Dalam tradisi Jawa yang disebut laku itu “laku rohani”: tirakat. Di dalam bahasa dunia pesantren disebut “riadhah”, kadang ditulis “riadlah”, artinya menempuh hidup serba prihatin, serba rohani, untuk memperoleh petunjuk Yang Ilahi dan adikodrati mengenai suatu jenis ilmu yang hendak diraihnya. Di dunia modern, urusannya lebih ringan, lebih sederhana: membaca.
Bila urusannya menyangkut pengembangan ilmu secara lebih serius, lebih hakiki, lebih mendalam, dan mengharapkan terjadi suatu penemuan baru, secara total, utuh baru, suatu “invention”, atau penemuan baru secara parsial, baru sebahagian, “innovation”, maka “laku” keilmuan yang lebih berat, dan tak kalah dari laku batin orang Jawa tadi, harus dilakukan suatu penelitian.
Di kalangan para ilmuwan sosial disebut penelitian lapangan. Mereka yang bergulat di dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan murni, penelitian bisa dilakukan di laboratorium, dengan suatu percobaan yang rumit, njlimet, dan memerlukan ketelitian tingkat tinggi. Tentu saja masih banyak jenis-jenis penelitian lain, percobaan lain, yang menuntut sikap ilmiah yang tak main-main. Ini memerlukan suatu kesalehan sosial yang bahkan lebih berat daripada berdoa tiga hari tiga malam.
Kita kagum melihatnya. Bisa saja bangsa itu menang, dan menjadi yang terbaik di dunia. Kita membelalak memandangnya. Bisa juga kalah, dan disebut bangsa pejuang yang gigih dan tak mau ketinggalan. Dia kalah, tapi bukan kalah judi yang menjadi sejenis orang “terkutuk” secara moral keagamaan, melainkan tetap terpuji. Mata dunia memandangnya, dan media memperingatkan: bangsa ini boleh jadi tak lama lagi menjadi juara satu di dunia, di bidang keilmuan.
Betapa harum sebutan yang disandangkan pada namanya. Betapa mulia bangsa itu di mata Yang Ilahi dan Terpuji, yang dari kesunyian malam di Gua Hira yang dingin bersabda: “Iqra' (Bacalah) !!! Kita ini umat yang mendengar seruan itu, bahkan umat yang secara khusus diseru, diperintah membaca, tapi adakah kita telah membaca? Jangan keras-keras menjawabnya, kita semua tahu, kita tidak membaca. Ah, bukan, kita jarang membaca. Umat yang jarang membaca, ya kita ini.
Apakah itu memalukan? Kelihatannya tidak! Kita tidak malu. Dalam banyak hal, termasuk dalam kejahatan korupsi, kita masih kanak-kanak yang belum mengenal malu. Kita tenang saja melihat tingkat baca kita berada dalam posisi 110 dari 173 negara di dunia. Presiden, menteri pendidikan, rektor-rektor, kepala-kepala sekolah, guru-guru, dan yang lebih penting lagi kepala perpustakaan dan para stafnya, semua tenang. Seolah tak ada sedikit pun masalah bangsa yang kita hadapi.
Brunei lebih tinggi lagi, tujuh buku. Tapi, mereka ini tergolong rendah. Tahukah Anda, berapa buku yang dibaca bocah-bocah SMA di Indonesia? Nol besar! Nol. Inilah umat yang tidak membaca. Tapi, seluruh bangsa tenang. Tak ada kegemparan dan keprihatinan secuil pun yang diberitakan media. Tapi, kalau ada makanan haram tidak diberi label haram, kita bisa geger.
Mengapa umat tidak membaca, tak diberi status hukum “haram”, atau “dosa”, sebagaimana umat yang tak menjalankan perintah agama yang kita teriak-teriakkan melalui pengeras suara di masjid-masjid, sebagai, konon, dakwah? Mengapa Muhammadiyah, “The Modernist” diam saja? Apa hanya urusan kapan mulai puasa kapan lebaran, yang dianggap masalah penting dalam kehidupan umat? Mengapa NU juga diam saja?
Mengapa menteri pendidikan bisu? Mengapa presiden tak pernah mempersoalkannya? Seharusnya kita malu dengan Swiss, yang murid SMA-nya rata-rata membaca 15 buku. Kita juga malu pada Rusia, yang lebih tinggi lagi, 20 buku. Apalagi Jepang, 22 buku. Belanda, negeri mantan penjajah kita, bahkan lebih tinggi lagi yaitu 30 buku dan AS merupakan yang tertinggi dan tak tertandingi: sebanyak 32 buku. Itulah potret “human development index,” yang disebutkan oleh Center for Social Marketing.
Tapi, sebaiknya sekarang diubah: bikin mereka semua jago membaca. Wajibkan mereka membaca berapa puluh buku. Wajib yang benar-benar wajib! Dikontrol dengan baik. Semua perpustakaan dibuat sibuk. Sehari penuh, dari pagi hingga sore, banyak warga masyarakat yang datang membaca. Pelajar dan mahasiswa yang paling utama. Mampukah perpustakaan memanggul mandat, mendukung menteri, mendukung gubernur, memajukan bangsa? Universitas? Semua bernafsu ingin menjadi “research university, world class university”, tapi bila tanpa dibarengi dengan kemauan dan kemampuan membaca yang sungguh-sungguh, semua itu hanyalah omong kosong belaka.
Apa tindakannya? Universitas hanya sibuk membangun gedung, tanpa membangun human resource di dalamnya. Orde Baru dulu siap tinggal landas. Tinggal landas (mu)! Mana bisa tinggal landas tanpa membaca dan tanpa penelitian yang beneran? Adakah rektor yang peduli pada mahasiswa yang tak membaca? Kelihatannya tak pernah ada. Rektor juga jarang yang peduli pada perpustakaan.
Masjid kampus, berteriak kemajuan, bangga kita mayoritas, tapi kita masih nyata sekali, sebagai umat yang tak membaca, bangsa yang tak membaca. Tapi kita diam saja. Orang perpustakaan pun diam seribu bahasa. Kita tak malu, dan tetap diam, melihat potret diri kita sebagai umat yang jarang membaca?
Mohamad Sobary,
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 1 Desember 2014
No comments:
Post a Comment