Saya berada di tengah massa pengunjuk rasa yang jumlahnya mungkin tiga kali lebih besar dari demo politik saat reformasi 20 Mei 1998 di halaman gedung DPR/MPR yang dijuluki sebagai people power Indonesia. Saya terharu melihat kehati-hatian para pemuda yang berdemo itu. Terlalu sering saya mendengar seruan para satgas: “Awas, jangan menginjak-injak rumput”, “Hei, hei, jangan menginjak tanaman,” juga seruan “Hati-hati, hati-hati, provokasi.”
Karena itu, di pengujung demo ketika terjadi pembakaran tiga mobil polisi, saya yakin, kejadian itu mustahil dilakukan demonstran. Mereka tulus dan tampak gembira sambil saling mengingatkan bahaya provokasi dari luar. Di samping pekikan takbir, lagu-lagu perjuangan juga terus diperdengarkan.
Umat Islam Indonesia tetap menjunjung tinggi Merah-Putih, tetap setia kepada NKRI.
Kita juga melihat bendera merah putih ukuran raksasa dibentangkan di atas kepala ribuan pendemo yang berkerumun di Bundaran BI (Bank Indonesia). Allahu Akbar !!! Kesetiaan pada agama dan cinta Tanah Air dari lautan manusia itu membuat banyak mata berkaca-kaca. Bahkan, banyak ibu-ibu yang mengusap air mata yang mengalir di pipi mereka.
Bung Jokowi, rasanya demo Aksi Damai 4 November lalu adalah demo terbesar yang pernah terjadi di persada Indonesia. Oleh karena itu, sekali-kali jangan Anda remehkan! Dari Maluku sampai Aceh, dari Medan sampai Malang, dari Solo sampai Makassar, dari semua kota besar dan mungkin semua kabupaten di Indonesia, masyarakat bergerak ikhlas dan spontan menuntut hal yang sama: Adili Ahok, penista Al-Quran dan penghina ulama, secepat mungkin.
Tokoh Reformasi 1998 dan mantan Ketua MPR-RI, Dr. Amien Rais pun turun gunung untuk ikut serta dalam Aksi Damai 4 November 2016.
Tidak mungkin ada seorang tokoh dengan kharisma sehebat apa pun, tidak ada koodinator lapangan (korlap) dengan biaya sebanyak apa pun, dan tidak ada kekuasaan yang berasal dari mana pun yang dapat menggerakkan jutaan anak bangsa dengan tuntutan yang sama.
Bung Jokowi, saya yakin Aksi Damai 4 November itu digerakkan para malaikat. Ramalan cuaca Badan Meteorologi mengatakan 4 November akan ada hujan lebat. Ternyata? Mendung merata melingkupi Jakarta sehingga demonstran ikut sejuk hatinya, di samping memang sudah diniatkan sejak awal harus menjadi demo sejuk dan damai.
Sesuai ramalan ilmiah BMKG, harusnya Jakarta mengalami hujan dan petir di Jumat siang. Namun tidak ada gerimis, tidak terlihat kilat petir dan halilintar, apalagi geluduk yang sering membarengi hujan lebat. Manusia boleh meramal, tapi takdir Allah yang berjalan.
Apakah ini sekedar fenomena alam yang kebetulan dan biasa saja? Wallahu a'lam.
Bung Jokowi, saya dapat sepenuhnya memahami, bila ratusan ribu (ada yang memperkirakan sekitar satu juta orang) peserta Aksi Damai 4 November itu sangat kecewa dengan Anda. Bukankah Anda Presiden mereka juga?
Mengapa Anda memilih menghindar dan pergi ke bandara melihat-lihat hal sepele yang bisa Anda tunda kapan saja? Mengapa Anda menggunakan teknik prokrastinasi (mengulur-ulur waktu), mengabaikan hal mendesak yang harus segera diatasi dan mengalihkan perhatian ke sasaran lain yang jelas dapat ditunda?
Ketika kita kaget saat demo tanggal 14 Oktober lalu di depan Balai Kota dan Kantor Bareskrim yang menghadirkan puluhan ribu orang, dengan tuntutan yang Anda tentu sudah mafhum, tiba-tiba Anda menggebu bicara pungli. Pungli! Teknik prokrastinasi itu ternyata kandas.
Mestinya Bung Jokowi tidak mengulangi teknik yang sama menghadapi demo Aksi Damai 4 November, yang menurut saya, sudah sampai ke tahapan unstoppable. Tidak mungkin lagi dapat dihentikan. Dengan memakai teknik apa pun, apakah dengan ancaman, hardikan, dengan iming-iming berbagai janji yang membius, yakinlah, semuanya akan kandas.
Setelah Anda kabur menghindar, akhirnya Anda berjanji, “...bahwa proses hukum terhadap saudara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan dilakukan secara tegas, cepat, dan transparan.” Kemudian, Anda mengatakan sesuatu yang melegakan, “Biarkan aparat keamanan menyelesaikan proses penegakan hukum seadil-adilnya.” Dus, penegakan hukum atas skandal Ahok memang harus tegas, cepat, transparan, dan adil.
Bung Jokowi, satu hal penting harus saya ingatkan. Dalam kehidupan orang Jawa, harga diri keluarga dan harga diri menyangkut hak milik kita, wajib dilindungi. Guru bahasa Jawa saya di SMP Muhammadiyah Solo menyuruh murid-muridnya menghafal di luar kepala selusinan pepatah-petitih Jawa. Antara lain: “sadumuk bathuk sanyari bumi, pecahing dada, wutahing ludira, ditohi pati.”
Karena Anda juga lahir dan besar di Solo, guru bahasa Jawa Anda tentu juga mengajarkan hal ini. Bila satu atau dua jari lelaki lain berani sembarangan memegang dahi istri kita (sadumuk bathuk), orang Jawa akan mengambil risiko dadanya terbelah dan darahnya tumpah, bahkan nyawa pun dipertaruhkan untuk melindungi kehormatan keluarga. Demikian juga bila sejengkal tanah miliknya (sanyari bumi) diserobot orang lain.
Para peserta demo Aksi Damai 411, berkumpul di Masjid Istiqlal untuk menjalankan Shalat Jumat.
Bung Jokowi, orang beriman menempatkan Allah, Rasul, dan Kitab Suci-Nya jauh di atas sadumuk bathuk, sanyari bumi tersebut. Al-Quran surat At-Taubah ayat 24 dengan jelas menerangkan, bila kaum beriman mencintai bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga dekat, harta kekayaan mereka, perniagaan yang ditakuti ruginya, sampai rumah yang disenanginya ternyata lebih besar dari cintanya pada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka mereka dipersilakan menunggu keputusan (palu godam) dari Allah.
Bung Jokowi, lautan manusia yang berdemo di depan Istana 4 November lalu sedang mengekspresikan kecintaan puncaknya pada agama mereka. Kami bukannya tidak tahu kesulitan Anda menghadapi skandal Ahok itu. Ibarat menghadapi buah simalakama, mungkin tepat sebagai analogi posisi Anda menghadapi skandal Ahok. Memang sangat dilematis.
Bila Anda dorong proses hukum yang tegas, cepat, transparan dan adil, dan hasil logisnya Ahok terkena hukuman badan, maka sejumlah pemodal yang cukup digdaya yang mungkin telah banyak membiayai kampanye Anda sewaktu maju di Pilkada Jakarta dan kemudian Pilpres 2014, akan marah besar.
Karena itu, Anda jadi gamang. Ahok adalah kunci awal untuk melicinkan rencana besar mereka buat negara kita. Ini hipotesis saya.
Ratusan ribu umat Islam peserta demo Aksi Damai 411 nampak menyemut di sekitar Bundaran BI (Bank Indonesia), Jakarta.
Sebaliknya, bila Ahok lolos dari jeratan hukum karena praktik hukum di Indonesia yang sering masih bisa dibengkak-bengkokkan, sebagian rakyat (sebagian besar rakyat, saya yakin), akan membuat perhitungan dengan Anda. Dengan kata lain, people power yang dikhawatirkan banyak kalangan akan bisa menjadi kenyataan.
Akhirnya, Bung Jokowi, saya harap dalam situasi pelik ini sisa-sisa jiwa petarung Anda dapat muncul lagi. Anda dulu, sebagai Walikota Solo berani menentang keinginan pemodal besar yang ingin membangun mall di atas lahan bangunan kuno bekas pabrik es Saripetojo.
Alasan Anda tegas: keberadaan mall bisa menggerus rezeki rakyat kecil yang sudah puluhan tahun berdagang di sekitar lokasi. Malah bangunan pabrik es itu (didirikan pada 1888) layak dijadikan cagar budaya.
Dan jiwa petarung Anda muncul lagi setelah jadi Presiden. Anda tetap melaksanakan hukuman mati kepada 10 orang bandar narkoba, semuanya asing, kecuali satu. Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, Anda berprinsip sekalipun ada 1.000 negara lain dan 1.000 Sekjen PBB yang mengancam, hukuman mati akan tetap dilaksanakan. We were proud of you.
Presiden Jokowi tak mau menemui delegasi pimpinan demo Aksi Damai 411 dengan alasan sedang meninjau proyek di Bandara Soetta, Cengkareng. Baru pada dini hari beliau menyampaikan pidato singkat setelah terjadi sedikit kericuhan di depan Istana.
Ayo, Bung Jokowi, kali ini tunjukkan lagi jiwa petarung Anda. Jangan sampai muncul people power di Indonesia gara-gara seorang Ahok. Anda tahu, di Amerika Latin, di Timur Tengah dan di Asia tidak ada satupun kepala negara yang dapat mengalahkan people power rakyatnya. Kita sudah dua kali menyaksikan itu di Indonesia. Pada 1966 dan 1998.
Saya yakin Anda bisa. Dengarkan baik-baik masukan dari berbagai kalangan, jangan hanya mendengarkan orang-orang di sekeliling Anda yang pasti bermental ABS (Asal Bapak Senang). Seorang pemimpin runtuh biasanya karena masukan picik dari orang-orang sekeliling sang pemimpin. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang berpikir jangka pendek dan telah kehilangan wawasan jangka panjang, sehingga buta, tuli, serta pekok terhadap kepentingan nasional bangsanya.
Bung Jokowi, hari sudah menjelang pagi. Bangun, bangun, bangun ...!!!
Amien Rais,
Tokoh Reformasi 1998 dan Mantan Ketua MPR
REPUBLIKA, 8 November 2016
No comments:
Post a Comment