Tuesday, July 7, 2015

Bukan Kekayaan, tapi Kesejahteraan Asia


Kita khawatir pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang ditandatangani 50 negara di Beijing hari Senin (29/6/2015) hanya akan menguntungkan beberapa negara dan mengabaikan keseluruhan pokok persoalan tujuan pembangunan di kawasan ASEAN. Padahal pada Pasal 1 anggaran dasar dan rumah tangga AIIB menyebutkan, tujuan bank ini wajib “… menciptakan kekayaan dan meningkatkan konektivitas infrastruktur di Asia.”

Kalau memang bank pembangunan multilateral ini bertujuan menciptakan “kekayaan”, bisa dipastikan mekanisme kerjasama dan kemitraan regional melalui konektivitas infrastruktur tidak akan tercapai. Alasannya sederhana. Bank multilateral yang baru ini hanya mengejar kekayaan dan keuntungan dalam menggelar pendanaan masif infrastruktur di kawasan Asia yang diperkirakan memerlukan dana sekitar 8 triliun dollar AS sampai dengan tahun 2020.

Masalahnya, sejumlah pembangunan infrastruktur publik yang dibangun pemerintah di berbagai kawasan membutuhkan waktu yang sangat panjang dan lama untuk mencapai keuntungan. Belum lagi berbicara tentang kembalinya modal dari beragam jenis pembangunan infrastruktur tersebut.


Di Asia, kita condong melakukan kerjasama dan kemitraan untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan menciptakan kekayaan dari berbagai infrastruktur yang ingin digelar di kawasan ini. Masih menjadi pertanyaan, bagaimana caranya mencari kekayaan dari upaya membangun jalur kereta api cepat antara Jakarta dan Bandung, atau kembalinya modal dalam membangun infrastruktur konektivitas laut antara Indonesia bagian barat dan timur?

Berbagai proyek infrastruktur yang dibangun selama ini belum menunjukkan keuntungannya hanya dari mengelola infrastruktur tersebut. Karena kalau “kekayaan” menjadi tujuan seperti yang dimaksud AIIB, pertanyaannya adalah kenapa berbagai proyek infrastruktur di kawasan Asia ini tidak berkembang walaupun suku bunga jangka panjang sangat rendah dan pasokan keuangan dari berbagai pemerintahan Asia sangat cukup?

Kita membenarkan argumentasi kalau infrastruktur adalah kunci potensi pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi yang lain, kita meragukan berbagai proyek infrastruktur tersebut akan mampu “menciptakan kekayaan” seperti tercantum dalam pasal pendirian AIIB tersebut. Karena pertanyaan kita adalah siapa yang akan “mendapatkan kekayaan” dalam investasi AIIB tersebut?


Kita bukan ingin menjadi pesimistis dengan kemunculan bank investasi pembangunan baru seperti AIIB yang dipelopori RRC ini. Namun, kita perlu realistis dalam melihat keseluruhan prospek kerja sama dan kemitraan yang ingin dibangun di tengah kebangkitan Tiongkok ini. Bagaimana kita bisa mengharapkan “kekayaan bersama” ketika hubungan bilateral perdagangan kita, antara RI-RRC berada dalam posisi merugi setiap tahun?

Sejak 2010 neraca perdagangan RI-RRC merugi 4,7 miliar dollar AS, dan menurun pada 2011 merugi 3,2 miliar dollar AS, namun meningkat drastis dengan kerugian RI pada 2012 dan 2013 mencapai masing-masing sekitar 7,7 miliar dollar AS, dan kerugian yang berlipat dua pada 2014 hingga mencapai 13 miliar dollar AS.

Dari perdagangan bilateral RI-RRC tersebut jelas tidak tecermin “kekayaan bersama” seperti didengungkan para pemimpin kedua negara. Dan tingkat perdagangan bilateral yang negatif ini sungguh tidak mencerminkan upaya pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan, apalagi mengharapkan “terciptanya kekayaan” dari investasi infrastruktur AIIB.

Kasihan lagi Indonesia!

Rene L Pattiradjawane,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 1 Juli 2015