Aku becus
"Aku tak becus," teriak anak Ibu Kiran Bir Sethi suatu saat sepulang dari sekolah. Perkataan ini menggetirkan karena bagaimana mungkin seorang anak yang sejatinya sinonim dengan pengharapan dan impian malah mengimani keputusasaan dan ketakbecusan. Lebih menyakitkannya lagi, perkataan ini keluar dari mulut anak kandungnya sendiri.
Berbekal studinya dalam bidang desain atau reka cipta dan dukungan keluarga orangtuanya yang pereka cipta juga, Ibu Kiran kemudian menggagas Sekolah Riverside di kota Ahmedabad, India, pada tahun 2001. Pegangannya, beliau ingin anak belajar menyelesaikan masalah dengan pemikirannya sendiri sehingga mereka dapat berujar, "Aku becus." Ini terjadi sebelum Presiden Obama berkampanye: "I can."
Kiran Bir Sethi, penggagas Sekolah Riverside dan penebar wabah virus motivasi "I can".
Sekolah dan komunitas di mana pun di dunia boleh menggunakan gagasannya. Berkat kepeloporan menggagas wabah virus "Aku becus" ini, beliau memperoleh berbagai penghargaan regional dan internasional.
Melalui pendekatan DFC, hari ini anak dari Argentina sampai Portugal, dari Afrika Selatan sampai Denmark, belajar menyelesaikan masalah di lingkungannya dengan solusi dan jawaban dari hasil temuannya sendiri.
Pendekatannya, pertama, kelompok anak menentukan masalah di lingkungannya yang mereka rasa perlu untuk diselesaikan. Kemudian, mereka mengimajinasikan kemungkinan jawaban untuk permasalahan tersebut. Kadang, jika perlu, mereka berdiskusi dengan orang dewasa. Dan, sesudah dirasa matang, mereka mewujudkan jawaban tadi dan diujicobakan secara nyata. Setelah berhasil, mereka membagikan cerita keberhasilan itu melalui berbagai media.
Rangkaian empat langkah merasakan-mengimajinasikan-mewujudkan dan membagikan ini merupakan bagian dari Design Thinking atau Berpikir Reka Cipta. Rumusan ini sederhana sehingga anak mudah memahaminya. Bahkan, anak-anak usia 5 tahun di Kamerun, Afrika, mampu menerapkannya.
Kiran Bir Sethi, di tengah para siswa Sekolah Riverside.
Setelah mendengar keluhan itu, Bu Vicki mengajak mendiskusikannya. Dalam diskusi itu, ada anak yang mengusulkan sekolah membuat larangan permainan sepak bola. Ada juga yang mengusulkan larangan membawa botol plastik. Setelah mendiskusikan berbagai usulan secara sistematis serta memberikan hak tiap anak berpendapat, mereka sampai pada pemahaman bahwa percuma jika sekolah membuat larangan. Larangan tak menyelesaikan masalah, ungkap anak-anak itu.
Kemudian disepakati bahwa permasalahan ini perlu diselesaikan pada akar masalahnya, yaitu tidak tersedianya bola di sekolah. Oleh karena itu, mereka mengangankan dan berpikir untuk membuat bola. Tetapi, mereka belum tahu caranya. Maka, mereka minta gurunya mendampingi untuk membuat bola.
Sang ibu guru, yang memang termasuk dalam gerakan DFC itu, kemudian mengusulkan kepada anak-anak untuk merancang penelitian tentang bahan apa yang cocok untuk membuat bola. Lalu, mereka mencari beberapa macam bahan bekas untuk dicoba. Dalam penelitian itu, tiap bola dengan bahan berbeda diuji coba, sampai akhirnya mereka menyimpulkan bahwa bola berbahan tas plastik bekas paling cocok karena dapat memantul dengan baik.
Pintu gerbang Sekolah Riverside di Ahmedabad, India.
Dari pengalaman sederhana tetapi bermakna tadi, anak berusia belia tersebut telah menerapkan empat langkah berpikir reka cipta. Mereka telah "menggagas dunia" dari lingkungannya sendiri.
Anak merasakan sebagai manusia terhormat yang berhak menggagas dan becus bernalar. Walau lewat masalah yang tampak sederhana bagi orang dewasa, namun anak telah mengasah dan mempraktikkan keterampilan abad ke-21, sebutlah seperti merumuskan masalah, berpikir kreatif dan kritis, serta berkomunikasi.
Perasaan percaya diri anak sekaligus keterampilannya bernalar ini mewabahkan virus keyakinan "Aku becus" ke berbagai pelosok dunia.
Berita baiknya, beberapa masyarakat pendidikan dan anak Indonesia bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah menyiapkan rencana agar anak Indonesia dapat menggagas dunia. Melalui gerakan ini, anak memupuk keberdayaannya dan ini menjadi bekal dalam perjalanannya kelak menjadi insan merdeka.
Upaya ini bertolak belakang dengan kebijakan pendidikan yang kerap menghamba regulasi birokratis, sarat modal dan mengamini pragmatisme. Gerakan ini memutarbalikkan pandangan lembaga pendidikan sebagai jawatan yang kerap menempatkan anak sebagai obyek ekonomi, sekadar bakal calon tenaga kerja untuk memutar roda pabrik dan industri.
Di sini, anak justru merupakan subyek dalam pembangunan bangsa dan sebagai tokoh utama pelaku perbaikan pendidikan. Inilah sejatinya hal yang sejalan dengan hakikat keberdayaan dan kemerdekaan anak.
Bagi pendidikan nasional secara umum, semangat "menggagas dunia" ini akan menegaskan kembali makna pendidikan dan relevansinya pada kehidupan warga. Tujuh puluh tahun adalah waktu yang lama untuk menunggu anak Sang Republik berteriak, "Aku becus. Aku berdaya. Aku merdeka."
Iwan Pranoto,
Guru Besar Matematika ITB
KOMPAS, 27 Juli 2015
No comments:
Post a Comment