Friday, December 14, 2018

Bukalah Matamu!


Mulai agak meroket September, Oktober. Nah, pas November itu bisa begini (tangan menunjuk ke atas),” kata Jokowi di Istana Bogor, Rabu 5 Agustus 2015. (banyak media cetak dan televisi menjadi saksi).

Keinginan untuk subsidi BBM, saya kira tidak ada masalah. Subsidi bagi rakyat kecil adalah sebuah keharusan,” ujar Jokowi menanggapi permintaan para tukang ojek, di Jl. Borobudur 18 (16/6/2014, Republika).

Klausulnya jelas, Indosat bisa diambil kembali, hanya belum kita ambil. Kuncinya hanya satu, kita –buy back–, kita beli kembali. Tapi ke depan ekonomi harus tumbuh 7 persen,” janji Jokowi. (22/6/2014, Tempo.com).

Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok,” kata Jokowi di Gedung Pertemuan Assakinah, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (2/7/2014, Kompas.com).

Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun,” jelasnya saat ditemui di Gedung DPR, Selasa (3/6/2014, Liputan 6).


Janji adalah hutang
Hasilnya? Hingga November 2017 dan November 2018, meroket yang dimaksud tak pernah kunjung terjadi. Keharusan subsidi bagi rakyat kecil yang disampaikan dihadapan para tukang ojek itu bukan hanya dicederai, tapi malah diberi beban yang amat dahsyat. Meski baru empat tahun memerintah, Jokowi bukan hanya mencabut, tapi sudah 12 kali menaikkan harga BBM. Padahal tukang ojek itu ibaratnya mereka ‘bernapas’ dengan BBM.

Tentang janji –buy back– Indosat yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen, itu pun jauh dari kenyataan. Bahkan tragisnya, pemerintah justru sedang bersiap-siap melego aset-aset Pertamina. Itu sebabnya ribuan karyawan Pertamina, jumat (20/7/18) lalu, melakukan demo. Jika masih nekad, maka puluhan ribu karyawan Pertamina akan mogok.

Lalu, soal impor macam-macam: beras, daging, sayur, buah, kedelai yang secara berapi-api dikatakan akan distop, faktanya? Jokowi menikmati impor-impor berikutnya. Petani, nelayan, pedagang mengalami kesulitan dan mereka sama sekali tidak dihiraukan. Jutaan ton beras diimpor dengan tenang.


Terkait hutang yang juga dengan gagah perkasa dikatakan tidak akan dilakukan lagi, nyatanya? Per-Mei 2018 melonjak Rp 4.180 triliun. Menurut RMOL.co, hutang Indonesia memasuki babak paling beresiko.

Masih sederet janji yang tak ditepati. Anehnya orang seperti Denny Siregar masih membelanya. Lebih tepat memujanya seakan ia mampu menutupi seluruh fakta yang ada.

Dan membuat orang seperti Kapitra Ampera yang selama ini berada dalam barisan perjuangan bela ulama, terseret ke gelombang kekuasaan hingga mau berada dalam lingkaran itu, meski janji penguasa dan fakta tak dipenuhi.

Bahkan ulama sekelas TGB pun seolah dibutakan dengan apapun alasan yang ia kemukakan, faktanya ia secara sadar berpaling ke tempat yang seharusnya dikritisi. Apalagi dia memiliki basis agama yang kuat.

Bahkan ucapan-ucapannya seolah menjadi pembenar perbuatan yang tak sama antara janji dengan kenyataan. Janji dalam agama mana pun bisa dikatagorikan dengan hutang. Dan hutang, hukumnya wajib dibayar.


Mendukung dan memilih memang menjadi hak privat, hak yang dilindungi undang-undang. Tapi, menafikan fakta-fakta yang ada, sungguh tak bisa dipahami akal sehat. Dan, kelak akan dimintakan pertanggung jawaban di pengadilan yang sesungguhnya.

Fakta yang ada, tersaji dengan terang-benderang. Bahkan janji kontra fakta juga terlihat dengan jelas. Tak ada alasan untuk tidak melihatnya. Tak ada pula alasan dengan cara apa pun untuk membenarkannya.

Semua terbuka di atas meja. Tapi anehnya, semua seperti tersamarkan. Bahkan ada yang berani memfatwakannya bahwa hanya Jokowi-lah yang terhebat memimpin negeri.

Coba simak lirik lagu Ebiet G Ade “Masih ada waktu”:

Kita dapat mencoba meminjam catatan-Nya
Sampai kapankah gerangan
Waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng, semuanya terdiam,
semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah segera bersujud,
mumpung kita masih diberi waktu

Ya, mumpung masih ada waktu.

M. Nigara,
Wartawan senior,
Mantan Wasekjen PWI
https://opiniindonesia.com/2018/12/14/bukalah-matamu/

Tuesday, November 13, 2018

Perabot Rongsok dari Yunani


Tulisan ini terinspirasi setelah melihat di rak Gramedia sebuah buku yang sudah lama pernah dibaca dan sekarang buku itu hilang entah dipinjam atau memang hilang.

Konon Zaman Orba dulu buku tersebut dilarang tapi sekarang banyak beredar di toko-toko buku bahkan teks asli dalam bentuk pdf juga sudah banyak di internet.

Inilah klaim Max I Dimont si penulis buku tersebut, dalam penggalan kata pengantar bukunya, Jews, God and History, “Perabotan Dunia Barat adalah Yunani, namun rumah tempat mereka tinggal adalah Yahudi.


Kutipan utuh salah satu paragraf dalam kata pengantar buku tersebut sebagai berikut: “The real history of the Jews has not yet been written. It took Europe sixteen hundred years after the decline of Greece to realize that her literature, science, and architecture had their roots in Grecian civilization. It may take another few hundred years to establish that the spiritual, moral, ethical, and ideological roots of Western civilization are embedded in Judaism. To put it differently –the furniture in the Western world is Grecian, but the house in which Western man dwells is Jewish. This is a viewpoint which is beginning to appear more and more in the writings of both churchmen and secular scholars.

Salah satu ‘Perabot’ yang dibangga-banggakan oleh Barat kepada dunia adalah ‘Demokrasi’ !!!

Hampir semua sistem tatanan sosial atau negara yang melibatkan partisipasi rakyat, oleh Dunia Barat di klaim sebagai sistem Demokrasi.


Klaim para intelektual Barat terhadap Demokrasi itu bisa dibaca di buku yang ditulis Mbah-nya guru politik Indonesia, Prof Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, halaman 105, berikut penggalannya: “Probably for the first time in history democracy is claimed as the proper ideal description of all systems of political and social organizations advocated by influential proponets.

Dan kita ikutan-ikutan membeo seolah tak percaya diri, ‘sistem ketatanegaraan berdasar Pancasila’ dengan ‘Musyawarah Mufakat’, dan ‘Perwakilan’ dilabeli Demokrasi. Yah, mirip-mirip pedagang, biar keren, ke barat-baratan, ‘wedang Jahe’ dilabeli ‘coffee ekspresso’. Ini sekedar contoh ekstrim untuk menggambarkan betapa besar perbedaan antara Sistem Politik Pancasila dengan Sistem Demokrasi.

Kenapa, kita bangsa Indonesia minder dengan ‘Perabotan/Produk lokal dalam negerinya sendiri yaitu Pancasila?’ Seolah kalau tak dilabeli demokrasi, kita dianggap kuper, terbelakang, bodoh, dekaden, tiran, dan segerombol julukan lainnya.


Pasca gempa Lombok kemarin, kita baru ngeh bahwa, kita sering mengabaikan ‘pengetahuan-pengetahuan lokal’ (local wisdom) yang dimiliki bangsa ini yang diwariskan dari para pendahulu sebagai teknologi antisipasi bencana. Kita baru sadar bahwa rumah-rumah adat zaman dulu walaupun dari kayu rupanya lebih tahan gempa dibandingkan rumah tembok sekarang.

Kita punya Pancasila sebagai warisan dan konsensus bernegara. Kita punya spirit Ketuhanan yang tinggi bahkan kita mengakui kemerdekaan bangsa ini sebagai rahmat serta anugerah Ilahi.

Kita punya semangat Keadilan, sama rata sama rasa. Sehidup semati sebagaimana dulu dicontohkan oleh para pahlawan ketika menghadapi penjajah. Senasib sepenanggungan.

Kita punya semangat Persatuan, bukan perpecahan. Semangat perlombaan bukan pertandingan.

Gotong Royong dan Musyawarah Mufakat adalah local wisdom Indonesia.

Kita punya semangat Gotong Royong (kolaborasi) bukan kompetisi yang saling mengalahkan, apalagi diiringi caci maki dan buli (inget pil-pilan, copras-capres sekarang ya ....)

Kita punya semangat Musyawarah Mufakat berdasar nalar-nalar Hikmah Kebijaksanaan bukan nalar-nalar Demokrasi, yang selalu mengukur kebenaran dan kemenangan dari ukuran kuantitas. Hukum rimba modern, yang paling banyak dan kuat, dia yang menang.

Nalar Hikmah Kebijaksanaan ala Pancasila membawa kita kepada pemahaman bahwa Kekuasaan adalah Amanat dan Fitrah dari Tuhan, oleh karena itu mari kita kelola dengan amanah bukan jadi ajang perebutan.


Nalar Demokrasi yang berpangkal pada ajaran teori politik Barat yang sampai kepada para intelektual bangsa ini adalah “kekuasaan itu harus diperebutkan.” Karena nalar ini, setiap kali pemilihan pemimpin, maka hampir pasti selalu terjadi keributan dengan berbagai skalanya. Dan sebagai wujud pelaksanaan dari nalar itu, maka harus dibentuk Partai Politik sebagai sarana perebutan dan ajang bagi-bagi kekuasaan.

Apakah ini wujud inferioritas para intelektual bangsa ini terhadap propaganda atau hegemoni wacana intelektual dari dunia Barat? Sehingga apapun wacana dari Barat kita hanya bisa mengekor, membebek dan membeo? Dan lebih parahnya lagi bagai kerbau dicokok hidungnya.

Bangsa ini harus sadar bahwa “gempa-gempa sosial, budaya dan politik” yang melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konsekuensi logis dari pilihan bangsa ini yang lebih mengutamakan Demokrasi ala Barat dan melupakan azas Musyawarah Mufakat sebagai warisan budaya bangsa sendiri.

Kita sering lupa bahwa “Rumah Pancasila” dengan segala ‘Perabotannya’ sejatinya lebih cocok pada bangsa ini yang memang punya karakter-karakter luhur seperti: kekeluargaan dan tidak individualis, gotong royong/kolaborasi bukan kompetisi, tenggang rasa, tolong menolong, cinta perdamaian bukan perpecahan, toleransi, sama rasa, sepenanggungan, dll. Bangsa ini yang punya  keanekaragaman tinggi, yang sangat rawan dengan gempa-gempa sosial, budaya dan politik membutuhkan ‘Rumah’ dan ‘Perabotan’ yang tahan terhadap aneka macam gempa itu.


Bangsa ini tidak sadar, bahwa “Perabotan rumah tangga yang diimpor dari Barat” dengan ujud Demokrasi Liberal yang kita bangga-banggakan selama ini, justru menimbulkan kegaduhan dan gempa-gempa politik. Muncul karakter-karakter aneh yang sebelumnya tidak pernah terlihat. Fenomena ‘Cebong’ dan ‘Kampret’ mungkin bisa mewakili situasi ini. Belum lagi sikap saling membuli dan nyinyir yang tak habis-habis. Bahkan, bencana yang menimpa bangsa ini, bukannya menumbuhkan rasa persatuan dan solidaritas yang kuat melainkan malah menambah perpecahan. Bencana dijadikan ajang saling memojokkan, kampanye pilpres dan saling nyinyir. Astaghfirullaah ....

Kita lupa bahwa demokrasi yang sekarang diambil adalah dari reruntuhan peradaban Yunani Kuno. Reruntuhan yang sudah sekian lama terkubur dan mungkin saja ‘Perabotan’ yang kita ambil dari reruntuhan itu sebenarnya sudah jadi “rongsokan” sejarah.

Bangsa yang kurang pede terhadap potensi dirinya, biasanya memang lebih senang kepada segala sesuatu yang berbau impor, walaupun barang yang diimpor itu barang bekas atau bahkan barang rongsokan.

Ahmad Syafiudin
Salam Ahad Bahagia dari bekas, 21 Oktober 2018.

NB: Jika ada yang kurang berkenan dengan diksi yang saya pakai mohon dimaafkan dan jangan terlalu ambil hati, sebenarnya bukan untuk membuat sakit hati apalagi antipati tapi hanya  sekedar menstimulasi ranah kognisi sambil ngopi pagi.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10215030092484714&id=1202074435

Wednesday, October 10, 2018

Tsunami, Pajak, dan Rasa Iba


Bagaimana kita tidak menangis? Menangis karena gawatnya bencana alam. Menangis karena sesama manusia terbawa hanyut seolah menjadi sampah di antara sampah untuk menuju tempat arwah entah di mana ….


Namun bagaimana, usai menangis, pilu, dan duka, lihat bagaimana bencana itu direaksi? Dengan menonton wawancara saksi. Ya, derita menjadi berita. Dengan seruan ke langit; meyambut sorak-sorai kaum saleh menyuruh kita berserah diri; tanpa menyadari kita seolah disuruh menyerah. Atau dengan penggalangan dana donasi; melihat lembar Rp 100.000 ditelan kotak sumbangan kita sudah merasa lega; seolah menjadi dermawan. Ya, bencana hanya dijadikan sarana untuk merayakan kadar emosi, mencari jalan ke surga atau meningkatkan rasa percaya diri.


Menurut saya, harus dilihat lebih jauh. Rasa iba kita harus diubah menjadi sikap yang konkret, berjangka panjang. Sebagaimana baru-baru ini dijelaskan oleh Dillon dan Tabor (Jakarta Post, 3/10/2018), Indonesia kini sudah terklasifikasi sebagai negara berpenghasilan menengah. Hal ini berarti bahwa perekonomian Indonesia sudah dapat menghasilkan surplus yang semestinya diarahkan ke kebijakan sosial —misalnya mitigasi bencana— atau ke kegiatan pembangunan jangka panjang. Namun, ternyata hingga kini mustahil dilakukan. Karena, menurut Dillon dan Tabor, pungutan pajak negara kini bukanlah naik, seperti diharapkan, melainkan turun. Turun untuk pertama kali di bawah 10 persen dari GDP, yaitu pada tahap negara-negara berpenghasilan sangat rendah (least-developed countries), sedangkan Indonesia sudah berstatus negara berpenghasilan sedang (middle-income). Apa sebabnya? Karena sikap kaum elite, kata mereka.


Memang, bila kita melihat realitas sosial, kaum elite terasa hidup di dunia “lain”. Bila Anda, seperti saya sekarang ini, berada di sebuah hotel di Jakarta yang terletak antara Kuningan dan Kemang, Anda tidak perlu lama menyadari bahwa kaum elite Indonesia hanya sibuk dengan satu hal saja: menciptakan jarak sosial. Seolah acuannya pada sila ke-5 Pancasila adalah “joke” yang konyol.


Cobalah mengunjungi mal besar sebagai pejalan kaki, seperti saya lakukan baru-baru ini. Langsung kentara bahwa areal masuk sengaja dibuat sedemikian rupa, seakan-akan terbaca kesan menjauhkan wong cilik. Karena akses masuknya dibuat rumit. Adapun para satpam fungsinya tak dapat diragukan lagi: sebagai tukang bungkuk bagi bos yang mendadak bisa menjelma menjadi tukang pukul bagi Anda.


Adapun kaum elite muda yang kita temui di kafé-kafé lebih parah lagi: saya berani bertaruh bahwa banyak di antaranya lebih akrab dengan suasana di Santa Barbara atau Singapura daripada di Pasar Senen atau Kampung Melayu di DKI Jakarta. Anak gedongan ini tidak pernah berada di tengah khalayak, yang kerap disebutnya “mereka” itu. Jarak sosial ini tidak dirasakannya sebagai sesuatu yang memalukan, tetapi keniscayaan yang membanggakan.


Berkaca pada kaum elite yang demikian, bagaimana mengembangkan perangkat institusional yang mampu mengangkat rasio pungutan pajak sampai 20 persen GDP demi instrumen pembangunan dan kebijakan sosial (dan penanggulangan bencana) yang layak dan lebih efisien. Sangat sulit. Dibutuhkan kemauan politik dari para pemimpin serta kesadaran dari —paling sedikit— sebagian dari kaum elite.


Orang Indonesia memang pinter berkongko-kongko. Tetapi, bagaimana mungkin, 73 tahun setelah merdeka, tawar-menawar politik nasional masih tetap lebih sering berlangsung di seputar masalah “identitas” dan representasi etno-religius daripada di seputar keadilan sosial. Sementara masalah etno-religius justru muncul dari kegagalan menanggulangi masalah sosial di dalam kompleksitasnya.


Kegagalan memahami situasi ini bisa dibayar mahal. Bila tetap gagal, jangan heran bila pada suatu hari, sistem donasi “orang baik-baik” bagi kaum papa dan korban bencana tidak lagi dianggap cukup untuk menutupi amarah dari mereka yang rumahnya terisap bumi seperti di Sigi atau gubuknya tidak layak lagi untuk dihuni. Semoga elite Indonesia sadar sebelum hal ini terjadi. Semoga.

Jean Couteau
Penulis Kolom Udar Rasa
KOMPAS, 7 Oktober 2018

Friday, September 14, 2018

Industri Digital: Intervensi Asing Melalui Media Sosial


Media sosial yang diyakini sebagai media paling efektif untuk menjangkau orang lain, telah menjadi ajang perang informasi tak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tataran global. Kini berbagai cara dilakukan untuk mempengaruhi opini seseorang hingga mereka mengikuti informasi dan pandangan yang sengaja dibuat oleh orang lain untuk dirinya.

Awal pekan ini kita dihebohkan oleh langkah Facebook yang kembali mencopot sejumlah akun, grup, dan halaman baik di Facebook maupun Instagram yang digolongkan sebagai akun dengan perilaku terkoordinasi yang aneh. Mereka mencopot sebanyak 652 entitas yang diduga terkait dengan Rusia dan Iran. Mereka diketahui melakukan tindakan mempengaruhi terkait dengan kegiatan politik di Amerika Serikat, Inggris, Amerika Latin, dan Timur Tengah.

Sebelumnya, yaitu sebulan yang lalu Facebook juga menghapus 32 akun dan halaman yang diduga digunakan untuk kepentingan politik. Mereka hendak mempengaruhi pemilihan tengah waktu (midterm) yang akan berlangsung di Amerika Serikat. Pemilik akun juga diketahui mendorong pengikutnya untuk mengikuti sebuah gerakan dengan turun ke lapangan.


Media sosial termasuk Facebook banyak digunakan untuk menyebar opini, berita palsu, dan narasi-narasi yang bertujuan untuk kepentingan tertentu. Facebook menghapus sejumlah akun yang dicurigai sebagai akun dengan perilaku terkoordinasi yang aneh.

Dalam pengumuman pekan ini, Facebook menyebutkan, operasi di Iran melibatkan 254 halaman Facebook dan 116 akun Instagram. Mereka mampu menarik satu juta pengikut. Akun-akun itu telah berbelanja iklan sejak 2012 hingga tahun lalu dengan nilai 12.000 dollar AS.

Salah satu akun diketahui telah berbelanja iklan 6.000 dollar AS pada bulan Agustus ini. Lembaga yang pertama mencurigai akun-akun itu adalah FireEye dan mereka memberitahukan ke Facebook.

Akun lainnya diketahui telah mencoba membajak sejumlah akun dan menyebarkan virus tertentu. Akun yang ketiga telah menyelenggarakan 25 event dan memiliki 813 pengikut. Mereka menyebarkan konten tentang Timur Tengah namun juga tentang Amerika Serikat dan Inggris.


Facebook telah menjelaskan masalah ini kepada pemerintah AS dan Inggris. Sebuah investigasi tengah dilakukan namun karena alasan sensitivitas, mereka tidak mau menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan penghapusan akun-akun yang diduga menjalankan tindakan bermotif politik.

Beberapa hari sebelum langkah Facebook ini, Twitter juga telah menghapus sebanyak 284 akun yang diduga terkait dengan Iran. Mereka melakukan manipulasi informasi yang terkoordinasi.

Twitter tengah bekerjasama dengan aparat hukum dan juga perusahaan digital lainnya untuk menangani masalah ini agar menjadi jelas masalahnya. Microsoft juga telah mengumumkan bila intelijen militer Rusia telah mencoba untuk membajak akun-akun politisi Amerika.


Dari berbagai kejadian itu terlihat bahwa pihak asing berusaha terlibat dalam berbagai peristiwa politik di sebuah negara. Mereka dinilai sangat agresif dalam upaya untuk mempengaruhi hal-hal sensitif semisal hasil pemilihan umum atau keputusan politik di sebuah negara. Mereka membuat narasi-narasi yang bertujuan untuk menguntungkan mereka dan disebar melalui akun-akun media sosial serta menggunakan teknik pemasaran digital yang bisa menarget orang per orang secara tepat.

Dari berbagai kasus itu, pemerintah Indonesia harus mewaspadai kemungkinan aktifitas pihak-pihak luar yang ingin mempengaruhi hasil pemilihan presiden pada April 2019 mendatang. Melihat begitu kerasnya pertentangan di media sosial saat ini, maka kita harus mewaspadai kemungkinan intervensi asing melalui media sosial.

Apalagi posisi Indonesia sangat dibutuhkan, baik oleh Amerika Serikat, Rusia, China, dan Jepang dalam konteks politik global.

Andreas Maryoto,
Wartawan senior Kompas.
KOMPAS, 23 Agustus 2018


Waspada, Krisis Digital Dapat Terjadi Kapan Saja

Ketika kehidupan makin banyak bergantung pada teknologi digital maka kita harus bersiap ketika terjadi krisis. Kita tidak dapat menggantungkan atau memuja-muja sepenuhnya kehadiran berbagai produk teknologi digital.

Peran manusia ternyata masih menentukan sehingga tidak semuanya dapat dijalankan dengan teknologi digital. Apalagi, ketika tata kelola yang baik masih harus dibangun dan masih dalam proses, maka sistem dengan teknologi digital sehebat apapun dapat mengalami krisis.

Kita baru saja menyaksikan betapa rumitnya urusan tiket Asian Games 2018 sehingga pengelolaan dipindahkan dari Kiostix ke Blibli.com, Loket.com, dan Tiket.com. Itu karena publik tidak puas dengan sistem manajemen tiket sebelum pembukaan Asian Games dilakukan.

Tokopedia juga terpaksa memecat sejumlah karyawannya yang diketahui melakukan tindakan tidak terpuji. Tokopedia ingin menegakkan tata kelola yang benar. Kasus lainnya sudah banyak terjadi di beberapa perusahaan teknologi dan juga perbankan di Indonesia.


Keterandalan teknologi digital ternyata juga memunculkan masalah sehingga bisa memunculkan krisis. Tata kelola yang tidak memadai, kemampuan infrastruktur yang minim, kekurangandalan sistem, hingga kelemahan keterampilan para pengembang dalam menerjemahkan kebutuhan digitalisasi, menjadi penyebab munculnya krisis digital. Salah satu hasil survei menyebutkan krisis digital sebagian besar disebabkan dari dalam perusahaan teknologi itu sendiri!

Kalangan ahli manajemen krisis pun berpendapat, krisis digital bisa terjadi kapan saja dan pada siapa saja. Krisis ini telah pernah menimpa sejumlah perusahaan-perusahaan besar sehingga siapapun bakal bisa terkena krisis ini tanpa pandang bulu.

Kejadian seperti ini terus meningkat sehingga perusahaan perlu membuat protokol mengenai rencana tanggap darurat terhadap krisis. Sayangnya, sebagian besar tanggapan terhadap krisis digital masih membahas soal krisis reputasi perusahaan berkaitan dengan berita di media sosial. Padahal krisis dalam konteks itu sebenarnya adalah krisis komunikasi digital.


Di dalam salah satu blog tentang pengelolaan krisis disebutkan beberapa komponen yang diperlukan saat terjadi krisis digital. Pertama adalah, teknologi digital itu sendiri yang digunakan untuk melakukan komunikasi antarpihak di dalam perusahaan.

Teknologi digital harus digunakan untuk mempercepat arus informasi penanganan krisis. Model lama dengan cara manual harus ditinggalkan karena kemampuan menangani krisis akan terhambat bila dilakukan dengan cara manual dan konvensional.

Kedua adalah, aksesibilitas informasi oleh karyawan. Ketika krisis maka semua karyawan secara proporsional harus mudah mengakses informasi sehingga tidak terjadi simpang siur.

Ketiga adalah, aktivasi para pemangku kepentingan agar bisa terlibat dalam menangani krisis. Ketika krisis membesar dan cenderung ditangani sendiri maka mereka telah mengabaikan para pemangku kepentingan lainnya yang sebenarnya bisa ikut terlibat dalam menangani krisis.

Apalagi, mereka sebenarnya memiliki kemampuan dan pengaruh yang bisa ikut menangani krisis.


Keempat adalah, kecepatan merespons melalui infrastruktur yang tersedia dapat mempercepat respons terhadap berbagai jenis krisis.

Krisis digital memiliki cakupan yang sangat luas dari mulai krisis karena kemampuan infrastruktur yang tidak memadai, tindakan yang tidak terpuji dari mereka yang mengelola teknologi digital, hingga masalah komunikasi berbasis teknologi digital.

Kita masih perlu belajar banyak agar kita bisa menangani krisis di era yang makin bergantung pada teknologi digital. Penanganan krisis digital menjadi mutlak karena menyangkut kepercayaan publik atau konsumen sehingga hal ini harus menjadi prioritas utama yang harus segera dipulihkan. Dan tentu saja, keamanan sistem merupakan kunci dalam mencegah terjadinya krisis yang berulang.

Andreas Maryoto,
Wartawan senior Kompas.
KOMPAS, 30 Agustus 2018

Thursday, August 23, 2018

Sore yang Mengagetkan bagi Mahfud MD


Wajah Mahfud MD masih ceria. Menebar tawa kepada para kolega. Berkumpul di meja panjang, menyantap pelbagai hidangan. Kopi, teh, kue dan makanan lainnya tersaji di atas meja. Dia duduk di tengah, menjadi pusat perhatian. Memakai kemeja putih, dia tambah asyik berbincang. Sesekali menerima telepon.

Waktu menunjukkan jam 3.30 sore. Lokasi Mahfud persis di seberang Restoran Plataran, Menteng. Berjarak lebih kurang 30 meter. Dia berada di Restoran Tesate. Berada di lantai bawah. Ruangan itu seluruhnya telah disewa. Semua relawan maupun kawan hadir. Datang satu per satu, mereka mengucapkan selamat kepada Mahfud.

Wajah Mahfud tampak sangat bahagia. Selalu tertawa bila menerima ucapan itu. Tampilannya sudah rapi. Maklum saja, Kamis sore itu dia masih percaya diri. Setelah mendapat angin segar dari Joko Widodo alias Jokowi. Mahfud bersiap akan deklarasi sebagai calon wakil presiden mendampingi Jokowi buat Pilpres 2019 nanti.

Mahfud MD dan para pendukungnya sedang menunggu di restoran Tesate, Menteng. Tak jauh dari restoran Plataran, tempat Jokowi dan Parpol Koalisinya berkumpul.

Sekitar pukul 4 sore, teleponnya terus berdering. Dalam suasana ceria itu, nampak Mahfud lebih dari lima kali menjawab telepon dari seseorang. Obrolannya tidak terlalu panjang. Setiap habis menjawab, dia kembali berbincang dengan para kawan. Tampak hadir di sana, Politisi Golkar Nusron Wahid, bekas Politisi Demokrat Ruhut Sitompul, Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Irfan Wahid, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW (Indonesia Corruption Watch) Donal Fariz dan beberapa barisan relawan Jokowi maupun pendukung Mahfud.

Semua tampak gembira. Beberapa dari mereka asyik menyantap hidangan. Adapula saling berbincang agak serius. Sambil menunggu keputusan dari seberang. Tidak ada rasa “dag dig dug ...” Semua tampak tenang. Mungkin karena sangat yakin, bahwa jagoan mereka bakal segera diumumkan.

Masuk pukul 4.30 sore, telepon Mahfud makin sering berdering. Dia kerap mengangkat telepon. Di sini raut mukanya mulai tampak serius. Apalagi pengumuman dari seberang belum juga dikeluarkan. Padahal sembilan ketua umum partai koalisi pendukung dan pengusung Jokowi sudah berkumpul. Namun, belum pula ada panggilan untuk menyeberang. Untuk menemui Jokowi, calon presiden mereka.


Informasi yang kami dapat, telepon itu berasal dari pejabat di Istana Negara. Orang itu adalah Pratikno, Menteri Sekretaris Negara. Telepon itu membuat raut wajah Mahfud meredup sinarnya. Tidak seperti satu jam yang lalu. Saat itu, bertemu dengan siapa saja selalu tampak ceria. Perlahan kegembiraan mantan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) itu tidak lagi tampak. Hanya senyum simpul sesekali ketika disapa.

Mahfud sempat keluar dari ruangan meja panjang. Duduk di atas sofa putih. Berjejer dengan beberapa relawan Jokowi. Ponsel tidak pernah lepas dari tangannya. Lagi-lagi telepon itu berdering. Bagi Mahfud, hari itu tampak sibuk. Wajahnya justru makin serius. Suaranya agak sedikit bisik-bisik. Sempat terdengar dia menanyakan tentang Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Kembali lagi Mahfud ke meja panjang. Duduk sebentar, ponselnya berdering lagi. Dia berdiri, berjalan ke arah pojok kanan dari tempat duduknya. Bersandar ke kaca. Masih menjawab telepon. Dari situ kerut wajah Mahfud mulai berubah. Tampak galau bak orang kehilangan harapan. Dari raut wajahnya tampak bingung. Sampai beberapa kali memegang kepalanya.


Kembali duduk bersama di depan meja panjang itu. Penampilannya tidak bisa menipu hari itu. Dia terlihat sendu. Seperti tertimpa masalah yang bergelayutan. Benar saja, sekitar jam 5 sore Mahfud keluar. Bukan menyeberang untuk datangi Jokowi dan para ketum partai koalisi. Mahfud justru minta izin untuk kembali ke kantornya, di kawasan Jalan Kramat, Cikini.

Dari situ gelagat tidak biasa makin tampak. Sebelumnya, kami telah diberikan informasi dari orang dekat Mahfud bahwa deklarasi Jokowi-Mahfud bakal dilakukan tepat pukul 4 sore hari ini. Akan tetatpi, setelah hampir 1,5 jam tak ada kabar apa pun dari seberang. Mahfud akhirnya pulang kembali ke kantornya.

Raut wajah bingung dan sendu Mahfud akhirnya terjawab. Selepas Maghrib, Jokowi bersama ketum partai koalisi mengumumkan nama cawapres. Dan ... bikin kaget seantero jagat politik Indonesia. Sekitar pukul 6.30 sore. Pilihan Jokowi jatuh kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama (NU), Prof. Dr. KH Ma'ruf Amin. Bukan Prof. Dr. Mahfud MD.

Sontak para kawan Mahfud dan pendukung Jokowi di Restoran Tesate kaget. Mereka agak tak percaya. “Ya, siapapun pilihannya aku tetap dukung Pak Jokowi,” kata Ruhut kepada merdeka.com ketika ditanya mengenai pilihan Jokowi selepas diumumkan.

Presiden Jokowi dan Prof Dr Mahfud MD, dalam suatu acara yang digelar oleh Nahdlatul Ulama (NU).

Tentu pilihan Jokowi hari itu menjadi Kamis kelabu buat Mahfud. Karena gagal jadi pasangan. Harapannya seolah diputus dalam sekejap. Menunggu sekian jam di seberang Plataran Menteng ternyata tak menghasilkan sesuatu. Padahal pada siang harinya, pria 61 tahun itu mengaku sudah diminta menjahit baju. Mempersiapkan segala dokumen untuk mengurus pelbagai syarat administrasi.

Mahfud bisa terima keputusan Jokowi. Di kantornya, dia menyatakan tidak ada masalah. Semua keputusan berada di tangan Jokowi. Dia menerima bila orang pilihan itu adalah Ma'ruf Amin. “Saya tidak kecewa, tapi hanya kaget saja,” ujar Mahfud. Sikap kaget itu lantaran dirinya sudah diminta melakukan banyak persiapan sebelum diminta maju sebagai cawapres.

Sedangkan di Plataran Menteng, semua partai koalisi tampak bergembira. Merespon baik keputusan Jokowi. Sumber merdeka.com mengaku bahwa keputusan mengambil nama Ma'ruf Amin sudah disiapkan. Para ketua umum partai pengusung –PDIP, PKB, Golkar, NasDem, Hanura dan PPP– sempat melakukan rapat. Dari sana nama Ma'ruf Amin diputuskan.

Hingga detik-detik deklarasi, nama Mahfud masih menjadi pertimbangan. Bersaing dengan Ma'ruf Amin. Nama Mahfud terus menguat jelang deklarasi. Sebaliknya nama Ma'ruf timbul tenggelam sejak Jokowi menyebut 10 kandidat pendampingnya beberapa waktu sebelumnya.

Cawapres Jokowi yang berinisial "M", sempat menjadi teka-teki politik yang menyedot perhatian publik.

Sumber kami lainnya menyebut sempat ada perdebatan hebat. Nama Mahfud MD mengalami penolakan dari partai. Terutama kekhawatiran manuver politik pada Pilpres 2024 nanti. Persoalan ini jadi pertimbangan. Terutama datang dari kalangan partai pengusung. Pembahasan antara Jokowi dan ketum parpol pun mengeras.

Dorongan agar Mahfud tidak dipilih menjadi cawapres Jokowi juga berasal dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Jokowi mendapat rekomendasi tersebut. Bahkan Ketua PBNU Said Aqil Siroj sampai menegaskan, bahwa Mahfud MD bukan kader NU. Soal tuduhan tidak dianggap sebagai kader NU, Mahfud mengaku tuduhan itu dirasakan banyak pengaruhnya. Menurutnya ada ancaman bahwa NU tidak bertanggung jawab apabila bukan kadernya yang menjadi cawapres Jokowi.

Sekjen PPP Arsul Sani mengaku tak ada dinamika politik yang terjadi dalam pemilihan Ma'ruf Amin. Sebab partai koalisi sepakat, soal cawapres menjadi hak prerogatif Jokowi. Meski begitu, dia tak menampik bahwa penolakan NU terhadap Mahfud dirasa mempengaruhi dinamika politik saat itu. Walaupun, kata dia, itu bukan menjadi faktor satu-satunya.

Menurut dia kesepakatan berakhir di Plataran. Jokowi telah menunjuk nama Ma'ruf Amin. Sementara itu, dari informasi yang kami terima, sebenarnya nama Mahfud MD, sebagai cawapres Jokowi sudah disiapkan dan tinggal diumumkan. Namun, lantaran ada perubahan pada “last minute” di Plataran maka surat itu urung dibaca. Bahkan diganti segera dengan nama Ma’ruf Amin.

Arsul Sani mengaku tidak mengetahui soal itu. Meski begitu, dia tidak menampik bahwa surat berisi nama Ma'ruf Amin sebagai cawapres pilihan Jokowi diputuskan dan dicetak di Plataran Menteng. Dia ingat ada jarak waktu hingga 20 menit sebelum akhirnya diumumkan kepada publik.

“Bahwa segala sesuatu fix di Plataran. Termasuk print dokumen pencapresan (Jokowi-Ma'ruf),” tegas Arsul.


Soal pertimbangan nama Mahfud juga diakui Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Verry Surya Hendrawan. Dia mengungkapkan hingga detik-detik deklarasi, nama Mahfud dan Ma'ruf Amin makin santer. Nama Mahfud bahkan terus menguat jelang deklarasi. Walau begitu, dua nama itu memang telah masuk radar presiden.

Namun, pilihan itu pada akhirnya jatuh kepada Ma'ruf Amin. Karena dianggap sebagai tokoh bangsa yang mampu mempersatukan semua elemen. Sehingga, kata dia, mimpi Nawacita Jokowi bisa berlanjut hingga dua periode. Sebab, bila terus berkutat untuk melawan isu negatif, hanya buang waktu percuma.

Mereka meyakini pasangan ini sudah sesuai dengan yang diharapkan. Kata Verry, belum sepekan deklarasi efeknya sudah terasa. Konflik horizontal meredam. Termasuk dalam media sosial. Tampak terasa lebih sejuk. “Jadi kita sudah rasakan sekarang medsos kita lebih adem, potensi konflik horizontal bisa kita redam,” ungkap Verry mengakhiri.

Merdeka.com
Reporter: Anisyah Al-Faqir, Angga Yudha Pratomo
16 Agustus 2018

Prof Dr Mahfud MD saat berangkat pagi-pagi dari Yogyakarta menuju Jakarta (Kamis, 9 Agustus 2019).

4 Bukti Jokowi Pilih Mahfud MD Sebagai Cawapres

Walau kini sudah jadi keputusan yang tak bisa diubah, penunjukan Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi masih menyisakan tanya. Di banyak media, dan dari kabar yang beredar luas, cawapres yang dipilih Jokowi adalah Mahfud MD. Namun semua berubah seketika saat Jokowi mengumumkan pendampingnya pada Pilpres nanti ialah Ma'ruf Amin. Sontak saja ini membuat publik terkejut.

Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di Tv-One, Mahfud MD blak-blakan mengungkapkan kejadian sebenarnya. Mantan Ketua MK itu juga menegaskan jika cawapres yang sebenarnya dipilih Jokowi adalah dirinya. Berikut bukti Jokowi pilih Mahfud MD sebagai cawapres:

1. Diundang ke kediaman Mensesneg Pratikno
Awal mula Mahfud MD mengetahui dipilih menjadi cawapres Jokowi adalah saat dirinya diundang ke kediaman Mensesneg Pratikno pada 1 Agustus sekitar pukul 23.00 WIB. Dia menceritakan di rumah Mensesneg hadir pula Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki. Saat itulah, Mahfud MD mengaku diberitahu soal cawapres pilihan Jokowi sudah mengerucut kepada dirinya.

“Lalu saya diberitahu bahwa, Pak Mahfud sekarang pilihan sudah mengerucut ke Bapak. Harap bersiap-siap nanti pada saatnya akan diumumkan, syarat-syarat yang diperlukan segera mulai disiapkan tidak harus lengkap yang penting ada dulu. Itu tanggal 1 tengah malam jam 23.00 di Widya Chandra,” kata Mahfud MD di acara Indonesia Lawyers Club yang disiarkan Tv-One, Selasa (14/8/2018).

Muhaimin (Cak Imin), termasuk salah satu cawapres yang berinisial "M", selain Mahfud, Ma'ruf, dan Moeldoko.

2. Detail deklarasi Mahfud sudah disiapkan
Dalam acara Indonesia Lawyers Club yang disiarkan Tv-One, Mahfud MD menceritakan jika dia sudah diberitahu detail oleh Mensesneg Pratikno mengenai deklarasi dirinya. Sebelum deklarasi, Mahfud diminta membonceng Jokowi naik sepeda motor dari Gedung Joang 45.

“Saya diundang lagi ke kediaman Mensesneg Pratikno, kata Pak Pratikno ‘Pak Mahfud besok akan diumumkan, detail sudah diputuskan, semuanya sudah disiapkan. Upacaranya nanti berangkat dari Gedung Joang, nanti Pak Mahfud naik sepeda motor bersama Pak Jokowi. Pak Mahfud bonceng Pak Jokowi’,” kata Mahfud MD menirukan pernyataan Pratikno.

Menurut Mahfud, dia sempat menanyakan kenapa boncengan naik sepeda motor, tidak masing-masing. Jadi Jokowi mengendarai satu, Mahfud MD satu sepeda motor. Namun Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki yang juga hadir di kediaman Pratikno menjelaskan, bila masing-masing membawa motor tidak terlihat bagus saat dipotret media.

“Saya bilang kenapa tidak naik sama-sama saja, saya satu, Pak Jokowi satu. Nanti nggak bagus kata Pak Teten, 'Pak Mahfud ke kiri, Pak Jokowi belok ke kanan nanti jelek dipotret wartawan'. jadi sdh detail begitu,” ujarnya.

3. Mahfud MD diberitahu pengumuman pukul 16.00 WIB
Hingga Kamis (9/8/2018) siang, nama Mahfud MD masih kuat menjadi cawapres Jokowi. Rencananya Jokowi akan mengumumkan cawapres pilihannya tersebut pada pukul 16.00 WIB di Restoran Plataran, Menteng, Jakarta Pusat.

Hal ini diungkapkan Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki kepada Mahfud MD. Sebelum akhirnya diumumkan Ma'ruf Amin, Mahfud MD adalah cawapres yang diinginkan Jokowi sebagai pendampingnya di Pilpres 2019. “Pak Mahfud nanti datang ke sana, sambil menunggu nanti duduk, apa namanya, di ruang seberang, begitu akan deklarasi nanti ya tampil, tinggal menyeberang,” kata Mahfud menirukan perkataan Teten.


4. Dipanggil Jokowi ke Istana
Setelah akhirnya Mahfud MD gagal jadi cawapres, Jokowi memanggil mantan ketua MK tersebut ke Istana. Jokowi menjelaskan bahwa dirinya dihadapkan pada situasi serba sulit ketika detik-detik pengumuman cawapres. Di mana saat itu Jokowi menginginkan Mahfud MD sebagai pendampingnya, namun partai-partai koalisi mengajukan calon-calon lain.

“Pak Jokowi menjelaskan bahwa dia dihadapkan pada situasi serba sulit, clear Pak Jokowi mengatakan 'sampai kemarin sore memang sudah saya perintahkan mengerucut satu Pak Mahfud'. 'Tapi tiba-tiba sore, partai-partai datang mengajukan calon sendiri-sendiri yang berbeda-beda',” kata Mahfud MD menirukan pernyataan Jokowi di acara Indonesia Lawyers Club yang disiarkan Tv-One, Selasa (14/8/2018).

Dengan begitu Jokowi pun tidak bisa menolak lantaran dia bukan ketua partai. Sementara koalisi harus segera ditandatangani. Jokowi pun meminta maaf kepada Mahfud MD atas apa yang terjadi. “Lalu saya bilang ke Pak Jokowi, Bapak tidak salah, kalau saya di posisi Pak Jokowi mungkin saya juga melakukan hal yang sama. Oleh sebab itu Bapak tidak usah merasa bersalah, saya terima dengan ikhlas, negara ini harus berjalan,” ujar Mahfud MD.

Merdeka.com
Reporter: Desi Aditia Ningrum
16 Agustus 2018

Tuesday, July 10, 2018

Oom Pasikom dan Tenggang Rasa


Bahkan karikatur yang hanya berbisik pun, itu sudah lebih dari cukup untuk menggelitik perasaan intelektual pembacanya.
(GM Sudarta, mengutip pernyataan salah satu kartunis senior Jepang)

Bagi masyarakat, gambar karikatur lebih menarik daripada tulisan.

Ibarat sebuah cerita, karikatur dapat disebut sebagai cerita paling pendek di dunia. Ringkas dan padat. Hanya satu kotak —meski kadang dua, tiga, atau empat kotak— tetapi ia sudah berisi cerita dari awal, tengah, hingga akhir. Cerita yang tuntas dan paripurna. Pembaca dapat menyulam sendiri bangunan ceritanya. Dapat dimulai dari akhir, tengah, atau awal. Pemahaman holistiklah yang lalu membuat pembaca berkesimpulan, tersenyum, tertawa, merenung, atau marah kalau merasa tersindir.

Karikatur berbeda dengan poster (berisi informasi, ajakan, atau propaganda), ilustrasi (penggambaran semata, tanpa opini), atau kartun lelucon (gag cartoon) yang hanya menghibur. Karikatur memuat ketiganya: informasi, kritik/opini, dan hiburan. Karikatur adalah satu dari sekian banyak cabang humor. Sebagai karya seni —semi jurnalistik— ada faktor yang di dalamnya mengandung muatan penuh paradoks dan resistensi, bercampurnya fakta dengan opini. Sebuah nilai anomalistik yang tarik-menarik. Pada tataran fakta mungkin ia dekat dengan nalar obyektif, tetapi pada tataran opini justru bisa liar tak terbatas, khususnya ketika orang "menerjemahkan" makna di dalamnya.


Sesuai sifat dasarnya yang lahir dari kombinasi tiga disiplin (jurnalistik, artistik, dan cerdik cendekia), mustahil jika sembarang orang dapat menjadi kartunis yang baik. Dibutuhkan setidaknya wawasan memadai, kompetensi artistik yang "canggih", dan sudut padang orisinal. Karikatur yang bagus selalu lahir dari proses kontemplasi gagasan dan literatur yang tidak main-main.

Harian ini (KOMPAS) telah 50 tahun lebih memuat karikatur Oom Pasikom, terutama sejak GM Sudarta bergabung dengan KOMPAS tahun 1967. Sepanjang itu (1967-2018) telah terbit 40.000 lebih kartun politik/karikatur karya GM Sudarta. Maka, ketika pada Sabtu, 30 Juni 2018, diberitakan GM Sudarta (73) meninggal, semua kaget dan sangat kehilangan.

Tahun 1950-an ada beberapa kartunis menonjol, seperti Ramelan (Suluh Indonesia), Sibarani (Bintang Timur), Mieke Sd (Abadi), Sam Soeharto (Indonesia Raja), Abdul Salam (Kedaulatan Rakjat), dan Dukut Hendronoto (Angkatan Darat). Era 1960-an ada T Soetanto, Sanento Yuliman, dan Hariadi S Keulman. Di era 1970-2018, GM Sudarta adalah satu dari sedikit kartunis papan atas selain Pramono R Pramoedjo, Dwi Koendoro, Priyanto Sunarto, dan Jitet Koestana.

Konon GM Sudarta sempat berganti nama dari: Gerardus Mayela Sudarta menjadi Gafur Muhammad Sudarta.

"Pasemon" hingga satire
Sebagai karikaturis, GM Sudarta adalah "raksasa" fenomena. Ibarat pendekar silat, ia memiliki semua senjata bidik dan aneka jurus, dari yang paling halus hingga paling telak. Namun, ia tidak serampangan memakai semuanya. Dari kelas pasemon, guyon parikena, parodi (plesetan), olah logika, analogi (metafora), surealistik, hingga satire. Itu semua tecermin dari seluruh karyanya. Semua itu dia gunakan dalam batas porsi dan proporsi.

Kadang memang terlihat Oom Pasikom cenderung sangat naratif, tetapi itu ditempuh karena ingin menghindari terjadinya salah persepsi untuk topik-topik sensitif bagi pembaca jika ia menggunakan simbol atau metafora. Jalan naratif ditempuh karena alasan resistensi persepsi jika penggunaan simbol atau metafora cenderung tak terkendali.

Ia juga menyadari, tak semua orang senang dikritik. Ia berkesimpulan, setidaknya bagi dirinya sendiri: tak usah presiden, menteri, jenderal, atau pejabat, kita sendiri pun apabila dikritik juga punya kecenderungan untuk marah. Apalagi kalau kritik itu destruktif atau tajam menusuk.


Untuk menanggulangi hal yang tak diinginkan itu (kesadaran hidup di alam budaya Timur, bukan  Barat), dia menggunakan strategi tepa selira (tenggang rasa) agar bisa membuat karikatur yang baik. Dalam arti, punya kadar humor, kadar estetika gambar-menggambar, dan kadar pesan kritik, tetapi kena sasaran. Artinya, misi yang disampaikan selamat ke tujuan, tak ada beban saling curiga atas kritik tersebut.

Alhasil, hasil akhir dari strategi itu adalah kemampuan menghadirkan senyum untuk semua. Baik yang mengkritik maupun yang dikritik. Masyarakat pun terwakili aspirasinya. Menurut GM Sudarta, strategi itu cukup sulit dan absurd, tetapi begitulah Indonesia. Jika pers harus jadi pers Pancasila, maka karikatur juga harus jadi karikatur Pancasila.

Menurut dia, menikmati karikatur adalah menyimak wajah kita sendiri. Kedewasaan kita bisa diukur sejauh mana kita bisa menertawakan diri kita sendiri.

Sikap GM Sudarta pernah disindir kartunis kawakan Augustin Sibarani yang pernah berjaya dan "berlaga" di media massa di era Demokrasi Parlementer. Menurut Priyanto Sunarto tentang "Kartun Indonesia di Era Demokrasi Parlementer", kartun editorial era 1950-an seakan menikmati pesta kebebasan pers. Saat itu kartun dimanfaatkan untuk menyerang dan menjatuhkan citra lawan politik, baik kebijakan maupun tokohnya.


Masa itu, trial by the press seakan hal lumrah. Lelucon politik lewat kartun dieksplorasi dengan penuh semangat. Berkias (metafora) lewat gambar yang umumnya dipercaya sebagai upaya menghaluskan ungkapan malah sering dipakai untuk memperkerasnya menjadi kasar.

GM Sudarta dapat mengerti pandangan seniornya karena situasi dan kondisinya memang berbeda. Di era Orde Baru, orang akhirnya melihat kartunis Sibarani  tak bisa berkarya di media nasional. Selain dicekal penguasa, juga karena tak satu pun media arus utama yang "berani" memuat karikaturnya. Ia tetap memublikasikan karikaturnya, tetapi untuk media asing.

GM Sudarta tentu bersama Om Pasikom kini sudah pergi meninggalkan kita. Sesuatu yang mengoyak rasa rindu penggemarnya. Apa boleh buat, kehidupan harus terus berjalan. Kepergian GM Sudarta tidaklah sia-sia. Ia sudah meninggalkan jejak sangat penting bagi bangsa ini. Jejak tentang kesadaran bahwa belum terlambat bagi semua untuk memperbaiki pekerjaan rumah bangsa.

Darminto M Sudarmo,
Pemerhati Humor
KOMPAS, 7 Juli 2018

Thursday, June 14, 2018

Wirid, Sebuah Cerpen dari M. Dawam Rahardjo


Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke Pabelan saja. Ya, mengapa kok sulit-sulit memilih pesantren? Bukankah aku sudah demikian akrab dengan pondok yang terletak di Muntilan itu? Kiainya sahabatku. Barangkali di antara para kiai yang kukenal, dialah, Kiai Hamam Dja’far, yang paling dekat, dalam pikiran maupun perasaan. Lagi pula itulah pondok yang paling indah bagiku. Aku berkenalan dengan pondok ini kira-kira pada tahun 1973 ketika aku mula pertama mengunjunginya, atas anjuran Pak Ud.

Kukira aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dalam romantisasiku, pesantren itu mestilah rindang. Tapi jarang aku melihat pesantren yang halamannya masih ditanami pohon-pohon yang lebat. Dulu mungkin. Namun kini telah banyak ditebangi untuk memberi tempat pada bangunan baru yang umumnya ceroboh itu. Pabelan, sangat berbeda. Pohon-pohon di desa itu masih lebat. Malah Pak Kiai menambahnya dengan tanaman-tanaman baru. Ketika itu sedang musim menanam jeruk. Buah jeruknya besar-besar, tidak seperti biasa. Tapi ada juga ditanam pohon melinjo dan kemudian flamboyan.


Sebelum kuputuskan pergi ke Pabelan saja, aku sudah mempertimbangkan pesantren lain, terutama di Jawa Timur. Pernah kupertimbangkan untuk memilih Tebuireng. Pak Ud pasti mengizinkan. Suasana peribadatannya pun enak. Dalam lima waktu, masjid utamanya pasti penuh jamaahnya. Tapi aku pakewuh dengan Pak Ud. Jangan-jangan kedatanganku merepotkannya. Karena aku, maksudku istriku, pasti tak akan diizinkan untuk bisa memasak sendiri.

Aku juga pernah berpikir, alangkah indahnya bisa tinggal untuk beberapa hari di Gontor, Ponorogo. Tapi sudah lama aku di persona non grata-kan Kiai Zarkasi, gara-gara aku pernah mengritik pondok modern ini, karena sikap isolatifnya terhadap masyarakat sekelilingnya. Padahal sahabat-sahabat mudaku banyak yang alumni Gontor. Cocok aku dengan kebanyakan mereka itu, dengan pola akidahnya, akhlaknya yang manis-manis dan kepandaian mereka umumnya dalam bahasa Arab.

Lalu, oleh Pak Malik Fadjar, aku pernah dianjurkan pula untuk menengok sebuah pesantren di pantai utara Jawa. “Kiainya Muhammadiyah lho!” katanya. Dia pikir aku pasti cocok dengan cara berpikir kiai ini. “Kiainya gemar qira’ah dan tafsir,” ujarnya lagi sambil mengacungkan jempolnya. Pak Malik mungkin menyadari bahwa aku senang dengan qira’ah dan tafsir. “Cobalah ditengok dulu,” ia menganjurkan.


Sebuah mobil dengan sopirnya membawaku dan istriku menyusuri pantai utara Jawa. Sebelumnya, karena ingin menempuh jalan pintas, mobil sedan kecil itu menembus jalan-jalan kecil di antara bentangan tambak yang gemerlapan ditimpa sinar mentari pagi. Di sebuah kota kecil di tepi pantai yang panas tapi juga cukup rindang itu, bercokol pesantren itu. Di situ aku bisa “menghilang” untuk sementara waktu yang telah kurencanakan, pikirku. Tak mungkin bisa orang menghubungiku. Ketika orang mencariku, mungkin aku sedang berjalan-jalan dengan istriku di sampingku, menatap tongkang-tongkang mengapung di perairan. Kami berdua bisa menghafal wirid sambil menikmati debur ombak.

Karena aku tidak begitu sreg dengan situasi pondok yang kurang bersih itu, aku mengurungkan niatku. Dan tiba-tiba aku berpikir, mengapa tidak ke Pabelan saja?

Kurundingkan ideku dengan Hawariah, istriku. Ia tampak begitu senang. “Ke mana saja Mas pergi dan membawaku, aku akan senang. Kebahagiaanku adalah bila bersamamu Mas,” katanya mendukung dan membesarkan hatiku. Kata-kata inilah yang sering dikatakan kepadaku, hampir klise. Maka kulayangkan sepucuk surat kepada Kiai Hamam, mohon untuk bisa diterima. “Saya bersama istri mau nyantri barang sebulan, bila diterima,” kataku dalam surat.

Kiai Hamam Dja'far dan Pesantren Pabelan.

Dari jalan raya Yogya-Magelang, aku naik dokar. Istriku memakai kebaya dan kerudung yang berenda kembang. Kerudung tradisional yang masih dipakai ibuku dan perempuan-perempuan desa. Wajahnya yang putih dan bulat seperti rembulan itu selalu tersenyum. Hatiku selalu hangat bersamanya.

Kami disambut dengan tawa lepas, khas Kiai Hamam.

“Mau belajar wirid? Ha, ha, ha,” tawanya berderai.

“Apa mau jadi sufi?” tanyanya lagi dengan nada senda gurau. Walaupun begitu tanggapan formalnya, tetapi Kiai Hamam penuh pengertian.

“Saya membutuhkan guru yang bisa membimbing, Kiai,” kataku.

“Siapa yang bisa jadi guru Mas Dawam?” jawabnya penuh keyakinan. Kami, dalam waktu-waktu sebelumnya, memang sering bicara mengenai tasauf dan filsafat, sebuah pembicaraan “tingkat tinggi”. Kalau berbincang-bincang, tentu sampai larut malam. Yang tadinya menemani kami, biasanya mundur satu per satu. Akhirnya tinggal kami berdua, hingga subuh.

Kiai Hamam Dja'far, Dawam Rahardjo, Gus Dur, Wimar Witoelar, Mahfud MD.

“Saya ingin bisa wirid yang agak panjang,” kataku. “Juga ingin bisa membaca doa iftitah untuk pidato atau ceramah.” Kalau diminta ceramah keagamaan, aku sebenarnya malu jika hanya bisa membaca yang itu-itu saja. Syukur kepada Allah dan shalawat untuk nabi, itu saja. Aku juga sering diminta untuk memberi khotbah Jumat. Bahkan juga khotbah Idul Fitri atau Idul Adha. Dan aku selalu menolak. Mereka tidak tahu bahwa aku tak bisa mengucapkan bacaan-bacaan yang diperlukan itu di luar kepala. Tahu mereka, aku adalah “tokoh Islam”, atau “cendekiawan Muslim”.

Akhirnya Kiai Hamam maklum juga. Tapi guru-guru muda yang pintar-pintar di situ, tak seorang pun bersedia menjadi guru mursyid-ku. Mereka hanya menuliskan doa-doa untukku. Malah mereka memberiku doa wirid bikinan Pondok Gontor yang ditulis sendiri oleh Kiai Imam Zarkasyi. Ternyata doa ala Gontor itulah yang paling bisa kuterima.

Ingin bisa baca wirid yang agak panjang. Itulah obsesiku. Dengan wirid itu aku akan merasa tak perlu lagi berdoa dan meminta sesuatu kepada Tuhan secara verbal. Kupikir, Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Mendengar suara batin sekalipun. “Berzikirlah kalian akan Daku, niscaya Aku akan mengingatmu,” demikian tertulis dalam surat Al-Baqarah ayat 152.

Sosok Dawam Rahardjo yang tak pernah lepas dari buku.

Karena tak ada yang bersedia menjadi guruku, akhirnya aku belajar sendiri saja. Tentu saja aku mengalami kesulitan, karena aku sudah tidak lagi lancar membaca huruf-huruf Arab. Tapi aku ini memang tolol benar. Mengapa aku tak melihat potensi istriku? Bukankah ia lulusan Mu’alimat Muhammadiyah Yogya yang terkenal itu? K.H. Yunus Anis dan K.H. Ahmad Badawi, keduanya pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah, termasuk guru-gurunya.

Sungguh keterlaluan aku ini. Tidak pernah berpikir bahwa seorang perempuan itu bisa menjadi guru mengaji lelakinya. Maklum, aku selalu menjadi imam waktu shalat.

“Dengar baik-baik ya Mas! Aku baca pelan-pelan, Mas menirukanku,” katanya mulai menjadi guru mursyid-ku. Kalau ia membimbing doa wirid habis shalat, kedengarannya biasa saja. Tetapi kalau doa-doa untuk khotbah, memang agak janggal. Mungkin karena adanya persepsi bahwa perempuan itu tidak pernah jadi khatib.

Kalau shalat, tentu saja aku yang menjadi imam. Aku bangga sekali bisa menjadi imam istriku. Seolah-olah itulah tanda kelaki-lakianku yang sejati. Ketika berdoa, kami berdoa bersama. Kadang-kadang bacaanku dikoreksi. Ada kalanya aku jengkel dikoreksi. Apa ini karena pengaruh alam patriarki? Hawariah hanya tersenyum sabar dan terus membimbingku.

Dawam Rahardjo saat menderita sakit.

Di waktu Maghrib, Isya dan Subuh, kami selalu pergi berjamaah ke masjid. Tapi kami sering bepergian kala siang. Jadi tak bisa pergi ke masjid di waktu Lohor dan ‘Asyar, kecuali shalat Dhuha. Kami selalu menjalankannya. Sehabis Subuh kami menderas Al-Quran bersama-sama. Hanya saja mengajiku terputus-putus, karena aku sering membaca terjemahannya. Aku bawa The Holy Quran, terjemahan dan catatan kaki Maulana Muhammad Ali. Aku paling mathuk (cocok) dengan tafsir ini, rasional dan optimis.

Ketika matahari sudah terbit, ia mulai memasak sarapan. Aku keluar jogging yang sudah menjadi kebiasaanku itu. Lalu kami makan bersama. Sesudah masak, langsung ia mencuci piring. Dan aku menimba air sumur. Air dari pompa dragon bukan air yang baik. Jadi aku ngangsu sumur tetangga yang jernih, mengisi kolah dan ember persediaan untuk dimasak menjadi air minum. Setelah itu kami membersihkan halaman yang setiap pagi bertabur dedaunan yang rontok. Sambil menyapu, aku melatih hapalanku keras-keras agar bisa dikoreksi kalau salah.


Sayang sekali, aku datang ke Pabelan pada saat liburan. Jadi kampus kosong, tak ada santrinya, kecuali beberapa yang tinggal, mungkin untuk mengikuti kursus khusus. Tapi justru karena itulah kami seperti diberi kesempatan untuk bisa mandi di Kali Pabelan. Kali sepi dari santri yang biasa mandi di situ.

Air sungai itu mengalir bening. Batu-batuan besar kecil yang bertebaran membuat suara gemercik dialiri arus. Hawariah, seperti orang desa lainnya, memakai kain dan mandi di pancuran dan kali yang dangkal. Bagi orang yang biasa hidup di Jakarta, ini adalah suatu kemewahan. Ketika mandi, Hawariah seperti bidadari yang turun dari kayangan. Kain batik melilit ketat di tubuhnya yang basah. Rambutnya tergerai.

Di jalan pulang kami berbelanja di warung desa. Hawariah selalu berbicara renyah waktu membeli bahan-bahan kebutuhan. Karena itu ia memang lekas dikenal. Menurut perasaanku yang subyektif, istriku itu mungil, putih dan bersih. Posturnya seperti putri bangsawan atau mungkin berwajah “elitis” dalam bahasa masyarakat kota. Tapi penampilannya sederhana, seolah-olah ia tak sadar akan kecantikannya sendiri. Tak usah berusaha menampilkan diri, kehadirannya di desa itu sudah sangat terasa. Orang-orang melihat kami, waktu kami berjalan. Kadang-kadang mereka menegur. Orang lelaki tentu melihat kepadanya. Yang perempuan juga melihatnya, lalu menengok kepadaku seolah-olah ingin tahu siapa lelaki yang beruntung di sampingnya itu.


Ia rajin datang ke pengajian di rumah tetangga sebelah. Suatu ketika pengajian memutuskan untuk memperbarui tikar yang telah banyak rusak itu. Uang yang terkumpul agaknya masih jauh dari mencukupi. Istriku langsung bilang, ialah yang menutupnya. Baginya, uang itu tidak seberapa. Tapi bagi ibu-ibu di desa itu nilainya masih lumayan besar.

Di waktu malam sering terdengar suara Berzanji. Inilah yang khas di desa itu. Penduduk desa umumnya memang jamaahnya NU. Tetapi pesantrennya beraliran reformis. Santrinya mengikuti wirid Gontor. Tapi imam masjidnya tetap berada di tangan kiai desa. Masjid pondok itu tetap dibiarkan seperti aslinya. Ini cocok dengan suasana desa yang rindang.

Kami sering ingin mengejar dari mana datangnya suara berzanji itu. Ada kalanya dari perhelatan perkawinan. Di waktu sore, menjelang magrib, kami mengejar suara salawat nabi yang dikumandangkan itu. Kalau tidak hujan kami jalan-jalan. Yang kami jumpai adalah langgar-langgar atau masjid-masjid kecil. Pohon-pohon kelapa meneduhi halaman masjid.

Masjid lama di Pesantren Pabelan saat belum direhab.

“Mas, bangun Mas, sudah Subuh lho,” kata istriku membangunkan. Aku sebenarnya sudah mendengar suara azan. Malah sudah kudengar suara orang mengaji atau membaca sesuatu, dengan irama khas. Aku pun bangun, bergegas ke kamar mandi, mengambil air wudhu.

Tapi di luar masih sangat gelapnya. Tak ada lampu. Apalagi gerimis agak lebat turun. Kami pergi pakai lampu senter. Untung di Pabelan, tanahnya berpasir, jadi tak begitu becek. Kalau berjalan, tangannya pasti menggandengku, agak di belakang. Terasa benar aku menjadi lelaki, sandaran hidupnya. Memang sulit benar berjalan berdua dengan satu payung. Air pun tak bisa kami hindari. Aku seperti sedang berpacaran, dalam beribadah.

Aku bersyukur punya istri yang cocok. Coba bayangkan, jika istriku itu bukan “ahli ibadah”, repot. Aku tidak pernah menjelaskan maksudku nyantri seperti itu. Ia sudah tahu dengan sendirinya. Malah itu menjadi keinginannya juga. “Mondok” seperti itu lebih memberi kebahagiaan daripada piknik. Dengan beribadah berdua seperti itu kami sekaligus berpacaran, menunjukkan rasa cinta. Kami tidak pernah merasa sedang bertapa.

Sebelum meninggalkan Pabelan, Hawariah pamit. Para ibu pada semedot, dengan berat hati menerima pamitan itu. Beberapa waktu kemudian Bu Nyai menceriterakan betapa tetangga-tetangga di sekitar rumah tempat kami menginap itu, semacam “guest house” pesantren, sangat gelo kami meninggalkan Pabelan. Sangka mereka kami adalah penghuni baru. Mereka senang mendengar suara-suara yang terdengar dari pondokan kami. Suara orang mengaji atau kaset salawat dan doa yang dilagukan oleh Ustadz H. Salahuddin Benyamin dengan paduan suara perempuan-perempuan yang mengiringi atau alunan suara ustadz Umar Said yang merdu. Tapi yang paling terkesan pada mereka agaknya adalah pasangan kami berdua yang tampak runtang-runtung, seorang perempuan berkebaya dan lelaki yang selalu berkopiah.

Majalah (Jurnal) Ulumul Quran yang menjadi kebanggaan Dawam Rahardjo.

Empat tahun kemudian, tak kusangka, istriku di panggil Allah. Kini, kurasakan dalam kenangan, itulah sepotong kenangan yang begitu indah dalam hidupku.

Istriku pergi untuk selamanya di kamar kami, di suatu Subuh. Ketika itu istriku tak berdaya, sakit. Ia hanya bisa terbaring miring. Setelah shalat sunat qoblal Subuh, aku pun bershalat Subuh. Kubaca Al-Fatihah, surat Al-Tin dan surat Al-Qadr seperti yang selalu dibaca imam di Masjid Pabelan, agar dia mendengarkan, seolah-olah kami sedang berjamaah. Aku yakin ia sedang makmum kepadaku. Belum sempat wirid, Hawariah telah memintaku mengelus-elus dengkulnya yang sakit. Ia seperti menikmatinya, karena aku mengelus-elusnya dengan mesra sambil membaca wirid.

Ketika aku kemudian keluar dari kamar, Yu Jum, pembantu yang merawat istriku, berganti masuk ke kamar. Beberapa saat kemudian ia berteriak-teriak dan meminta agar aku masuk ke kamar. Aku lihat istriku seperti telah tiada. Anakku lelaki yang memeriksanya merasakan bahwa mamaknya tak lagi bernapas. Nadinya pun tak lagi berdenyut. Tangis dua anak pun berderai bersama dengan tangisku dan orang-orang rumah.


Di hari kedua, sesudah kematian itu aku shalat Subuh di tempat yang sama. Aku pun membaca wirid yang dulu pernah kupelajari di Pabelan. Tangisku meledak. Wiridku tersendat-sendat di sela-sela sedu tangis yang berat. Terkenang olehku ketika aku sedang dibimbing olehnya, membaca wirid di Pondok Pabelan. Mungkinkah rohnya mencari jalan keluar lewat wirid dan elusanku di dengkulnya itu.

Masih segar dalam ingatanku kami berjalan bergandengan, sambil membawa payung dan lampu senter, sarimbit ke masjid, dalam hujan gerimis di waktu malam dan subuh, yang menyebabkan pakaian kami basah. Terkenang olehku kami bercinta dalam shalat berjamaah berdua yang sudah menjadi kebiasaan yang indah itu. Sehabis shalat dan wirid, ia selalu mengajakku bersalaman dan menciumi tanganku berulang-ulang. Dan aku pun mengecup keningnya.

Aku mengecup kedua mata istriku yang terakhir kalinya ketika jenazahnya hendak digotong ke masjid sebelah, hendak dishalatkan. Bulu matanya terasa di bibirku, seolah ia masih hidup.

Jakarta, 10 Oktober 1994
*Cerpen Dawam Rahardjo ini, kala itu ditulis untuk mengenang almarhumah Istrinya, Zainun Hawairiah, dan cerpen ini pernah dimuat di Harian Kompas, Minggu, 16 Oktober 1994.