Friday, May 30, 2014

Pagelaran Sudah Cukup


Akhirnya pilihan partai-partai politik mengerucut ke dua kelompok. Partai Demokrat memilih untuk berdiri sendiri. Maka rasanya cukup lengkap sudah kita berwacana-wacana tentang para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) karena semakin banyak bicara, akan makin membuka kesempatan timbulnya keraguan atau munculnya kampanye hitam. Yang pada tahap ini rasanya menjadi tidak fair lagi, dan hanya membuat rakyat semakin bingung.

Ini bukan kontes Indonesian Idol demi mendulang suara. Karena sekalipun selalu dikatakan rakyat sudah cukup pandai, tetapi jangan sampai mereka menjadi korban hasutan yang merugikan masa depan bangsa ini.

Yang dikonteskan sebaiknya platform dan program setiap kelompok sehingga rakyat mendapat pilihan yang adil, tanpa harus diobok-obok lagi emosinya tentang masalah-masalah pribadi sehingga kembali melangkah mundur.


Misalnya, salah satu yang ramai dikampanyekan selama 2014 ini adalah soal ekonomi kerakyatan. Karena membawa nama “rakyat” tentu rakyat ingin lebih tahu tentang maksud istilah itu, sekalipun istilah itu sudah dipakai sejak zaman Bung Hatta pada awal-awal merekahnya Republik ini.

Istilah semula adalah “ekonomi rakyat” yang kemudian saat ini berubah menjadi “ekonomi kerakyatan”. Bung Hatta ingin memopulerkan sistem itu dengan hadirnya sistem koperasi. Masyarakat masa kini, yang tidak terlalu mafhum sejarah ekonomi waktu itu, tentu tidak tahu apakah sistem koperasi itu berjalan sesuai yang diharapkan atau tidak. Sekalipun di Belanda sistem itu boleh dikatakan sukses besar.

Keraguan tentang pengejawantahan sistem ekonomi kerakyatan bisa menimbulkan tanda tanya, apakah akan ada hubungannya dengan nasionalisasi, seperti yang akhir-akhir ini diasumsikan? Sebab, dengan perkembangan ekonomi dunia seperti sekarang, sikap dan tindakan yang bisa menimbulkan kesalahpahaman sebaiknya memang harus dihindari.


Peran pemerintah
Berbeda dengan sistem pasar bebas sepenuhnya (kapitalisme liberal), dalam sistem ekonomi kerakyatan tentunya pemerintah akan memainkan peran yang semakin aktif dalam mengadakan perubahan pada sistem yang selama ini berlaku. Memang, sekalipun tidak harus dengan menjalankan nasionalisasi secara serampangan yang akan merusak tertib ekonomi yang sudah dibangun selama ini, sesuai dengan UUD kita, hadirnya pemerintah makin diperlukan demi memenuhi hajat hidup orang banyak.

Ini mengindikasikan bahwa pemerintah akan lebih banyak berperan tentang alokasi sumber-sumber daya yang ada. Alasannya, sumber daya di bumi pertiwi faktanya makin menipis, sementara itu ledakan penduduk menuntut penyediaan pangan yang lebih besar dan dibarengi dengan tuntutan pemerataan pendapatan. Peningkatan jumlah penduduk yang makin mendekati seperempat miliar tentu saja tidak bisa diabaikan.

Dalam kaitan itu, sektor swasta perlu lebih banyak bekerja sama dengan pemerintah dalam menetapkan prioritas penanaman modal dan sekaligus merumuskan kebijakan teknologi yang lebih tepat, mengingat menurunnya kinerja sektor industri. Untuk menciptakan 'orde baru' lagi di bidang perekonomian nasional memang diperlukan perubahan besar-besaran, yang didukung kebijakan dan kebijaksanaan nasional yang lebih mengutamakan pemerataan kekayaan dan penghasilan masyarakat.

Karena kekayaan maupun kekuasaan selalu bersifat terbatas, perlu ada aturan tentang cara mendistribusikan hal-hal tersebut secara fair, transparan dan adil. Karena selalu saja ada oknum atau kelompok yang serakah dan ingin memonopoli sendiri dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Maka peraturan yang transparan dan tegas selalu diperlukan demi ketertiban, lebih-lebih memang tidak ada keberlimpahan yang sifatnya terus-menerus abadi.

Walaupun ada yang mengatakan, keterbatasan selalu menimbulkan ketimpangan distribusi, namun pendapat itu masih harus diragukan kebenarannya. Kenyataannya, manusia yang masih merasa memiliki sumber daya sebanyak yang memuaskan hatinya pun, mereka yang serakah tetap tidak peduli akan kebutuhan orang-orang lain.


Mengapa ramalan selalu meleset ?
Sekitar tiga dasawarsa yang lalu kita pernah diramalkan oleh Arlington Forecasting International Company bahwa antara tahun 1996-2005, Indonesia akan menjadi negara ke-7 termaju setelah Australia, Amerika, Kanada, Inggris, Swedia dan Jerman Barat. Kabar semacam itu tentu saja menggembirakan karena memberikan sebentuk harapan kemajuan yang cerah. Konon kesimpulan itu adalah hasil olahan komputer lembaga tersebut setelah mendapat 64 indikator, lebih dari 200 tren, dan lebih dari 3.500 peristiwa. Semua berkaitan dengan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan energi.

Kini kita semua tahu, bahwa ramalan itu terbukti jauh meleset! Ramalan kesuksesan Indonesia bukan pertama kali itu diadakan. Masalahnya agar bisa terprogram sesuai dengan kebutuhan maka komputer memerlukan data masukan yang tepat dan akurat. Yang menjadi pertanyaan, apakah indikator pendidikan masyarakat Indonesia waktu itu telah masuk dalam sistem pengolahan komputernya?

Kesulitan-kesulitan praktis dan normatif strategi pendidikan, maupun biayanya yang luar biasa besar, menuntut penelaahan sistem yang ada. Dan pertanyaan selanjutnya adalah; mana yang lebih penting bagi Indonesia, apakah pendidikan yang bertitik berat pada sejarah dan falsafah serta perkembangan kecerdasan pada umumnya, atau bertitik berat pada ketrampilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?


Faktanya, sistem pendidikan kita disusun oleh kalangan menengah ke atas yang tidak pernah secara langsung merasakan pendidikan macam apa yang sebenarnya diperlukan oleh rakyat jelata sehingga memungkinkannya untuk bisa melakukan mobilitas ke atas (vertikal). Fakta lain, masih banyak pula yang beranggapan bahwa memiliki kredensial seperti ijazah, gelar, atau sertifikat akan menjamin kesempatan dan penempatan kerja.

Tenyata tidak. Dengan kredensial yang sama, anak dari kalangan menengah ke atas akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan; sebab sikap dan perangai seseorang, yang juga merupakan persyaratan penting untuk dapat bekerja, terbentuk bukan di ruang kelas. Jadi ditinjau dari segi ketenagakerjaan, pendidikan formal yang sifatnya umum, dengan demikian tidak selalu menguntungkan bagi anak-anak rakyat jelata.

Semestinya, ada sistem yang membuat pemerataan pendidikan informal di kalangan anak-anak dari segenap lapisan sosial. Antara lain, misalnya, gerakan pramuka dan pandu, atau ormas pemuda dan pelajar yang benar-benar tumbuh dari masyarakat, yang pernah populer di era orde lama, sehingga bisa menjadi sarana mengurangi ketimpangan pergaulan sosial.

Toeti Prahas Adhitama,
Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 23 Mei 2014

Sunday, May 25, 2014

Prabowo Subianto: “Saya Dikhianati Habibie”


Wawancara dari Bangkok, Thailand, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto bicara soal penculikan aktivis, dugaan keterlibatannya dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, serta hubungannya dengan Soeharto, Habibie, dan Wiranto.

Dari siaran berita di radio, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto mendengar berita rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bentukan Mabes ABRI. Ia diberhentikan dari karier militernya. Hari itu, Selasa, 25 Agustus 1998. “Saya tidak kaget,” kata Prabowo. Sebelum DKP mulai bekerja, mantan Pangkostrad ini sudah tahu hasilnya. Ia harus menepi. Adalah mertuanya sendiri, mantan presiden Soeharto, yang mengisyaratkan agar ia keluar saja dari militer. “Itu lebih baik bagi ABRI,” kata Pak Harto, sekitar dua bulan sebelum keputusan itu. Sejak lengser dari posisi presiden, 21 Mei 1998, hubungan antara Prabowo dan mertuanya merenggang. Dia dianggap berkoalisi dengan Habibie untuk menekan Soeharto agar lengser, menilik situasi yang makin panas di masyarakat.

Keyakinan Prabowo makin kuat saat bertemu dengan mantan Pangab Jenderal TNI (Purn.) L.B. Moerdani, pada satu acara, tak lama sebelum DKP mengakhiri pemeriksaannya. Di situ, Benny memberi sinyal yang sama. Karier Prabowo di militer sudah tamat. “Jadi, keputusan untuk menyingkirkan saya sudah jatuh sebelum DKP dibentuk,” tutur mantan Danjen Kopassus ini. DKP dibentuk untuk mengusut dugaan keterlibatan sejumlah perwira tinggi ABRI dalam kasus penculikan sembilan aktivis. Sanksi diberhentikan dari karier militer, bahasa halus untuk dipecat, cuma milik Prabowo. Mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi P.R., penerus posisi Prabowo yang diangkat jadi Pangkostrad, pada 20 Maret 1998, cuma dicopot dari jabatannya, namun status militernya tetap. Begitu juga Kolonel Chairawan, mantan komandan grup IV Kopassus.

Pada bulan Mei 1998, mahasiswa menyemut menduduki komplek gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta.

Prabowo pasrah. “Ini risiko jabatan sebagai komandan,” katanya. Penangkapan aktivis terjadi kala ia masih menjabat Danjen Kopassus. Dalam pemeriksaan terbukti, Tim Mawar yang beranggotakan 11 prajurit Kopassus pimpinan Sersan Mayor Bambang Kristiono mengaku “mengamankan” sembilan aktivis itu, untuk melempangkan jalan bagi SU MPR 1998. Yang dia sesalkan, keputusan DKP justru tak pernah diterimanya langsung. Keesokan harinya, Prabowo menghadap ke Mabes ABRI, menanyakan ihwal keputusan itu. Dia bertemu Kasum ABRI Letjen TNI Fahroel Rozi, salah seorang anggota DKP, yang lantas menganjurkan Prabowo bertemu Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.

Kesempatan diberikan keesokan hari, Kamis, 27 Agustus 1998. Pertemuan itu cuma berlangsung 10 menit. Mengenang pertemuan tersebut, Prabowo mencatat reaksi Wiranto membingungkan. Panglima ABRI ini bersikap seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Prabowo. “Kamu kan tahu kondisinya,” begitu ucapan Wiranto kepada Prabowo. Prabowo pun tak mau berbasa-basi. “I don’t like it,” katanya. Seraya menatap mata Wiranto, Prabowo minta maaf atas kesalahan yang dibuatnya selaku prajurit ABRI. Prabowo juga pamit untuk ke luar negeri, melaksanakan umrah dan berobat. “Saya sering mengalami kecelakaan dalam bertugas. Karena itu, saya akan menggunakan kesempatan ke luar negeri untuk berobat di Jerman,” kata Bowo, panggilan akrabnya. Dia juga minta tolong agar surat pensiunnya dari ABRI segera dikeluarkan agar dirinya bisa membantu adiknya, Hashim Djojohadikusumo berbisnis di Timur Tengah. “Saya kan perlu mencari nafkah,” ujar Bowo. Surat pensiun itu akhirnya diteken pada 20 November 1998, sementara TGPF menyampaikan laporannya pada 3 November 1998. Itulah pertemuan terakhir dengan Wiranto. Setelah itu, sambil mengantar anak dan istrinya, yang hendak ke AS, Prabowo berpamitan ke Pak Harto di Cendana.

Kini, setahun lebih berlalu. Langkah Prabowo jadi pebisnis makin mantap. Penampilannya tampak lebih santai dan terbuka. Prabowo yang kini memakai kacamata baca itu kelihatan lebih gemuk. “Pakai kacamata biar tampak lebih intelek,” kata Bowo sambil terbahak. Perjalanan bisnisnya membuat ia sering mampir ke negara tetangga, bertemu relasi setempat, pun kawan-kawan dari Indonesia.

Kamis (14 Oktober) lalu, ia mampir sehari ke Bangkok dalam perjalanannya ke Boston, AS, untuk acara keluarga. Di Bangkok, Prabowo sempat berbincang-bincang dengan empat wartawan dari Indonesia, termasuk dari Panji. Penulis berkesempatan ngobrol blak-blakan dengan Prabowo Rabu malam, dilanjutkan Kamis pagi hingga malam harinya. Ia didampingi Fadli Zon. Sejumlah pertanyaan Panji dijawabnya dengan terbuka meski pada beberapa poin ia minta nirwarta (off the record). “Saya tak ingin menimbulkan perpecahan dan perasaan tidak enak pada siapa pun,” kata Bowo.

Salah satu markas reformasi 1998 adalah Kampus UI di Salemba, Jakarta.

Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?
Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.

Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?
Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.

Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus “diamankan” dalam konteks SU MPR?
Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.

Dari siapa Anda terima daftar itu?
Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP ada rekamannya.

Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI-1, yakni presiden saat itu, Soeharto?
Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya. Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.

Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?
Tentu saya tanya.

Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?
Ha… ha… ha… Pertanyaan bagus, tapi sulit dijawab.

Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?
Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.

Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?
Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat briefing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini… begitu. Kejar-kejaran semua. Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala. Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.

Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan Pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?
Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.

Foto dari beberapa mahasiswa dan aktifis yang hilang di sekitar peristiwa Mei 1998 dan hingga kini belum ada kepastian keberadaannya.

Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?
Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada beliau. Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena itu menyarakan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya. Ironis, bukan? Oleh masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya. Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.

Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?
Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing. Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998—Red.). Apalagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.

Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?
Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil. Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka.

Anda pernah berpikir tidak, bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?
Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan. Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati. Saya nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah. Saya katakan kepada mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti. Saya diadili juga siap. Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan nggak untuk ditangkap? Tidak ada. Tapi saya ambil alih tanggung jawab. Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena saya komandan mereka. Cek saja rekamannya di DKP. Tapi bahwa mungkin mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.

Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?
Bisa saja. Saya tidak tahu. Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan. Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?

Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu, dibuat begini, begitu. Ah…, saya merasa dikecewakan oleh Pak Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia jadi Pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi yudha, begini, begitu. Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa, situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.

Presiden Soeharto dan Presiden AS, Bill Clinton.

Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?
Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen—Red.) kan ketemu saya juga.

Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?
Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil, ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi. Dulu Jenderal Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R. Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah. Lihat Prancis, itu kan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tapi, dia ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya. Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.

Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?
Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal, untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa, itu mereka justru membahayakan hak asasi manusia orang lain. Tidak bisa dong. Kalau you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan bikin aksi teror.

Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. Anda dengar ancaman bom tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan. Tidak bisa demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi, lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk perang psikologi massa.

Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak bersalah?
Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga. Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul. Hashim bilang, “Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu benar.” Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan Hitler kepada rakyat Jerman.

Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin mempermalukan Pak Harto?
Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI, khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga, Pak Harto jenderal bintang lima. Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia. Apa pun yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya.

Jenderal R Hartono, Subagyo dan Prabowo Subianto.

Sebelumnya, Prabowo merasa diperlakukan tidak adil kala dipaksa menyerahkan jabatan sebagai Pangkostrad pada 22 Mei 1998. “Saya tak sempat membuat memorandum serah terima jabatan. Istri saya, ketua Persit pun, tak sempat serah terima. Setahu saya, dalam sejarah ABRI, belum pernah ada perwira tinggi dipermalukan oleh institusinya, seperti yang saya alami,” kata Bowo. Dia memang digeser saat situasi politik gonjang-ganjing dan Soeharto baru lengser pada 21 Mei 1998. Dugaan yang beredar saat itu, Bowo diganti karena dianggap hendak melancarkan kudeta kepada Habibie. Malam itu, sesudah pergantian presiden pagi harinya, situasi Jakarta memang genting. Sejumlah pasukan berseragam loreng tampak di seputar wilayah Istana Negara, Monas, Jakarta.

Dugaan terjadi pengepungan Istana sempat dibantah habis-habisan oleh Mabes ABRI. Padahal, sejumlah media massa memberitakannya. Kemudian, pada 22 Februari 1999, di depan sejumlah eksekutif pers dalam forum Asia-German Editors, di Istana Merdeka, Presiden Habibie bercerita soal pengepungan itu. Habibie mengaku keluarganya terancam malam itu, dan nyaris diungsikan. “Tidak usah ditutup-tutupi, kita tahulah yang memimpin konsentrasi pasukan itu, orangnya Prabowo Subianto,” kata Habibie berapi-api. Dia mengaku diberi tahu Wiranto. Pers geger. Prabowo saat itu sudah di luar negeri. Lewat kawan dekatnya, ia membantah.

Dan, dua hari kemudian, dalam sidang di Komisi I DPR RI, Jenderal Wiranto membantah ucapan Habibie. Menurutnya, itu bukan konsentrasi pasukan, melainkan konsolidasi. Tak ada yang berniat kudeta saat itu. Anehnya, Habibie tak bereaksi atas bantahan Wiranto itu. Sehingga publik makin bingung, mana yang benar, ucapan Habibie atau Wiranto. Benarkah Habibie dapat masukan dari Wiranto? Sebab dalam satu pertemuannya dengan tokoh Dewan Dakwah Islamiyah, 30 Juni 1998, Habibie mengaku diberi tahu soal konsentrasi pasukan itu oleh Letjen TNI Sintong Panjaitan, orang dekat Habibie yang kini menjabat Sesdalopbang.

Setelah berkelana di luar negeri, ketenangan Prabowo terusik oleh ucapan Habibie itu, yang dikutip oleh pers luar negeri pula. Tapi, bantahan Wiranto cukup menenangkannya. “Pak Wiranto harus membantah karena memang apa yang diucapkan Habibie tidak benar,” kata Bowo. Menurutnya, semua panglima saat itu menerima perintah dari Mabes ABRI. Saat situasi genting, ada pembagian tugas, bahwa Kopassus dipasrahi mengawal presiden dan wakil presiden, sedangkan Kostrad diminta menjaga obyek vital dan strategis. Kata Prabowo, untuk melaksanakan perintah Mabes ABRI itulah sejumlah pasukan berada di sekitar kawasan Istana dan Monas. “Pak Wiranto tahu persis bahwa perintah itu ada. Saksinya banyak, para panglima komando,” kata Bowo.

Habibie mengatakan kepada saya. “Bowo, kalau saya jadi Presiden, you Pangab.” Itu faktanya. Habibie bahkan mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya.

Dalam pemeriksaan oleh TGPF, ada kesan kegiatan Anda pada 13 Mei 1998 tidak diketahui. Muncul kecurigaan, Anda sedang apa saat itu? Apa sih yang Anda lakukan hari itu?
Saya mulai dari 12 Mei 1998. Malam itu, pukul 20.00 wib, ketika di rumah Jl. Cendana No. 7, saya ditelepon Sjafrie (Pangdam Jaya saat itu, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin). Kata dia, “Gawat nih, Wo, ada mahasiswa yang tewas tertembak.” Saya lalu bergegas ke Makostrad. Saya sudah antisipasi, besok pasti ramai. Maka pasukan saya konsolidasi. Kalau perlu tambahan pasukan kan mesti disiapkan tempatnya. Mau ditaruh di mana mereka. Malam itu saya terus memantau situasi. Lalu, terpikir oleh saya, kelanjutan rencana acara Kostrad di Malang pada 14 Mei 1998. Rencananya inspektur upacara adalah Pangab Wiranto. Pangkostrad juga harus hadir. Kalau ibu kota genting, apa kita masih mau pergi juga?

Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 WIB, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran Pangab dibatalkan saja karena situasi ibukota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup (Inspektur Upacara—Red.) tetap Pak Wiranto dan saya selaku Pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan ibukota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus diamankan adalah ibukota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.

Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 WIB kita sudah berada di lapangan Halim Perdanakusumah. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang? Padahal, komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat, perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.

Kembali ke Jakarta sekitar pukul 11.00 WIB. Ketika hendak mendarat di Halim, ibu kota terlihat diselimuti asap hitam. Selanjutnya, seperti telah ditulis di berbagai media massa, saya membantu mengingatkan Sjafrie perlunya mengamankan ibukota lewat patroli dengan panser di sepanjang Jl. Thamrin. Malam harinya, saya bertemu dengan sejumlah orang di Makostrad. Itu yang kemudian dituduh mau merencanakan kerusuhan. Padahal, di tengah jalan sore itu saya ditelepon, karena Setiawan Djodi dan Bang Buyung Nasution ingin bertemu. Ternyata sudah ada beberapa orang di kantor saya, ada Fahmi Idris, Bambang Widjojanto, dan beberapa orang lain. Itu pertemuan terbuka, membicarakan situasi yang terakhir. Bang Buyung dominan sekali malam itu. Dia banyak bicara. Acara ditutup makan malam dan kemudian kami ada rapat staf di Mabes. Kalau kemudian surat Muladi mengatakan saya bersalah karena gagal menjaga keselamatan negara sehingga menimbulkan kerusuhan 13-14 Mei, bagaimana ceritanya?

Pangkoops, selaku penanggung jawab keamanan ibukota adalah Pangdam Sjafrie?
Mestinya iya. Penanggung jawab yang lebih tinggi ya panglima ABRI.

Jujur saja, kalau memang saya ingin kudeta, bisa saja. Jangan meremehkan pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati karena saya diberhentikan seperti itu.

Dalam pemeriksaan di TGPF, mantan Ka-BIA (Kepala Badan Intelijen ABRI—Red.) Zacky Makarim, konon mengatakan bahwa sebulan sebelum peristiwa Trisakti, ada perkiraan situasi intelijen versi Anda, yang mengatakan, eskalasi meningkat dan dikhawatirkan akan ada martir di kalangan mahasiswa. Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?
Situasinya memang demikian. Aksi mahasiswa kan bukan cuma di Jakarta, melainkan meluas ke daerah. Di Yogyakarta, aksi mahasiswa malah sempat bentrok. Berdasarkan analisis situasi, saya mengingatkan kemungkinan adanya eskalasi yang memanas dan kalau aksi mahasiswa meluas, bukan tidak mungkin jatuh korban atau ada pihak-pihak yang ingin ada korban di pihak mahasiswa. Itu saya ingatkan.

Tapi, justru Anda dituduh bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti?
Iyalah. Saya ini selalu dituduh. Apa untungnya bagi saya membuat jatuh korban? Saat itu kan presidennya Pak Harto. Mertua saya. Saya bagian dari status quo itu. Kan begitu tuduhannya. Masak saya membuat situasi agar Pak Harto jatuh. Pak Harto jatuh kan saya jatuh juga. Sejarah kan begitu kejadiannya.

Mungkin Anda ingin menunjukkan bahwa Wiranto tidak kapabel mengamankan Jakarta?
Tidak ada alasan juga. Motifnya tidak ada.

Bukankah Anda pernah disebut-sebut minta jabatan Pangab dan katanya dijanjikan Habibie untuk jadi Pangab?
Lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepada saya. “Bowo, kalau saya jadi Presiden, you Pangab.” Itu faktanya. Habibie bahkan mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya. Saya memang dekat dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya. Meskipun sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu yang bohong. Saya merasa dikhianati. Bahwa saya ingin jadi Pangab, apakah itu salah? Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita menjadi Pangab. Why not? Saya tidak pernah menyembunyikan itu. Bahwa kemudian dipolitisasi, seolah-olah pada saat genting, saat pergantian kepemimpinan, 21 Mei 1998 itu, saya minta jadi Pangab, silakan saja. Tapi, saya tak pernah minta jadi Pangab kepada Habibie.

Benar tidak Anda pernah didesak jadi Pangab sekitar 19-20 Mei itu?
Ada yang mendesak. Bahkan ada yang mengusulkan agar saya mengambil alih situasi. Saya tolak. Saya orang yang konstitusional. Wapres masih ada dan sehat. Menhankam/Pangab masih ada. Tidak ada alasan untuk mengambil alih. Kalau saya melakukan kudeta, setelah itu mau apa? Inkonstitusional, tidak demokratis, dan lebih berat lagi, secara psikologis saya ini kan terkait dengan keluarga Pak Harto. Kalau Pak Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masak saya mau kudeta? Di luar itu semua, yang terpenting, saya berasal dari keturunan keluarga pejuang. Anda tahu paman saya gugur sebagai pahlawan muda. Kakek saya pejuang. Moyang saya, selalu berjuang melawan penjajah kolonial Belanda. Bagaimana mungkin saya menodai garis keturunan yang begitu saya banggakan, dengan berpikir mengambil alih kekuasaan secara inkonstitusional?

Prabowo: "Saya memang dekat dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya."

Ketika Habibie mengatakan Anda datang menemui Habibie pada 22 Mei 1998, benarkah Anda membawa senjata dan pasukan sehingga Habibie merasa terancam?
Senjata saya tanggalkan di depan pintu. Jangankan menghadap Presiden, wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot. Bohong besar berita yang mengatakan saya hendak mengancam Habibie.

Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Ingat, Pak Sarwo Edhi (almarhum) hanya butuh dua kompi untuk mengatasi situasi saat G-30-S/PKI. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati karena saya diberhentikan seperti itu. Pataka komando hendak diambil begitu saja tanpa sepengetahuan saya. Saya datang ke Habibie karena sebelumnya dia selalu berkata. “Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan segan-segan menemui saya.” Itulah yang saya lakukan. Menemui Habibie untuk bertanya apakah betul dia ingin mengganti saya dari jabatan Pangkostrad. Habibie bilang turuti saja perintah atasan. Ini kemauan ayah mertua kamu juga. Jadi, Pak Harto memang minta saya diganti.

Soal anggapan bahwa para jenderal ingin menyingkirkan Anda, apakah ini disebabkan oleh sikap Anda sebelumnya yang disebut arogan, karena dekat dengan pusat kekuasaan?
Saya akui, itu ciri khas. Dan itu jadi senjata buat yang ingin menjatuhkan. Tapi kita lihat kepemimpinan itu dari output. Bisa tidak meraih prestasi kalau prajuritnya tak semangat. Semangat itu tidak bisa dibeli dengan uang. Kadang-kadang mereka mau mati karena bendera. Kain itu harganya berapa? Tentara Romawi mati-matian demi bendera. Itu kan kebanggaan. Bagaimana? Saya ciptakan teriakan, berapa harganya? Saya dapatkan dari gaya suku Dayak. Teriakan panjang itu bisa membangkitkan semangat, mengurangi ketakutan, dan menakutkan musuh. Pakai duit berapa? Tapi hal-hal ini tidak populer di mata the salon officer. Apa nih Prabowo pakai nyanyi-nyanyi segala. Pakai bendera, pakai teriakan. Kenapa orang fanatik membela sepakbola, sampai membakar, ini psikologi massa. Masak kita mau mati karena uang? Buat apa uangnya kalau kita harus mati?!

Sebagai menantu presiden saat itu, tentu Anda lebih mudah naik pangkat dibanding yang lain. Ini bikin cemburu juga kan?
Ya, tapi akses kepada penguasa politik. Itu wajar. Jenderal Colin Powell, peringkat ke berapa dia bisa jadi Pangab AS. Dia bekas sekretaris militer Bush waktu jadi Wakil Presiden. Jadi, waktu Bush jadi Presiden, dia jadi Pangab. Bahwa saya punya akses kepada penguasa politik, saya sependapat. Tapi kan bukan hanya saya. Pak Wiranto kan dari ajudan Presiden, langsung Kasdam, langsung Pangdam, langsung Pangkostrad. Itu kan tuduhan saja kepada saya. Coba dilihat berapa kali saya VC (kontak senjata langsung di medan operasi), berapa kali bertugas di daerah operasi, berapa kali tim saya di Kopassus merebut kejuaraan, berapa kali operasi militer saya selesaikan, apa yang saya buat di Mount Everest itu kan mengangkat bangsa. Berapa saya melatih prajurit komando dari beberapa negara. Itu kan tidak dilihat. Yang dicari cuma daftar dosa saya. Ya memang kalau you dalam keadaan kalah politik, segala dosa bisa ditemukan. Dia keluar negeri nggak izin, dia ini, dia itu. Semua bisa ketemu. Tapi kalau menang? (pasti lain cerita—Red.) Itu kan politik.

Prabowo bersama sahabatnya, Abdullah, Raja Jordania.

Jordania, seolah menjadi negara ibu yang kedua bagi Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Di Amman, ibukota Jordania yang terletak di jazirah Arab, mantan Pangkostrad ini tinggal di apartemen. Prabowo, yang dicopot dari jabatan dan kariernya di ABRI, mengaku jatuh cinta pada Jordania tanpa sengaja. “Saat saya disingkirkan oleh ABRI, oleh elite politik di Indonesia, negeri ini menerima saya dengan baik,” kata dia.

Persahabatannya dengan Raja Abdullah dimulai kala sang raja masih pangeran dan menjadi komandan tentara Jordania. Mereka bertemu di AS, tak lama setelah Prabowo selesai berobat di Jerman, setelah pensiun dari militer tahun lalu. Pangeran Abdullah menyatakan simpati dan mengundangnya mampir ke Amman.

Undangan itu dipenuhi Bowo. Pada hari dan jam yang ditentukan (sekitar pukul satu siang), Prabowo berkunjung ke markas tentara pimpinan Pangeran Abdullah. Terkejut dia karena untuk menyambut kehadirannya telah disiapkan upacara penyambutan tamu secara militer. Padahal Prabowo datang mengenakan busana kasual. Oleh anak buah Pangeran Abdullah, Prabowo “dipaksa” menginspeksi pasukan. Di ujung barisan, Pangeran Abdullah tampak tersenyum-senyum dan memeluk Bowo. “Di sini, Anda tetap jenderal,” bisik Abdullah. Tak lama kemudian, menjelang ayahnya, Raja Hussein mangkat, Abdullah dinobatkan sebagai putra mahkota dan kemudian menjadi Raja Jordania.

Sumber:
Uni Z. Lubis
Wawancara Khas Majalah PANJI No. 28/III, 27 Oktober 1999

Thursday, May 8, 2014

Menikmati Kelahiran Generasi Joget


Hiruk-pikuk perpolitikan di negeri ini setelah coblosan anggota legislatif dan hangatnya suasana menyongsong Pilpres 9 Juli mendatang, sepertinya tidak berpengaruh terhadap fenomena baru di tengah masyarakat kita. Fenomena itu adalah “Indonesia berjoget”. Coba saja saksikan tayangan televisi kita mulai sore hingga menjelang malam.

Nuansa politik seolah-olah hilang, berganti dengan nuansa joget dan hura-hura. Dimulai pukul 17.00, stasiun televisi mulai membuka “pesta” masing-masing. Hanya news channel seperti  Metro TV dan TV One yang mengecualikan diri. MNCTV membuka pestanya dengan acara “Tunjuk Satu Bintang” pada pukul 16.00-20.00, disusul “Pesbukers” di Anteve pada pukul 17.00-19.00.

Pada saat Pesbukers belum selesai, pukul 18.00 Indosiar dan Transtv memulai pestanya masing-masing yakni: “D’Academy” dan “Yuk Keep Smile (YKS)”. Masing-masing tayang selama 5 jam dan 4 jam. Durasi yang sangat panjang untuk sebuah acara yang isinya hanya menyanyi, joget dan hura-hura. Pesta makin ramai dengan tayangan-tayangan sejenis seperti “Campur-campur”, “D’terong Show”, “@Show Imah” dan sebagainya.


Dalam acara ini, penonton diajak berjoget. Bahkan joget ini dikompetisikan. Pesertanya ya penonton yang sudah ada di studio. “Mirisnya”, banyak ibu-ibu ikut joget, berani menahan malu, atau bahkan mungkin sudah tidak punya lagi rasa malu (?) Hanya demi uang ratusan ribu rupiah, mereka “mengeksploitasi” diri, berjoget sebegitu heboh dengan kostumnya yang “aneh bin ajaib”. Tidakkah mereka menyadari itu disaksikan oleh jutaan pasang mata di seluruh pelosok Indonesia?

Banyak diantara pejoget baik yang ada di tribun penonton ataupun yang ikut maju ke panggung pentas adalah “muslimah”. Dengan kostum muslimahnya yang “nyentrik”, mereka tidak sungkan dan tanpa malu berjoget menggerakkan seluruh anggota tubuh. Ironisnya lagi, organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas yang selama ini kritis terhadap hal-hal yang berbau “kebatilan” kok “tiarap” semua. Bahkan MUI seperti membiarkan tontonan yang seperti ini berlangsung terus tanpa reaksi sesuai kaidah-kaidah agama dan budaya bangsa kita yang adiluhung.


Jadi “Korban”
Contoh, di “D’Academy” tayangan tanggal 20 April lalu, tampil seorang bocah perempuan berusia 4 tahun, datang jauh dari Lampung. Di panggung ia menyumbangkan “Masa Lalu”, lagu tentang percintaan orang dewasa, dan syairnya tentu bukan untuk anak seusianya. Bocah cantik yang berani ini telah jadi “korban” dari tayangan itu, demikian juga orang tuanya.

Kemungkinan besar karena tiap malam orang tuanya selalu menyuguhkan acara ini, yang baru akan selesai tayang pada pukul 23.00. Apa yang ditonton orang tua di layar kaca televisi mereka, maka akan menjadi tontotan pula bagi anaknya.

Anak adalah individu yang sangat rentan dengan perilaku peniruan yang nantinya terinternalisasi dan membentuk kepribadian. Tayangan televisi yang dilihatnya tiap saat, niscaya akan masuk ke otaknya. Bagi anak yang berasal dari keluarga yang memiliki mutu kehidupan baik dan ter-literacy dengan baik, maka apa yang dilihat di layar televisi dapat disaring melalui keluarga, dengan orang tua menjadi anutan utama.

Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku sehari-hari menjadi benteng paling kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk televisi. Lalu apa jadinya untuk anak yang memiliki orang tua yang malah memberikan contoh dalam tontonan dan perilaku dalam tayangan-tayangan seperti ini? Lantas apa fungsi KPI/KPID selaku pengawas acara-acara televisi kalau tidak peka terhadap tayangan yang tidak ada unsur edukasinya itu namun dibiarkan berlanjut terus?


Mungkin inilah suatu era, dimana Indonesia telah melahirkan generasi baru, yaitu generasi joget. Padahal dengan segala potensi yang dimiliki, media harusnya dapat memberikan pengaruh positif kepada anak-anak dan remaja. Tentunya dengan menampilkan tayangan-tayangan yang menginspirasi dan memicu kreativitas anak dalam membuat terobosan-terobosan baru yang akan bermanfaat pula untuk banyak orang.

Memang, pada akhirnya peran orang tua sangatlah menentukan. Namun seharusnya pemerintah pun memiliki peran yang tak kalah penting. Seorang bijak pernah berkata, “untuk melihat seberapa cerdas dan pintar seseorang maka lihat apa bacaannya (buku)”. Kalimat yang mirip seperti itu bisa juga kita rangkai, “Untuk melihat seberapa kuat karakter anak bangsa maka lihatlah apa saja tontonannya (tayangan televisi di rumah)”.

Tak ada cara lain, pemerintah (dalam hal ini Kemdikbud, Kemenag, Kominfo) bersama organisasi massa yang peduli dengan budaya adiluhung dan nilai-nilai moralitas bangsa, insan pers/media harus duduk bersama menyelamatkan bangsa ini dengan merancang model tayangan televisi yang well educated, penuh muatan budaya yang luhur dan berkesenian tinggi, tidak asal goyang dan megal-megol.

Tjuk Subhan Sulchan,
Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 5 Mei 2014


Lirik Lagu Pokoke Joget
Soimah YKS

Pokok'e Joget
Pokok'e joget
Pokok'e joget

Krungu suorone gendang
Tung mbokmu tung mbokmu
Penontone goyang goyang
Tung mbokmu tung mbokmu
Penontone jingkrak jingkrak
Krungu suorone suling
Kepenak ono ning kuping
Penontone joget nganti ora eling

Pokok'e joget
Pokok'e joget
Pokok'e joget



Ono sing senggol senggolan
Ono sing sunggi sunggian
Sing penting tertib lan ora tawuran
Ning kene kabeh konco
Ora ono sing bedo
Sing tawuran berarti kuwi ndeso

Ora ngerti lagune
Ora ngerti syaire
Sing penting aku joget ae
Tak kenal penyanyine
Tak ngerti penciptane
Sing penting hore rame rame....

Friday, May 2, 2014

“Devide et Impera” dalam Pendidikan


Pastilah tak tebersit niat, apalagi upaya, negara menciptakan pertengkaran dan bahkan perpecahan dalam pengelolaan pendidikan kita. Namun, kalau ternyata itu terjadi di antara pelaku pendidikan karena kebijakan penguasa, negara tak bisa tinggal diam.

Kuasa uang kian memobilisasi pendidikan kita. Sejenak guru mencecap manisnya ragam tunjangan. Namun, berubah-ubahnya aturan penerimaan serta keterlambatan dan atau tidak lancarnya penerimaan tunjangan-sertifikasi telah memantik kesadaran dan daya kritis kita. Benarkah negara tulus memperjuangkan nasib guru? Sungguhkah negara ini telah punya cukup dana untuk terus menggelontorkan uang bagi pengelolaan pendidikan?

Ada yang pilu pada janji sertifikasi guru. Kurikulum baru yang akan segera diberlakukan berdampak terhadap jumlah minimal jam mengajar yang dituntut untuk memperoleh tunjangan sertifikasi. Ada banyak guru pada tahun ajaran baru nanti tak lagi memperoleh jumlah minimal jam mengajar tersebut. Mereka harus menyudahi manisnya tunjangan sertifikasi. Dan ketegangan pun terjadi.

Dibalik wajah ceria para guru dan murid sekolah pinggiran yang ringkih dan miskin, tersimpan api dalam sekam "devide et impera" yang dipicu masalah honor, gaji, tunjangan, penghasilan dan pendapatan yang ujungnya adalah masalah "uang!"

Banyak sekolah, khususnya sekolah swasta miskin, berusaha mengelola ketegangan di antara para guru yang berpotensi tidak bisa lagi menerima tunjangan sertifikasi. Mereka meminta guru mengalah dengan memberikan jam mengajarnya kepada guru lain. Namun itu tak mudah.

Bukankah manisnya pendapatan sertifikasi telah mengubah pola konsumsi? Pasti tak mudah juga bagi anak-suami-istri para guru menerima kenyataan akibat tak lagi bisa menerima tunjangan sertifikasi.

Bagi sekolah negeri yang ditopang uang negara (baca: uang rakyat lewat pajak), juga sekolah swasta kaya, agaknya tak masalah. Dana investasi mereka berlimpah, nyaris tak berbatas.

Mereka bisa menyikapi dengan menambah rombongan belajar dengan konsekuensi memperkecil jumlah murid setiap kelas. Juga dengan membuat kelas baru untuk menerima murid sebanyak mungkin.

Sekolah tempo dulu dan masa kini, apa bedanya?

Jejak “devide et impera”
Tidakkah cara ini sebuah pemborosan berbiaya mahal? Tidakkah ini merupakan ketidakadilan yang ironis, mengingat banyak sekolah yang sekarat? Bukan hanya pemborosan berbiaya mahal, benih ketegangan dan perpecahan antarsekolah pun mulai tercium aromanya. Demi menyelamatkan peluang memperoleh tunjangan sertifikasi, pengelolaan sekolah-sekolah “kuat” kian egois. Tak peduli dengan nasib sekolah-sekolah sekitar. Itu artinya sekolah “kuat” juga tak lagi peduli dengan nasib guru di sekolah lain yang “ringkih-miskin”.

Dinamika devide et impera segera terjadi di dunia pendidikan kita. Hari-hari ini ketegangan dan perpecahan antarguru sudah mulai menyeruak di sekolah-sekolah kita. Para guru tak mudah lagi untuk berbagi. Uang telah demikian merasuki kehidupan guru kita.

Dengan masif, uang telah melemahkan militansi dan karakter guru sebagai pendidik dan sebagai seorang abdi yang murah hati untuk selalu berbagi dalam kehidupannya. Tuah (atau racun?) devide et impera juga terjadi antarsekolah. Pengelolaan sekolah kian egois. Sekolah-sekolah “ringkih-miskin” yang acap kali dikelola pendidik militan pun kian sekarat.

Uang bagaikan awan kelabu yang telah menyelimuti dunia pendidikan kita saat ini.

Para gurulah yang akan segera menjadi korban. Akan tetapi, sesungguhnya kita juga sedang mengorbankan dan mempertaruhkan nasib bangsa ini. Tidakkah menambah rombongan belajar dan lokal (kelas) untuk meraup sebanyak mungkin murid tak diintensikan demi kualitas pembelajaran? Tidakkah semua itu hanya demi menyelamatkan tunjangan sertifikasi? Tidakkah itu berarti murid hanyalah obyek penyelamat nasib guru? Tidakkah ini merupakan tragedi pendidikan?

Dulu kita suka memprihatinkan nasib guru yang sedikit lebih baik daripada melarat. Namun kini, di akhir pemerintahan ini, alih-alih memperbaiki nasib dan martabat guru, kita bahkan sedang membentuk guru-guru yang egois dan materialistis. Dua sifat itu ampuh melibas karakter abdi para guru, sosok pendidik-peziarah yang memuja martabat kehidupan. Mungkinkah kita sedang merobohkan militansi pendidikan dan melahirkan guru yang membudak uang?

Sidharta Susila
Pendidik, Tinggal di Muntilan, Magelang
KOMPAS, 1 April 2014