Sambil berjalan santai menikmati udara pagi yang segar saya memperhatikan seorang mbak (panggilan orang Jakarta untuk profesi asisten rumah tangga alias pembantu) yang sedang menyapu jalanan di depan rumah bos nya beberapa rumah sebelum rumah saya. Dia melihat saya dan dengan tersenyum ramah bertanya, “Dari masjid, Pak?” “Astaga …,” pikir saya dalam hati, “Mbak ini apa enggak lihat saya pakai sarung dan kopiah? Kan jelas bukan dari berenang di pantai? Ya, jelas dari masjid lah? Sungguh pertanyaan yang sia-sia, enggak berguna, enggak efektif, dan enggak efisien.”
Tetapi, untuk tidak menyinggung dia, saya menjawab pertanyaan mbak itu, “Iya, Mbak! Sedang nyapu ya Mbak?” Pertanyaan balik yang sama begonya, tetapi keluar dari mulut seorang profesor senior UI. Walaupun bego, sapa-menyapa yang enggak jelas seperti itu menjadi ciri dari masyarakat yang bertradisi guyub (bahasa Jawa, artinya akrab, informal) yang banyak terjadi di masyarakat tradisional atau masyarakat pedesaan.
Karena itu, kalau kita pergi ke kota-kota kecil atau desa-desa di Jawa Tengah, DIY, atau Jawa Timur, sering kita dengar pertanyaan-pertanyaan yang buat orang kota besar seperti Jakarta adalah pertanyaan yang tak berguna misalnya: “Habis memborong, ya Bu?”(padahal jelas ibu itu membawa banyak bungkusan pulang dari pasar) dan jawabannya juga lebih jelas lagi, “Enggak kok Bu. Ini titipan orang,” (selalu ngeles, padahal memang dia baru belanja karena mau masak buat keluarganya).
Atau “Mau ke mana Pak?” (siapa dia, ada urusan apa, kok tanya-tanya?), jawabnya pun asal saja, “Enggak ... mau ke situ sebentar,” (selalu diawali dengan “enggak” dan enggak jelas juga yang di maksud “situ” itu mana?).
Dalam masyarakat kota besar, masyarakat industri, masyarakat modern yang bersifat patembayan (formal, individualistik) suasana batinnya lebih rasional, tidak terlalu peka dari segi perasaan, lebih tak acuh, setiap orang ikuti jalannya masing-masing, dan baru bertegur sapa kalau ada kepentingan-kepentingan yang saling bertemu, bisa secara positif (koordinatif, kerja sama, kongsi, dan sebagainya), maupun secara negatif (konflik, persaingan, dan sebagainya).
Kendati demikian, di dalam bahasa Inggris tetap ada ungkapan sapaan yang sebetulnya juga tidak bermanfaat kecuali sebagai saling sapa saja misalnya “Hi, how are you doing?” yang dalam bahasa Indonesianya “Hai, apa kabar?” Pertanyaan seperti ini sebetulnya tidak memerlukan jawaban. Mau kabar baik atau kabar jelek memangnya masalah buat lo? Tetapi, demi sopan santun, jawaban kita kalau ditanya seperti itu hampir selalu positif seperti “Kabar baik”, “I am OK, thank you !”, kecuali kalau yang bertanya orang yang dekat dengan kita dan kita memang bermaksud untuk curhat.
Maka itu, pertanyaan sapaan itu bisa dijawab dengan curhat yang berkepanjangan. Jadi dalam masyarakat patembayan pun ada sisi-sisi sopan santun untuk saling menjaga perasaan, saling menghormati dan menghargai, agar semua sama-sama senang dan sama-sama tenang.
Luar biasa sekali bukan? Jauh lebih bermakna daripada “Dari masjid, Pak?” atau “Hi, how are you doing?” atau “Apa kabar?”, yang kalau kita lagi suntuk bisa kita jawab, “Auk ah, gelap!” Sayang sekali, sapaan yang bermakna saling doa itu, yang sekarang diucapkan oleh setiap orang, dalam hampir setiap kesempatan (dalam satu kali pertemuan bisa puluhan kali diucapkan, karena setiap orang mengucapkannya kalau mau mulai bicara, padahal seharusnya cukup sekali saja diucapkan oleh MC atau pimpinan pertemuan dan sekali juga dijawab oleh hadirin), bahkan teman-teman yang non-muslim pun sudah fasih melafalkannya. Artinya, salam cara Islam itu sudah membudaya dalam masyarakat kita. Namun, salam yang penuh doa itu tidak berpengaruh apa-apa pada masyarakat.
Konflik antar-kelompok, antar-parpol, anak membunuh orang tua, tawuran karena berebut lahan parkir atau berebut pacar, suami KDRT istri, ibu KDRT anak, birokrat dan anggota legislatif mencuri uang rakyat, dan lainnya berlangsung terus-menerus. Tidak ada hentinya. Di Timur Tengah bahkan meletus perang saudara yang dahsyat dan berlarut-larut, lengkap dengan acara potong kepala, yang di Kalimantan Barat, Indonesia juga pernah terjadi ketika Melayu dan Dayak memerangi Madura.
Tidak ada manfaatnya ber-assalamu ‘alaikum kalau hanya penghias bibir, tidak diresapkan di hati nurani dan tidak keluar lagi dari hati nurani. Lebih baik ber-“Apa kabar?” saja atau “Dari masjid, ya Pak?”, tetapi betul-betul merupakan perwujudan silaturahmi.
Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 12 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment