Seperti diberitakan di website NU, peringatan Hari Santri 22 Oktober tahun 2017 kemarin, mengambil tema “Meneguhkan Peran Santri dalam Bela Negara, Menjaga Pancasila, dan NKRI.”
Di antara ormas-ormas Islam, NU paling keras suaranya dalam mendukung penerapan Perppu 2/2017 untuk membubarkan ormas (baca: Hizbut Tahrir Indonesia) yang mengampanyekan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Sepekan sebelum peringatan Hari Santri, dikabarkan lebih dari 20 ribu Nahdliyin berkumpul di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, mendeklarasikan “Front Penggerak Pancasila”.
Terkait sikapnya dengan Pancasila, sesungguhnya NU mengalami pergulatan yang dinamis. Di awal-awal perumusan Pancasila, perwakilan NU menginginkan Islam sebagai dasar negara. Sikap ini berubah seiring dengan perubahan rezim dan konfigurasi politik.
Pada masa sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk membuat rancangan konstitusi (UUD), perwakilan NU kala itu, Kiai Haji Wachid Hasjim (bapaknya Gus Dur) ingin mempertahankan “tujuh kata” setelah kata “Ketoehanan” (yakni “dengan kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja”), sebagaimana dinyatakan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sebagai hasil kesepakatan Panitia Sembilan.
Wachid Hasjim juga mengusulkan untuk dimasukkan dalam rancangan konstitusi bahwa presiden Indonesia harus seorang Muslim dan bahwa negara Indonesia berdasarkan Islam, bukan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang kini tercantum di pasal 29 UUD ’45.
Perwakilan Indonesia Timur, Johanes Latuharhary sempat keberatan dengan “tujuh kata” itu. Namun Wachid Hasjim bersikukuh bahwa itu sudah merupakan kesepakatan Panitia Sembilan. Sukarno, dengan berlinang air mata, membujuk agar yang tak setuju dengan Piagam Jakarta bersedia berkorban karena itu merupakan “hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan paham antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.” Dan usulan Kiai Haji Wachid Hasjim terpenuhi hingga akhir sidang BPUPKI.
Komposisi anggota PPKI berbeda dari BPUPKI. Jika anggota BPUPKI dipilih berdasarkan latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, sedangkan anggota PPKI tersusun terutama dari perwakilan kedaerahan dan organisasi. Dari 27 anggota PPKI, hanya 4 saja yang bisa dihitung “mewakili” Islam, yaitu Wachid Hasjim (NU), Ki Bagus Hadikoesoemo (Muhammadiyah), Kasman Singodimedjo (komandan PETA), dan Teuku Hasan (Aceh).
Dalam Memoir-nya, Hatta menyatakan telah membujuk keempat tokoh Islam di PPKI itu untuk mencoret “tujuh kata”. Namun dalam catatan AB Kusuma, yang dikutip di buku Yudi Latif (kini kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila [UKP-PIP]), Wachid Hasjim tidak hadir dalam lobi itu karena sedang ke Surabaya dan barangkali Hatta lupa. Jika catatan AB Kusuma ini benar, berarti tidak ada perwakilan “golongan Islam” yang menandatangani Piagam Jakarta yang ikut dalam momen krusial pencoretan “tujuh kata” itu. Pada kenyataannya, nantinya pada sidang Badan Konstituante 1956-1959 untuk membuat konstitusi baru, “kelompok Islam” menyatakan “kelompok Pancasila” telah melakukan intrik politik dalam pencoretan “tujuh kata” dari Piagam Jakarta.
Di Badan Konstituante, NU bersama Masyumi berada dalam kelompok Islam yang mengadvokasi Islam sebagai dasar negara melawan kelompok Pancasila yang tersusun dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan partai-partai kecil lainnya.
Dalam sidang Konstituante, perwakilan NU, Kiai Ahmad Zaini menyatakan Pancasila adalah “rumusan kosong” yang ambigu dan dapat mengakui keberadaan “penyembah pohon”. Perwakilan NU lainnya, Saifuddin Zuhri (bapak dari Menteri Agama sekarang), menyatakan bahwa sila pertama Pancasila kabur maknanya dan dapat ditafsirkan oleh tiap kelompok agama sesuai keinginan mereka sendiri.
Pendeknya, kelompok Islam (NU dan Masyumi) berpandangan bahwa Islam merupakan dasar yang lebih jelas dan komprehensif dibanding Pancasila. Persoalan dasar negara ini membuat sidang Konstituante menemui jalan buntu. Karena kegagalan tiap kelompok untuk memperoleh kuorum 2/3 dari total suara tiap kali diadakan pemungutan suara, Sukarno akhirnya membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Dekrit ini menyatakan UUD ‘45 kembali aktif sebagai konstitusi dan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD ’45.
Ambiguitas makna “menjiwai” ini di kemudian hari masih mempengaruhi diskursus hubungan Islam dan negara dalam konstitusi dan perundang-undangan dan sempat terangkat dalam upaya reformasi konstitusi pasca-Orde Baru.
Pada masa Orde Baru, rezim Soeharto ingin menerapkan Pancasila hampir di segala lini kehidupan: dari demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, hingga moral Pancasila. Mengklaim ingin melindungi Pancasila dari ancaman ideologi Islam, rezim merestrukturisasi partai-partai politik menjadi tiga, dengan semua partai Islam (NU, PSII, Perti, dan Parmusi —Partai Masyumi pada saat itu sudah dibubarkan) berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pada tahun 1970-an, untuk menentang kebijakan rezim mengenai Pancasila, terutama mengenai penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk pegawai negeri dan umum serta Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk siswa-siswi di sekolah, Kiai Bisri Syansuri, ketua Dewan Penasehat PPP dan Rais Syuriah NU, berfatwa wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memilih PPP, satu-satunya partai Islam, sekalipun menanggung risiko kehilangan jabatan dan pekerjaan.
Pada Sidang Umum MPR 1978 mengenai legalisasi P4, PPP dipimpin Kiai Bisri keluar dari sidang (walk out) sebagai bentuk protes. Pada 1970-an, orang-orang NU di dalam PPP dipandang sebagai orang-orang garis keras oleh rezim. NU pada dekade ini menjadi oposan paling kritis terhadap rezim, satu hal yang membuat rezim berupaya mempenetrasi PPP dan mengganti orang-orang NU dengan yang lebih bersahabat dengan rezim.
Posisi NU terhadap Pancasila mulai berubah pada dekade selanjutnya, tahun 1980-an, terutama setelah rezim Orde Baru mengumumkan rencana untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal alias satu-satunya asas bagi semua partai politik (parpol) dan organisasi massa (ormas). PPP dan ormas-ormas Islam tentu menghadapi pilihan sulit: berkompromi agar partai atau organisasinya tetap hidup atau dibubarkan.
NU pada dekade itu mulai mengubah haluan sikapnya terhadap rezim, dari konfrontasi menjadi bersedia kompromi. NU menunjukkan penerimaannya terhadap Pancasila pada Munas 1982 dan mendeklarasikannya secara resmi pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Keputusan penting lain dari muktamar itu ialah NU kembali ke “Khittah1926” sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) dan tak ingin lagi terlibat dalam “politik praktis”, yang kemudian diwujudkan dengan keluar dari PPP. Arsitek dari manuver ini adalah Kiai Achmad Siddiq (yang kemudian menjadi Rais ‘Aam Syuriah NU) dan Gus Dur (yang kemudian menjadi Ketua Umum PBNU).
NU menjadi yang pertama dari semua ormas Islam dalam menerima Pancasila sebagai asas organisasi, bahkan sebelum UU Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan diumumkan resmi oleh rezim. (NU merumuskan pada 1983, resmi pada 1984; Muhammadiyah merumuskan pada 1983 dan resmi pada muktamar 1985.) NU juga merumuskan argumen-argumen keislaman untuk menunjukkan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Argumen-argumen ini bahkan kemudian diadopsi oleh Departemen Agama, diwujudkan dalam buku Pedoman Pelaksanaan P4 bagi Umat Islam, untuk dijadikan model bagi ormas-ormas Islam lain.
Argumen yang lebih serius, misalnya dari Gus Dur, menyatakan bahwa fikih tidak saja membagi dunia hanya dalam dua kawasan: darul-Islam (negeri Islam) dan darul-harb (negeri perang). Ada alternatif ketiga, yakni darus-shulh atau negeri tempat umat Islam dapat hidup damai dan menjalankan Islam meski negeri itu tak diatur dengan hukum Islam.
Muhammadiyah punya istilah berbeda tapi kurang lebih sama maknanya: darul-‘ahdi wasy-syahadah atau negeri konsensus dan persaksian —istilah ini resmi diperkuat lagi dalam muktamar ke-47 Muhammadiyah pada tahun 2015. Dalam argumen ini, negara Pancasila adalah contoh dari darus-shulh atau darul-‘ahdi wasy-syahadah itu.
Yang menjadi pertanyaan besar di sini dan membuat para analis berbeda pendapat ialah: apa yang melatar-belakangi keputusan NU untuk berubah haluan menjadi menerima Pancasila pada 1980-an itu? Apakah manuver ini bersifat tulus secara ideologis atau sekadar pragmatisme politis belaka?
Sebagian analis menyatakan itu tak murni ideologis dan lebih banyak dipengaruhi oleh konfigurasi politik saat itu. Kalau saja Orde Baru tak memaksakan asas tunggal Pancasila, NU kemungkinan masih tetap tak mau menerima Pancasila. Faktor lainnya ialah retaknya hubungan antara NU dan PPP. NU adalah basis mayoritas pendukung PPP namun orang NU kurang terakomodasi secara proporsional di kalangan elite PPP. Dengan kata lain, keputuan NU untuk kembali ke Khittah 1926 juga memiliki latar belakang politik, yakni dishamorni dengan PPP. Dan kita tahu, bahwa pada pemilu 1987, NU melakukan “aksi penggembosan” terhadap PPP sehingga membuat suara PPP jatuh.
Namun penjelasan dari Gus Dur, sebagaimana tertuang dalam pengantar terhadap buku Einar Martahan Sitompul, “Nahdlatul Ulama dan Pancasila” yang terbit tahun 1989, tampak ingin menunjukkan bahwa itu merupakan manuver ideologis yang selaras dengan ajaran Ahlus-sunnah wal-Jamaah. Menurut Gus Dur, NU dalam Konstituante memperjuangkan Islam karena itu bagian dari “idealisme”. Tapi karena ia tak berhasil, harus ada pilihan lain, yaitu alternatif ketiga sebagai darus-shulh. Dalam penjelasannya, Gus Dur mengutip kaidah fikih (dan Gus Dur kerap kali mengutip beragam kaidah fikih untuk menjelaskan manuver politiknya) yang berbunyi “apa yang tak dapat diwujudkan semuanya, jangan tinggalkan semuanya” (ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu).
Kendati demikian, di luar soal apakah ia merupakan manuver ideologis atau pragmatisme politik, yang jelas sikap rezim terhadap umat Islam sejak pertengahan 1980-an mulai melunak —kecuali tentu terhadap yang masih kukuh menolak asas tunggal Pancasila. Satu dekade terakhir Orde Baru kerap ditandai sebagai era “rapprochement” rezim dengan umat Islam: larangan jilbab bagi siswi-siswi sekolah dicabut; bisnis judi SDSB dibubarkan; dan rezim mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Kalau memakai perspektif utilitarianisme yang berpandangan bahwa keberhasilan manuver politik dinilai bukan dari idealisme ideologis melainkan pada hasilnya yang lebih bermaslahat secara umum (dalam hal ini, umat Islam), keputusan NU pada awal 1980-an itu berhasil. Dengan menerima Pancasila, rezim tak lagi punya alasan untuk menekan umat Islam secara umum, sehingga energi umat Islam bisa dialihkan ke hal yang lain, bahkan mengkritik kebijakan rezim Orde Baru lainnya. Pada kenyataannya, Gus Dur dan NU tetap bisa kritis terhadap Orde Baru. Buktinya, ketika Orde Baru mendirikan ICMI, Gus Dur membentuk Forum Demokrasi.
Kini, hampir dua dekade pascareformasi, NU sudah menjadi salah satu pendukung kuat Pancasila. Suara-suara penolakan terhadap kebijakan pimpinan pusat di PBNU bukannya tidak ada. Dan sejak dulu pun demikian. Salah satu contoh yang terkenal adalah pada tahun 1980-an, Kiai As’ad Syamsul Arifin saat itu menyatakan mufaraqah atau memisahkan diri dan keluar dari NU yang dipimpin Gus Dur.
Namun secara umum, figur-figur penting NU kini berada di belakang Pancasila. Rais Aam NU Kiai Ma’ruf Amin dan Ketua Umum NU Kiai Said Aqil Siradj kini menjadi dua dari sembilan pengarah UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) yang selanjutnya berubah menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Konfigurasi politik saat ini sudah berbeda dari zaman Orde Baru. Rival NU dalam persaingan antarormas Islam juga sudah berbeda. Corak penafsiran politis terhadap Pancasila pun lebih beragam. Di masa pascakemerdekaan hingga berakhirnya Orde Lama, Pancasila cenderung dimaknai sebagai konsensus pemersatu semua kalangan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan ragam sisi terang dan gelapnya. Di zaman Orde Baru, Pancasila cenderung menjadi instrumen penjaga “stabilitas” politik. Pascareformasi, tafsir-tafsir dari beragam spektrum saling berebut untuk memaknai Pancasila. Dan NU tampaknya berada dalam kalangan yang memaknai Pancasila sebagai simbol penjaga kebhinekaan, kalau bukan malah instrumen “penggebuk” ormas “subversif”.
Apakah NU bisa merumuskan ulang tafsir Pancasila yang lebih dari sekadar itu, misalnya terkait persoalan sektarianisme internal umat Islam dan tafsir lain yang bukan sekadar soal kebhinekaan dan hubungan agama dengan negara, melainkan juga “keadilan sosial” di sila kelima? Jawabannya ada di tahun-tahun mendatang.
Azis Anwar Fachrudin
Penulis adalah alumnus dan kini staf CRCS UGM. Sebagian besar data sejarah dalam tulisan ini diambil dari disertasi doktoral Faisal Ismail, “Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila” di McGill University pada 1995.
CRCS UGM – Perspektif, 23 Oktober 2017
https://crcs.ugm.ac.id/news/11596/nu-dan-pancasila-dulu-dan-kini.html
No comments:
Post a Comment