Berdasar ide itu pula, negara tidak memberlakukan hukum agama, tetapi melindungi warganya yang ingin melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Oleh sebab itu hukum-hukum publik yang berlaku di Indonesia adalah hukum nasional yang merupakan produk eklektisasi (peleburan atau penyatuan nilai-nilai yang beragam di dalam masyarakat). Adapun hukum-hukum privatnya diserahkan kepada warga negara untuk memilih ketundukan dirinya sesuai dengan kesadaran hukum dan agama masing-masing.
Kalau meminjam istilah Nurcholish Madjid, hukum-hukum publik kita merupakan produk kalimatun sawaa (kesepakatan nasional) atau unifikasi tentang hal-hal yang menjadi concern bersama. Adapun untuk hukum-hukum privat seperti soal-soal ibadah ritual (shalat, kebaktian, pembaptisan) dan hukum keluarga (seperti perkawinan, waris, pemberkatan) berlaku hukum agama atau keyakinan masing-masing sesuai dengan fakta pluralitas kita.
Pada saat kita berada di kamar masing-masing kita boleh melakukan atau memakai apa saja yang tidak harus sama dengan penghuni-penghuni kamar yang lain, tetapi ketika kita berada di ruang tamu, kita harus kompak dan tunduk pada tata cara perilaku yang disepakati. Begitu pula jika kita berada di luar rumah, semua penghuninya harus memastikan rumah itu aman dari kerusakan dan perusakan. Pemahaman pluralisme yang seperti itulah yang dapat kita terapkan di rumah besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NKRI adalah rumah besar kita yang dibangun dengan fondasi Pancasila dan kita adalah para penghuninya yang memiliki kamar-kamar dengan beragam primordialitas masing-masing. Rumah NKRI terdiri atas 17.504 pulau, 252 juta penduduk, 1.360 suku, 726 bahasa daerah, penganut berbagai macam agama dan keyakinan, yang hidup tersebar di berbagai daerah dengan budaya dan adat istiadat masing-masing yang semuanya bersatu, diikat oleh Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity.
Setiap penganut agama dapat memperjuangkan aspirasi keagamaannya melalui proses politik yang demokratis, misalnya merebut kemenangan dalam pemilu agar para pemimpin dan wakil-wakil yang terpilih bisa membawa aspirasi keagamaan masing-masing dalam dan untuk pembuatan kebijakan negara. Pancasila yang melahirkan negara kebangsaan yang berketuhanan merupakan kesepakatan luhur (modus vivendi) yang dibangun oleh para pendiri negara.
Dari satu sudut ia bisa dilihat sebagai produk prismatika atau jalan tengah antara pandangan dua tokoh nasional muslim yang sama-sama santri, Bung Karno dan M Natsir, yang sudah berpolemik tentang hubungan antara negara dan agama sejak akhir tahun 1930-an. Pada satu sisi, demi kemajuan Islam itu sendiri, Bung Karno menginginkan dibentuknya negara kebangsaan sekuler seperti yang digagas Kemal Attaturk seperti yang berlaku di Turki, sedangkan M Natsir pada sisi lain mengusulkan dibentuk negara berdasar Islam karena Islam menyediakan ajaran yang bisa sesuai dengan sistem negara modern.
Haruslah diingat bahwa bernegara itu adalah berpolitik, sebab negara adalah organisasi politik tertinggi yang dimiliki suatu bangsa. Salah satu asal kata negara adalah polis (politik) yang berarti organisasi suatu bangsa untuk memutuskan policy (kebijakan, politik). Jadi secara yuridis konstitusional membawa agama dalam perjuangan politik sebagai proses bernegara adalah sah. Yang penting harus tetap dalam koridor Pancasila yang mendasari Indonesia sebagai negara kebangsaan yang berketuhanan.
Moh Mahfud MD,
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN),
Ketua MK-RI 2008-2013
KORAN SINDO, 1 April 2017
No comments:
Post a Comment