmen, dan iktikad untuk melakukan sesuatu (menyejahterakan masyarakat), atau tidak melakukan sesuatu (korupsi) yang berguna untuk rakyat, hanya dijadikan sekadar siasat sesaat oleh para politisi guna mengumpulkan suara.


Sumber dari kedua bencana yang menakutkan tersebut sama, yaitu keserakahan nafsu primitif manusia yang melebihi ambang batas keadaban. Banjir janji politik jauh lebih berbahaya dan apokaliptik. Pertama, bencana tersebut tidak mudah terdeteksi karena datangnya disertai dengan semilirnya angin surga yang membuai publik hingga terlena. Banjir kata-kata dalam kampanye yang seakan-akan menggugah kesadaran untuk mengingatkan masyarakat. Namun peringatan tersebut sejatinya bukan mengingatkan, melainkan justru memabukkan.

Datangnya air bah lebih mudah dideteksi sehingga masyarakat dapat menghindar dari akibat bencana yang lebih parah. Namun, masyarakat biasanya terlambat menyadari kesalahannya dalam memilih para pengumbar janji jelang pemilu. Setelah mereka berkuasa, perilakunya berbanding terbalik dengan saat mereka mengumbar janji.

Kedua, banjir bandang memang mempunyai daya rusak yang menakutkan karena mengakibatkan penderitaan masyarakat. Namun, pemulihan dan pencegahan bencana tersebut lebih mudah diatasi. Sementara itu, dampak daya hancur banjir janji politik menyentuh tataran peradaban dan dapat melumpuhkan sendi-sendi kehidupan politik. Kredibilitas demokrasi serta lembaga-lembaga politik dan pemerintahan semakin melorot. Pengalaman 15 tahun terakhir, kampanye dalam pileg, pemilu presiden, dan beratus kali pemilu kepala daerah membuktikan hal itu. Janji para politisi hanya menggelorakan retorika dan demagogi politik, namun miskin substansi dan edukasi.


Sarat kebohongan
Janji politik lebih mirip kebohongan daripada komitmen dan obligasi moral. Alih-alih menumbuhkan dan merawat rasa saling percaya antara rakyat dan pemimpinnya, banjir janji politik justru mengakibatkan putusnya tali silaturahmi antara rakyat dan pemimpinnya. Perilaku politik yang sarat kebohongan juga menenggelamkan para politisi itu sendiri dalam kubangan lumpur korupsi kekuasaan dan kepalsuan. Lapisan kebohongan mereka bertingkat-tingkat karena kebohongan yang satu harus ditutupi dengan kebohongan yang lain.

Kemuliaan politik menjadi sekadar komoditas yang dipasarkan melalui citra dan fatamorgana politik. Seharusnya, meski ranah politik merupakan medan pertarungan yang penuh siasat, muslihat, saling mengecoh, serta adu lihai dalam menyusun taktik dan strategi, tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk mengumbar janji palsu.

Berdasarkan pengalaman kampanye dari berbagai kompetisi politik selama ini, rakyat harus Siaga 1 untuk mengantisipasi dan memitigasi gelombang hiperbola janji para politisi. Tanpa upaya sungguh-sungguh serta kewaspadaan yang prima dan maksimum, banjir janji politik akan semakin menenggelamkan harapan masyarakat.

Salah satu cara ampuh untuk mengurangi dampak dari petaka janji politik adalah menelusuri rekam jejak satu per satu dari semua calon wakil rakyat. Melalui pencermatan tersebut dapat diketahui sejauh mana empati dan rasa peduli mereka terhadap penderitaan rakyat. Cara tersebut juga dapat menguak integritas dan kompetensi mereka. Rakyat semestinya jangan serta-merta percaya begitu saja, bahkan dilarang percaya hanya kepada omongan politisi pada kampanye. Rakyat perlu bukti.


Beberapa upaya telah dilakukan, misalnya Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyiapkan rapor dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan, mengenai para petahana DPR periode 2009-2014 yang jumlahnya sekitar 9 persen dicalonkan lagi oleh pimpinan partainya untuk periode 2014-2019.

Penilaian tersebut memberikan pedoman kepada para pemilih dengan memberikan nilai kepada para kandidat, mulai sangat buruk sampai dengan sangat baik. Berdasarkan rapor tersebut, para pemilih mendapatkan bahan informasi untuk menentukan wakilnya di lembaga yang terhormat tersebut.

Memitigasi daya rusak banjir janji politik memerlukan kerja keras dan bahu-membahu semua pihak agar benar-benar dapat menemukan serta memilih calon wakil rakyat yang amanah dan bersedia mengabdi pada kepentingan masyarakat. Melalui daya upaya tersebut, semoga Pemilu 2014 menjadikan rakyat sebagai pemenang sebenarnya.

J Kristiadi,
Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 4 Februari 2014

Monday, February 17, 2014

Rezim Media di Pemilu 2014


Pemilu 2014 segera terlaksana. Ruang publik terutama media massa kian gegap gempita dengan perang opini, terpaan citra, adu prestise, bahkan relasi antagonistik antar-kekuatan yang bertarung. Publisitas dan kampanye politik terasa semakin menyesakkan isi media kita. Siaran televisi merupakan satu di antara media yang harus mendapatkan perhatian serius berbagai pihak, agar hegemoni pengusaha-politisi yang menjadi pemilik media tak semakin merugikan kepentingan publik.

Penonton televisi kita diprediksi akan terus meningkat seiring kian bergairahnya industri penyiaran di Indonesia. Aneka ragam program siaran tersaji dan menerpa khalayak hampir sepanjang hari. Eksistensi industri televisi pun kian kompetitif seiring terintegrasinya stasiun-stasiun televisi ke jaringan usaha para konglomerat yang tak hanya berhitung bisnis melainkan juga politis. Jika di Pemilu 2004 para pengusaha media lebih banyak berposisi sebagai pendukung atau tim pemenangan, maka pada Pemilu 2014 kali ini, mereka justru banyak yang menjadi petarung di gelanggang utama.

Tak dapat disangkal, kita memang mengalami lompatan sosial (social jumping) dari budaya agraris ke masyarakat informasi yang belum matang. Maksudnya, masyarakat yang masih rendah tingkat literasi medianya, langsung diterpa pola tontonan serba-wah yang menina-bobokkan kesadaran khalayak. Jadilah bangsa kita sebagai bangsa penonton berat (heavy viewers) yang kerap kali mudah terkooptasi dan terdominasi oleh tayangan televisi. Sekaligus khalayak juga dibikin “tak berkutik” alias tunakuasa untuk melakukan kritisisme atas beragam pengetahuan dan mungkin juga “sampah” informasi yang setiap hari dihantarkan televisi hingga ke ruang-ruang keluarga.

Inilah salah satu konteks paling krusial yang harus dibaca para akademisi, lembaga regulator independen semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, para pekerja media sekaligus para politisi dan penyelenggara negara. Secara akademik memang telah menempatkan posisi media hanya memiliki efek terbatas (limited effect) seperti tergambar dalam riset Paul Lazarsfeld yang dikenal dengan “Erie County Study” pada tahun 1940. Dari 600-an responden dalam riset itu, hanya 54 orang saja yang mengalami perubahan perilaku pemilihan (voting behavior). Tapi, yang kita belum tahu, akan samakah jika hal tersebut terjadi di Indonesia meski bangsa ini sudah lama merdeka dan merengkuh kebebasan pers?


Konteks Politik
Titik perbedaan kita dengan di Amerika adalah cara penonton kita mengonsumsi media yang mengalami lompatan. Literasi media yang rendah tentu juga akan berpengaruh pada minimnya literasi politik. Dampaknya, media terutama televisi begitu leluasa melakukan penetrasi pada persepsi masif khalayak dan memposisikan penonton sebagai obyek. Penonton adalah obyek yang diterpa terus-menerus (dibombardir) tanpa diberi “ruang kesadaran” untuk bertanya yang memadai.

Bisa jadi, kelas menengah terdidik sudah merasa jengah dengan dominasi rezim media semacam itu, tetapi mereka yang awam dan marginal tentu saja masih akan sulit untuk keluar dari jeratan dan pesona media ini. Meskipun, belum tentu aktor yang berada di balik terpaan media tersebut, berhasil dan sukses dalam mengkonversikan beragam program televisi menjadi sejumlah suara nyata dalam pemilu.

Secara politik, bilik suara menjadi wilayah pertempuran baru, misalnya, antara kelompok yang punya “gizi” dan yang kurang “gizi” atau antara mereka yang memiliki instrumen pengendalian sistem pemilu dengan mereka yang tidak. Di situlah letak penuh paradoks pemilu kita yang hingga kini masih belum terurai dengan baik. Idealnya memang perubahan perilaku memilih warga itu berbasis indikator-indikator rasional. Misalnya, tawaran program partai, gagasan dan kapasitas caleg maupun capres. Hanya saja subordinasi rezim media kerap kali justru mereduksi fungsi media yang semestinya merupakan referensi penting perang gagasan dan program menjadi sekedar alat propaganda dan manipulasi politik.


KPI Bekerjalah!
Masuknya Hary Tanoesoedibjo pemilik grup besar Media Nusantara Citra (MNC) yang antara lain menguasai RCTI, MNC-TV, Global TV, SINDO radio, dan sejumlah media cetak (koran SINDO) maupun online ke Partai Hanura menjadi fenomena kontemporer kian lekatnya politik-media dengan domain perebutan kekuasaan politik. Demikian pula Aburizal Bakrie, pemilik tv-One dan ANTV, yang menjadi capres Partai Golkar serta Surya Paloh pemilik Metro TV menjadi Ketua Umum Partai Nasdem.

Tiga contoh sosok pengusaha-politisi ini sudah cukup representatif untuk mengungkapkan kekhawatiran kita terhadap adanya upaya hegemoni ruang publik kita terutama terkait frekuensi yang sejatinya merupakan sumber daya yang terbatas. Kekhawatiran kita kian terkonfirmasi saat stasiun-stasiun yang mereka miliki mulai nampak bertaburan dengan spot iklan-iklan politik. Mulai dari perkenalan partai, unjuk citra lewat program yang “memaksa” frekuensi sekaligus perhatian publik untuk berpaling pada sejumlah blocking time temu kader, liputan khusus rapat pimpinan nasional (rapimnas), siaran live rapat koordinasi nasional, kongres dan sejumlah pernak-pernik acara kepartaian lainnya yang sebenarnya tidak begitu penting untuk publik.

Dalam pertimbangan UU No 32 Tahun 2002 jelas disebutkan bahwa spektrum frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, kekeliruan besar jika frekuensi milik publik yang terbatas tersebut, dengan semena-mena telah dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha-politisi untuk kepentingan pertarungan pemilu semata.

Dengan demikian, ada sejumlah agenda yang harus dilakukan agar demokratisasi penyiaran tidak beralih ke hegemoni rezim media.


Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjalah! Jangan berpangku tangan. Kerusakan akan bertambah parah, jika KPI berkolaborasi dengan kepentingan politik pengusaha-politisi media untuk melegalkan siaran yang menerabas etika dan regulasi siaran.

Dalam Pemilu 2014 ini, kampanye melalui media cetak dan elektronik ditetapkan 21 hari sebelum masa tenang. Sebenarnya dalam UU No 08 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif ada beberapa hal yang sudah mulai diatur meski pun masih melahirkan banyak problematika. Misalnya, di dalam Pasal 96 diatur soal larangan menjual blocking segment dan atau blocking time, dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye pemilu, serta dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu kepada peserta Pemilu lainnya.

Sementara itu di Pasal 97 batas pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi secara kumulatif maksimum sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik setiap stasiun televisi setiap harinya pada masa kampanye, sementara radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik.

Pun demikian, dengan Peraturan KPU No15 Tahun 2013 yang merevisi PKPU No1 Tahun 2013 sebenarnya regulasi kampanye sudah lebih memadai dibanding 2009, hanya saja memang menjadi problematika karena suatu kampanye baru dapat dikategorikan melanggar atau tidak jika sudah dihitung secara kumulatif.


Harus adanya visi, misi dan program bagi setiap parpol sekaligus keharusan untuk melakukan sosialisasi kepada khalayak, membuat para pelanggar dengan mudah mengakali aturan main yang ada saat ini. Harusnya, KPI turut punya andil terutama untuk menertibkan media penyiaran yang nakal. Pedoman Perilaku Penyiaran Bab XXIX tahun 2012 yang dikeluarkan KPI menyangkut siaran pemilu dan pilkada salah satu bunyinya adalah lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional.

Jelas, KPI harus mengeluarkan panduan yang lebih detail dan teknis terkait dengan siaran pemilu sehingga aturan main tidak normatif dan multitafsir. Meskipun aturan KPI ditentang banyak media penyiaran, KPI tidak boleh inferior. KPI wajib melunasi janji kelembagaannya sebagai kontrol publik untuk memperkuat demokratisasi penyiaran. Faktanya, hingga sekarang esksistensi KPI nyaris tak terdengar saat ruang publik kita diperdaya oleh para pemilik kuasa media yang bertarung di Pemilu 2014.

Frekuensi televisi memang harus diatur. Selain sebagai sumber daya yang terbatas milik publik, media, menurut Antonio Gramsci, memang bisa diperalat menjadi “tangan-tangan” dari kelompok berkuasa yang punya watak hegemonik. Tentu saja, publik tak rela jika media telah sempurna menjadi instrumen distorsi informasi dari para politisi pengusaha.

Gun Gun Heryanto,
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

KORAN JAKARTA, 5 Februari 2014

Wednesday, February 12, 2014

Menata Kembali Indonesia


Saat ini, mulai banyak orang Indonesia yang optimistis bahwa Pilpres 2014 akan membawa harapan bagi masa depan Indonesia. Jun Honna, pengamat Indonesia dari Universitas Ritsumeikan, Jepang, menyebut optimisme tersebut sebagai ‘efek Jokowi’ yang dipercaya setidaknya akan menyebabkan perubahan politik yang sangat penting terkait dengan konsolidasi demokrasi di negeri ini (Kompas, 15/1/2014).

Fenomena munculnya Jokowi sebagai seorang ‘non-elite’ yang memperoleh dukungan luas dan fanatik dari masyarakat untuk menjadi presiden tentu saja dihadapkan pada tantangan untuk mengubah konstelasi perpolitikan Indonesia yang selama era reformasi masih dikuasai para elite (politik dan ekonomi) produk Orde Baru.

Selain itu, terdapat beberapa tantangan besar yang berkaitan langsung dengan kecenderungan berupa merebaknya privatisasi ekonomi, yang dalam beberapa bidang telah menyebabkan lumpuhnya fungsi negara sebagai penyedia kesejahteraan dan pusat pelayanan publik. Dalam bentuknya yang paling buruk, negara bahkan ditengarai telah menjadi fasilitator kepentingan (neokolonialisme) asing.

Dalam membendung arus deras globalisasi neoliberal dan konteks nasional yang melingkupinya, gagasan kesejahteraan yang berarti penguatan kembali peran publik negara terasa perlu kembali dimunculkan (Tim Triloka, 2011).

Perwujudan neoliberalisme yang telah merambah ke hampir seluruh sendi kehidupan ekonomi negeri ini sangat pantas untuk ditinjau ulang. Sementara itu, langkah deprivatisasi dan nasionalisasi beberapa aset nasional perlu dikaji kelayakannya. Secara umum pembangunan ekonomi butuh reorientasi agar lebih berbasis kepada kedaulatan bangsa dan keberlanjutan sumber daya alam.


Meraih kembali kedaulatan
Misi menata kembali Indonesia tentu saja merupakan pekerjaan besar yang harus dipikul oleh seluruh komponen kekuatan bangsa. Untuk itu, dibutuhkan peta jalan (road map) dengan berbagai sasaran antara yang segera ingin dicapai. Sebagai pendekatan tematik, setidaknya perlu diprioritaskan enam sektor berikut, yaitu pangan dan pertanian, energi, usaha mikro dan kecil, pendidikan, kesehatan serta ketenagakerjaan.

Isu ketahanan pangan, yakni kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dengan mutu dan jumlah yang aman, merata, dan terjangkau, seperti tercantum dalam UU No 7/1996 tentang Pangan adalah bagian dari isu kedaulatan pangan yang harus ditekankan. Selama rezim Orde Baru, pendekatan pengembangan sektor pertanian mengikuti ‘revolusi hijau’ yang berbasiskan kepada pupuk dan pestisida kimia, bibit hibrida, serta teknik budidaya monokultur yang ternyata telah menimbulkan banyak masalah. Selama ini, dalam era reformasi persoalan ketergantungan input produksi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya bukan saja belum teratasi, melainkan kebijakan sektor pertanian kita nampaknya menjadi semakin jauh untuk melayani kepentingan industri besar dan pemilik modal.

Dampaknya, Indonesia masuk ke food trap (jebakan pangan) negara maju dan kapitalisme global. Selain beras, tujuh komoditas utama non-beras yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor.

Ketergantungan lainnya, berkaitan dengan energi, khususnya pada energi fosil. Harga minyak bumi yang terus melambung, penggunaan energi yang boros, subsidi BBM dan listrik yang masih berlanjut, pertumbuhan penduduk dan kebutuhan energi yang terus meningkat, merupakan permasalahan energi nasional yang tak kunjung selesai.


Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa lebih dari separuh kebutuhan energi Indonesia dipenuhi dari minyak bumi. Saat ini, Indonesia memiliki cadangan total minyak bumi yang meliputi cadangan terbukti dan cadangan potensial, sekitar 10 miliar barel. Jika tingkat produksi minyak rata-rata sebesar 450 juta barel per tahun, cadangan minyak kita akan kering dalam 20 tahun.

Dengan demikian, perlu upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan (mikro hidro, biomassa, biogas, gambut, energi matahari, arus laut, dan tenaga angin) sehingga di masa mendatang bangsa Indonesia tidak akan mengalami kekurangan pasokan energi. Menurut catatan kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, negara ini setidaknya memiliki 62 jenis tumbuhan penghasil minyak untuk energi.

Bagaimana dengan perdagangan? Ternyata, porsi sektor informal dalam kegiatan perdagangan di Indonesia mencapai di atas 95%. Upaya pengembangan kewirausahaan di Indonesia sangat terkait dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), yang pada umumnya merupakan pengisi sektor informal, dan bagian dari gerakan koperasi. Koperasi dan UMKM merupakan representasi rakyat Indonesia dalam kehidupan ekonomi. Karena itu, perlu diberikan prioritas yang tinggi dalam pembangunan nasional.

Terutama UMK (usaha mikro dan kecil), yang memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dan komparatif khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam. Sektor tersier UMK, yaitu perdagangan, pariwisata, dan industri boga, dengan investasi yang sama mampu menyerap tenaga kerja yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan usaha menengah dan besar. Oleh karena itu, secara prospektif, UMK sebenarnya dapat tumbuh lebih cepat asal ada kebijakan yang efektif dan tepat guna dari pemerintah.


Meningkatkan sumber daya
Permasalahan lainnya berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah tingginya jumlah pengangguran, minimnya perlindungan hukum, upah yang kurang layak, dan rendahnya pendidikan buruh. Data menunjukkan secara jelas, bahwa lebih dari 75% pekerja Indonesia berpendidikan SLTP ke bawah, tanpa keterampilan khusus. Bagi kalangan investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, sajian data ini akan menghadirkan suatu pengertian bahwa jenis industri yang potensial dikembangkan di Indonesia adalah jenis industri manufaktur padat karya (garmen, tekstil, sepatu, elektronik).

Selama lebih dari 35 tahun, pemerintah Indonesia percaya dengan jenis investor ini, sampai kemudian disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah jenis industri yang paling gemar melakukan relokasi.

Dalam dua dekade terakhir kualitas manusia Indonesia telah mengalami kemerosotan yang parah dan menjadi yang paling rendah di Asia Tenggara. Selain kualitas, pendidikan kita juga menghadapi masalah kuantitas. Tahun lalu, dari 118.108 siswa SD yang mengikuti general test di Jakarta, misalnya, sebanyak 34.313 tidak diterima di SLTP negeri. Bila ingin melanjutkan sekolah, mereka harus mendaftar ke sekolah swasta yang lebih mahal. Padahal, bisa diduga, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga paspasan, yang boleh jadi mengalami kesulitan belajar karena kekurangan gizi, misalnya.

Kenyataannya, sekitar 27% balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Sementara itu, angka kematian balita (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Tingginya kasus gizi buruk yang dialami calon generasi penerus bangsa ini sangat berbahaya bagi peningkatan kualitas pembangunan negeri ini.

Menata kembali Indonesia, idealnya berdasarkan jiwa, semangat, nilai dan konsensus dasar berdirinya Republik ini seperti yang tersurat dalam Mukadimah dan Pasal 33 UUD ‘45. Pembangunan berkeadilan ditorehkan sebagai arah besarnya dengan agenda dan program pembangunan yang dicanangkan untuk mencapai keadaan masyarakat yang sejahtera melalui kedaulatan pangan dan energi, penciptaan kesempatan kerja, penghapusan kemiskinan, dan pengurangan berbagai bentuk ketimpangan.

Ivan Hadar,
Direktur Institute for Democracy Education (IDE),
Koordinator Target MDG (2007-2010)

MEDIA INDONESIA, 5 Februari 2014

Thursday, February 6, 2014

Waktu dan Masalah Kedaulatan


Mengapa kemunculan seorang Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) atau seorang Joko Widodo (mantan Walikota Solo yang sekarang Gubernur DKI Jakarta) demikian fenomenal dan memikat perhatian publik secara luas?

Jawabannya sederhana tanpa memerlukan banyak teori: karena keduanya dinilai memberikan contoh sebagai pemimpin yang prorakyat dan menjalankan tugas dengan bahasa hati. Setidak-tidaknya demikianlah kesan publik terhadap keduanya sampai hari ini.

Adapun ke depan, sekiranya keduanya diberi posisi yang lebih tinggi, apakah idealisme mereka masih bisa bertahan, kita tidak tahu. Godaan terhadap orang yang berkuasa pasti muncul dari segala penjuru, di semua lini, termasuk dari lingkungan pengusaha hitam, jika tidak waspada. Kewaspadaan ini harus disiapkan sejak dini dengan bersenjatakan mata rajawali, bukan mata kelelawar yang redup pada siang hari. Karena tidak banyak elite Indonesia yang kebal terhadap godaan harta benda dan kekuasaan.

Terpaku dan terpukaunya mata publik kepada dua tokoh itu tidaklah terlalu mengherankan. Bukankah ratusan pejabat publik yang lain di seluruh Nusantara lebih banyak disibukkan dengan urusan politik kekuasaan, di samping memikirkan bagaimana cara melunasi utang dana kampanye yang bisa menelan miliaran rupiah? Termasuk bagaimana memenuhi janji-janji mereka kepada cukong yang mahir “berjudi” dalam mendukung politisi yang sedang bersaing, demi melebarkan sayap bisnis mereka, jika pihak yang didukung memenangi persaingan?

Semua itu bukan lagi rahasia, tetapi sudah menjadi pengetahuan orang banyak. Risma dan Jokowi dinilai relatif bersih sekalipun pasti juga telah mengeluarkan dana untuk jadi pemenang. Saya katakan relatif karena keduanya tidak mungkin bebas 100 persen dari dunia percukongan.


Dalam pusaran politik
Apa yang disebut politik uang adalah riil. Dalam suasana perlombaan terhadap kekuasaan yang sedang berjalan sekarang, kesetiaan pada idealisme sudah lama menguap ke langit tinggi. Maka, jika tuan dan puan sudah bosan dengan politik, itu masuk akal. Akan tetapi, larut dalam kebosanan sangat berbahaya karena bisa melumpuhkan perjalanan bangsa yang sebenarnya ingin menegakkan sistem demokrasi yang sehat dan kuat.

Manusia, di mana pun di muka bumi, tidak mungkin terhindar dari pusaran politik. Tugas kita sebagai rakyat adalah berupaya dalam batas kemampuan kita masing-masing agar politik itu dijadikan kendaraan untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk mengorbankan mereka.

Politik yang mengorbankan rakyat banyak adalah jenis politik kumuh dan biadab. Sebaliknya, politik yang bersih dan beradab pasti bertujuan mulia membela kepentingan yang lebih besar, jauh melampaui parameter hitung-hitungan untung-rugi jangka pendek. Indonesia merdeka benar-benar memerlukan terciptanya politik yang beradab ini dalam tempo yang dekat. Sebab, jika berlama-lama terseret dalam kebiadaban berkepanjangan, waktu pasti akan menjadi ancaman serius terhadap nasib kita semua.

Kita sungguh sedang berlomba dengan waktu dan waktu itu bisa sangat kejam. Kata peribahasa Arab: “Waktu itu ibarat pedang; jika tidak pandai menggunakannya, leher tuan dan puan akan dipancungnya”. Terlambat berarti merelakan proses pembusukan politik yang sedang berjalan ini semakin membusuk serta bisa menggiring bangsa dan negara menggali kuburan masa depannya.

Situasi menjelang Pemilu 2014, dalam perspektif kedaulatan bangsa dan negara, sungguh mencemaskan. Apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidato “Nawaksara” pada saat kekuasaannya sedang berada di ujung tanduk pada 22 Juni 1966 patut dicermati: “Berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan berdikari dalam ekonomi.” Semua ranah itu kini berada di tikungan sejarah dan di bawah ancaman, asing atau agen domestiknya, sehingga bangsa dan negara ini nyaris kehilangan kedaulatan, kepribadian, dan kemandirian dalam makna yang sejati.


Berdaulat penuh
Kemerdekaan bangsa tanpa kedaulatan adalah kemerdekaan palsu yang hanya bisa dinikmati mereka yang mengidap mentalitas terjajah. Di luar tampaknya merdeka, tetapi jiwanya telah dicuci pihak asing agar perasaan kemerdekaannya tumpul tak berdaya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia bertujuan membebaskan bangsa dan negara ini dari suasana batin manusia budak dan manusia terjajah itu.

Apakah sistem demokrasi kita bisa digerakkan ke arah tujuan yang “berdaulat penuh” itu? Jika mau, pasti bisa. Syaratnya: ucapkan “selamat tinggal pada mentalitas budak dan mentalitas terjajah”.

Dengan pemenuhan syarat ini, waktu insya Allah akan berpihak kepada bangsa dan negara tercinta ini bersamaan dengan pulihnya kedaulatan yang sepenuhnya. Bukan hanya setengah berdaulat atau seolah-olah berdaulat.

Ahmad Syafii Maarif,
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
KOMPAS,  4 Februari 2014