Friday, March 13, 2015

P e g i d a


Di udara dingin mengaum sejarah
***Sitor Situmorang (1923-2014)

Di udara dingin malam itu, yang mengaum di alun-alun tua Kota Frankfurt tak hanya satu sejarah. Dua, tiga, mungkin lebih.

Sekitar 17 ribu orang berdesakan di Romerberg, di tengah kompleks seluas 10 ribu meter persegi itu. Sambil melindungi diri dari gerimis dalam suhu 2 derajat, mereka hadir untuk menyatakan bahwa mereka, orang Jerman, penghuni Frankfurt, menentang Pegida, gerakan anti-Islam yang malam itu juga berencana menghimpun 500 pendukungnya di bagian lain kota.

Pidato pun disuarakan, disambut tepuk tangan, terdengar lagu dan musik, dan saya lihat seorang anak memegang poster: Gehort Islam zu Deutschland? Bagian dari Jermankah Islam? Di bawah pertanyaan itu tertulis jawabannya dengan huruf besar berwarna merah: Ja.


Malam itu, kata “Ja” itu terasa menyentak. Kini ia jadi sebuah antithesis. Pegida, singkatan dari Patriotische Europaer Gegen die Islamisierung des Abendlandes (“Patriot Eropa Melawan Islamisasi Dunia Barat”), yang bermula di Dresden Oktober 2014, telah membangkitkan para penentangnya. Mereka datang dengan gelombang yang lebih besar, ketika melihat dukungan makin meluas buat para “patriot” yang ingin menjaga Eropa dari “Islamisasi” itu.

Pegida memang punya daya tarik. Gerakan politik yang berhasil selalu dimulai dengan mengisi lubang yang timbul karena ada yang direnggutkan dari impian orang banyak. Penganut Pegida berangkat dengan semboyan “Menentang fanatisme agama dan bersama-sama tanpa kekerasan”. Atau: “Menentang perang agama di tanah Jerman”.

Artinya Pegida punya daya tarik karena fanatisme serta kekerasan mengerikan yang ditunjukkan sebagian orang Islam dan daya tarik itu universal.

Tapi yang “universal” tak bisa bertahan bersama paranoia. Paranoia bisa bersenyawa cepat dengan kebencian, dan kebencian bisa kuat karena keyakinan. Tapi di ujung semua itu, yang “universal” ambruk. Sejarah kemudian akan mencatat dua peristiwa murung: kerusakan dan atau kekalahan.


Malam dingin Januari 2015 itu, orang Frankfurt berhimpun di Romerberg, di sekitar “Pancuran Keadilan”, karena cemas tentang apa yang akan terjadi dengan kebencian.

Gerechtigkeitsbrunnen, nama Jerman untuk fonten yang dihiasi patung dewi itu, didirikan 600 tahun yang lalu di sana. Dulu, ketika seorang kaisar dinobatkan, dari fonten itu akan mengucur anggur. Orang berpesta.

Tapi tak selamanya hanya cerita sukacita. Perang Agama pada abad ke-17, ketika selama 30 tahun orang Katolik dan Protestan saling bunuh, menyebar kematian dan kehancuran juga di Frankfurt. Patung di atas Gerechtigkeitsbrunnen itu salah satu saksinya. Pada 1863, penyair lokal Friedrich Stoltze melukiskannya dengan cemooh yang pahit: “Ini dia Dewi Keadilan! Ia tampak mengerikan; timbangan di tangannya musnah direnggutkan setan, ia kehilangan separuh tangannya.

Kalaupun 17 ribu orang Frankfurt tak semuanya ingat Perang Agama 30 Tahun, mereka pasti ingat Perang Dunia II: hampir semua bangunan di sekitar alun-alun itu luluh-lantak dihantam bom Inggris dan Amerika. Kehancuran dimulai ketika Hitler ingin memperkuat Jerman dengan pekik keadilan tapi timbangan keadilan di tangannya musnah karena Jermannya adalah negeri dengan kebencian.


Jika sebagian besar orang Jerman kini menolak dengan rasa cemas arus pasang Pegida, tentu karena mereka selalu ingat kebencian itu, tentang Auschwitz dan kamp-kamp konsentrasi lain tempat orang Yahudi dan yang “kurang-Jerman” dihabisi. Dan tak mudah mereka melupakan Dresden dan Berlin yang hancur berkeping-keping bersama jatuhnya Hitler dan Partai Nazi.

Tapi ingatan selalu disertai lupa, dan kebencian bisa kambuh lagi di celah-celahnya.

Bukan karena dalam sejarah melekat kebencian yang kekal. Apa yang tampak berulang sesungguhnya bukan repetisi, melainkan kelahiran baru yang berbeda dengan yang sebelumnya. Pada suatu masa di abad ke-17, Leibniz, filosof yang merasa harus membela agama Protestan, memandang Islam sebagai “wabah”, la peste de mahometisme. Ia hidup ketika militer Turki ke Eropa sangat dirasakan. Kini fobia terhadap Islam berkecamuk karena kekejaman teror ISIS, keganasan Boko Haram, fanatisme Taliban dan para pendukung lainnya.

Maka bersama kebencian yang berbeda, persekutuan kebencian juga bisa berubah. Kaum pendukung Pegida kini bersekutu dengan sebagian kaum Zionis yang menganggap teror adalah bagian Islam yang hakiki. Dulu, juga kini, sebagian orang Islam membenarkan Nazi karena memandang orang Yahudi secara esensial harus dibenci.

Di udara dingin, di udara tak dingin, sejarah memang tak pernah mengaum sendirian.

Goenawan Mohamad
http://www.tempo.co/read/caping/2015/02/09/129722/Pegida

Sunday, March 1, 2015

Relasi PAN dan Muhammadiyah

Pak Amien Rais, sedang berceramah. (Foto karya Wahid AR)

Salah satu isu yang muncul menjelang Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) di Bali akhir bulan ini adalah soal relasi antara PAN dan Muhammadiyah. Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah yang mantan kader Partai Golkar, di mana-mana menolak adanya relasi antara PAN dan Muhammadiyah. Bahkan, dia berpendapat, PAN tidak merepresentasikan aspirasi politik warga Muhammadiyah. Pernyataan Din itu layak dicermati, mengingat posisinya sebagai orang nomor satu di Muhammadiyah.

Sebenarnya, persoalan relasi antara PAN dan Muhammadiyah muncul sejak partai tersebut dilahirkan pada 1998. Namun, karena saat itu Amien Rais sebagai pendiri PAN juga dikenal sebagai ketua umum Muhammadiyah, persoalan tersebut tidak menjadi isu penting. Bahkan, dalam perkembangannya, di banyak tempat, kader dan infrastruktur Muhammadiyah pun ikut memfasilitasi berdirinya PAN. Tetapi, sejak awal, PAN memang terbuka. Tidak hanya untuk warga Muhammadiyah, tetapi juga kalangan non-muslim. Tercatat, di jajaran DPP PAN terdapat nama Albert Hasibuan dan Alvien Lie atau di Jawa Timur terdapat Mikel Liem dan banyak yang lain.

Relasi khusus Muhammadiyah dan PAN diperkuat keluarnya pernyataan Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang 1999 bahwa PAN adalah hasil ijtihad politik Muhammadiyah. Dengan kata lain, ada hubungan khusus antara Muhammadiyah dan PAN yang jika bukan hubungan organisatoris, setidaknya ada hubungan aspiratif, kultural, dan mungkin juga emosional. Pada masa kepemimpinan Achmad Syafii Maarif pada 2000 – 2005, hubungan PAN dengan Muhammadiyah masih cukup mesra. Hal itu tidak lepas dari sikap Buya Syafii yang selalu “ngayomi” kadernya di mana saja.

Prof Dr H Amien Rais, sedang berceramah di atas mimbar. (Foto karya Wahid AR)

Hubungan PAN dan Muhammadiyah baru bermasalah ketika Din Syamsuddin terpilih sebagai ketua umum Muhammadiyah. Namun, gesekan itu hanya masih bersifat temporer, belum secara masal. Kondisi menjadi buruk karena dengan dorongan Din sejumlah aktivis PAN yang merasa “tidak mendapat tempat” pada masa PAN dipimpin Soetrisno Bachir mendirikan Partai Matahari Bangsa atau PMB. Dan hasilnya sangat mengecewakan. Karena PMB hanya mendapat suara kurang dari 1 persen pemilih nasional.

Mungkin juga karena “gangguan” dari PMB itu, pada masa kepemimpinan Soetrisno Bachir, PAN memperoleh suara nasional terendah dalam sejarahnya, yakni hanya sekitar 6 juta pemilih. Kondisi baru pulih pada masa kepemimpinan Hatta Rajasa periode 2010 – 2015. Saat itu, PAN mendapat lebih dari 9 juta suara. Fakta tersebut menunjukkan keberhasilan Hatta Rajasa sekaligus mengindikasikan bahwa banyak konstituen Muhammadiyah yang “balik kandang”, meski Din sebagai ketua umum Muhammadiyah tidak menunjukkan simpatinya kepada PAN.

Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 menunjukkan tingkat kesadaran politik yang tinggi di kalangan warga Muhammadiyah. Mereka menyadari bahwa partai politik merupakan representasi aspirasi kelompok yang paling konkret dalam hidup bernegara. Sekalipun dalam pemilu tahun lalu Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi secara khusus pada sebuah partai politik, fakta yang tidak bisa dibantah adalah hanya PAN yang bisa menampung aspirasi politik dan memberikan posisi kepada tokoh-tokoh yang dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah.

Pada masa lalu, ada beberapa kader Muhammadiyah yang bergabung di partai lain. Misalnya, Dr Muchtar Buchori di PDIP, Hajriyanto Y. Thohari di Partai Golkar, serta Muslim Abdurrachman di PKB. Tetapi, hanya PAN yang benar-benar memberikan tempat yang seluas-luasnya kepada kader Muhammadiyah untuk mengembangkan karir politik mereka.

PMB dan PAN, dua parpol yang lahir dari rahim Muhammadiyah.

Memang sudah sewajarnya PAN memberikan tempat bagi warga persyarikatan untuk mengembangkan karir politik mereka. Sebab, di tingkat akar rumput, kepercayaan tersebut masih tinggi. Hanya, sangat salah jika PAN kemudian eksklusif untuk warga Muhammadiyah saja. Sebab, sejak awal PAN bukan partai politik aliran. Relasi Muhammadiyah dengan PAN memang sebuah keniscayaan yang harus dijaga dan dipupuk dengan baik. Tetapi, sangat dimaklumi bahwa PAN harus merangkul dan menampung aspirasi dari non-Muhammadiyah. Itu semua terkait dengan kiprah serta perjuangan politik PAN dalam menanggapi berbagai isu penting dalam masyarakat.

Menurut hemat saya, jika pada masa awal berdirinya PAN selalu berdiri di depan dalam berbagai masalah nasional seperti pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) atau isu negara federal, perjuangan HAM, serta politik luar negeri, sekarang bisa dikatakan PAN sangat tertinggal dalam berbagai masalah nasional. Contoh paling nyata, ketika menjadi menteri kehutanan, seharusnya Zulkifli Hasan bisa menjadi “ikon perjuangan” melawan pembalakan hutan dan kerusakan lingkungan. Namun yang terjadi, malah dia menjadi bulan-bulanan di medsos ketika wawancaranya dengan Harrison Ford di-upload di YouTube.

Kongres IV di Bali kali ini merupakan kesempatan emas bagi PAN untuk mengembalikan kejayaan, sebagai lokomotif ide-ide untuk kepentingan nasional sekaligus memperbaiki hubungan dengan konstituen utama, khususnya Muhammadiyah. Semestinya, isu utama bukan soal siapa yang harus dipilih antara Hatta Rajasa atau Zulkifli Hasan, tetapi justru mengembalikan roh perjuangan politik sebagai partai reformasi yang ingin melihat Indonesia bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sekarang sudah 15 tahun PAN berdiri. Tetapi, korupsi, kolusi, dan nepotisme masih merajalela. Jadi, jihad PAN melawan musuh reformasi masih harus diteruskan.

Djoko Susilo,
Dubes RI di Bern (Swiss), 2010 – 2014
JAWA POS, 27 Februari 2015