Setiap sistem politik harus mencapai keseimbangan di antara dua aspek fundamental: legitimasi dan efisiensi. Legitimasi menyangkut tingkat kepercayaan dan persetujuan rakyat pada lembaga kenegaraan dan kebijakannya. Efisiensi menyangkut seberapa cepat pemerintahan dapat menemukan solusi tepat dalam menjawab aspirasi dan masalah. Legitimasi berkaitan dengan dukungan rakyat, sedangkan efisiensi berkaitan dengan tindakan lugas (decisive). Demokrasi dikatakan sebagai bentuk pemerintahan paling sedikit keburukannya tiada lain karena usahanya untuk mencari keseimbangan yang sehat antara legitimasi dan efisiensi. Namun, demokrasi Indonesia saat ini justru diwarnai krisis keduanya: miskin legitimasi dan tak efisien, alias boros.
Sementara itu, krisis efisiensi demokrasi diindikasikan oleh kemerosotan daya respons dan daya produktivitas lembaga perwakilan dalam menyusun dan merealisasikan Program Legislasi Nasional. Kedua, kian lamanya kegaduhan dan waktu yang diperlukan untuk menegosiasikan urusan antara berbagai kepentingan di lembaga perwakilan dan kian besarnya potensi kebocoran keuangan negara dalam menegosiasikan kepentingan-kepentingan tersebut, seperti tecermin dalam persoalan KTP elektronik. Ketiga, kecenderungan semakin meningginya tingkat ketidakpuasan terhadap pemimpin petahana, yang diindikasikan oleh naiknya tingkat ketidakterpilihan petahana.
Akar tunjang dari segala krisis ini sesungguhnya bermula ketika input kepemimpinan dalam demokrasi kita ini hanya mengandalkan faktor keterpilihan dan mengabaikan faktor keterwakilan. Yang jadi perhatian dalam institutional crafting hanyalah bagaimana agar orang bisa terpilih, bukan bagaimana memperbaiki mutu perwakilan yang demokratis. Akibatnya, lembaga-lembaga negara diisi oleh orang-orang yang penuh ambisi dengan modal popularitas dan kantong tebal, tetapi miskin kompetensi dan tidak mencerminkan rakyat yang diwakilinya.
Prinsip demokrasi perwakilan Indonesia sesungguhnya telah dipikirkan sungguh-sungguh oleh pendiri bangsa dengan mengombinasikan antara keterpilihan dan keterwakilan dalam semangat permusyawaratan. Perwujudan terpenting dari institusi permusyawaratan dalam demokrasi Pancasila adalah keberadaan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). MPR ditempatkan sebagai mandataris kedaulatan rakyat yang diharapkan dapat mencerminkan ekspresi seluruh kekuatan rakyat. Hal ini tecermin dari kemampuan MPR untuk menampung perwakilan hak liberal-individual (perwakilan rakyat), perwakilan hak komunitarian (perwakilan golongan), dan perwakilan hak teritorial (perwakilan daerah).
Negara persatuan diperjuangkan dengan menempatkan lembaga perwakilan tidak sekedar memperhatikan keterpilihan berdasarkan hak-hak individual, namun juga keterwakilan golongan dan keterwakilan daerah. Bukan sekedar keterpilihan orang dari daerah, apalagi orang partai yang mengatasnamakan daerah. Sementara negara keadilan diperjuangkan dengan menempatkan parlemen (MPR) sebagai lembaga yang menetapkan prinsip-prinsip direktif pembangunan semesta-berencana, yang bernama garis-garis besar haluan negara (GBHN).
Untuk itu, sistem pemilu harus dipikirkan secara sungguh-sungguh agar mampu melahirkan mutu lembaga perwakilan yang benar-benar representatif dan diisi oleh wakil-wakil rakyat yang memiliki hikmat kebijaksanaan untuk menjalankan permusyawaratan yang positif, bukan asal akomodasi transaksional yang negatif.
Yudi Latif,
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 11 April 2017
No comments:
Post a Comment