Kalau memang bank pembangunan multilateral ini bertujuan menciptakan “kekayaan”, bisa dipastikan mekanisme kerjasama dan kemitraan regional melalui konektivitas infrastruktur tidak akan tercapai. Alasannya sederhana. Bank multilateral yang baru ini hanya mengejar kekayaan dan keuntungan dalam menggelar pendanaan masif infrastruktur di kawasan Asia yang diperkirakan memerlukan dana sekitar 8 triliun dollar AS sampai dengan tahun 2020.
Masalahnya, sejumlah pembangunan infrastruktur publik yang dibangun pemerintah di berbagai kawasan membutuhkan waktu yang sangat panjang dan lama untuk mencapai keuntungan. Belum lagi berbicara tentang kembalinya modal dari beragam jenis pembangunan infrastruktur tersebut.
Berbagai proyek infrastruktur yang dibangun selama ini belum menunjukkan keuntungannya hanya dari mengelola infrastruktur tersebut. Karena kalau “kekayaan” menjadi tujuan seperti yang dimaksud AIIB, pertanyaannya adalah kenapa berbagai proyek infrastruktur di kawasan Asia ini tidak berkembang walaupun suku bunga jangka panjang sangat rendah dan pasokan keuangan dari berbagai pemerintahan Asia sangat cukup?
Kita membenarkan argumentasi kalau infrastruktur adalah kunci potensi pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi yang lain, kita meragukan berbagai proyek infrastruktur tersebut akan mampu “menciptakan kekayaan” seperti tercantum dalam pasal pendirian AIIB tersebut. Karena pertanyaan kita adalah siapa yang akan “mendapatkan kekayaan” dalam investasi AIIB tersebut?
Sejak 2010 neraca perdagangan RI-RRC merugi 4,7 miliar dollar AS, dan menurun pada 2011 merugi 3,2 miliar dollar AS, namun meningkat drastis dengan kerugian RI pada 2012 dan 2013 mencapai masing-masing sekitar 7,7 miliar dollar AS, dan kerugian yang berlipat dua pada 2014 hingga mencapai 13 miliar dollar AS.
Dari perdagangan bilateral RI-RRC tersebut jelas tidak tecermin “kekayaan bersama” seperti didengungkan para pemimpin kedua negara. Dan tingkat perdagangan bilateral yang negatif ini sungguh tidak mencerminkan upaya pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan, apalagi mengharapkan “terciptanya kekayaan” dari investasi infrastruktur AIIB.
Kasihan lagi Indonesia!
Rene L Pattiradjawane,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 1 Juli 2015
No comments:
Post a Comment