Saturday, January 18, 2014

Semiotik Politik Terimakasih


Walaupun ditahan KPK, Anas Urbaningrum tetap mengucapkan terima kasih yang ditujukan kepada sejumlah pihak. Tidak ada satu ahli komunikasi politik pun yang menginterpretasinya dalam makna denotasi. Lalu, masyarakat juga bertanya-tanya: makna apakah sebenarnya yang berada di belakang terima kasih itu?

Dalam bahasa dibedakan makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi merujuk makna kata atau makna kamus, sedangkan makna konotasi adalah sejumlah makna tambahan pada makna denotasi. Misalnya, makna denotasi Mercedes adalah mobil dengan buatan khusus. Karena mobil ini luks dan mahal, maka masyarakat memberinya makna konotasi ‘kekayaan, kemewahan, dan status’.

Ucapan terima kasih terdapat dalam berbagai budaya dan bahasa di dunia. Walaupun berbeda-beda, makna denotasinya kurang lebih sama, yaitu ‘ucapan syukur atau ucapan balas budi setelah menerima kebaikan dari seseorang’.

Berdasarkan pemahaman itu, ucapan terima kasih Anas tidaklah merupakan ucapan syukur yang tulus atas apa yang didapatkannya. Terima kasih dan penahanan tidak koheren. Lalu makna apakah yang dimasukkan Anas ke dalamnya?


Untuk memahami hal ini teori semiotik Peirce membantu. Peirce melihat kata, frasa, ujaran, dan wacana sebagai tanda. Bagi Peirce, tanda terlibat dalam suatu proses semiosis triadik.

Tanda terhubungkan dengan obyeknya lewat sebuah ide atau konsep. Obyek bisa berarti benda-benda, kelompok benda, bahkan konsep. Yang menarik di sana adalah hakikat hubungan antara tanda dan obyek. Apabila dibandingkan dengan semiologi Saussure yang melihat hubungan antara kata dan konsep (obyek) sebagai sebuah koin yang punya dua sisi yang tak terpisahkan, Peirce malah melihat adanya keterpisahan antara keduanya. Keterpisahan semacam itu disebut ruptur.

Dalam hal ini semiologi Saussure akan melihat ucapan terima kasih Anas sebagai kesalahan dalam berbahasa. Ia mempertahankan makna harfiah sebuah kata. Semiotik Peirce, pada pihak lain, mengatakan karena adanya ruptur antara kata dan benda, ucapan terima kasih dapat diisi dengan makna apa saja. Hal ini menunjukkan kebebasan manusia dalam memakai tanda dan kebebasan mengisi makna apa saja ke dalam sebuah kata.


Di sini Peirce mempertahankan makna penutur yang berbeda dari makna kata. Jadi, makna apakah yang ada di belakang kepala Anas ketika memakai ungkapan terima kasih itu?

Jujur, untuk mengetahui hal itu hanya Anas-lah yang bisa menjawabnya. Namun, dalam semiotik dikenal ungkapan the death of author, ‘kematian seorang pengarang’. Karena telah dilempar ke ruang publik, makna pengarang dinyatakan tidak berlaku dan hak pendengar dan pembaca untuk menggerakkan interpretan sebagai tanda yang diterima dan memaknainya.

Masyarakat politik menginterpretasinya secara bermacam-macam. Walaupun setiap penutur bebas memasukkan makna ke dalam interpretasinya, yang terpenting diingat ialah menghindari interpretasi yang sangat individualistis dan berpihak kepada yang konvensional. Selain itu, sebuah interpretasi harus mempunyai dasar ilmiah empiris.


Terima kasih bertingkat
Ucapan terima kasih Anas diatur secara bertingkat. Ucapan terima kasih pertama-tama ditujukan kepada satu kelompok orang, yaitu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad serta tim penyidik dan penyelidik KPK. Kemudian, kepada Presiden SBY ia mengatakan: “Di atas segalanya, saya berterima kasih yang besar kepada Pak SBY. Mudah-mudahan peristiwa ini punya arti, punya makna, dan jadi hadiah Tahun Baru 2014” (Kompas, 11/1/14).

Penataan penyebutan satu per satu penerima ucapan terima kasih mengindeks pengategorisasian kedua kelompok ini ke dalam satu kelompok saja. Walaupun ia berada dalam konteks hukum, kedua kelompok dikategorikan sebagai kelompok politisi atau tepatnya kelompok politisi yang mengatasnamakan hukum. Diyakini, unsur politiklah yang menyeretnya ke ranah hukum yang kemudian akan menghancurkan karier politik. Kedua kelompok ini jadi lawan bicaranya yang juga jadi lawan politiknya. Karena itu, dia ragu apakah ia akan mendapatkan keadilan.

Penambahan kata-kata ‘yang lain-lain nanti saja’ mungkin menunjuk pada halaman-halaman penting berikutnya. Karena lawan politiknya memakai politik untuk menjerumuskannya ke hukum, kemungkinan metode ini yang dipakainya. Anas dikenal pandai memakai senjata lawan.

Dapat diduga, seperti kata para ahli komunikasi politik di satu stasiun televisi swasta, ia akan memanfaatkan sidang pengadilan untuk mengungkap kebenaran tentang aliran uang Hambalang yang mengalir ke Cikeas. Tentu saja ini suatu pernyataan politis yang akan menyeret lawan politiknya ke ranah hukum dengan tujuan menghancurkan karier politiknya.

Kalau tujuan itu tercapai, penahanannya boleh jadi diterimakasihi secara tulus, apalagi setelah menunggu statusnya sebagai tersangka terlalu lama sejak setahun. Pembeberan keterlibatan Cikeas di pengadilan mungkin akan menghancurkan karier politik mereka, apalagi kalau bisa terlaksana sebelum April 2014.


Pedang bermata dua
Ucapan terima kasih semacam ini mengingatkan saya pada satu adegan di sebuah film koboi pada era 1970-an. Dalam salah satu adegan di film itu, seorang koboi mengucapkan terima kasih kepada bosnya dengan meninju sang pemimpin.

Lalu, apakah kehebatan politik terima kasih bertingkat ini? Secara semiotik kehebatannya terletak pada tatanan di mana makna politik berkendaraan di atas makna denotasi. Keduanya melakukan kerja berbeda, membangun suatu ambiguitas efektif dalam penyerangan politik. Apabila makna politik berfungsi ‘menghancurkan’ lawan secara sinis, makna denotasi mengokohkan diri dengan merendah (biarpun ditahan aku terima kasih juga). Dalam penyerangan ada ke-halus-an.

Terima kasih adalah pedang bermata dua yang dipakai dalam perang simbolis para politisi di permulaan tahun politik ini.

Stanislaus Sandarupa,
Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Ilmu-ilmu Budaya Unhas
KOMPAS,  18 Januari 2014