Setidaknya ia telah berperan penting dalam memelihara semangat berteater anak muda, yang jatuh bangun dan didera “kemiskinan” sepanjang usianya, serta membina calon penonton teater, dari kalangan remaja (sekolah menengah) hingga mahasiswa. Walau usia panjang dan matang itu tidak setara dengan mutu pertunjukan dan teaterawannya yang saya kira bergeming teguh, tak ada kemajuan berarti, bahkan dibandingkan pendahulunya di era 1970 dan 1980-an, jika tidak bisa dibilang stagnan, bahkan mundur. Tentu saja, semua ada penyebabnya, yang ternyata lebih banyak bersifat eksternal ketimbang internal dunia teater itu sendiri.
Seperti yang terjadi saat ini, festival yang diselenggarakan teaterawan muda itu, dengan bantuan dana dari (Suku) Dinas Pariwisata DKI, ternyata harus membayar sewa gedung (pemerintah) yang mereka gunakan dengan tarif per lima jam. Agak ajaib, untuk kegiatan pembinaan seni anak muda, uang pemerintah (negara/rakyat) digunakan untuk membayar fasilitas pemerintah (negara/rakyat). Bukan sekadar jeruk makan jeruk, kenyataan ini menunjukkan cara berpikir yang lumayan kacau.
Maka, sekali lagi kita diperlihatkan bukti bagaimana pemerintah negeri ini (di semua levelnya) begitu naif dalam soal makna hingga peran dan fungsi kesenian, serta kebudayaan dalam arti umumnya. Terlebih mengenai keragaman sifat, bentuk, hingga manfaat produknya, dinamika, dan proses yang terjadi di dalamnya, apalagi relasi sosial yang terjadi di antara para pelakunya.
Seorang dramawan senior pernah mengeluh kepada saya karena penghargaan negara kepadanya sekadar berupa piagam dan uang Rp 10 juta (yang mungkin tak hingga sebulan menguap dalam kebutuhan konsumtif metropolitan). Saya sendiri pernah menerima penghargaan serupa, berupa sebuah pin sejenis pin anggota Korpri dan selembar piagam hasil cetakan sederhana dibalut pigura berwarna perak, berharga di bawah Rp 100.000 perak.
Seniman, kesenian, dan kebudayaan ternyata masih sekadar mainan murahan, sebagian lagi menjadi mimpi buruk bagi pemerintah, di pusat ataupun daerah.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana kondisi taman budaya di sejumlah kota provinsi yang menyedihkan, dari fasilitas fisik hingga program-program yang mengisinya. Di Medan, selain disengketakan pemerintah kotanya (diisukan akan dijual kepada pihak swasta untuk dijadikan kompleks komersial), gedung pertunjukan utamanya selalu digenangi air hingga sebatas paha manusia dewasa saat hujan lebat. Tempat itu kini lebih sering disebut “taman buaya” kata pekerja seni-budaya setempat.
Yang jelas, di salah satu ibu kota besar (kelima di Indonesia), dana negara yang diberikan kepada dewan kesenian setempat hanya di kisaran Rp 75 juta per tahun, yang bahkan tidak cukup untuk membiayai satu pertunjukan modern. Di ibu kota kedua terbesar negeri ini pun, hanya memiliki satu gedung pertunjukan yang penggunaannya harus berebut dengan acara-acara non-artistik dan non-kultural.
Istimewa karena dengan APBD-nya yang lebih dari Rp 60 triliun setahun, fasilitas seni budayanya, misalnya kondisi auditorium di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan, bocor tak henti di dalam ruang pertunjukan, tanpa pernah ada perbaikan berarti. Istimewa karena Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM), yang begitu istimewa sejarah dan perannya, dianggap sang gubernur tidak memiliki cukup kemampuan untuk dikelola para senimannya. Sebagai warga baru Jakarta mungkin dia tidak mengerti bagaimana sejarah setengah abad PKJ-TIM telah melahirkan tokoh, budayawan, seniman penuh reputasi (bahkan di tingkat internasional), lewat kepengurusan seniman-seniman yang katanya embisil dalam manajemen itu.
Kebijakan baru gubernur beserta aturan yang diturunkannya saat ini bukan hanya menciptakan hambatan dan kesulitan yang kian sulit diatasi para seniman, justru kini menjadi ajang arisan kelompok-kelompok amatir dan non-artistik yang punya kemampuan finansial untuk menyewa fasilitasnya. Tak ada lagi dukungan, apalagi bantuan, seperti yang dahulu saya, misalnya, selalu menerima dana bantuan (baik dari manajemen PKJ-TIM lama, Dewan Kesenian, maupun Yayasan Kesenian Jakarta) dalam jumlah cukup signifikan untuk memproduksi sebuah pertunjukan. Sekarang harus bayar, bayar, dan bayar demi PAD. Orang kaya bernama Jakarta itu ternyata masih mengeruk uang dari kemiskinan seni(man).
“Jakarta sudah kaya, tidak butuh uang seniman!” Kalimat keras itu diucapkan Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat, di panggung aksi demo kami tahun lalu, di depan banyak seniman, wartawan, tokoh-tokoh publik yang diundang, dan masyarakat umum. Bahkan, di hadapan publik yang sama, sang petahana menyetujui belasan tuntutan tertulis dari kami kepada Pemprov DKI.
Sang cawagub usungan PDI-P saat ini itu pun menorehkan tanda tangan persetujuannya di atas kertas tuntutan seniman tersebut, beralas punggung yang penulis sendiri sodorkan. Lalu, di sisi mikrofon panggung, kami berpelukan dan melirihkan di telinga masing-masing, “Kita adalah saudara”. Lirih di bibir, tetapi lantang di pengeras suara.
Namun, apa yang terjadi kemudian, hingga detik ini? Semua seniman, bahkan banyak pihak mafhum, kondisi kebudayaan bukannya justru meningkat dan hangat, malah kian suram dan mengimpit seperti tergambar dalam paparan di atas. Masyarakat seni budaya Jakarta telah terjerat janji Wagub Djarot, dan sebagai pihak —yang memang selalu lemah— mereka (para seniman) tak berdaya, bahkan sekadar untuk menuntut kembali.
Berkali-kali masyarakat seni-budaya Jakarta, termasuk melalui Deputi Gubernur Sylviana Murni, mengajukan usulan untuk melakukan dialog langsung dengan pemimpin tertinggi DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, untuk memberi masukan, bekerja sama membangun Jakarta sebagai kota budaya, kota acuan artistik Indonesia dan ASEAN. Namun, hingga hari ini tidak kesampaian. Sang deputi yang paling kerap diminta mewakili, tentu saja, memberi banyak janji. Namun, janji itu gagal dan tinggal menjadi mimpi.
Dalam Pilkada DKI mendatang, mungkin duo Ahok-Djarot akan memenangi pemilihan dengan mudah, begitu perkiraan banyak orang, termasuk saya. Petahana itu boleh jadi keras pendirian dan kasar retorikanya, tapi lebih mulia dari itu semua, ia memiliki satu kualitas utama: jujur. Satu nilai universal yang mendasari moralitas, yang begitu langka di kalangan elite kita belakangan ini. Nilai yang jauh lebih penting ketimbang wajah ramah, halus, santun tetapi menyembunyikan kemunafikan, kebohongan dan ambisi yang jauh lebih keras, kasar, bahkan manipulatif dan koruptif.
Namun, apakah lalu Jakarta harus menerima nasib sebagai kota budaya yang remuk dan terpuruk, setengah abad setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan, dan puluhan tahun lagi saat —sesuai prediksi hingga ramalan— gubernur petahana menjadi penguasa utama negeri, entah sebagai presiden atau wakilnya? Saya harus tegas menyatakan: tidak boleh dan tidak bisa! Mari kita sama membuktikannya.
Radhar Panca Dahana,
Budayawan
KOMPAS, 29 September 2016
No comments:
Post a Comment