***Sitor Situmorang (1923-2014)
Di udara dingin malam itu, yang mengaum di alun-alun tua Kota Frankfurt tak hanya satu sejarah. Dua, tiga, mungkin lebih.
Sekitar 17 ribu orang berdesakan di Romerberg, di tengah kompleks seluas 10 ribu meter persegi itu. Sambil melindungi diri dari gerimis dalam suhu 2 derajat, mereka hadir untuk menyatakan bahwa mereka, orang Jerman, penghuni Frankfurt, menentang Pegida, gerakan anti-Islam yang malam itu juga berencana menghimpun 500 pendukungnya di bagian lain kota.
Pidato pun disuarakan, disambut tepuk tangan, terdengar lagu dan musik, dan saya lihat seorang anak memegang poster: Gehort Islam zu Deutschland? Bagian dari Jermankah Islam? Di bawah pertanyaan itu tertulis jawabannya dengan huruf besar berwarna merah: Ja.
Pegida memang punya daya tarik. Gerakan politik yang berhasil selalu dimulai dengan mengisi lubang yang timbul karena ada yang direnggutkan dari impian orang banyak. Penganut Pegida berangkat dengan semboyan “Menentang fanatisme agama dan bersama-sama tanpa kekerasan”. Atau: “Menentang perang agama di tanah Jerman”.
Artinya Pegida punya daya tarik karena fanatisme serta kekerasan mengerikan yang ditunjukkan sebagian orang Islam dan daya tarik itu universal.
Tapi yang “universal” tak bisa bertahan bersama paranoia. Paranoia bisa bersenyawa cepat dengan kebencian, dan kebencian bisa kuat karena keyakinan. Tapi di ujung semua itu, yang “universal” ambruk. Sejarah kemudian akan mencatat dua peristiwa murung: kerusakan dan atau kekalahan.
Gerechtigkeitsbrunnen, nama Jerman untuk fonten yang dihiasi patung dewi itu, didirikan 600 tahun yang lalu di sana. Dulu, ketika seorang kaisar dinobatkan, dari fonten itu akan mengucur anggur. Orang berpesta.
Tapi tak selamanya hanya cerita sukacita. Perang Agama pada abad ke-17, ketika selama 30 tahun orang Katolik dan Protestan saling bunuh, menyebar kematian dan kehancuran juga di Frankfurt. Patung di atas Gerechtigkeitsbrunnen itu salah satu saksinya. Pada 1863, penyair lokal Friedrich Stoltze melukiskannya dengan cemooh yang pahit: “Ini dia Dewi Keadilan! Ia tampak mengerikan; timbangan di tangannya musnah direnggutkan setan, ia kehilangan separuh tangannya.”
Kalaupun 17 ribu orang Frankfurt tak semuanya ingat Perang Agama 30 Tahun, mereka pasti ingat Perang Dunia II: hampir semua bangunan di sekitar alun-alun itu luluh-lantak dihantam bom Inggris dan Amerika. Kehancuran dimulai ketika Hitler ingin memperkuat Jerman dengan pekik keadilan tapi timbangan keadilan di tangannya musnah karena Jermannya adalah negeri dengan kebencian.
Tapi ingatan selalu disertai lupa, dan kebencian bisa kambuh lagi di celah-celahnya.
Bukan karena dalam sejarah melekat kebencian yang kekal. Apa yang tampak berulang sesungguhnya bukan repetisi, melainkan kelahiran baru yang berbeda dengan yang sebelumnya. Pada suatu masa di abad ke-17, Leibniz, filosof yang merasa harus membela agama Protestan, memandang Islam sebagai “wabah”, la peste de mahometisme. Ia hidup ketika militer Turki ke Eropa sangat dirasakan. Kini fobia terhadap Islam berkecamuk karena kekejaman teror ISIS, keganasan Boko Haram, fanatisme Taliban dan para pendukung lainnya.
Maka bersama kebencian yang berbeda, persekutuan kebencian juga bisa berubah. Kaum pendukung Pegida kini bersekutu dengan sebagian kaum Zionis yang menganggap teror adalah bagian Islam yang hakiki. Dulu, juga kini, sebagian orang Islam membenarkan Nazi karena memandang orang Yahudi secara esensial harus dibenci.
Di udara dingin, di udara tak dingin, sejarah memang tak pernah mengaum sendirian.
Goenawan Mohamad
http://www.tempo.co/read/caping/2015/02/09/129722/Pegida
No comments:
Post a Comment