Debat adalah seni persuasi. Seharusnya ia dinikmati sebagai sebuah pedagogi: sambil berkalimat, pikiran dikonsolidasikan. Suhu percakapan adalah suhu pikiran. Tapi bagian ini yang justru hilang dari forum debat hari-hari ini. Yang menonjol cuma bagian demagoginya: busa kalimat. Pada kalimat berbusa, kita tak menonton keindahan pikiran.
Tapi Agus Salim tak terusik. Dengan tenang ia berbicara: “Maaf, ini rapat manusia. Mengapa ada suara kambing?” Rapat berlanjut, setelah gelak tawa meledak.
Politik adalah kecerdasan. Haji Agus Salim tak mengejek balik. Ia hanya memakai otaknya untuk membungkam lawan. Ia memberi pelajaran. Politik adalah pikiran. Bukan makian.
Duel politik tak lagi bermutu. Gagasan dihapus oleh hiruk-pikuk ejekan. Sensasi dirayakan, esensi diabaikan. Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut gempita oleh sesama pendukung. Sahut-menyahut di ruang sosial melambungkan kebanggaan kubu. Semacam ketagihan massal, ejekan menjadi obat perangsang politik. Suatu sensasi aphrodisiac memompa adrenalin untuk memuaskan politik demagogi: “Aku mengejek, maka aku ada.” Megalomania di sana, hipokrisi di sini. Dua-duanya kekurangan pikiran.
Sebelum jadi jenderal, Soedirman adalah seorang guru, seorang pendidik.
Negeri ini didirikan dengan pikiran yang kuat: bahwa kemerdekaan harus diisi dengan pengetahuan, agar anak negeri tak lagi dibodoh-bodohi oleh kaum pinter dari luar. Karena kebodohan mengundang penjajahan.
Kemerdekaan adalah hasil siasat intelektual, oleh yang berbahasa (diplomasi), maupun yang bersenjata. Politikus dan pejuang tumbuh dalam kesimpulan yang sama, yaitu kemerdekaan adalah tindakan pedagogis.
Panglima Soedirman semula adalah seorang guru, lalu jadi jenderal.
Jadi, dari mana kita belajar demagogi?
Soekarno adalah seorang pemimpin yang intelek, bukan seorang demagog.
Kendati suka memanfaatkan emosi massa, Soekarno bukanlah seorang demagog. Ia memang mengumbar retorika, tapi tetap dalam kendali logika yang kuat. Dalam sebuah pidato lapangan di depan barisan tentara, Soekarno mengucapkan kalimat kurang-lebih begini: “Saudara-saudara tentara, kalian adalah alatnya negara. Dan negara adalah alatnya rakyat. Jadi kalian adalah alatnya alat.” Bukan sekadar retorikanya bagus, Soekarno mengucapkannya dalam suatu silogisme. Suatu pelajaran logika, bagi rakyat.
Jadi, dari mana kita belajar mengejek? Tan Malaka memiliki kekayaan metafor. Sutan Sjahrir lihai membekuk pikiran lawan debat. Mohammad Hatta bersih dalam berkalimat. Begitu juga yang lain. Pendiri negeri tumbuh dalam tradisi pikiran. Pidato Sjahrir di Perserikatan Bangsa-Bangsa (1947), ketika mempertahankan kemerdekaan, disebut oleh New York Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang paling menggetarkan. Jebakan diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB untuk memilih: “Siapa yang Saudara percaya, mereka atau orang-orang beradab seperti kami,” ditanggapi Sjahrir dengan enteng: “Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti, ketimbang membantah argumen saya.”
Debat adalah pelajaran berpikir.
Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dkk, saat mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Negeri ini dihuni oleh gagasan, karena kita bertemu dengan berbagai pengetahuan mancanegara. Filsafat dan ideologi sudah lama berseliweran dalam pikiran pendiri negeri. Rasionalitas dan teosofi beredar luas di awal kemerdekaan. Sastra dan musik disuguhkan dalam pesta dan konferensi. Suatu suasana pedagogis pernah tumbuh di negeri ini. Tapi jejak poskolonialnya hampir tak berbekas, kini.
Memang, ada yang putus dari masa itu dengan periode Orde Baru: kritisisme.
Teknokratisasi pikiran, ketika itu, melumpuhkan kebudayaan. Birokratisasi politik mengefisienkan pembuatan keputusan, karena tak ada oposisi.
Kritik yang pedas memerlukan pengetahuan yang dalam. Sinisme yang kejam datang dari logika yang kuat. Dua-duanya kita perlukan untuk menguji pikiran publik agar tak berubah menjadi doktrin, agar panggung publik tak dikuasai para demagog. Kita hendak menumbuhkan demokrasi sebagai forum pikiran.
Tan Malaka: "Kita tak boleh merasa terlalu ...."
Debat adalah metode berpikir. Titik kritisnya adalah ketika retorika mulai tergelincir. Titik matinya adalah ketika dialektika terkunci.
Itulah saat kita menikmati debat sebagai pelajaran berpikir, suatu peralatan pedagogis untuk mendidik rakyat dengan pikiran. Demokrasi adalah sekolah manusia, bukan arena sabung ayam.
Hari-hari ini, kita tak melihat itu karena busa kalimat memenuhi ruang sosial. Busa kekuasaan, busa dendam, busa hipokrit. Sementara di belakang panggung para dalang mengatur siasat, penonton dijebak dalam psikologi: terlalu optimistis atau terlalu pesimistis. Tak ada yang kritis.
Tan Malaka pernah memberi nasihat: “Kita tak boleh merasa terlalu pesimistis, pun tak boleh merasa terlalu optimistis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa kita kepada oportunisme.”
Rocky Gerung,
Pengajar Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Majalah TEMPO, 7 Jul 2014
No comments:
Post a Comment