Saturday, February 13, 2016

Pesantren

Suasana Shalat Hari Raya di pelataran kompleks Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan, Jawa Tengah.

Sejak awal mula, pesantren merupakan pusat pendidikan keagamaan di daerah perdesaan yang dipimpin seorang kiai. Dari segi bahasa, kata pesantren dan kiai yang berasal dari bahasa Sansekerta sudah menunjukkan produk akulturasi budaya Islam dan Hindu. Santri artinya pelajar, tempatnya disebut pesantren. Lembaga pendidikan pesantren memiliki keunikan tersendiri yang masih bertahan sampai hari ini. Di situ ada figure sentral yang disebut kiai, yang berperan bagaikan sumber mata air keilmuan yang menarik para santri berdatangan dan tinggal di asrama yang berdekatan dengan rumah kiai.

Di zaman penjajahan, pesantren merupakan basis perlawanan terhadap penguasa, baik karena alasan agama maupun membela Tanah Air. Penjajah Belanda waktu itu diidentikkan dengan orang kafir (Kristen) dan pesantren di mata penjajah diposisikan sebagai basis perlawanan umat Islam terhadap penguasa. Oleh orang kota, komunitas pesantren sering kali dipersepsikan sebagai orang kampungan karena memang lahir dan besar di kampung, bahkan belajarnya juga di kampung.

Oleh orang kota pula, mereka dianggap tidak terpelajar —padahal kata santri itu sendiri berarti pelajar— hanya karena orang pesantren waktu itu umumnya buta huruf dan buta bahasa Latin (bahasa Eropa). Di pesantren yang dipelajari hanyalah kitab-kitab klasik berhuruf Arab yang kertasnya sudah menguning sehingga populer dengan sebutan kitab kuning, yaitu kitab keagamaan yang dikarang oleh ulama klasik. Mayoritas pesantren dimiliki kiai yang berafiliasi kepada NU.

KH Hamam Ja'far (alm) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.

Adapun Muhammadiyah lebih fokus membangun lembaga pendidikan model sekolah yang kebanyakan didirikan di perkotaan, sehingga warga Muhammadiyah sering dipersepsikan sebagai orang-orang modernis sedangkan warga NU dianggap sebagai orang-orang tradisionalis. Lembaga pendidikan Muhammadiyah dimiliki oleh perserikatan (organisasi), sedangkan lembaga pesantren umumnya dimiliki oleh pribadi kiainya.

Seiring dengan perkembangan zaman, dunia pesantren banyak mengalami perubahan. Pembedaan dikotomis pemahaman keagamaan antara warga Muhammadiyah dan NU juga mengarah pada konvergensi. Saling mempengaruhi dan cenderung menyatu. Dunia pesantren mulai mengadopsi sistem sekolah, sementara beberapa sekolah Muhammadiyah mengadopsi sistem pesantren meskipun jumlahnya lebih banyak pesantren yang mulai memberlakukan sistem sekolah di pagi harinya.

Karena ciri pesantren ditandai dengan adanya sosok kiai, kualitas dan popularitas kiai sangat menentukan terhadap kualitas dan popularitas pesantrennya. Kurikulum pendidikan pesantren berlangsung selama 24 jam di bawah pengawasan dan bimbingan kiai dan para pembantunya yang disebut ustadz atau guru. Model pendidikan seperti itulah yang saya masuki setelah tamat SR (sekolah rakyat), yaitu Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi pesantren itu hanya 10 menit bila ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah saya.

Masjid lama, sebelum direhab, yang berada di kompleks Pondok Pesantren Pabelan.

Sebelum masuk pesantren, ayah saya menyuruh belajar pertukangan kayu di STK (Sekolah Teknik Kanisius) Muntilan. Namun tidak sampai setahun saya keluar karena merasa kurang tertarik, di samping mesti jalan kaki ke kota. Ketika almarhum Kiai Hamam Ja’far membuka Pesantren Pabelan pada tahun 1965, saya bersama 28 santriwan dan santriwati berbaur di kelas yang sama, merupakan santri angkatan pertama. Pusat belajar kami di serambi masjid, dilengkapi meja dan bangku layaknya sebuah ruang kelas. Meski begitu kami belajar sangat serius.

Para guru atau ustadz masuk kelas dengan mengenakan dasi. Kami belajar sangat disiplin. Malam hari pun kadang ada kelas. Setidaknya ada jam wajib belajar. Hidup di pesantren dari bangun tidur sampai mau tidur diatur dengan jadwal. Beberapa nilai kehidupan di pesantren yang merupakan living values serta selalu dijaga dan ditaati, diantaranya adalah, pertama, persaudaraan.

Bayangkan saja, setiap hari 24 jam berkumpul, belajar, dan hidup bareng selama beberapa tahun, maka terbentuk suasana persaudaraan yang akrab. Di pesantren pantang terjadi perkelahian. Risikonya dikeluarkan.

Kedua, adalah kesederhanaan. Di pesantren tumbuh suasana hidup sederhana. Santri dikondisikan untuk merasa malu kalau bermewah diri melebihi saudaranya yang lain dengan membanggakan kekayaan orang tuanya.


Ketiga, cinta ilmu. Belajar di pesantren tidak ditanamkan untuk mengejar ijazah. Kalaupun ada ujian, itu merupakan bagian dari belajar, bukan belajar dengan tujuan untuk lulus ujian. Oleh karenanya di pesantren mencontek itu merupakan aib yang besar.

Keempat, berwawasan luas. Kami diajari untuk menatap kehidupan yang lebih luas karena panggung kehidupan yang telah menanti tidak sebatas di ruang kelas. Dan tentu saja kehidupan manusia tak hanya sebatas di dunia saja.

Dunia itu luas, isinya sangat beragam. Jangan mudah kagetan (terkejut), jangan mudah gumunan (silau dan kagum), dan jangan mudah membenci. Namun seluas-luasnya dunia, tetaplah lebih luas alam akhirat. Dan hidup di dunia hanyalah sementara dan sejenak belaka bila dibandingkan dengan keabadian hidup di alam akhirat.

Kelima, mandiri. Di pesantren kami selalu diingatkan agar bisa dan berani hidup di atas kaki sendiri. Jangan bermental lembek, dan selalu ingin mencari sandaran dan belas kasih orang lain. Pekerjaan apa pun mulia di mata Allah asal halal dan tidak merepotkan orang lain.

Dan yang terakhir, keenam, adalah ikhlas. Jalanilah hidup dengan ikhlas, jangan ciut hati ketika dicela dan dikritik, jangan pula lupa diri ketika dipuji. Setialah pada hati nurani karena hati nurani merupakan penghubung terdekat kepada Allah.


Demikianlah, angkatan pertama santri Pondok Pesantren Pabelan hanya bertahan empat tahun yang semuanya memang berasal dari Desa Pabelan. Satu persatu selepas itu keluar. Ada yang bekerja sebagai kusir andong, ada yang bertani, berjualan martabak di kota, menjadi sopir truk, kondektur bus, membantu administrasi pesantren, jadi ibu rumah tangga, dan lain-lain.

Saya sendiri lalu pindah untuk meneruskan ke Madrasah Aliyah Al-Iman, Muntilan. Saya hanya setahun di sekolah yang baru ini, semata untuk mendapatkan ijazah setingkat SLTA. Karena tanpa ijazah SLTA, saya tak mungkin diterima sebagai mahasiswa di perguruan tinggi.

Terima kasih pesantren, kau laksana ibu kandungku yang telah mendidik dan membesarkan diriku. Saya sekarang sedih dan prihatin ketika ada beberapa teroris yang membawa-bawa nama pesantren, padahal setahu saya para kiai itu sangat menekankan kedamaian, kerukunan, dan keramahan, sekalipun terhadap mereka yang non-muslim.

Justru karena sikap kiai yang seperti itulah, dulu Islam sangat mudah diterima masyarakat perdesaan di Pulau Jawa yang semula beragama Hindu-Buddha atau penganut kepercayaan lokal.

Komaruddin Hidayat,
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 22 Januari 2016

Saturday, February 6, 2016

Silaturahim Politik


Masyarakat biasa memandang istilah silaturahim (bernuansa spiritual) bertentangan dengan politik (yang dipersepsi sarat kepentingan material). Interaksi antarindividu atau kelompok yang bersifat tulus untuk memelihara eksistensi kemanusiaan disebut silaturahim. Salah satu penjelasan etimologis, shillah (bahasa Arab: menyambungkan) dan rahim (kandungan sang bunda). Seluruh manusia, meski berbeda latar belakang suku, bangsa, atau ras, sebenarnya berasal dari nenek-moyang yang satu: Adam dan Hawa.

Kesatuan kemanusiaan melandasi aktivitas silaturahim, termasuk dalam konteks kebangsaan. Sebagai bangsa, Indonesia —menurut definisi Ben Anderson— adalah komunitas yang dibayangkan (imagined community), melampaui batas-batas fisik dan material yang dirasakan sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah bernama nusantara. Silaturahim melumerkan batas suku/agama/budaya, sambil membentuk dan memperkuat "batas baru" sebuah bangsa (Indonesia). Tentu saja bangsa yang hendak diperkuat bukan bersifat chauvinistik, tetapi bersahabat dengan bangsa-bangsa lain yang terus berkembang.

Sedangkan, makna politik telanjur dipahami publik sebagai rebutan kursi kekuasaan akibat tingkah para politisi yang tidak berpegang pada nilai moral. Padahal, jika kita merujuk pada pandangan klasik Plato, politik harus berdasarkan fondasi keadilan. Setiap orang membatasi dirinya dan posisinya dalam hidup sesuai kompetensi dan kapasitasnya. Dalam skala makro (polis sebagai cikal-bakal negara), prinsip keadilan terletak pada kesesuaian antara fungsi dan struktur pelayanan dengan kecakapan orang yang menjabatnya.


Pandangan Plato dinilai terlalu idealis dan spekulatif, bahkan dikritik oleh muridnya sendiri, Aristoteles. Manusia hidup dalam kenyataan material, terlibat benturan antara berbagai kepentingan, bukan nilai-nilai yang abstrak.

Berbeda dengan Plato yang menganggap negara sebagai manifestasi jiwa keadilan/kebaikan, Artistoteles menafsirkan negara-kota terbentuk karena kesepakatan warga lintas kampung. Kampung sendiri terbentuk dari kesepakatan lintas keluarga, dan keluarga terbentuk karena individu yang saling membutuhkan. Kemampuan individu manusia untuk mengelola kepentingannya sambil berinteraksi dengan individu lain itu diyakini Aristoteles sebagai tabiat zoon politicon.

Sejatinya, tidak ada konotasi negatif dari pemaknaan politik secara idealis atau realis. Praktik politik di masa kontemporer yang tidak berdasarkan nilai tertentu justru membentuk pemahaman keliru (falcification). Kekeliruan yang berulang-ulang (dari periode ke periode) dan bersifat masif menghasilkan "kebenaran" baru, misalnya: praktik politik uang diterima sebagai kewajaran dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden/kepala daerah. Akibatnya, semua jenis interaksi politik antara individu atau kelompok diukur dengan kemanfaatan material yang akan diperoleh. Politik menjadi transaksi berbiaya tinggi untuk memuaskan/memaksimalkan kepentingan pribadi atau kelompok.

M Natsir, Soekarno, Sjahrir, DN Aidit.

Sejak Indonesia merdeka, kita bisa membandingkan kualitas pemilu pada tahun 1955 dan 1999 dengan pemilu pada masa Orde Baru dan pascareformasi. Sebagai bangsa kita harus jujur, telah terjadi gejala dekadensi dalam proses demokratisasi. Bukan sekadar tingkat partisipasi masyarakat yang cenderung menurun, tetapi derajat keterwakilan para politisi semakin rendah dan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara sebagai buah dari proses demokrasi terus merosot.

Sebelum lebih jauh terjebak dalam demokrasi semu, sebagai bangsa kita harus berani melakukan koreksi berjamaah, terutama para pemimpin bangsa dan penentu kebijakan. Politik kontemporer yang kita jalani saat ini semakin jauh dari nilai yang digariskan Plato atau Aristoteles.

Semakin jauh lagi, bila kita pakai kriteria asasi pembangunan negara (state building) yang dicanangkan al-Farabi sebagai Madinah al-Fadhilah (negara utama), yakni kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan dasar: sandang, pangan, papan, keamanan, dan ketertiban umum.

Apakah kita mengelola negara sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945? Ataukah kita perlakukan negara sebagai wahana memuaskan syahwat pribadi/kelompok? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak hanya diajukan elite kelas menengah, tapi rakyat kecil di berbagai daerah juga bertanya-tanya dengan cara dan nada mereka sendiri: pemilu sudah berulang kali, kabinet bergonta-ganti, tapi mengapa nasib kami sebagai rakyat jelata belum sejahtera? Apakah rakyat selalu salah memilih? Apakah rakyat masih membutuhkan pemerintah selaku aparatus negara? Pertanyaan itu tak boleh dibiarkan, bersipongang dalam suasana ketidakpercayaan sistemik.

Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.

Silaturahim politik adalah proses dialog dan tukar-menukar pandangan atau pengalaman untuk memperbaiki kondisi politik bangsa yang disadari mengalami kemerosotan di berbagai dimensi. Silaturahim politik bukan hanya terbatas di antara politisi lintas partai, bukan pula antarpolitisi di dalam dan luar pemerintahan.

Silaturahim politik harus melibatkan seluruh komponen bangsa: tokoh masyarakat (termasuk pemuka agama) di pusat dan daerah, cerdik-cendekia lintas generasi (tua-muda) dan profesi, untuk menjawab permasalahan aktual tingkat lokal dan nasional. Jika perlu direvisi, kita bisa menyebutnya: silaturahim kebangsaan.

Tidak perlu dilakukan seremoni formal dan berbiaya besar untuk melembagakan silaturahim kebangsaan. Biarkan berlangsung secara spontan sejalan dinamika yang berkembang di masyarakat. Sebagaimana kesahajaan hubungan antara M Natsir dengan IJ Kasimo dan DN Aidit, atau kehangatan persahabatan Moch Roem dengan Oei Tjoe Tat. Mereka berbeda kelompok politik, tetapi bertenggang-rasa dalam menyelesaikan problem kebangsaan.

Kita harus malu jika sekarang rakyat menyaksikan sejumlah elite berkelahi mengenai perkara yang justru melemahkan sendi-sendi kebangsaan. Silaturahim, sebagaimana gotong-royong, harus menjadi identitas nasional kita.

M Sohibul Iman,
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
REPUBLIKA, 11 Januari 2016