Soekarno dan Soeharto, dua Presiden RI yang legendaris. Beliau berdua punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Memasuki babak keempat kisah pemilihan Orde Reformasi, aktor-aktor politik dengan nama besar mulai surut dari gelanggang, memberi kesempatan kepada aktor-aktor biasa untuk mengisi pentas. Inilah era manusia rerata (the era of common man).
Pergeseran ini bisa memberi prakondisi yang positif bagi demokrasi egaliter jika didukung oleh sistem meritokrasi, yang memungkinkan pasar kepemimpinan bisa diakses oleh orang-orang kapabel dari segala kalangan. Namun, juga bisa berdampak negatif jika era rerata ini hanya memberi outlet bagi narsisme politik para pemuja diri.
Ketika kekaguman terhadap “nama-nama besar” mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat-pusat teladan, secara naluriah banyak orang mengalihkan kekagumannya kepada diri sendiri (self-glorification). Hanya berbekal penampilan, walau sumbangsih tipis akan tetapi modalnya tebal, seseorang sudah merasa pantas menjadi orang “nomor satu” di negeri ini.
Montesquieu dan bukunya De L'Esprit des Loix.
Ledakan narsisme yang mendorong kegilaan menjadi presiden itu mengandung potensi destruktif tersendiri bagi demokrasi. Seperti dikatakan Montesquieu bahwa “Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung, yakni manakala setiap orang merasa pantas memimpin.”
Para petaruh yang tidak memiliki keluasan wawasan kenegaraan, pula tak tebal modal sosialnya, dan tak memiliki kedalaman rekam jejak pergulatan publik, akan mudah tergoda untuk mengkompensasikan kekurangannya dengan melipatgandakan manipulasi pencitraan dirinya. Nilai rekayasa kemasannya jauh lebih besar ketimbang nilai sumbangsihnya terhadap bangsa. Situasi inilah yang melahirkan onggokan sampah pemimpin plastik yang tidak otentik dalam ruang publik kita.
Pemimpin plastik tak pernah menghiraukan isi hidup dan arah hidup. Dan pemimpin yang tidak menawarkan isi hidup dan arah hidup, meminjam ungkapan Bung Karno, adalah pemimpin yang cetek. Ia adalah pemimpin penggemar emas sepuhan, bukan emas murni. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Kita sebagai bangsa besar yang sedang dirundung banyak masalah, hendak dipimpinnya bukan dengan kekuatan visi, melainkan dengan impresi.
Kecenderungan mediokritas dan ketidakotentikan pemimpin seperti itu tidaklah memenuhi kebutuhan Indonesia akan kepemimpinan krisis. Pada masa krisis dengan beragam fenomena disorganisasi sosial, dunia politik kita justru memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar. Kepemimpinan yang mampu mengatasi. Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang baik (good leader), melainkan pemimpin agung (great leader). Keagungan di sini tidaklah merefleksikan kapasitas untuk mendominasi dan memaksa, tetapi terpancar dari kesejatian karakter untuk mengasihi, melindungi, mengayomi, mengurus, dan menertibkan.
Tokoh genius dan eksentrik, John Stuart Mill.
Keguyuban
Dalam suatu bangsa yang ditandai oleh kecenderungan untuk membenarkan yang biasa, tidak membiasakan yang benar, keguyuban yang berkembang acap kali merupakan keguyuban yang destruktif, seperti tecermin dalam istilah “budaya korupsi”. Dalam situasi demikian, yang diperlukan bukanlah pemimpin yang konformis, yang gestur politiknya mengikuti ekspektasi kemapanan yang korosif. Yang dibutuhkan justru pemimpin eksentrik yang bisa berpikir out of the box dan berani menawarkan pilihan yang berbeda dari arus utama (main stream).
Seperti dinyatakan John Stuart Mill, kreativitas sosial memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. Lantas ia tambahkan bahwa “jumlah eksentrisitas dalam suatu masyarakat pada umumnya proporsional dengan jumlah genius, kekuatan mental, dan keberanian moral yang dikandung masyarakat tersebut.”
Bahwa saat ini Indonesia mengalami defisit pemimpin eksentrik berkarakter yang memiliki kekuatan mental, kebernasan gagasan, dan keberanian moral untuk mengambil pilihan sendiri di luar kelatahan dan tekanan luar, merupakan tantangan yang harus segera dipecahkan oleh institusi pemilihan kita.
Ada sejumlah persoalan yang mengemuka dari institusi pemilihan kita. Tingginya biaya untuk merengkuh kekuasaan membuat banyak partai lebih mendukung orang-orang rerata yang berani bayar ketimbang orang-orang eksentrik yang tak bermodal. Selain itu, ada paradoks antara preferensi pada pemilihan langsung yang mengarahkan masyarakat menuju individualisme dengan ketiadaan pranata sosial yang dapat mengembangkan otonomi dan karakter individu.
Ekspresi kegeraman Bung Karno kepada salah seorang wartawan bule.
Dalam lemahnya logika pencerahan, kepastian hukum, dan ekosistem kreativitas, ruang otonomi individu dipersempit oleh keharusan keguyuban. Kebanyakan individu tumbuh dengan mentalitas konformis, bukan subyek berdaulat yang bisa memilih atas dasar daya pikirnya dan melakukan learning to unlearn dari tradisi buruk.
Pergeseran ke arah individualisme tanpa kekuatan individualitas melahirkan buih-buih kerumunan di ruang publik. Mentalitas kerumunan tanpa kapasitas nalar publik inilah yang rentan dimanipulasi oleh mesin pencitraan dan politik uang. Atau dipersuasi oleh sentimen tribalisme dalam bentuk fundamentalisme, premanisme, dan nepotisme.
Demokrasi individualisme di tengah mentalitas kerumunan inilah yang memberi peluang bagi tampilnya dua jenis pemimpin yang meramaikan ruang publik: mereka yang gila presiden atau presiden gila. Padahal, yang cocok untuk memulihkan situasi krisis dan membawa transformasi bangsa ke masa depan adalah pemimpin eksentrik yang “setengah gila”.
Yudi Latif,
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 10 September 2013
No comments:
Post a Comment