Wednesday, October 29, 2014

Literasi dan Politisi

Sjahrir, Soekarno, dan Hatta.

Salah satu yang bikin kita takjub terhadap manusia pergerakan adalah mereka hadir ke gelanggang politik tidak dengan kepala hampa, tetapi justru dengan ilmu pengetahuan yang menjulang. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Soekarno, Sjahrir, M Yamin, Tan Malaka, Agus Salim, Hatta, Natsir, dan lainnya adalah sosok yang mencerminkan “bangsawan pikir”. Akrab dengan literasi, aktif berdiskusi, dan terus melakukan kontak dengan massa. Dari penjara Sukamiskin, Bandung Timur, atas tuduhan pelanggaran UU Hukum Pidana pasal haatzaai artikelen, Soekarno menulis “Indonesia Menggugat”, semula sebagai pleidoi di Gedung Landraad pemerintah kolonial Belanda di Bandung, 18 Agustus 1930.

Buku yang jadi dokumen sejarah politik Indonesia itu ditulis mendalam dengan banyak jejak literasi yang telah diendapkannya sebagai pertanda Soekarno muda memang rakus membaca sambil dihubungkan dengan dinamika peristiwa politik yang dialami bangsanya. Buku yang memiliki pengaruh besar bukan hanya terhadap takdir ke-Indonesiaan, melainkan juga bangsa-bangsa lain yang masih dalam tindasan kaum kolonial meski pada akhirnya dia tetap dijatuhi hukuman.

M Natsir dan Bung Hatta.

Tan Malaka sebagai sosok yang produktif dan orang pertama yang menulis kata “Indonesia Merdeka” dalam Naar de Republiek Indonesia pada 1925 di negeri pembuangan —ketika dipenjara oleh Soekarno karena bersimpangan jalan secara ideologis— dengan intim dan penuh daya gugah menuliskan seluruh pengalaman hidupnya dan seluruh amal politik anti-kolonialisme-nya yang total dalam tiga jilid buku berharga, “Dari Pendjara ke Pendjara” dengan sebuah keyakinan yang tak bisa ditawar seperti dituliskannya di dalam buku itu.

“Buku ini saya namakan Dari Pendjara ke Pendjara. Memang saya rasa ada hubungannya antara penjara dan kemerdekaan sejati. Barang siapa yang sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri sendiri. Siapa ingin merdeka, ia harus siap dipenjara.” Dia juga menulis: Gerpolek, Madilog, Massa Aksi, dan Menuju Republik.

Seorang bernama Hatta ketika berada di balik terali besi di penjara Den Haag, Belanda (1927-1928), hari-harinya larut disibukkan dengan membaca banyak buku sambil menyiapkan ujian sidang di Rotterdamse Handel Hooge School. Saat menjadi manusia eksil di Boven Digoel, akhir tahun 1935, lagi-lagi yang dijadikan teman setianya adalah buku dalam jumlah tak terhitung. Puluhan dus buku diboyong dari rumahnya ke Digoel. Di Digoel semua buku itu dibaca cermat, dianalisis dengan dingin, dan kemudian dikeluarkan dalam bentuk tulisan yang dikirim ke berbagai media. Sebagai aktivis politik, ia masih sempat menulis buku: Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi, Alam Pikiran Yunani (1943), dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (1964).

Tan Malaka, salah satu pahlawan Indonesia yang terlupakan.

Pewarisan tindakan
Mereka tidak hanya mewariskan tindakan politik yang penuh keteladanan: tentang kata yang selaras dengan tindakan, etika yang dijadikan daulat utama, kejujuran yang dipegang teguh, kesetiaan dalam perkawanan, atau kesederhanaan dan bahkan asketisme yang dijadikan jalan kehidupan, tetapi juga dengan memukau, mereka mewariskan banyak kitab yang bisa dibaca hingga hari ini.

Maka tak heran ketika Indonesia diproklamasikan, mereka menjadi elite baru. Gedung Konstituante dalam sekejap berubah menjadi arena perdebatan mencerahkan, menjadi panggung ilmiah adu ketangguhan mempertahankan pendapat dengan argumentasi yang akurat. Kuat dengan ilmu, menukik dalam telaah, dan jauh ke depan ketika memandang persoalan yang menyangkut hajat hidup masa depan bangsa dan negara. Karena itu, produk undang-undang yang dihasilkannya pun sangat teruji, visioner, dan bermutu.

Wawasan yang luas tak hanya tecermin dari buku-buku yang telah ditulis, tetapi juga dari cara mereka merumuskan falsafah negara, menyelesaikan perdebatan, serta mencari jalan keluar yang disepakati semua pihak secara lapang dan toleran. Semua sila dalam Pancasila, sebelum tampak seperti hari ini kita baca, lahir dari sebuah 'sengketa' pemikiran yang panjang, argumentatif, dan 'panas', termasuk pasal-pasal UUD 1945, Pembukaan, dan Piagam Jakarta. Karena saat itu kehormatan diletakkan di atas sikap keteguhan memegang prinsip kebenaran dan kejujuran.

Beberapa wajah Amir Sjarifudin, tokoh perjuangan Indonesia yang dianggap bersimpang jalan.

Kala itu juga, jarang kita temukan anggota konstituante dan atau anggota kabinet yang terjerat kasus korupsi, memburu proyek, bancakan anggaran, main perempuan, dan perbuatan amoral lainnya.

Justru sebaliknya, kesederhanaan telah menjadi bagian integral dari gaya hidup elite politik masa itu. Bagaimana misalnya, setingkat Perdana Menteri M Natsir, jasnya kelihatan sobek. Hatta sampai akhir hayatnya memendam cita-cita memiliki sepatu Bally yang tak kesampaian. Seorang diplomat ulung yang fasih bicara banyak bahasa asing, Agus Salim yang kehidupannya tak ubahnya seperti anak kos dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain sampai ajal menjemputnya.

Sjahrir yang sering kali pinjam uang. Tan Malaka yang tak sempat mencicipi buah manisnya kemerdekaan, tetapi sepanjang hidupnya sebagai pelarian yang berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Amir Sjarifudin, wakil PM Sjahrir, yang akhirnya harus terus berada dalam pelarian karena berbeda haluan dengan kekuasaan yang notabene adalah kawan-kawan seperjuangannya sendiri.

Bung Karno dan "Indonesia Menggugat!" adalah jejak sejarah yang fenomenal dan monumental.

Cermin hari ini
Setelah 69 tahun usia kemerdekaan, cerita itu tinggal kenangan, hanya ada dalam catatan sejarah yang sudah lusuh. Hari ini yang kita saksikan pemandangan berbanding terbalik. Gedung DPR di Senayan tak ubahnya showroom mobil-mobil mewah. Kebanyakan yang diparkir adalah kendaraan keluaran terbaru dengan harga banderol miliaran rupiah. Pelantikan anggota DPRD DKI saja, bisa jadi ajang kepongahan pamer kendaraan mewah di tengah kebanyakan rakyat yang mayoritas masih jauh dari sejahtera.

Jangan bandingkan dengan kualitas persidangan manusia pergerakan kala itu. Yang terekam kini, perdebatan yang sebagian besar mencerminkan manusia yang tak karib dengan literasi. Bukan hanya bobot argumen yang dikedepankan dan produk legislasi yang dikeluarkan, bahkan dari cara berdiskusi, mengajukan pertanyaan pun nampak sekali sangat mengecewakan. Militansi perjuangan itu hanya tampak digunakan untuk memperjuangkan undang-undang yang dianggap sehaluan dengan kepentingan partai dan kelompok atau golongannya sendiri. Kalau sudah menyangkut nasib partainya, apa pun dilakukan walaupun tak sepakat dengan rakyat yang telah memilihnya.

Lebih tragis lagi, tak sedikit manusia politik mutakhir, setelah terpilih menjadi anggota Dewan, yang dilakukannya tak lebih dan tak kurang adalah cari obyekan di banyak kementerian. Menandai mata anggaran tertentu di APBN yang bisa “dikerjasamakan” untuk kepentingan daerah pemilihannya masing-masing. Selebihnya, duduk manis di kursi Senayan dengan mata terpejam. Sesekali studi banding ke luar negeri agar tampak kosmopolitan. ICW merilis, 48 caleg 2014-2019 terpilih tersangkut perkara korupsi. Dari jumlah itu, 26 orang akan menjabat anggota DPRD kabupaten/kota, 17 orang akan menjadi anggota DPRD provinsi, dan 5 orang akan dilantik sebagai anggota DPR (Kompas, 16/9). Zaman memang sudah berubah. Sayang perubahan itu bergeser ke arah atmosfer politik jahiliah.

Asep Salahudin,
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya
KOMPAS, 13 Oktober 2014

Friday, October 24, 2014

Dari Masjid?


Pada suatu Minggu pagi seperti biasa saya berjalan pulang ke rumah saya di Kompleks UI Ciputat dari acara rutin pengajian bakda subuh mingguan di Masjid Al-Irfan di kompleks perumahan saya itu. Namanya pulang dari masjid, tentunya saya berkain sarung, berkopiah, dan berkemeja lengan panjang seperti bapak-bapak lain di kompleks itu kalau shalat jamaah ke masjid.

Sambil berjalan santai menikmati udara pagi yang segar saya memperhatikan seorang mbak (panggilan orang Jakarta untuk profesi asisten rumah tangga alias pembantu) yang sedang menyapu jalanan di depan rumah bos nya beberapa rumah sebelum rumah saya. Dia melihat saya dan dengan tersenyum ramah bertanya, “Dari masjid, Pak?” “Astaga …,” pikir saya dalam hati, “Mbak ini apa enggak lihat saya pakai sarung dan kopiah? Kan jelas bukan dari berenang di pantai? Ya, jelas dari masjid lah? Sungguh pertanyaan yang sia-sia, enggak berguna, enggak efektif, dan enggak efisien.

Tetapi, untuk tidak menyinggung dia, saya menjawab pertanyaan mbak itu, “Iya, Mbak! Sedang nyapu ya Mbak?” Pertanyaan balik yang sama begonya, tetapi keluar dari mulut seorang profesor senior UI. Walaupun bego, sapa-menyapa yang enggak jelas seperti itu menjadi ciri dari masyarakat yang bertradisi guyub (bahasa Jawa, artinya akrab, informal) yang banyak terjadi di masyarakat tradisional atau masyarakat pedesaan.

Karena itu, kalau kita pergi ke kota-kota kecil atau desa-desa di Jawa Tengah, DIY, atau Jawa Timur, sering kita dengar pertanyaan-pertanyaan yang buat orang kota besar seperti Jakarta adalah pertanyaan yang tak berguna misalnya: “Habis memborong, ya Bu?”(padahal jelas ibu itu membawa banyak bungkusan pulang dari pasar) dan jawabannya juga lebih jelas lagi, “Enggak kok Bu. Ini titipan orang,” (selalu ngeles, padahal memang dia baru belanja karena mau masak buat keluarganya).

Atau “Mau ke mana Pak?” (siapa dia, ada urusan apa, kok tanya-tanya?), jawabnya pun asal saja, “Enggak ... mau ke situ sebentar,” (selalu diawali dengan “enggak” dan enggak jelas juga yang di maksud “situ” itu mana?).


Pertanyaan dan jawaban seperti itu dalam situasi-situasi sosial di masyarakat paguyuban (istilah ini sudah menjadi istilah antropologi dan sosiologi yang artinya “kekeluargaan, informal, komunal”), adalah hal yang biasa. Secara harfiah dan logika memang tidak ada maknanya. Tetapi, secara sosial-psikologis, tanya-jawab singkat itu ekspresi dari silaturahmi, saling menghormati dan saling menghargai (dalam bahasa Jawa: nguwongke) antar dua pihak. Saling tanya-jawab itu bentuk saling sapa yang merupakan perwujudan dari sopan santun untuk menjaga agar masyarakat tetap guyub, akrab, akur selamanya.

Dalam masyarakat kota besar, masyarakat industri, masyarakat modern yang bersifat patembayan (formal, individualistik) suasana batinnya lebih rasional, tidak terlalu peka dari segi perasaan, lebih tak acuh, setiap orang ikuti jalannya masing-masing, dan baru bertegur sapa kalau ada kepentingan-kepentingan yang saling bertemu, bisa secara positif (koordinatif, kerja sama, kongsi, dan sebagainya), maupun secara negatif (konflik, persaingan, dan sebagainya).

Kendati demikian, di dalam bahasa Inggris tetap ada ungkapan sapaan yang sebetulnya juga tidak bermanfaat kecuali sebagai saling sapa saja misalnya “Hi, how are you doing?” yang dalam bahasa Indonesianya “Hai, apa kabar?” Pertanyaan seperti ini sebetulnya tidak memerlukan jawaban. Mau kabar baik atau kabar jelek memangnya masalah buat lo? Tetapi, demi sopan santun, jawaban kita kalau ditanya seperti itu hampir selalu positif seperti “Kabar baik”, “I am OK, thank you !”, kecuali kalau yang bertanya orang yang dekat dengan kita dan kita memang bermaksud untuk curhat.

Maka itu, pertanyaan sapaan itu bisa dijawab dengan curhat yang berkepanjangan. Jadi dalam masyarakat patembayan pun ada sisi-sisi sopan santun untuk saling menjaga perasaan, saling menghormati dan menghargai, agar semua sama-sama senang dan sama-sama tenang.


Dalam Islam ada kalimat-kalimat untuk saling sapa yang bukan sekadar kalimat-kalimat tak bermakna, tak berujung pangkal dan tak berguna, melainkan penuh dengan makna, yaitu “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,” dan yang dijawab dengan “Wa ‘alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh,” yang artinya adalah “Salam, semoga Allah merahmati dan memberkahi Anda”, yang dijawab dengan “Salam kembali, semoga Allah juga merahmati dan memberkahi Anda”.

Luar biasa sekali bukan? Jauh lebih bermakna daripada “Dari masjid, Pak?” atau “Hi, how are you doing?” atau “Apa kabar?”, yang kalau kita lagi suntuk bisa kita jawab, “Auk ah, gelap!” Sayang sekali, sapaan yang bermakna saling doa itu, yang sekarang diucapkan oleh setiap orang, dalam hampir setiap kesempatan (dalam satu kali pertemuan bisa puluhan kali diucapkan, karena setiap orang mengucapkannya kalau mau mulai bicara, padahal seharusnya cukup sekali saja diucapkan oleh MC atau pimpinan pertemuan dan sekali juga dijawab oleh hadirin), bahkan teman-teman yang non-muslim pun sudah fasih melafalkannya. Artinya, salam cara Islam itu sudah membudaya dalam masyarakat kita. Namun, salam yang penuh doa itu tidak berpengaruh apa-apa pada masyarakat.

Konflik antar-kelompok, antar-parpol, anak membunuh orang tua, tawuran karena berebut lahan parkir atau berebut pacar, suami KDRT istri, ibu KDRT anak, birokrat dan anggota legislatif mencuri uang rakyat, dan lainnya berlangsung terus-menerus. Tidak ada hentinya. Di Timur Tengah bahkan meletus perang saudara yang dahsyat dan berlarut-larut, lengkap dengan acara potong kepala, yang di Kalimantan Barat, Indonesia juga pernah terjadi ketika Melayu dan Dayak memerangi Madura.

Tidak ada manfaatnya ber-assalamu ‘alaikum kalau hanya penghias bibir, tidak diresapkan di hati nurani dan tidak keluar lagi dari hati nurani. Lebih baik ber-“Apa kabar?” saja atau “Dari masjid, ya Pak?”, tetapi betul-betul merupakan perwujudan silaturahmi.

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 12 Oktober 2014

Thursday, October 9, 2014

Sang Demokrat atau Sutradara Tonil?


Dari balik dinding tahanan, sayup-sayup saya mendengar hiruk-pikuk pengesahan RUU Pilkada. Musababnya, sikap Fraksi Demokrat yang walk out (WO) menjelang voting. Alasan Demokrat karena 10 poin perbaikan yang diusungnya tidak diterima oleh koalisi pendukung pilkada langsung.

Kekecewaan publik terhadap sikap Demokrat, khususnya kepada Ketua Umum DPP Partai Demokrat, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) merebak, bahkan mengalahkan kekecewaan atas “kalahnya” pilkada langsung dalam voting tersebut.

Bahkan saya berhipotesis, jika Demokrat ikut voting dan pilkada langsung tetap kalah, masyarakat tidak akan sekecewa ini karena manfaat versus mudarat pilkada langsung atau lewat DPRD adalah diskusi yang bisa terus berkembang seiring berjalannya waktu. Metode pilkada bukanlah perkara halal-haram yang mutlak.

Masyarakat lebih marah atas ketidakjelasan sikap. Masyarakat marah kepada Demokrat sebagai pihak yang seharusnya bisa melakukan sesuatu, mengambil sikap yang jelas untuk memperjuangkan suatu pilihan, tetapi membuang kesempatan itu karena kepentingan yang sulit diterima logika publik.


Tak Ada Pilihan
Apa yang dimaksud kepentingan yang sulit diterima publik? Kita tahu bahwa sejak lama hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Megawati Soekarnoputri membeku. Kebekuan ini menyebabkan SBY, selaku ketua umum Partai Demokrat dan juga presiden yang akan lengser, kesulitan untuk membangun komunikasi dengan Jokowi-JK, baik sejak pilpres hingga pasangan itu menjadi presiden dan wakil presiden terpilih.

SBY tahu, dan tidak punya pilihan, kecuali mendekat kepada Jokowi-JK untuk melancarkan proses transisi pemerintahan dan mengamankan diri dan keluarganya di masa datang. Karena itu, sejak pilpres, Demokrat membangun citra netral, walaupun itu pasti mengundang kekecewaan Hatta Rajasa, pasangan Prabowo dalam pilpres yang juga mantan menteri yang paling loyal sekaligus besan SBY.

Kita bisa menyaksikan betapa selama pilpres, Demokrat bergerak bak tari poco-poco dari Kawanua: ke kanan lalu ke kiri lalu ke depan, goyang-goyang sebentar, lalu kembali ke titik semula alias tidak ke mana-mana. Ada orang-orang yang diutus ke kedua kubu, tapi setahu saya tidak terlalu digubris, khususnya oleh kubu Jokowi-JK. Kegagalan poco-poco pada pilpres itulah yang membuat SBY tidak punya pilihan.

Berbeda dengan bukunya yang berjudul “Selalu Ada Pilihan”. SBY tahu salah satu momen terakhir yang bisa digunakan untuk mencairkan kebekuan komunikasi dirinya dengan kubu Jokowi-JK tinggal pengesahan RUU Pilkada. Sebagai seorang perancang skenario yang apik, SBY sudah menjalankan permainannya sejak “tampil” di YouTube dan mengatakan mendukung pilkada langsung. Kita membaca di media betapa pernyataan SBY tersebut masih ditanggapi kader Demokrat sebagai gagasan, bukan perintah.

Kader Demokrat juga menganggap saat itu SBY berbicara sebagai presiden, bukan ketua umum Partai Demokrat. Sikap Demokrat baru jelas beberapa hari kemudian lewat konferensi pers. Yang menarik, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan menyatakan pemerintah telah memasukkan 10 poin perbaikan pilkada langsung yang diajukan Demokrat ke dalam RUU.


Masyarakat Menilai
Ternyata “10 poin perbaikan” inilah yang dijadikan sebagai bargaining Demokrat. Ini juga yang menjadi alasan walk out menjelang Rapat Paripurna. Mereka berdalih bahwa 10 poin perbaikan tidak diterima oleh forum lobi fraksi. Yang menarik jika kita membaca media, menjelang rapat, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Arif Wibowo menyatakan pihaknya secara prinsip sepakat dengan Demokrat mengenai perbaikan pilkada langsung, hanya masih ada hal-hal kecil yang perlu dibicarakan dengan Demokrat dan fraksi-fraksi lain.

Menurut Arif Wibowo, untuk sekarang (menjelang Rapat Paripurna) pihaknya fokus pada hal-hal pokok. Lalu apakah Demokrat bersikap drastis hanya karena hal-hal kecil? Seperti layaknya film India, jagoannya datang belakangan. Seperti kita tahu, SBY kemudian menyatakan kecewa dengan proses dan hasil rapat paripurna dan akan memperjuangkan pilkada langsung melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.

SBY menyatakan akan mencari siapa dalang dibalik WO Fraksi Demokrat menjelang voting. Belakangan setelah kembali dari luar negeri SBY menyatakan akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), termasuk memasukkan 10 poin perbaikan. Terhadap materi ini, sulit dibedakan apakah SBY sedang berposisi sebagai presiden RI atau ketua umum Partai Demokrat.


Sebagai orang yang pernah di Partai Demokrat, pernyataan terakhir ini sangat lucu. Mereka yang memahami struktur dan proses pengambilan keputusan di internal Demokrat paham betul bagaimana tidak ada sehelai daun pun jatuh tanpa persetujuan SBY. Jadi pernyataan “mencari dalang” lebih tepat dibaca “mencari kambing hitam” agar sinetron ini terus berlanjut. Orang awam pun bisa menilai skema permainan ini.

Dalam kalkulasi politik pencitraan SBY, jika skenario uji materi dikabulkan MK, maka kredit dan pujian akan berdatangan kepadanya sebagai pahlawan demokrasi. Insiden WO Fraksi Demokrat adalah kesalahan segelintir oknum. Apalagi, SBY punya alibi sedang berada di luar negeri, persis ketika terjadi rapat tentang Bank Century dan beberapa peristiwa penting lainnya di tanah air. Boleh jadi SBY mengharapkan masyarakat lupa, siapa yang sebenarnya memperjuangkan pilkada langsung.

Jika nanti pilkada langsung diterapkan, itu akan diklaim sebagai legacy SBY. Ini juga yang akan digunakan sebagai modal merehabilitasi hubungan dengan kubu Jokowi-JK. Demikian halnya dengan skenario menerbitkan perppu yang dianggap sebagai pilihan populer karena sesuai dengan selera opini publik. Jika perppu disetujui DPR, jelas akan menjadi kredit politik penting bagi SBY.


Apalagi secara substansi, ide politik itu sejalan dengan yang diperjuangkan oleh koalisi politik pendukung Jokowi-JK. Dengan demikian, secara citra dapat poin, secara politik juga mendapat keuntungan. Tapi akhirnya poco-poco tetaplah sebuah tarian hiburan. Walau SBY sudah balenggang pata-pata dan pe goyang pica-pica, masyarakat punya penilaiannya sendiri. Ternyata penilaian itu bukanlah tepuk tangan, apalagi standing ovation di akhir pertunjukan.

Masyarakat sudah cerdas dan mampu mengekspresikan dirinya. Tagar #ShameOnYouSBY yang sampai menjadi trending topic dunia di Twitter hingga menarik perhatian media internasional adalah “hadiah” sekaligus simbol perlawanan masyarakat kepada presiden yang akan segera undur diri itu. Sekali lagi, masyarakat lebih marah kepada ketidakjelasan dan kepalsuan sikap, ketimbang terhadap sebuah kekalahan dalam suatu pertandingan yang jujur dan fair. Inilah pelajaran penting demokrasi bagi bangsa ini.

Demokrasi memang membutuhkan demokrat sejati. Nah, yang perlu dijawab adalah, apakah yang tersedia adalah sosok Sang Demokrat atau sutradara tonil (teater)?
Wallahu a‘lam. Hanya Tuhan yang tahu.

Anas Urbaningrum,
Pernah Menjadi Politikus Partai Demokrat
KORAN SINDO, 3 Oktober 2014