Pendidikan kita masih berkutat di seputar kertas. Kita baru mahir memindahkan pengetahuan dari buku teks ke lembar demi lembar kertas: makalah, karya ilmiah, skripsi, atau tesis. Kita belum menanamnya dalam tindakan pada memori otot, myelin.
Seorang mahasiswa dapat nilai A dalam kelas pemasaran bukan karena dia bisa menerapkan ilmu itu ke dalam hidupnya, –misal memasarkan produk orang lain, minimal memasarkan dirinya– melainkan “hanya” karena ia sudah bisa menulis ulang isi buku ke lembar-lembar kertas ujian.
Pendidikan tinggi sebenarnya bisa dibagi dalam dua kelompok besar: dasar dan terapan. Pendidikan dasar itulah yang kita kenal sejak di SD: matematika, kimia, biologi, fisika, ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Terapannya bisa berkembang menjadi ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu komputer, manajemen, desain, perhotelan, dan seterusnya.
Dengan bekal ilmu dasar yang kuat, bangsa-bangsa yang besar membentuk ilmu terapan. Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris adalah negara yang dibangun dengan keduanya. Namun, sebagian negara di Eropa dan Asia memilih jalan lebih realistis: fokus pada studi ilmu terapan. Swiss fokus dengan ilmu terapan dalam bidang manajemen perhotelan, kuliner, dan arloji. Thailand dengan ilmu terapan pariwisata dan pertanian. Jepang dengan elektronika. Singapura dalam industri jasa keuangannya.
Tentu terjadi pergulatan besar agar ilmu terapan dapat benar-benar diterapkan. Pada mulanya ilmu terapan dikembangkan di perguruan tinggi untuk mendapat dana riset dan menjembatani teori dengan praktik. Akan tetapi, mindset para ilmuwan tetaplah ilmu dasar yang penekanannya ada pada metodologi dan statistik untuk mencari kebenaran ilmiah yang buntutnya ialah publikasi ilmiah.
Melalui pergulatan besar, program studi terapan berhasil keluar dari perangkap ilmu dasar. Ilmu Komputer keluar dari Fakultas Matematika dan Manajemen menjadi Sekolah Bisnis. Dari lulusan dengan “keterampilan kertas”, mereka masuk pada karya akhir berupa aplikasi, portofolio, mock up, desain, dan laporan pemecahan masalah.
Metodologi dipakai, tetapi validitas eksternal (impak dan aplikasi) diutamakan. Hanya pada program doktoral metodologi riset yang kuat diterapkan. Itu pun banyak ilmuwan terapan yang meminjam ilmu dasar atau ilmu terapan lain sehingga terbentuk program multidisiplin seperti arsitektur yang dijodohkan dengan antropologi atau arkeologi, akuntansi dengan ilmu keuangan.
Kemerdekaan yang diraih program studi ilmu terapan di perguruan tinggi melahirkan revolusi pada tingkat pendidikan dasar. Bila kita mengunjungi pendidikan anak-anak usia dini, TK dan SD di mancanegara, kita akan melihat kontras dengan di sini. Alih-alih baca-tulis-hitung dan menghafal, mereka mengajarkan executive functioning, yang melatih anak-anak mengelola proses kognisi (memori kerja, reasoning, kreativitas-adaptasi, pengambilan keputusan, dan perencanaan-eksekusi).
Sekarang menjadi jelas mengapa kita mengeluh lulusan sarjana tak siap pakai: karena pendidikan kita didominasi kultur ilmu dasar yang serba kertas dan mengabaikan aplikasi. Perhatikan, hingga kini Indonesia masih menjadi negara yang mewajibkan lulusan sekolah bisnis (MM) menulis tesis yang pengujinya getol memeriksa validitas internal dengan metodologi yang sempit. Kegetolan ini juga terjadi pada banyak penguji program studi perhotelan atau ilmu terapan lain yang merasa kurang ilmiah kalau tidak ada pengolahan data secara saintifik.
Saya ingin menegaskan: hal itu hanya terjadi pada negara yang ilmu terapannya masih terbelenggu mindset ilmu dasar. Keluhannya sama: tak siap pakai, kalah dalam persaingan global.
Pertanyaannya hanya satu, kita biarkan terus seperti ini atau dengan legawa kita mulai pembaruan agar para sarjana ilmu terapan mampu menerapkan ilmunya? Itu semua terpulang pada kesadaran kita, bukannya malah mengabadikan kesombongan atau ego ilmiah masing-masing.
Rhenald Kasali,
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
KOMPAS, 18 Maret 2014
No comments:
Post a Comment