Kegelisahan ini akan semakin dirasakan ketika seseorang sudah menginjak usia lanjut yang secara statistikal sisa umurnya bisa diprediksi. Perjalanan dan perjuangan hidup sejak tahapan orphan yang tidak berdaya sampai magician yang merasa dirinya hebat, tetap menyisakan pertanyaan dan kegelisahan. Ketika orang sudah merasa sukses dalam hal karier keduniaan, atau sebaliknya merasa gagal dan terpuruk, selalu muncul pertanyaan eksistensial; bukankah semua serial drama hidup ini nantinya akan berakhir dengan kematian? Adakah kehidupan lanjut setelah mati?
Kalau ada, adakah hubungan nasib di dunia ini dengan hidup yang baru? Andaikan mati adalah akhir dari seluruh eksistensi dan tak ada lagi kehidupan, lalu untuk apa semua perjuangan hidup ini aku jalani? Demikianlah, pada diri setiap orang selalu menyimpan pertanyaan dan kegelisahan karena terlalu banyak pertanyaan dan ketidaktahuan terhadap realitas semesta dan kehidupan. Akumulasi pengalaman masa lalu, berbagai cerita orang tua dan ceramah keagamaan, kesemuanya mendorong pada keyakinan bahwa mati bukanlah akhir kehidupan. Ada sumber kehidupan yang tak kenal mati dalam diri setiap orang, entah itu namanya ruh, jiwa, atau istilah lain.
Maka orang pun lalu mencari jawab pada agama, yang sentralnya adalah kepercayaan dan keyakinan adanya Tuhan yang serbamaha. Semata berdasarkan penalaran rasional, baik orang yang percaya akan adanya Tuhan maupun mereka yang tidak percaya, masing-masing memiliki basis argumen yang sulit dikompromikan. Bahkan semakin maju perkembangan ilmu pengetahuan, semakin maju pula argumen orang yang mengingkari adanya Tuhan berdasarkan argumen scientific.
Namun jika berbagai teori dan argumen tentang adanya Tuhan dikumpulkan, skornya lebih tinggi dan lebih meyakinkan ketimbang yang mengingkarinya. Bahkan, dikenal pula argumen psikologis yang disebut: the will to believe. Bahwa sesungguhnya dalam diri manusia terdapat dorongan kuat untuk percaya adanya Tuhan. Dorongan ini diperkuat lagi melalui argumen kenabian yang datang dengan memperkenalkan wahyu Ilahiyah yang disebut mukjizat.
Secara rasional, keyakinan terhadap ajaran kebenaran yang datang dari Tuhan yang kemudian disebut “beriman” dan orangnya disebut “mukmin”, di situ terdapat sebuah loncatan, leap of faith, untuk melenyapkan keraguan. Rasa takut pada hukuman (neraka, punishment, kesengsaraan) dan harapan pada pahala (surga, reward, kebahagiaan) membuat seseorang selalu berusaha untuk hidup hati-hati dan berprestasi. Jadi, dalam sikap dan pilihan iman itu terdapat unsur argumen rasional yang disertai dorongan psikologis karena keraguan dan ketidaktahuan.
Dalam agama Islam dikenal istilah: khauf wa raja’. Harap-harap cemas. Orang beriman memiliki keraguan dan kecemasan, apakah doa dan amal ibadahnya diterima Tuhan? Namun selalu dipungkasi dengan keyakinan dan penuh harap, Tuhan pasti Maha Pengasih, Maha Pengampun, dan Maha Mengabulkan. Inilah perjuangan psikologis yang mewarnai dinamika dan romantika kehidupan seorang yang beriman.
Pada akhirnya iman bukanlah sekadar percaya, melainkan sebuah pengakuan, kepasrahan, keyakinan, dan kesetiaan pada yang diimani sebagai landasan hakiki untuk menjalani hidup agar dapat mengantarkan pada tujuan akhir yang melewati batas-batas sejarah dan kesementaraan duniawi. Kita semua milik Tuhan dan akan dipanggil kembali oleh Tuhan, Sang Pemilik Kehidupan Sejati.
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Koran SINDO, 2 November 2012