Alangkah buruk dan mengerikan jika ada orang atau sekelompok orang diserang dan diusir dari rumahnya, padahal dia tidak punya tanah lain atau tempat lain yang bisa menampungnya. Mau ke mana orang yang seperti itu? Mengeluh dan meminta tolong pun tidak ada yang menghiraukan. Itulah sebabnya kita sangat kaget ketika meluas berita bahwa pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat diusir dari kediamannya, bahkan ada yang rumahnya dibakar.
Tetapi, sebelum itu kita kaget juga dan sangat kesal ketika tahu bahwa Gafatar merupakan organisasi “sesat” yang mengatasnamakan agama, sangat merusak, bahkan membahayakan sehingga kita menjadi paham jika banyak orang yang marah atau emosional terhadap para pengikut Gafatar.
Salah satu tujuan mulia GAFATAR adalah: Program Ketahanan dan Kemandirian Pangan.
Masalahnya memang sangat dilematis. Mengapa? Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan jaminan kepada setiap orang untuk memilih tempat tinggal sesuai dengan kehendaknya sendiri. Hal itu diatur di dalam Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak memeluk agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Berita penyerangan, pembakaran rumah-rumah, dan pengusiran terhadap anggota Gafatar oleh sekelompok warga masyarakat jelas melanggar hak asasi manusia sebagaimana telah dipatri di dalam Pasal 28E UUD kita. Pematrian itu meniscayakan negara memberi perlindungan kepada setiap orang yang mengalami pengusiran.
Kita tak dapat membayangkan betapa buruk dan mengerikan nasib orang yang diusir dari tempat tinggalnya, sementara dia tak mempunyai tempat lain yang bisa ditinggali. Dalam kasus (bekas) anggota-anggota Gafatar misalnya, ada yang sudah menjual semua lahan yang dimilikinya di Jawa (daerah asalnya) dan uangnya sudah dibelikan lahan baru di daerah lain.
Sekarang mereka diusir secara beramai-ramai dari lahan sempit satu-satunya yang mereka miliki dan tinggali. Mau ke mana mereka? Siapa pun akan merasa ngeri menghadapi persoalan berat yang seperti itu karena mereka bukan hanya hidup tak nyaman, tetapi juga tak aman. Kita mendirikan negara merdeka agar tidak ada lagi di negeri ini orang hidup tersiksa karena tak punya tanah dan tak punya harapan.
Bayangkan saja, banyak orang yang harus menghilangkan diri demi perjuangan yang diajarkan oleh Gafatar. Banyak orang yang hilang dan pergi meninggalkan keluarganya, oleh Gafatar diajak berjuang dengan memaksa pergi diam-diam dari suami atau istrinya. Gafatar juga memaksa anak dipisahkan dari orang tuanya. Katanya demi perjuangan suci.
Pada sisi yang lain lagi harus diingat pula bahwa banyak orang yang ikut Gafatar karena keadaan ekonomi kita yang buruk, timpang, dan tidak berkeadilan. Mereka tidak memahami keadaan, tetapi tidak mampu menanggung beban. Mereka terperangkap untuk mencari jalan baru atau membuat jalan sendiri untuk mengatasi persoalan-persoalan berat yang dihadapi dalam hidup sebagai bangsa.
Kita sama sekali tidak setuju pada tindakan anarkistis masyarakat yang beramai-ramai menyerang dan mengusir anggota Gafatar karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan melanggar konstitusi. Tetapi, pada sisi lain kita paham atas munculnya kemarahan masyarakat terhadap pengikut Gafatar karena ajaran keyakinannya yang merusak.
Itu juga yang dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. Dalam konteks ini kita menjadi paham, mengapa pada 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No 1/PNPS/1965 yang berintikan larangan penistaan atau penodaan agama.
Kita memahami pembentukan penpres yang kemudian dikukuhkan menjadi UU tersebut didasarkan pada pandangan agar tidak ada orang dengan seenaknya melahirkan ajaran yang kemudian disebutnya sebagai agama, padahal ajaran yang disebut agama itu menyempal, menodai, dan merusak ajaran pokok dari agama yang sudah ada.
UU tersebut penting justru untuk melindungi warga negara dari tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat lain yang merasa keyakinannya dirusak. Kita harus mendorong dan mendukung pemerintah untuk menyelesaikan masalah Gafatar ini dengan berpijak pada kemanusiaan dan kewajiban konstitusional negara.
Moh Mahfud MD,
Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 23 Januari 2016
No comments:
Post a Comment