Apabila kita melihat deretan tragedi dalam dunia pendidikan: kian tak terjangkaunya biaya pendidikan seperti diamini Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya ketika membubarkan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI); banyaknya oknum administrator sekolah maupun praktisi pendidik di sekolah negeri yang mengangkangi anggaran dari negara yang seyogianya diperuntukkan bagi anak didik mereka; dan lain-lain, semua itu kian mengeja satu fakta yang memiriskan hati. Yaitu, betapa dunia pendidikan kita semakin jauh dari fitrahnya sebagai sarana untuk mendidik manusia. Terbukti, dunia pendidikan kita ternyata telah berkhianat atau menyimpang jauh dari tradisi mulia orientasi pendidikan yang sudah menjadi pakem universal dalam dunia pedagogi di mana pun.
Sebagaimana dikemukakan Thomas Hidya Djaya (dalam Bentara, 2003), khazanah teori pendidikan mengenal sekurangnya dua tradisi orientasi pendidikan yang sama-sama luhur niatnya, tapi bersimpang jalan dalam filosofinya.
Pertama, tradisi skolastisisme. Berdasarkan tradisi ini, pendidikan bertujuan untuk mengajarkan kepada peserta didik berbagai kebenaran yang bersifat ilmiah, filosofis, maupun religius. Singkat kata, tradisi ini memberikan penekanan pada hasrat mencari kebenaran.
Kedua, tradisi humanisme. Menurut tradisi ini, hasrat utama pendidikan adalah mencetak manusia-manusia yang dapat menunjukkan pengabdian kepada masyarakat luas. Salah satu caranya, lulusan institusi pendidikan pengikut tradisi ini dididik untuk memiliki kefasihan lisan dan tulisan yang ulung dalam membujuk masyarakat banyak untuk bertindak. Selain itu, lulusan institusi pendidikan humanistis dipersiapkan untuk menjalankan keutamaan kewargaan (civic virtue) dalam bentuk pemberian pelayanan publik. Maka dari itu, kurikulum pendidikan humanistik umumnya ingin membentuk pribadi yang cakap dengan mengembangkan kualitas moral serta kemanusiaan bagi pelayanan kepada orang banyak.
Apabila kita bandingkan kedua tradisi di atas, perbedaan yang teramati adalah tradisi pertama mencetak para pelaku grounded science, seperti pemikir, matematikawan, fisikawan, filsuf, dan lain sebagainya yang berkutat dengan pemikiran abstrak dan spekulatif. Sementara tradisi kedua menghasilkan para aktor applied science, seperti dokter, insinyur, sosiolog, pakar komunikasi, dan lain sebagainya yang berkutat dengan penerapan ilmu bagi kepentingan masyarakat luas. Keduanya sama penting, sehingga, yang satu sebenarnya tidak lebih utama daripada yang lain.
Sayangnya, alih-alih melakoni atau sekurangnya memetik manfaat dari kedua tradisi di atas, dunia pendidikan kita justru memilih jalan ‘sesat’ dari keduanya. Sebab, dunia pendidikan kita sekarang ini cenderung begitu komersial dan melulu menjanjikan dan berpikiran untuk memproduksi lulusan-lulusan yang ‘siap-pakai’ di dunia kerja demi memajukan kepentingan sempit anak didik. Alhasil, sebagian besar lulusan dari dunia pendidikan kita hanya peduli terhadap kemajuan dirinya sendiri dan abai terhadap manfaat yang bisa ia berikan kepada orang lain, apalagi terhadap kebenaran yang semestinya mereka coba gapai. Pendeknya, mereka tercerabut dari dunia idealistis kebenaran sekaligus juga dari masyarakat mereka sendiri.
Menapaki jalan menyempal ini, lulusan institusi pendidikan kita, entah itu dokter, insinyur, sosiolog, dan lain sebagainya menjadi sibuk memajukan profesinya sendiri demi meraih kemakmuran ekonomi di dalam dunia kerja yang mereka geluti. Tak terlintas sedikit pun dalam pikiran mereka mengabdikan pemikiran untuk pengembangan keilmuan mereka secara lebih jauh, yaitu, melakukan pencarian kebenaran yang didambakan tradisi skolastisisme. Atau, mencurahkan karya dan bakti mereka untuk kemaslahatan orang banyak seperti diidam-idamkan tradisi humanisme.
Akhirnya, institusi pendidikan dan kaum pendidik kita hanya memberi negeri ini gelombang demi gelombang generasi yang hanya memikirkan kepentingan diri atau kelompoknya sendiri. Akibatnya, pendidikan kita tak memberikan bekas penting dalam bidang keilmuan atau kemasyarakatan. Sebaliknya, pendidikan dan kaum pendidik kita malah hanya melanggengkan suatu situasi di mana negeri ini dipenuhi dengan generasi-generasi yang kehilangan jati diri, melulu bersibuk dengan hajat ekonomi, tak kenal budi pekerti, dan acuh tak acuh terhadap kemudaratan yang dialami oleh rekan warga mereka (fellow citizens) di bumi Pertiwi ini.
Jadi, rasanya sudah saatnya bagi kita untuk merenungkan kembali orientasi dunia pendidikan kita!
Intan Indah Prathiwie
Alumnus Psikologi UI,
Peserta Program Pascasarjana UNJ
SUARA KARYA, 15 Februari 2013
No comments:
Post a Comment