Monday, April 21, 2014

Skenario Pencapresan

Jokowi, Prabowo dan Ical.

Ketika pemilihan legislatif sudah terselenggara pada 9 April 2014, tiga pemenang yang muncul dengan suara terbanyak versi perhitungan cepat berbagai lembaga survei sudah resmi mengajukan calon presiden untuk pemilihan bulan Juli 2014. Terakhir diumumkan calon PDIP, Joko Widodo, populer dipanggil Jokowi, yang baru setahun lebih menjabat gubernur DKI-Jakarta itu, tetapi langsung mencuat elektabilitasnya sebagai calon presiden hasil jajak pendapat berkat gebrakan-gebrakan dan gaya komunikasi serta kepemimpinannya yang membuatnya populer itu.

Sebelumnya, Golkar telah menetapkan Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon tunggal. Namun, yang pertama mengajukan calon presiden adalah Partai Gerindra, yang menampilkan Prabowo Subianto yang juga cepat populer dan menimbulkan optimisme tinggi. Akan tetapi, berbagai lembaga survei juga telah menampilkan beberapa calon dari berbagai partai yang memiliki tingkat elektabilitas yang berbeda. Yang tinggi diproyeksikan sebagai presiden, sedangkan yang sedang dan rendah sebagai wakil presiden.

Dalam basa-basi politik, pencalonan tidak hanya didasarkan pada ketokohan atau popularitasnya, tetapi juga pada platform politik dan ideologi yang menjadi basis partai dari mana calon berasal. Mengantisipasi penyederhanaan struktur dan sistem kepartaian, di antara 12 partai kontestan pemilu dapat dibagi menjadi tiga atau empat golongan atau kekuatan politik.

Golongan Kebangsaan, Golongan Islam, dan Golongan Kerakyatan.

Pertama, adalah golongan kebangsaan yang didukung oleh parta-partai, di antaranya Golkar, Hanura, dan PKP, dengan perolehan suara 20,9 persen. Kedua, golongan Islam, yang terdiri dari PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB dengan 31,4 persen suara. Ketiga, golongan kerakyatan dengan basis PDIP, Gerindra, dan Nasdem dengan elektabilitas 37,7 persen.

Namun, golongan-golongan yang berbasis ideologi dan platform politik itu sulit dibentuk dalam menghadapi pemilu, pertama-tama karena setiap partai dengan kesamaan ideologi, misalnya PDIP dan Gerindra, telah menetapkan calon presidennya sendiri-sendiri. Sungguhpun begitu jika PDIP memenangi pemilu presidensial, partai kerakyatan itu bisa mengajak Gerindra dan Nasdem ikut dalam pemerintahan dan mendukung kabinet dari DPR.

Ketika ditanya mengenai koalisi, Jokowi menolak berbicara mengenai koalisi yang berkonotasi transaksional, yaitu sekedar bagi-bagi kursi. Namun dalam realitas, dari partai manapun, termasuk pemenang pileg, tetap akan melakukan koalisi, terutama untuk mengajak pasangan presiden-wakil presiden dengan berbagai pertimbangan. Misalnya untuk mencapai ambang batas pencalonan atas dasar perolehan suara (popular vote) dan perolehan kursi (elektoral vote), memperoleh pasangan yang saling mengisi atau memilih pasangan yang bisa bekerja sama, juga untuk dukungan dana, tapi ujung-ujungnya mendukung elektabilitas. Namun, demi elegansi, koalisi akan dilakukan atas dasar kesamaan platform politik atau ideologi walaupun sebenarnya bukan merupakan pertimbangan utama.

Akan tetapi, atas dasar elegansi itu, Shalahuddin Wahid, pemimpin Pesantren Tebuireng, yang juga tokoh NU itu mengusulkan tokoh Mahfud MD untuk menjadi pasangan Jokowi yang juga didasarkan pada kedekatan politik kebangsaan antara NU dan kelompok nasionalis. Namun, Surya Paloh mengusulkan Jusuf Kalla untuk pasangan Jokowi atas dasar pertimbangan lain, yaitu memperkuat kepemimpinan Jokowi dengan pengalaman merealisasikan kebijakan dan program.

Hatta Rajasa, Mahfud MD, dan Jusuf Kalla.

Prabowo Subianto konon juga melirik JK, tapi JK sendiri punya banyak pilihan. Sebelumnya, Prabowo konon melirik Hatta Rajasa karena perimbangan “kuat gizinya”. Diharapkan, melalui Hatta Rajasa, Gerindra bisa menghimpun partai-partai Islam lainnya yang sedang memikirkan nasibnya karena perolehan suara di bawah 10 persen itu, kecuali dari PKB jika mengajukan Mahfud MD untuk pasangan Jokowi. Akan tetapi, PKB bisa diterima jika dipasangkan dengan JK walaupun kemungkinan tidak memperoleh dukungan PAN.

Golkar agak sulit memperoleh pasangan karena calonnya, ARB, tersandera dengan kasus Lapindo sehingga elektabilitasnya ical (hilang) dalam survei. Namun, karena kampanye ARB yang simpatik terhadap Islam, peluangnya akan muncul jika partai-partai Islam bisa bersatu untuk mencalonkan tokoh yang komplementer, yaitu Mahfud MD. Jika tidak, peluang satu-satunya adalah berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD), apabila PD bersatu untuk mencalonkan Jenderal Pramono Edhie Wibowo, adik ipar SBY.

Dengan skenario semacam itu, persatuan partai-partai Islam, dengan indikator mampu memiliki suara yang sama dalam pencalonan presiden-wakil presiden, diperkirakan sulit terjadi. Hambatan utamanya adalah karena para pemimpin partai yang punya orientasi sendiri-sendiri. Di antara yang tampak adalah bahwa PKB ingin mencalonkan Mahfud MD atau JK berpasangan dengan Jokowi, tapi Hatta Rajasa masih ingin berkuasa melalui Prabowo yang memiliki postur yang lebih kuat untuk menjadi presiden itu. Kedua tokoh itu sama-sama memiliki peluang untuk mendapatkan dukungan dari partai-partai Islam yang bisa menyebabkan partai-partai Islam sulit kompak untuk bersatu.

Hidayat Nurwahid dan Khafifah Indar Parawansa.

Namun, jika ada negosiator yang berwibawa, misalnya para ulama terkemuka yang mendorong partai Islam untuk bersatu dan menjadi kekuatan politik yang menentukan, karena suaranya mencapai 31,4 persen itu, partai Islam bersatu akan bisa mengajukan calon presiden-wakil presiden sendiri dari kalangan mereka sendiri. Meski begitu, partai-partai Islam itu belum menemukan tokoh yang bisa mempersatukan mereka. Dan, peluang tertinggi ada pada JK.

Kemungkinan pasangan JK ada dua. Pertama, Mahfud MD. Namun, dua tokoh itu dicalonkan oleh PKB sendiri sehingga perlu dipilih tokoh dari luar PKB. Kedua, tokoh yang pantas adalah dari kalangan lelaki, Hidayat Nurwahid dari PKS, dan dari perempuan, Khafifah Indar Parawansa.

Fachry Ali mengusulkan agar dilakukan suatu konvensi untuk bisa menentukan pilihan calon presiden-wakil presiden. Gagasan ini perlu diikuti karena pilihan calon tidak bisa dilakukan melalui tawar-menawar transaksional. Dengan konvensi itu, pilihan akan dilakukan dari bawah secara bebas-rahasia, jujur, dan adil yang bisa mengawali tradisi demokrasi yang sehat.

M Dawam Rahardjo,
Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)
REPUBLIKA, 15 April 2014

Friday, April 18, 2014

Susun Strategi untuk Pemilihan Presiden


Pemilihan umum legislatif telah berlangsung secara serentak, Rabu (9/4) lalu. Komisi Pemilihan Umum akan menghitung perolehan suara setiap partai politik peserta pemilu, dan diharapkan hasilnya akan diumumkan pada tanggal 5 atau 6 Mei mendatang.

Namun, dari hasil hitung cepat Kompas, disebutkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berada di urutan teratas dengan raihan suara 19,24 persen, diikuti Golkar di urutan kedua dengan 15,01 persen, Gerindra di urutan ketiga (11,77 persen), Demokrat di urutan keempat (9,43 persen), dan PKB di urutan kelima (9,12 persen).

Walaupun PDI-P berada di urutan teratas, raihan suaranya tidak sebesar yang diperkirakan dalam survei Kompas pada bulan Januari lalu. Menurut hasil survei Kompas itu, PDI-P akan meraih suara 21,8 persen. Survei itu dilakukan sebelum Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, diumumkan PDI-P sebagai calon presiden. Sama seperti PDI-P, survei Kompas menempatkan Golkar di tempat kedua dengan raihan suara 16,5 persen. Adapun Gerindra berada di urutan ketiga dengan 11,5 persen suara. Khusus Gerindra, angkanya hampir sama dengan hasil hitung cepat Kompas, hanya terpaut sekitar 0,2 persen.

Adapun Demokrat berada di urutan keempat dengan raihan suara 6,9 persen. Angka ini 2,53 persen lebih rendah dari capaian Demokrat dalam hitung cepat Kompas. Kejutan terjadi di urutan kelima. Survei Kompas menempatkan Nasdem di urutan kelima dengan 6,9 persen. Kenyataannya, Nasdem memang memperoleh 6,71 persen. Namun, dengan angka itu, Nasdem berada di urutan kedelapan. Dan, urutan kelima ditempati oleh PKB dengan perolehan 9,12 persen.

Kelihatannya dalam hari-hari mendatang, persoalan tentang siapa akan berkoalisi dengan siapa akan ramai diperdebatkan. Mengingat tidak ada satu pun partai politik yang meraih suara di atas 25 persen, yaitu angka yang diperlukan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Joko Widodo alias Jokowi, capres dari PDI-P.

Berpengaruh atau tidak
Melihat hasil yang diperoleh PDI-P dalam hitung cepat Kompas, banyak yang mempertanyakan, apakah ada pengaruh dari dicalonkannya Jokowi sebelum pemilu legislatif dilaksanakan? Sangat sulit menjawab pertanyaan itu. Ini karena pihak yang mengatakan ada pengaruhnya bisa saja mengatakan, tanpa Jokowi perolehan PDI-P akan lebih rendah lagi. Hal itu mengingat, dalam Pemilu Legislatif 2009, perolehan suara PDI-P hanya 14,03 persen.

Sementara pihak yang mengatakan tidak ada pengaruhnya dapat beralasan, sesungguhnya pada 2009, perolehan PDI-P sekitar 19,22 persen. Kecurangan dalam Pemilu 2009-lah yang membuat perolehan suara PDI-P hanya 14,03 persen.

Perdebatan kedua pihak bisa panjang dan menghabiskan energi, dan tetap tidak akan dapat ditemukan jawabannya. Apakah dicalonkannya Jokowi sebelum pemilu legislatif dilaksanakan, ada pengaruhnya atau tidak? Daripada menghabiskan energi yang tidak perlu, lebih baik PDI-P berpikir keras akan berkoalisi dengan siapa. Dan, segera menyusun strategi untuk menghadapi pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Juli mendatang. Demikian pula dengan partai-partai lain, khususnya tiga parpol yang berada di urutan teratas.

Prabowo Subianto, capres yang diusung Gerindra.

Perhitungkan matang-matang
Ketiga partai yang berada di urutan teratas perlu melihat kembali ke Pilpres 2004, ketika itu presiden terpilih justru datang dari Partai Demokrat yang berada di urutan kelima dengan hanya meraih suara 7,45 persen. Pilpres 2004 memperlihatkan tidak adanya keterkaitan antara partai yang memperoleh suara mayoritas dan calon presiden yang diajukannya.

Dalam Pemilu Legislatif 2004, PDI-P yang berada di urutan kedua dengan perolehan suara 18,53 persen ternyata tidak berhasil memenangkan Megawati sebagai presiden. Bahkan, calon presiden yang diajukan Golkar, yang dalam pemilu legislatif saat itu (tahun 2004) menempati urutan teratas dengan raihan suara 21,58 persen, ternyata tidak lolos ke putaran kedua.

Keadaan yang hampir sama juga terjadi dalam Pilpres 2009. Memang dalam pemilu legislatif tahun 2009, Partai Demokrat memperoleh suara 20,85 persen, tetapi itu tidak ada kaitannya dengan terpilihnya kembali Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden.

Dengan partai yang hanya memperoleh suara 7,45 persen saja, Susilo Bambang Yudhoyono bisa terpilih sebagai presiden. Apalagi ketika Pilpres 2009, saat itu ia maju kembali sebagai petahana.

Siapa yang akan menjadi Presiden Indonesia 2014 - 2019 ?

Dalam Pemilu Legislatif 2009, Golkar berada di urutan kedua dengan raihan suara 14,45 persen, diikuti PDI-P di urutan ketiga dengan 14,03 persen. Namun, dalam pemilihan presiden tahun 2009 itu, Jusuf Kalla-Wiranto yang diajukan Golkar, hanya meraih 12,41 persen suara, kalah dari Megawati-Prabowo yang meraih 26,79 persen. Adapun Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono meraih 60,80 persen.

Melihat kecenderungan seperti itu, maka tidak ada pilihan lain bagi partai yang masuk lima besar, untuk memperhitungkan opsi yang mungkin dimainkannya. Kompromi jelas diperlukan mengingat tidak adanya satu pun partai politik yang mampu meraih suara di atas 20 persen.

Untuk memperoleh gambaran tentang siapa yang memiliki peluang paling besar untuk menjadi presiden RI periode 2014-2019, tidak ada salahnya jika kita melirik hasil survei Kompas tentang sosok presiden pilihan publik yang diadakan tahun 2014. Tempat teratas diduduki oleh Jokowi (43,5 persen), diikuti Prabowo di urutan kedua (11,2 persen), kemudian Aburizal Bakrie berada di tempat ketiga (9,2 persen) dan Wiranto di tempat keempat dengan perolehan 6,3 persen.

Adalah penting untuk menentukan pasangan yang paling cocok untuk dipilih sebagai presiden dan wakil presiden. Sepopuler apa pun calon yang diajukan sebagai presiden, dapat menjadi tidak berarti jika calon itu dipasangkan dengan orang yang salah.

James Luhulima,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 12 April 2014

Tuesday, April 15, 2014

Adil dan Makmur


Tujuan pembentukan negara Indonesia adalah rakyat yang adil dan makmur, begitu disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Apa maksudnya? Tentu semua negara di dunia tujuannya sama, yakni kemakmuran hidup rakyatnya dan keadilan tanpa pandang bulu. Namun, konsep adil dan makmur ini tidak sama artinya bagi semua bangsa karena bergantung pada struktur budayanya. Paling tidak itulah isi pidato Soepomo, doktor hukum adat, dalam rapat-rapat pembentukan UUD pada 31 Mei 1945.

Negara, menurut Soepomo, “bersifat barang yang bernyawa”. Sesuatu yang bernyawa atau “hidup” mengandung tiga elemen dasar yang merupakan satu kesatuan utuh, yakni kehendak (yang bebas), cara berpikir, dan tindakan yang mengandung kekuatan kekuasaan. Yang ini bukan dari Soepomo, melainkan dari masyarakat adat Baduy yang kalau ditelusuri lebih jauh mirip seperti yang ada di Brihad Upanishad, India kuno.

Lembaga tertinggi yang kekuasaannya tak terbatas adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Inilah lembaga negara yang mewakili kehendak, keinginan, dan cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Di situ pula duduk para wakil daerah dan golongan. Lembaga ini memiliki kekuasaan tertinggi negara, tetapi tidak menjalankan kekuasaan rakyat tersebut secara langsung. Kekuasaan MPR ini dimandatkan kepada presiden yang menjalankan kekuasaan rakyat tersebut.


Itulah sebabnya presiden cukup dipilih oleh MPR dan tidak meniru Amerika Serikat yang dipilih langsung oleh rakyat. Konsep ini bersifat Indonesia, yakni pemilik kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedangkan yang menjalankan kekuasaan (presiden) bukan pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Inilah konsep “pasangan” atau “jodoh” atau “kekeluargaan” yang ada di segala segi kehidupan kaum jadul itu. Jelas sekali bukan penganut faham liberalisme maupun individualisme.

Dalam praktik sehari-hari, yang melaksanakan kekuasaan tak lain adalah rakyat sendiri di bawah pimpinan lokal masing-masing. Dengan demikian, ada lingkaran kekuasaan dalam UUD 1945, seperti dirumuskan oleh Abraham Lincoln, bahwa pemerintahan dibentuk dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang diharapkan tidak akan lenyap dari muka bumi.

Rakyat tak mungkin memerintah dirinya sendiri. Mereka memilih wakil-wakil yang mereka percayai dan duduk dalam lembaga yang dapat dihitung jumlahnya, yakni MPR. Kemudian rakyat memilih presiden melalui MPR. Presiden inilah yang memerintah rakyat, yang jika pemerintahannya tak membawa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat, rakyat tinggal mendesak MPR untuk mencabut mandatnya pada presiden. Kekuasaan itu sirkuler: dari rakyat kembali ke rakyat.

Tugas negara, dalam hal ini presiden dan pemerintahannya, mengantarkan seluruh rakyat menuju keadilan dan kemakmuran. Mengapa adil dan makmur? Inilah konsep pasangan atau jodoh dunia kuno kita, seperti pasangan kawula-gusti (rakyat-pemerintah), makro-mikro (rakyat-MPR), dan lahir-batin (makmur-adil).


Roh dan badan
Kemakmuran adalah persoalan lahir, tubuh (jasad), material yang di dunia kuno kita isinya hanya masalah “sehat” dan “kaya”. Keadilan adalah persoalan batin yang rohaniah atau spiritual yang isinya cuma satu: “masuk surga”. Tiga elemen tujuan negara ini dapat dijabarkan dalam puluhan item yang disesuaikan menurut kebutuhan setiap zaman, tetapi intinya tetap pasangan roh dan badan. Roh menghidupi badan, dan badan menjaga roh. Itulah sebabnya elemen hidup “sehat” amat esensial bagi manusia.

Kemakmuran dan kekayaan rakyat bukanlah satu-satunya tujuan negara. Pemerintah yang hanya mengklaim kesuksesannya berdasarkan meningkatnya pendapatan rakyat, tentu tak paham UUD 1945. Banyak masyarakat adat yang sudah “adil dan makmur” dalam budaya lokalnya justru terganggu karena program pemerintah yang hanya mencapai sasaran “kaya dan makmur”. Rakyat tidak hanya butuh yang lahir, tetapi pemenuhan kebutuhan yang batin seringkali justru lebih penting.


Keimanan dan kepercayaan agama apapun, dalam masyarakat religius, hal-hal yang rohaniah itu lebih utama daripada yang duniawi karena yang rohani menghidupkan, menggerakkan, dan memberikan tenaga pada tubuh. Tenaga, energi, kekuatan adalah esensi spiritual, begitu yang diungkapkan Leonardo da Vinci. Kita hidup dan bergerak karena yang rohani menyatu dalam tubuh. Gerak tubuh ini tak terpisahkan dari elemen pikiran dan keinginan manusianya. Dengan demikian, “adil” masuk dalam kategori hidup rohaniah.

Dunia modern kita saat ini telah jauh meninggalkan konsep-konsep kearifan lokal Indonesia ini. Kita memaksakan diri untuk hidup dalam “struktur budaya” masyarakat yang asal-usul dan perkembangannya berbeda dengan kita di Indonesia. Itulah sebabnya UUD 1945 kita bongkar dan disesuaikan dengan kebutuhan modern kita. MPR yang dirancang sebagai lembaga kehendak rakyat dan lembaga keinginan rakyat disingkirkan dan diganti dengan DPR yang justru dalam UUD hanya merupakan bagian dari MPR belaka.

Jika kelembagaan negaranya sudah seperti itu, bagaimana mungkin dapat jodoh dengan rakyat? Lantas, bagaimana mungkin masyarakat adil dan makmur dapat terwujud?

Jakob Sumardjo,
Budayawan
KOMPAS, 12 April 2014

Thursday, April 3, 2014

Duri dalam Putusan MK


Permohonan pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7C dikaitkan dengan Pasal 22 E ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

Itulah amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 108/PUU-XI/2013, atas permohonan Profesor Yusril Ihza Mahendra. Putusan ini dibacakan dalam sidangnya yang terbuka untuk umum pada tanggal 20 Maret 2014. Pasal-pasal yang dimohonkan oleh Profesor Yusril untuk diuji oleh MK adalah Pasal 3 ayat 5, Pasal 9, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Profesor Yusril menilai pasal-pasal ini bertentangan dengan Pasal 4 ayat 1, Pasal 6A ayat 2, Pasal 7C, Pasal 22E ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UUD 1945. Tetapi dalam petitumnya, Profesor Yusril juga memohon MK menyatakan maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem presidensial.

Effendi Gazali Ph D, Prof Yusril Ihza Mahendra dan Dr Margarito Kamis.

Konsistensi Amburadul
Bila permohonan yang diajukan Effendi Gazali Ph.D dan kawan-kawan yang telah diputus oleh MK pada tanggal 23 Januari 2014 yang lalu dibanding dengan permohonan Profesor Yusril, terdapat sedikit persamaan juga sedikit perbedaan. Perbedaan paling fundamental terletak pada argumen dan Pasal-Pasal UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji. Sedangkan Effendi Gazali dan kawan-kawan tidak menggunakan Pasal 7C sebagai batu uji, juga tidak memohon kepada MK untuk menafsir Pasal 4 ayat (1) dihubungkan dengan Pasal 7C UUD 1945.

Tetapi terlepas dari perbedaan dan kesamaan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dan pasal UUD yang dijadikan batu uji oleh Effendi Gazali dan Profesor Yusril, terdapat satu hal menarik. Hal yang menarik itu adalah konsistensi MK dalam menilai dan memberi sifat hukum atas Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh MK, pasal ini dinilai sah secara konstitusional, dan tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.

MK menilai ketentuan yang terdapat pada Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka, yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Penilaian ini telah dianut oleh MK sejak putusan nomor 51-52-59/PUUVII/ 2008 tanggal 23 Januari 2009, dan dinyatakan terakhir kalinya dalam putusan nomor 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 yang lalu.

Soal hukumnya adalah, pasal apakah dalam UUD 1945 yang memberi delegasi, yang oleh MK disifatkan sebagai “kebijakan terbuka” itu kepada pembentuk UU? Pasal 6 ayat 2 dan pasal 6A ayat 5 UUD1945 adalah dua pasal yang secara eksplisit mengatur delegasi kepada pembentuk UU. Pasal-pasal lain dalam UUD 1945 tidak memberi delegasi kepada pembentuk UU untuk mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden. Pasal 6 ayat 2 mendelegasikan kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut “syarat” yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi capres dan cawapres.

Profesor Yusril Ihza Mahendra, pernah berperan sebagai Laksamana Cheng Hoo.

Pasal 6A ayat 5 mengatur delegasi tentang tata cara. Nalarnya, Pasal 6 mengatur syarat yang harus dipenuhi oleh subyek –orang– untuk dapat diusulkan menjadi calon presiden atau wakil presiden. Maksud yang dituju oleh Pasal 6 ayat 2 adalah orang, dan hanya orang yang dapat menjadi presiden, bukan partai politik. Maksud itu terbaca dari frase “syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden” yang terdapat dalam Pasal 6 ayat 2 itu, yang sekali lagi, maknanya tidak lain, dan hanya itu, yaitu orang, bukan partai politik.

Konsekuensi hukumnya, pasal ini tidak bisa ditujukan kepada partai politik, dalam bentuk mewajibkan partai politik memenuhi syarat tertentu, dalam bentuk ambang batas peroleh kursi atau suara, untuk dapat mengusulkan seseorang menjadi calon presiden dan atau wakil presiden. Sayangnya, MK berpendapat lain. Pendapat ini, hemat saya, disebabkan oleh ketidaklogisan memaknai konsep “syarat”, dan konsep “tata cara”. Secara hukum, syarat dan tata cara adalah dua hal yang berbeda. Perbedaannya tidak bersifat semantik, melainkan substansial.

Syarat adalah hal-ihwal yang padanya hukum atau hak disandarkan atau digantungkan. Bila syarat itu terpenuhi, maka timbullah hak. Sebaliknya bila syarat itu tidak dipenuhi, maka haknya ditangguhkan pemenuhannya, atau hilang haknya. Berbeda dengan konsep syarat, tata cara adalah serangkaian tindakan hukum yang harus dilakukan oleh subyek hukum, yang diberi wewenang melakukan tindakan hukum itu.

Tindakan hukum apa? Tindakan hukum dalam rangka memenuhi Pasal 6A ayat 5 yaitu melaksanakan pemilu presiden dan wakil presiden. Kapan pemilu itu dilaksanakan, kapan pendaftaran dibuka, berapa hari waktu yang diperlukan untuk pendaftaran itu, kapan surat suara dicetak, siapa yang mencetaknya, kapan surat suara didistribusikan, siapa yang mendistribusikannya, dan lain sebagainya. Itulah makna norma dalam Pasal 6A ayat 5.

John F Kennedy dan Earl Warren beserta isterinya masing-masing.

Inilah Durinya
Andai MK memiliki kaliber setara Earl Warren, chief justice di dalam supreme court di Amerika pada masa Presiden Eisenhower, maka tak mungkin MK menemukan kabut hitam untuk mengualifikasi Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sebagai inkonstitusional. Toh, kelak ketika pileg dan pilpres disatukan, pasal itu tidak memiliki relevansi sama sekali. Mau ambil 20% atau 25% dari mana? MK terlalu mengecilkan kapasitasnya dengan menceburkan diri ke dalam hipotesa kerumitan teknis. Sungguh disayangkan, MK tidak mendemonstrasikan kehebatan argumentasinya sebagai penafsir final atas konstitusionalitas pasal, ayat, atau frase dalam UU, khususnya Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 ini.

Namun nasi sudah jadi bubur, MK telah memberi kata putus atas masalah itu, dan sesuai sifatnya, putusan itu tidak dapat dilawan dengan upaya hukum apa pun. MK hanya mengutip pendapatnya yang terdahulu, khususnya yang tertuang dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/ 2013 tanggal 24 Januari 2014. Itu pun, sekali lagi, sangat singkat. Oleh karena MK telah memiliki sikap final atas Pasal 9 itu, maka MK tidak memiliki pilihan lain, selain memberi putusan atas permohonan Profesor Yusril agar MK menafsir hubungan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7C UUD 1945 yang menurutnya kedua pasal ini bermakna sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah presidensial.

Akankah putusan atas permohonan Profesor Yusril ini menyisakan “duri” dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang akan dilaksanakan pada bulan Juli mendatang? Sulit mengatakan ya. Mengapa? Karena, MK menyamakan esensi permohonan Profesor Yusril dengan permohonan Effendi Gazali. Sungguh pun begitu, pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang bukan tak mungkin bisa tertusuk duri. Duri itu adalah dalam hal pemisahan pilpres dari pileg.

Mengapa? Karena MK dalam putusan atas permohonan Efendi Gazali telah mengualifikasi pemisahan pileg dan pilpres sebagai tindakan inkonstitusional. Memang, MK menangguhkan sementara pelaksanaan akibat hukum yang timbul dari putusan itu hingga pemilu 2019 yang akan datang. Tetapi, hal itu tetap saja menjadi duri dalam pilpres. Di situlah letak relevansi analisis Profesor Yusril tentang persoalan konstitusionalitas dan legitimasi pilpres mendatang.

Margarito Kamis,
Doktor Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

KORAN SINDO, 22 Maret 2014

Kegagalan Menjaga Konstitusi


Hanya dalam kisaran waktu dua bulan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah dua kali memutuskan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Meski isu dan substansi hukumnya berada dalam wilayah yang nyaris sama, putusan MK itu bisa dinilai bertolak belakang dan di antaranya seperti bergerak ke wilayah yang berbeda.

Kamis (20/3/2014) sore, melalui Putusan No 108/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan pengujian konstitusionalitas ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang dimohonkan Yusril Ihza Mahendra. Dengan putusan tersebut, ambang batas pengajuan pasangan capres (dan wapres), sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 UU No 42/2008, mendapat peneguhan baru dan tetap berlaku dalam Pemilu 2014.

Sebelumnya, 23 Januari, melalui Putusan No 14/PUU-XI/2013, ketika mengabulkan permohonan Effendi Gazali, MK menilai dan menyatakan pemilu anggota legislatif yang dipisahkan penyelenggaraannya dengan pemilu presiden bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali, MK mengembalikan desain penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada makna dan semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, yaitu pemilu diselenggarakan sekali dalam lima tahun.

Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, meski diajukan oleh pemohon yang berbeda dengan pilihan pasal-pasal yang tak persis sama, keduanya berada dalam titik singgung sama, yakni: memutus tirani ambang batas pengajuan capres. Selama ini, ambang batas dinilai sebagai akal-akalan parpol besar di DPR untuk memonopoli pengajuan capres. Caranya, hasil pemilu legislatif dijadikan sebagai persyaratan yang niscaya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif didahulukan dan dipisah dari pemilu presiden.

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (UUD 45, Pasal 6A, Ayat 2)

Menabrak UUD
Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, pasangan capres dan wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Ketentuan ini merupakan demarkasi dan sekaligus menjadi ambang batas konstitusional bagi parpol untuk mengajukan pasangan calon. Dengan ketentuan itu, semua parpol sepanjang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan capres. Dengan pemahaman itu, menjadi tak tepat dan tak beralasan untuk membatasi kesempatan bagi parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu.

Bentangan fakta yang ada selama ini, rezim ambang batas sengaja dipelihara terutama oleh parpol yang memiliki kursi besar di DPR. Bahkan, apabila dilacak perkembangan sepanjang munculnya desakan menghapus rezim itu di DPR tahun lalu, sulit dibantah, bahwa parpol besar tetap berada di balik penolakan ini. Celakanya, ide melestarikan ambang batas itu tak dibaca MK sebagai bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945.

Padahal, dengan membaca secara utuh desain yuridis Pasal 6A UUD 1945, maka tidak tersedia lagi ruang bagi pembentuk UU untuk menambah syarat yang dapat menegasikan hak konstitusional parpol peserta pemilu. Kalaupun tersedia ruang untuk mengatur dengan UU sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945, hanya dibenarkan sepanjang menyangkut tata cara pemilihan. Karena itu, menambah persyaratan yang berpotensi mereduksi hak parpol peserta pemilu dapat dikatakan sebagai bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945.

Karena itu, begitu pembentuk UU menambah syarat pencalonan yang menghilangkan kesempatan bagi semua parpol peserta pemilu, MK mestinya memakai kuasa konstitusionalnya untuk mengembalikan pada kehendak UUD 1945. Dalam konteks itu, jika dikaitkan dengan putusan dua bulan lalu, permohonan Yusril merupakan upaya lebih lanjut menjawab beberapa catatan yang tersisa dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali. Sebagai penafsir dan penjaga konstitusi, permohonan Yusril menyediakan kesempatan bagi MK untuk mengembalikan makna konstitusional Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang telah lama mengalami mati suri.

Dengan dasar berpikir seperti itu, sebagaimana pernah dinukilkan dalam “(Bukan) Putusan yang Hambar” (Kompas, 27/1/2014), dikemukakan, hakikat diterimanya permohonan Effendi Gazali dengan mudah dapat diterapkan dalam permohonan Yusril. Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, tak ada alasan bagi MK untuk menolak permohonan penghapusan ambang batas yang diajukan Yusril. Bagaimanapun, tatkala pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden dinilai sebagai inkonstitusional, maka ambang batas pengajuan pasangan capres dan wapres (presidential threshold), menjadi kehilangan dasar argumentasi untuk terus dipertahankan.

Effendi Gazali dan Yusril Ihza Mahendra.

Kegagalan MK
Kritik utama yang niscaya dikemukakan dalam putusan Yusril, hakim MK lebih menjaga konsistensi dengan putusan sebelumnya dibandingkan menghidupkan kembali makna hakiki Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Hal ini bisa dilacak dari putusan Effendi Gazali saat MK secara eksplisit menyatakan ambang batas menjadi kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk UU. Dengan membaca secara utuh konstruksi yuridis Pasal 6A UUD 1945, pilihan meneguhkan ambang batas sebagai kebijakan hukum terbuka inilah yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk nyata kegagalan MK dalam menjaga konstitusi.

Padahal, sekiranya mau dan mampu membangun dalil baru, MK sangat mungkin mengoreksi putusan sebelumnya. Paling tidak, dalam putusan Effendi Gazali, hakim MK telah melakukan langkah tepat dengan mengoreksi beberapa putusan, terutama terkait ambang batas. Dalam pengertian itu, permohonan Yusril semestinya jadi upaya lebih lanjut membangun dalil baru guna mengakhiri masa mati surinya Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Apalagi, secara substansial pemilu serentak dalam Putusan No 14/PUU-XI/2013 masih belum tuntas alias masih menggantung.

Sebagai lembaga yang diberi otoritas untuk mengoreksi semua UU yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, semestinya MK terikat dengan pemenuhan otoritas dimaksud. Untuk itu, semestinya hakim MK lebih merasa terikat dengan konstitusi dibandingkan dengan putusannya sendiri. Masalahnya, dalam putusan Effendi Gazali upaya koreksi telah dilakukan, tetapi hal serupa tak dilakukan dalam permohonan Yusril. Adakah ini semata-mata karena alasan menjaga konsistensi dengan putusan sebelumnya? Atau, karena hakim MK memang tak punya keberanian untuk masuk lebih jauh ke dalam wilayah ambang batas?

Padahal, melihat bobot konstitusional pemilu serentak dan penghapusan ambang batas, semestinya MK memberikan perlakuan tak berbeda antara pemenuhan makna dan semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, sekiranya rezim ambang batas tidak hadir, sangat mungkin uji materi pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak pula diajukan ke MK. Karena itu, ketika permohonan Yusril tidak diterima, berarti hakim MK telah gagal memaknai amanah yang diberikan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Tidak hanya itu, hakim MK sekaligus tengah mempertontonkan kegagalan dalam menjaga UUD 1945.

Saldi Isra,
Guru Besar Hukum Tata Negara,
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

KOMPAS, 22 Maret 2014