Pelaksanaan fungsi dan tugas itu kini bermasalah. Pertama, media dituduh sebagai penyebab turunnya elektabilitas parpol. Dalam Rapimnas Partai Demokrat di Jakarta (18/5/2014), Ketua Umum Partai Demokrat SBY mengemukakan, “Suara Partai Demokrat merosot tajam, juga karena digempur habis-habisan oleh televisi dan media cetak.”
Kedua, pemerintah SBY membiarkan enam stasiun televisi milik penguasa parpol melanggar perundang-undangan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan kewenangannya, menjelang hangatnya kampanye pemilihan legislatif, telah merilis penilaiannya bahwa TVOne, ANTV, RCTI, Global TV, MNCTV, dan Metro TV melanggar peraturan bahwa program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran yang bersangkutan dan atau kelompoknya.
Ketiga, kampanye hitam yang menyesatkan rakyat dibiarkan. Kini pun kampanye hitam yang meracuni benak rakyat kita sedang memasuki panggung media massa, utamanya lewat media sosial. Menurut Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, di Jakarta (22/5/2014), sepanjang 2014 terdapat 5.551 pemberitaan yang berkaitan dengan kampanye jahat. Sebanyak 1.515 ekspose berita kampanye jahat tentang capres Jokowi dan 743 kampanye jahat tentang capres Prabowo. Kampanye jahat didasarkan pada tuduhan tidak berdasarkan fakta dan merupakan fitnah.
SBY mengharapkan pers mengawal demokrasi. Untuk mengatasi persoalan media sebagaimana dikemukakan, sebagai sahabat pers, Presiden SBY pun diharapkan mengawal pers dalam melaksanakan tugasnya mengawal demokrasi. Pertama, kembali memberi contoh dengan mengadukan pers yang memfitnah ke Dewan Pers. Berita negatif yang terindikasi beriktikad buruk pun dapat di-KUHP-kan.
Ketentuan pemberian sanksi berupa denda, penghentian siaran, pembekuan kegiatan siaran, atau pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran mestinya disusun oleh pemerintah. Karena ketentuan pemberian sanksi sampai sekarang belum juga dibuat oleh pemerintahan SBY, maka pelanggaran UU oleh sejumlah media televisi hingga kini masih terus berlanjut.
Hanya dengan adanya ketentuan pemberian sanksi bagi para pelanggar, maka temuan KPI bisa diteruskan ke jalur hukum. Pembiaran tanpa ketentuan pemberian sanksi oleh pemerintah selama ini adalah penyebab pers media televisi menjadi terbelah.
Presiden SBY sebagai the national policy and decision maker tidak cukup hanya berkicau lewat Twitter, “Saya tidak menginginkan jika kompetisi pilpres saling menghancurkan dengan kampanye hitam.” Presiden patut menugasi Polri dan BIN untuk menemukan pelakunya. Dulu Bakin selalu mengetahui ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, bahkan sekecil jarum pun yang menerpa negeri ini. Publik perlu tahu pelakunya, kawan atau lawan, misalnya sisa-sisa G30S/PKI atau Nekolim?
Media sosial yang tidak jelas identitasnya dan sumbernya, dan kegiatannya menyebarkan dusta, fitnah, dan kebencian, sama saja dengan surat kaleng yang menyebarkan desas-desus dusta dan fitnah. Apabila Menkominfo berani memblokir media seperti itu tentu saja tidak melanggar HAM.
Sebagai sahabat pers, Presiden SBY perlu bekerjasama dengan pers untuk mengupayakan media agar tidak terbelah. Dengan demikian, pers mau dan mampu membangun demokrasi yang mempersyaratkan kematangan serta fair play.
Sabam Leo Batubara,
Wartawan Senior
TEMPO, 23 Juni 2014
No comments:
Post a Comment