Artikel Zulifan pada dasarnya bersifat deskriptif. Alih-alih mengambil posisi tertentu secara tegas, Zulifan lebih suka memberikan gambaran tentang berbagai pandangan yang ada dalam politik Islam serta tafsir-tafsir Al-Quran dari ulama klasik mengenai pemimpin Islam. Dari segi akurasi isi, tak banyak yang bisa dikritik. Artikel Zulifan pada prinsipnya sudah bagus dan sangat membantu bagi para pembaca yang masih awam mengenai konsep politik Islam. Beberapa poin penting seperti belum adanya kesepakatan diantara para ulama dan pemikir Islam mengenai bentuk "negara" Islam atau sistem politik seperti apa yang paling pas dengan Islam (misalnya apakah demokrasi sesuai dengan Islam atau tidak) layak untuk disampaikan sebagai pendidikan kepada publik sehingga kita tidak terjebak dalam ide bahwa hanya ada satu pemikiran tunggal dan absolut dalam Islam mengenai politik dan negara.
Surat Suara bergambar partai-partai dalam Pemilu Indonesia tahun 1955.
Tapi kekuatan artikel Zulifan tersebut sebenarnya juga sekaligus mengandung kelemahan. Dengan sifatnya yang deskriptif dan umum, Zulifan tidak memberikan kajian lebih jauh dan mendalam mengenai konsekuensi dari berbagai aliran pemikiran politik Islam yang ada, baik di masa lalu maupun saat ini. Padahal sebenarnya konsekuensi pemikiran politik ini perlu diperdalam supaya kita tidak sekedar mengambil keputusan atau pendapat hanya karena si fulan berpendapat ini atau itu, melainkan karena telah kita pikirkan secara mendalam alasan-alasan yang berada di belakang pemikiran si fulan tersebut. Hal ini saya pikir ada korelasinya dengan fenomena yang dibahas oleh Zulifan dalam artikelnya, yaitu tentang rendahnya perolehan suara partai Islam di Indonesia dan tren suara mereka yang justru menurun sejak pemilu tahun 1955 walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Mengapa ini bisa terjadi?
Ada 2 faktor yang berpotensi untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, terdapat masalah internal dalam teori politik ala Islam (sebagaimana akan dibahas di bawah ini) sehingga pada akhirnya menjadi kurang laku di mata pemilih. Kedua, umat Islam di Indonesia bisa jadi enggan berinvestasi untuk mempelajari agamanya sendiri secara mendalam (hal mana pernah saya bahas dalam artikel saya sebelumnya, Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama). Karena malas berinvestasi, pemikirannya tidak komprehensif dan cenderung reaktif, semuanya serba instan. Partai politik yang rasional menangkap gejala tersebut dan kemudian memutuskan untuk mendulang suara berdasarkan pendekatan reaktif. Dalam jangka dekat, ini mungkin strategi yang efisien. Namun dalam jangka panjang? Ujung-ujungnya akan menjadi lingkaran setan yang membuat politik Islam tak kunjung lepas landas.
Apabila kita baca uraian Zulifan tentang berbagai teori politik Islam, hal-hal yang umumnya diributkan oleh berbagai pemikir ini bersifat sangat abstrak. Seperti apakah ide dan tujuan suatu negara, apakah negara bisa dipisahkan dari agama, apakah demokrasi sesuai dengan Islam, tipe dan persyaratan penguasa yang ideal, bentuk negara yang pas, mekanisme pemilihan pemimpin, dan sebagainya.
Amerika Serikat (USA), di antara politik, demokrasi dan uang. Siapa yang menang?
Isu-isu di atas pada prinsipnya masih relevan dalam memikirkan bagaimana caranya memberikan kemaslahatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat yang digadang sebagai tujuan utama dari politik Islam. Pertanyaan-pertanyaan itu pun sampai sekarang masih dicoba untuk dijawab oleh banyak ahli politik dan ahli hukum di planet ini. Founding Fathers Amerika Serikat sendiri mengakui bahwa ketika mereka memperkenalkan teori demokrasi mereka, mereka sedang melakukan eksperimen besar yang sampai sekarang pun belum selesai.
Masalah terbesar teori politik Islam bukanlah karena mereka menanyakan pertanyaan yang salah, tetapi karena teori-teori tersebut berhenti bereksplorasi lebih jauh dan malas menerjunkan diri ke dunia empiris dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tersebut. Teori politik Islam diasumsikan dapat menjawab semua permasalahan di muka bumi karena berasal dari nilai-nilai Islam yang dianggap mencakup segala macam bidang secara komprehensif.
Tetapi tanpa menguji efektivitas teori-teori tersebut di lapangan, atau setidaknya memikirkan konsekuensi aktual dari teori-teori tersebut, bagaimana caranya kita tahu bahwa teori-teori tersebut benar-benar mumpuni dan baik bagi seluruh anggota masyarakat? Saya pikir ini dikarenakan kita terlena dengan klaim bahwa Islam adalah sempurna (Al-Maidah: 3) dan hukum Islam adalah hukum yang terbaik (Al-Maidah: 50), sehingga sebagian besar dari kita merasa tidak perlu lagi ada yang dibuktikan, bahwa seharusnya semua orang wajib tahu dan mengakui hal itu dari lubuk hatinya yang paling dalam secara otomatis.
Tetapi dunia tidak berjalan sesederhana itu. Semakin dahsyat klaim kita, semakin sulit sebenarnya untuk membuktikan hal tersebut dalam prakteknya. Tanpa alur pemikiran yang konsisten, klaim itu akan berbalik menghantui kita.
Video Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pulau Seribu yang dianggap kontroversial dan akhirnya menggemparkan umat Islam di seantero negeri.
Ambil contoh kasus yang sedang marak, tentang kewajiban kaum Muslim untuk memilih pemimpin Islam sebagaimana diungkapkan dalam surah Al-Maidah: 51. Berbagai tafsir yang dikutip oleh Zulifan dalam artikelnya sudah memberikan gambaran secara umum tentang bagaimana para ulama zaman dahulu berpendapat soal status kepemimpinan non-Muslim. Jangankan menjadi pemimpin, menurut berbagai tafsir tersebut, menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai kawan setia pun sebenarnya bermasalah (hal ini karena memang dari berbagai tafsir yang ada, istilah awlia dalam Al-Maidah tidak terbatas merujuk pada "pemimpin", tetapi lebih ke "teman setia" yang pengertiannya lebih luas, dan istilah ini tidak hanya sekali saja digunakan dalam Quran sebagaimana dibahas di bawah ini).
Hal ini juga dipertegas dalam surah Ali Imran: 118, dimana disebutkan pula bahwa orang kafir senantiasa membenci orang Muslim baik di mulut maupun di hati. Dalam tafsir Ath-Thabari atas ayat tersebut disebutkan bahwa orang kafir tidak tahan untuk tidak menimbulkan keburukan bagi kaum Muslim dan bahwasanya bersahabat dengan mereka akan menimbulkan mudharat alias kerusakan.
Pengecualiannya adalah apabila kita sedang bersiasat untuk menghindari sesuatu yang kita takuti dari kaum kafir sebagaimana dimuat dalam surah Ali Imran: 28 (Artikel Zulifan tidak menuliskan sumber ayat Quran mengenai pengecualian tersebut). Tafsir-tafsir yang dikutip oleh Zulifan menjelaskan bahwa pengecualian ini adalah dalam konteks ketika kita khawatir akan keselamatan jiwa kita, atau misanya sepanjang orang kafir tersebut tidak menjajah atau menumpahkan darah kita. Intinya sepanjang hati kita tetap beriman, walaupun lisan berbeda demi keselamatan, maka itu sah-sah saja. Pragmatisme Islam memang selalu membuat saya terkagum-kagum. Dalam situasi dimana ada orang yang mengaku Muslim tetapi sebenarnya hanya di lisan, maka ia dikategorikan munafik, tetapi kalau dibalik situasinya, maka itu disebut taqiya, dan sah-sah saja. Ini tipe moralitas pragmatis dan konsekuensialis, bukan deontologis.
Dalam hal ini, larangan tersebut terkait dengan hubungan dengan non-Muslim secara mendalam tetapi tidak meliputi sekedar interaksi dan perdagangan biasa tanpa pembauran hubungan yang mengakar. Sementara itu dalam tafsir Al-Misbah oleh Quraish Shihab, walaupun mengakui keluasan istilah awlia dalam Al-Maidah, Quraish Shihab memandang bahwa larangan menjadikan orang kafir sebagai teman setia dan pemimpin tidaklah mutlak, namun hanya bila orang kafir tersebut memerangi atau merugikan kaum muslimin dengan merujuk pada surah Al-Mumtahanah: 9.
Berdasarkan pembahasan di atas, mungkin akan ada banyak orang yang menyatakan bahwa isu dalam ayat-ayat di atas beserta tafsirnya sudah jelas. Jelas haram memilih pemimpin non muslim, termasuk di Indonesia, dan bahwa mereka yang masih mendukung orang-orang non-muslim adalah bagian dari orang kafir. Tapi benarkah ayat dan tafsiran ayat tersebut sudah sangat jelas, sejelas matahari terik di siang hari tak berawan di musim panas tanpa hujan?
Kalau kita analisis lebih jauh, sesungguhnya belum jelas benar apa yang sebenarnya dimaksud dengan istilah "pemimpin". Sebagaimana diungkapkan oleh Zulifan sendiri, kalau konsep bentuk negara saja masih diperdebatkan dalam teori politik Islam, bagaimana caranya kita bisa menentukan definisi pemimpin yang tepat? Ambil contoh kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah karangan Imam Al-Mawardi yang terkenal itu. Sistem yang diusung oleh Al-Mawardi adalah khilafah dan yang boleh menjadi Khalifah adalah bukan saja wajib orang Muslim, tapi juga harus keturunan Quraisy (menurut Al-Mawardi, nash terkait persyaratan tersebut sudah sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan kecuali oleh orang-orang yang nyeleneh). Bagaimana caranya menerapkan aturan demikian di Indonesia?
Al-Mawardi dan karyanya yang terkenal: "Al-Ahkamus-Sulthaniyah".
Atau karena kita sekarang sedang meributkan posisi gubernur? Mari kita lihat bagaimana Al-Mawardi menggambarkan posisi tersebut. Gubernur suatu propinsi dalam versi Al-Mawardi bertugas untuk antara lain mengelola pasukan, memutuskan hukum dan mengangkat hakim, menarik pajak, melindungi agama, menegakkan hudud, dan menjadi imam dalam shalat Jumat.
Jadi yang menjadi gubernur harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: (i) adil, (ii) memiliki ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus hukum, (iii) sehat inderawi, (iv) sehat organ tubuh, (v) wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat, (vi) berani dan ksatria, (vii) dan memiliki keahlian khusus di bidang yang ditanganinya, misalnya perpajakan dan perang. Dalam konteks demikian, wajar kalau yang menjadi gubernur harus orang Islam, bahkan bukan sekedar orang Islam, karena dia juga harus menjadi ahli hukum Islam. Lantas apakah persyaratan tersebut terpenuhi kalau kita terapkan di Indonesia dan apakah jabatan gubernur di Indonesia serupa dengan ide gubernur versi kitab fiqh klasik?
Atau mungkin karena ini terlalu klasik? Bagaimana dengan pendekatan yang sedikit lebih modern? Merujuk pada buku Teori Politik Islam oleh Dhiauddin Rais, Profesor dari Universitas Kairo, persyaratan untuk menjadi gubernur antara lain adalah: (i) berilmu dengan memenuhi kualifikasi untuk melakukan ijtihad baik di level ushul (pokok) maupun furu' (cabang), (ii) mengetahui ilmu politik, perang dan administrasi, (iii) kondisi jiwa raga yang baik, (iv) berlaku adil dan berakhlak mulia, dan (v) memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh (muslim, bebas/bukan budak, laki-laki, dan berakal).
Dengan demikian, persyaratannya belum banyak berubah dalam 1.000 tahun terakhir ini. Tapi bagaimana caranya menemukan manusia super dan paripurna semacam itu dalam prakteknya? Orang yang layak menjadi gubernur dalam teori ini haruslah ahli hukum Islam, ahli ibadah, ahli ekonomi, tentara, hatinya putih bersih dan kemungkinan besar badannya harus six-pack. Mungkin akan lebih menarik seandainya ada yang berminat melakukan kajian empiris dan memberikan catatan dari sedemikian banyaknya gubernur dan menteri di zaman kekhilafahan dulu, seberapa banyak orang yang memenuhi kriteria di atas dan kalau benar zaman dulu kekhilafahan Islam dipenuhi dengan manusia-manusia paripurna di atas, bagaimana mungkin kekhalifahan bisa bubar semengenaskan itu?
Tarikh Thabari sebuah karya dari Ibnu Jarir ath-Thabari.
Melanjutkan kerancuan definisi pemimpin ini, Ath-Thabari menyatakan bahwa orang muslim yang mengangkat orang kafir sebagai pemimpin telah mengikuti agama pemimpinnya itu. Hal ini dikarenakan agamanya otomatis sama dengan agama pemimpin itu dan ia meridhai agama pemimpinnya, dan orang yang memeluk suatu agama akan tunduk pada aturan agama tersebut. Dengan demikian, dalam versi Ath-Thabari, jurisdiksi hukum, terkait murni dengan agama seseorang. Ini teori hukum klasik yang sangat awam pada zaman Ath-Thabari, mengingat konsep negara modern belum ada dan Islam bermula sebagai perkumpulan yang berbasis agama. Maka tidak mengherankan apabila teori jurisdiksi yang dibangun pun berbasis agama. Umat mengikuti agama pemimpinnya. Pertanyaannya lagi, apakah ini sesuai dengan konsep negara di Indonesia saat ini? Apakah memang kita senantiasa otomatis selalu mengikuti agama pemimpin kita?
Isu yang tak kalah pentingnya, ayat-ayat yang saya sampaikan di atas sangat konfrontatif dengan umat non-Muslim. Kaum kafir digambarkan sebagai musuh-musuh kita yang selalu siap untuk melahap kita ketika kita sedang lengah. Dari fakta inilah mengapa beberapa ulama kontemporer mencoba menafsirkan bahwa konteks ayat-ayat di atas adalah khusus pada masa perang sehingga wajar bernuansa konfrontatif. Tetapi tentu saja ada juga ulama yang berpendapat bahwa keumuman lafaz mengesampingkan kekhususan sebab (misalnya untuk Al-Maidah: 51 yang asbabun nuzul-nya diceritakan terkait dengan peristiwa kekalahan umat Muslim di perang Uhud), dan dengan demikian beranggapan bahwa ayat-ayat di atas bersifat universal. Tidak sulit untuk mencari contoh pendapat tersebut di masa klasik karena memang mayoritas berpendapat demikian.
Yang penting bagi kita sekarang adalah memikirkan konsekuensinya apabila kita menerima tafsir demikian seutuhnya dan dengan segenap hati. Ini bukan isu kecil dan saya tidak sepakat dengan klaim Zulifan bahwa kita bisa santai saja melihat keberadaan tafsir ini tanpa harus mengganggap bahwa mereka salah sama sekali.
Dan karena teman setia dan pemimpin definisinya tak jelas, dan kita juga hendak menjauhi syubhat atau keragu-raguan sehingga kita bisa menjalankan Islam secara kaffah, mengapa berhenti hanya di level gubernur? Hal yang sama harusnya berlaku dari mulai level ketua RT, ketua RW, lurah, bupati/walikota, gubernur, pejabat BI, hakim agung, hakim konstitusi, menteri, kepala departemen dan Presiden.
Ketika Al-Mawardi menyatakan bahwa orang kafir boleh menjabat sebagai menteri pelaksana (ada 2 tipe menteri dalam teorinya, menteri pelaksana dan menteri penuh), hal ini dikarenakan kewenangan menteri pelaksana sangat terbatas, tak bisa memutuskan hukum, tak bisa mengelola anggaran sendiri, dan tidak bisa mengangkat pegawai. Dalam konteks demikian, tidak ada menteri pelaksana di Indonesia, konsekuensinya kalau kita sepakat dengan Al-Mawardi, menteri dan pejabat kafir pun seharusnya haram di Indonesia.
Pun mengapa kita mesti berbisnis dengan orang kafir? Apalagi bekerja di bawah orang kafir (memangnya bos bukan teman setia, dia yang menggaji anda dan menjadi topangan hidup anda lho?) Yakinkah kita bahwa berbisnis dengan mereka tidak membuat kita lama-lama nantinya berteman baik dengan mereka? Awalnya bisnis, lalu menjadi teman yang saling mempercayai, dan akhirnya pindah agama? Bukankah secara universal orang kafir tak bisa dipercaya? Mungkin ini kenapa Indonesia tidak maju-maju, karena negara kita masih dihuni orang kafir dan kita masih mau bersahabat dengan mereka. Pertanyaannya, benarkah ini tafsir yang hendak kita usung sebagai nilai yang agung dari Islam? Inikah tafsir yang akan kita jual ke khalayak ramai sebagai wajah Islam yang asli di dunia modern?
WARNING !!! Jangan saling injak dan saling sikut, tapi bergotong-royonglah !!
Mungkin sampai di sini akan ada yang berpendapat bahwa menafsirkan Al-Maidah: 51 seperti di atas sudah kelewatan, berlebihan. Ini cuma soal pemimpin sebenarnya (apapun definisinya), tak sampai sejauh itu soal teman setia. Masalahnya ini bukan ide saya, saya hanya mengutip tafsir-tafsir yang sudah ada dari zaman dahulu kala, dan bahkan masih diulang di versi resmi tafsir Departemen Agama sendiri. Tinggal isunya mau kita terima penjelasan seperti itu bulat-bulat atau mau kita renungkan lebih jauh?
Inilah yang akan membawa kita ke pertanyaan berikutnya yang tak kalah krusial, ketika seseorang memilih suatu tafsir atau pendapat, apa sebenarnya yang melatarbelakangi penerimaan ia atas tafsir tersebut? Apakah karena benar-benar memahami semua konsekuensinya atau hanya sekedar karena tafsir itu dibuat oleh ulama zaman dulu yang diasumsikan benar dan terjaga karena sanad-nya sampai ke Nabi? Atau karena itu semua merupakan pendapat mayoritas! Atau bagaimana?
Sebagai contoh, saya sempat melihat tulisan yang menyatakan bahwa karena mayoritas tafsir klasik terkait Al-Maidah: 51 adalah ditujukan pada larangan memilih pemimpin non-Muslim, maka pendapat ini menjadi pendapat yang valid dan wajib dihormati. Dengan demikian apabila seseorang menyatakan bahwa pendapat atau tafsir ini sebagai suatu kebohongan, ia telah melakukan kejahatan besar.
Dengan logika yang sama, siapapun yang menghina dan mengutuk ISIS karena telah memperbudak kaum Yazidi serta menjadikan wanita dan anak-anaknya sebagai budak seks pun patut dianggap menghina Islam. Bukan apa-apa, tindakan yang dipraktekkan oleh ISIS adalah sesuatu yang lumrah dan halal dalam hukum Islam. Tawanan perang dapat dijadikan budak dan budak halal digauli (baca: diperkosa) oleh tuannya. Pendapat ini juga pendapat mayoritas, bukan pendapat minoritas, bahkan mungkin sudah masuk level Ijma’ sebagaimana diklaim oleh Ath-Thabari dalam kitabnya tentang jihad (bahkan menurut Ath-Thabari, sekalipun wanita dan anak-anak itu kemudian masuk Islam, tidak mengubah statusnya dari budak menjadi merdeka). Apakah karena pendapat ini mayoritas, maka pendapat ini menjadi valid dan layak dihormati?
Bisa jadi ada yang berpendapat bahwa perbudakan sudah dilarang berdasarkan Hadits Bukhari No. 2227 Vol. 3 yang menyatakan bahwa Nabi akan menjadi musuh dari orang yang menjual orang bebas untuk menjadi budak dan memakan harganya. Tetapi sayangnya Hadits tersebut hanya satu dari total 7.000 lebih Hadits dalam kitab Bukhari, sifat sanksinya pun di akhirat sehingga tidak ada hukuman nyata, dan tidak melarang secara tegas praktek perbudakan. Pun di Hadits lainnya tetap dimungkinkan untuk memperbudak manusia lain melalui perang, misalnya Hadits Bukhari No. 2229. Pendapat kebolehan memperbudak via perang ini pun disetujui oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab fiqh kontemporernya.
Umumnya ulama-ulama kontemporer berpendapat bahwa aturan perbudakan sifatnya temporal dan sedari awal menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu ayat-ayat dan aturannya harus dimaknai secara kontekstual, toh Islam telah mengangkat derajat perbudakan dan memang sedari awal perbudakan sudah direncanakan untuk dihapuskan.
Namun isunya adalah, bukti di lapangan maupun teks-teks Quran dan Hadits tidak menunjukkan demikian. Alih-alih hilang dalam sekejap, perbudakan di dunia Islam berlangsung ribuan tahun dan dianggap biasa-biasa saja selama itu. Benar, seorang budak bahkan bisa menjabat posisi di pemerintahan tertentu (sangat terbatas) seperti dalam kitab Al-Mawardi, tetapi status budaknya tidak hilang, seorang budak bisa setiap saat diperjualbelikan layaknya barang dan tetap dianggap setengah manusia (karena nilai diyat-nya lebih rendah dari orang merdeka). Bidayatul Mujtahid yang ditulis 600 tahun setelah Islam muncul, juga santai saja membahas jual beli budak sebagai business as usual, bahkan kitab itu justru meributkan jual beli kucing dan anjing yang menjadi bahan perdebatan ulama antar mazhab (yaitu apakah masuk kategori haram atau makruh untuk diperjualbelikan).
Salah satu lukisan tentang perbudakan di Negeri Sahara.
Yang sering dilupakan oleh orang-orang adalah bahwa ketika kita akhirnya menerima ide bahwa perbudakan harus diharamkan, ada lompatan keyakinan yang sangat besar di situ. Ada banyak ayat Quran yang tegas menyatakan jangan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Yusuf Qardhawi berargumen bahwa mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan sebaliknya sudah masuk kategori syirik-nya kaum Jahiliyah dengan merujuk kepada surah Al-Maidah: 103-104 dan Al-A'raf: 32-33. Dengan demikian, menurutnya, kasus penghalalan dan pengharaman ini adalah isu fundamental yang terkait dengan keimanan itu sendiri. Sebagai catatan, Al-Qardhawi tidak membahas tentang kasus perbudakan dalam bukunya yang fenomenal, Halal dan Haram dalam Islam.
Apabila kita setuju dengan tafsiran Al-Qardhawi di atas, bagaimana caranya kita bisa menyatakan bahwa perbudakan haram, bahwa tindakan ISIS adalah tindakan yang layak dikutuk dan dinistakan, sementara Quran memperbolehkan perbudakan? Bagi sebagian orang ini mungkin menimbulkan apa yang disebut dengan cognitive dissonance, atau bahasa sederhananya, "bingung". Kalau kita sepakat bahwa apa yang sudah jelas dalam Quran adalah benar, sempurna dan tidak bisa diperdebatkan lagi, maka aturan perbudakan memang seharusnya tidak boleh diubah, dan mengharamkan perbudakan adalah dosa besar.
Ini mengharuskan kita untuk mengajukan sebuah pertanyaan yang maha penting. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan sempurna dan terbaik? Meminjam definisi dari American Heritage Dictionary, kata sempurna (perfect) berarti absolut dan benar dalam segala aspeknya, tanpa cela, tanpa kelemahan, tanpa kesalahan. Kata sempurna juga bisa berarti cocok untuk segala situasi. Yang satu sifatnya absolut dan jumud, yang satunya lagi fleksibel.
Kalau kita ambil definisi yang jumud, kepala kita akan pusing tujuh keliling untuk memastikan dan mencari dasar yang menunjukkan bahwa kehalalan perbudakan adalah baik dan benar sepanjang masa dari zaman Nabi sampai kiamat nanti. Kita juga harus memastikan bahwa secara empiris, tidak ada klaim Quran yang salah. Sebagai contoh, apabila kita menemukan bahwa ada satu saja orang kafir dari 7 miliar manusia di Bumi yang ternyata tidak menyimpan bara permusuhan dengan kita, maka ayat Quran dalam surah Ali-Imran: 118 tentunya akan menjadi salah, karena seharusnya semua orang kafir adalah musuh abadi kita, baik terang-terangan, maupun di balik selimut. Absurd kan kalau kita baca seperti ini?
Boko Haram dan ISIS mempraktekkan perbudakan pada kaum wanita.
Contoh lain yang tak kalah menarik adalah Hadits terkenal tentang tak akan beruntungnya suatu kaum yang dipimpin wanita. Sebagai bahasa propaganda, Hadits ini spektakuler dan sering digunakan kalau bukan selalu digunakan untuk menolak memberikan jabatan pemerintahan dalam bentuk apapun kepada wanita. Namun sebagai prediksi empiris, Hadits ini menimbulkan banyak pertanyaan. Lupakan sejenak soal analisis kontekstual Hadits tersebut yang katanya terkait dengan kerajaan Persia. Apabila kita berlakukan secara universal, Hadits tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pemimpin dan apa yang dimaksud dengan tidak beruntung. Apakah pemimpin ini harus di level khalifah, menteri, gubernur (atau jangan-jangan termasuk wakil gubernur)? Atau kalau di sistem non-Islam, presiden, perdana menteri, atau ratu? Lalu tidak beruntung ini apakah maksudnya negaranya hancur lebur, rakyatnya kelaparan dan masuk neraka, atau pemerintahannya amburadul? Kapan ketidakberuntungan ini muncul? Seketika setelah wanita diangkat menjadi pemimpin, seminggu kemudian, setahun kemudian, atau seratus tahun kemudian? Semuanya tidak jelas!
Kemudian kalau kita cek secara empiris, ada banyak negara dan wilayah yang dipimpin wanita dan katakanlah kita gunakan satu kriteria yang sama, misalnya GDP, atau tingkat literasi, atau tingkat kebahagiaan, dan sebagainya. Apabila ada satu saja negara atau wilayah yang dipimpin wanita yang ternyata baik-baik saja atau lebih baik dibanding ketika dipimpin seorang pria, maka Hadits tersebut akan otomatis salah apabila dimaknai secara literal dan universal. Jujur saja, saya tak berminat buang-buang waktu memastikan Hadits tersebut benar secara absolut karena susah sekali mempertahankan keabsolutannya. Lebih mudah menafsirkannya secara kontekstual dan membuatnya jadi aturan yang fleksibel.
Saya berharap kasus-kasus di atas bisa membuat kita berpikir lebih jauh bahwa ketika kita menelisik pendapat zaman dahulu, kita tidak boleh berhenti sekedar bahwa karena pendapat itu dikemukakan oleh ulama terkenal di zamannya, namun kita juga harus telaah konsekuensi dari pemikiran yang diusung. Jadi kita benar-benar harus paham ketika kita mendukung atau menolak argumen tersebut.
Berargumen bahwa kita ngikut saja apa yang ada karena kita tidak paham dan kurang belajar, sebenarnya menunjukkan bahwa memang kita tidak pernah menganggap penting untuk berinvestasi dalam soal agama. Jangan tutupi kemalasan kita dengan alasan penghormatan pada ulama zaman dahulu. Berkoar-koar penuh semangat memang gampang, nggak capek, tinggal teriak-teriak atau tulis pesan via whatsapp, jauh lebih mudah dibandingkan meneliti ratusan buku dan kitab yang kebanyakan sudah berdebu karena jarang disentuh. Itu pun juga kalau punya bukunya, mau menyediakan waktu, dan punya kemampuan bahasa untuk menelaahnya.
Tolong kembali ke realitas. Kita tidak akan maju kalau terus hidup dalam dunia teori konspirasi. Kalau setiap kritik dijawab dengan jawaban semacam ini: “perbaiki akhlak dulu, ah saya kurang tahu, kita hati-hati saja, kita ngikut saja sebagi orang beriman,” dsb, kemungkinan besar masa depan politik Islam akan suram.
Ilmu politik di Amerika Serikat misalnya sudah makin kuantitatif, penelitiannya berbasis data empiris dan para ahlinya dituntut belajar statistik secara mendalam. Model-model matematika baru telah banyak digunakan untuk menganalisis sistem politik dan demokrasi, mencari kelemahan-kelemahan sistem tersebut serta mekanisme yang bisa digunakan untuk memperbaikinya.
Debat filosofis dan hukum tentang bagaimana sistem demokrasi berjalan gegap gempita dilakukan. Ada sistem otokritik yang berjalan dengan kencang. Seni pemerintahan juga semakin canggih, penyusunan kebijakan publik berbasis data, manajemen yang efisien, Cost Benefit Analysis dan Behavioral Economics semakin merebak. Rakyat juga semakin demanding, mereka lebih ingin didengar, mereka juga ingin pejabat yang paham kemauan mereka.
Orang kan tidak bisa selamanya hidup di zaman batu dan pemimpin juga tidak bisa seenaknya hidup tanpa akuntabilitas. Boleh saja para ahli berdiskusi tentang syarat-syarat menjadi pemimpin yang baik, tetapi ketika puluhan ribu rakyat yang kecewa menggedor pintu istana karena ekonomi berantakan, persyaratan-persyaratan itu hanya akan jadi tong kosong yang nyaring bunyinya.
Ambil contoh ide bahwa demokrasi dianggap buruk karena memungkinkan hukum Tuhan diganti, sehingga kita seharusnya menggunakan sistem khilafah dan dewan ulama. Hati-hati, pahamkah kita tentang mana hukum Tuhan yang bisa diganti dan tidak bisa diganti? Apakah itu salah demokrasi ketika dewan ulama pun juga bisa melakukan hal yang sama?
Selain kasus perbudakan, kita bisa menganalisis kasus hukum perceraian dan poligami di Indonesia. Melalui Kompilasi Hukum Islam yang dibuat melalui musyawarah dengan para ulama Indonesia, suami tak bisa menalak istri tanpa melalui pengadilan agama dan tidak bisa kawin dengan istri kedua dan seterusnya tanpa persetujuan istri pertama.
Merujuk pada pandangan ulama klasik serta ayat-ayat Quran dan Hadits, tidak ada satupun dalil yang menyatakan secara tegas bahwa seorang lelaki perlu pergi ke pengadilan untuk menceraikan istrinya dan perlu meminta izin istri pertama untuk kawin lagi. Tapi dalam kenyataannya aturan itu berubah, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Iran, dan beberapa negara di Afrika. Apakah dengan itu ulama-ulama di Indonesia jadi tiba-tiba melanggar dan mengganti hukum Tuhan karena berpendapat demikian? Isunya tidak sesederhana itu dan melibatkan banyak teori penafsiran yang rumit.
Teori politik Islam tidak bisa menjadi alternatif baru kalau mereka terus berusaha melawan dunia yang semakin empiris dan real hanya dengan konsep murni iman saja. Bagaimana caranya menjamin bahwa sistem khilafah atau sistem pemerintahan non-sekuler lebih baik dari demokrasi? Yang mengurus pemerintahan kan orang-orang juga. Siapa yang bisa memastikan bahwa di bawah sistem khilafah atau negara non-sekuler, semua pejabat akan taat aturan, baik pada rakyatnya, murni memikirkan kepentingan umum, dan sebagainya? Allah SWT? Serius?
Tidak ada penjelasan mengenai check and balance, tidak ada bahasan mendalam mengenai insentif dan rasionalitas manusia? Kita hanya akan berasumsi bahwa semua manusia yang jadi pemimpin itu baik dan sempurna? Kita tidak akan membahas bagaimana caranya menemukan manusia-manusia paripurna yang layak menjadi pemimpin kita? Atau kita mungkin tidak mempertimbangkan kembali apakah persyaratan paripurna itu sebenarnya wajar atau tidak dalam prakteknya?
Islam itu artinya salam atau damai (peace).
Hallo, ada yang pernah baca sejarah tentang mengapa Khilafah Turki Ustmani runtuh? Tolong kesampingkan buku-buku yang menyatakan bahwa itu semua ulah konspirasi Yahudi. Karena kalau kita sepakat bahwa ini semua ulah konspirasi Yahudi dan kita yakin bahwa khilafah adalah sistem terbaik, berarti secara logika, kita harus menyusun sistem baru karena terbukti sistem terbaik kita itu ternyata tak sanggup melawan konspirasi segelintir orang Yahudi.
Lebih jauh lagi, tengoklah apa yang bisa dikontribusikan oleh teori politik Islam ke dalam negara Indonesia? Apa yang bisa ditawarkan untuk memperbaiki sistem politik dan juga sistem hukum di Indonesia? Yang realistis, bukan yang bombastis. Yang real, bukan yang penuh asumsi saja.
Semua orang juga tahu bahwa konsep negara itu seharusnya untuk menjaga kehidupan masyarakatnya, pertanyaannya, bagaimana caranya mencapai hal demikian, apa saja masalah-masalahnya, dan bagaimana menyelesaikannya? Memberikan jawaban dalam bentuk: sistem lain semuanya buruk atau bermasalah dan sistem Islam akan menyelesaikan semuanya tapi tanpa disertai penjelasan memadai, sebenarnya justru menghina intelektualitas kita.
Bagaimana caranya kita bisa meyakinkan banyak orang bahwa sistem kita adalah yang terbaik? Ini pertanyaan yang saya pikir membutuhkan perenungan jangka panjang dan disertai dengan perubahan paradigma yang signifikan. Dan inilah tantangan yang harus dijawab oleh teori politik Islam kalau memang sungguh-sungguh berniat untuk lepas landas dan memimpin dunia. Singkatnya, jalan masih panjang, bung!
Pramudya A. Oktavinanda
Advokat dan Kandidat PhD di University of Chicago Law School
pramoctavy.com, 24 Oktober 2016
No comments:
Post a Comment