Jumlah korban meninggal akibat virus korona (COVID-19) di seluruh dunia, Kamis (13/2/2020), sudah mencapai 1.383 orang.
Total penduduk di seluruh dunia yang terjangkit virus korona tipe baru hingga pukul 15.00 telah mencapai 64.441 orang.
Epidemi virus korona kian meresahkan warga dunia. Pasalnya, sejak 11 Februari 2020, untuk pertama kalinya korban meninggal akibat virus korona mencapai tiga digit dalam kurun waktu 24 jam, yakni 108 orang. Tragedi ini merupakan yang pertama pasca-merebaknya virus itu di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada Desember 2019.
Kasus yang menakutkan ini mendorong Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas membahas antisipasi penyebaran dan ancaman resesi ekonomi global. Presiden meminta kepada seluruh pembantunya mengikuti perkembangan secara saksama dan mewaspadai kemungkinan memburuknya ekonomi dunia.
Kini suasana muram mulai dirasakan dunia setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan darurat kesehatan dunia pada akhir Januari 2020 yang membuat Dana Moneter Internasional (IMF) ketar-ketir.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, seperti dikutip CNBC, Rabu (12/2/2020), meramalkan, dampak virus korona tipe baru jauh lebih buruk daripada epidemi SARS.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.
China telah menjelma menjadi raksasa dengan nilai perdagangan terbesar di dunia dan pasar untuk berbagai kategori barang konsumsi dan barang mewah di dunia.
Oleh sebab itu, kata Faisal Basri, persoalan ini menjadi krusial khususnya bagi Pemerintah China dan dunia. Sebab, dampak penyebaran virus korona yang harus diatasi Pemerintah China bukan hanya faktor ekonomi teknis semata, melainkan juga faktor psikologis yang jauh lebih berat.
Apabila dunia, khususnya Indonesia, resah menghadapi persoalan ini sangat bisa dipahami. Sebab, dampak pelemahan aktivitas di China akan memukul kinerja ekonomi dunia, mengingat pertumbuhan perdagangan dan industri China yang melesat.
Pakar Ekonomi, Faisal Basri.
Raksasa ekonomi
Simak saja data perkembangan ekonomi China pada tahun 2003, masih di urutan keenam dunia dengan tingkat produk domestik bruto (PDB) sebesar 1,7 triliun dollar AS atau sekitar sepertujuh dari PDB Amerika Serikat.
Namun, berselang 15 tahun kemudian PDB China melonjak menjadi 13,6 triliun dollar AS sehingga menjadikan "Negeri Panda" ini terbesar kedua setelah AS. Rentang PDB antara China dan AS semakin sempit, tinggal 1,5 kali lipat.
Setahun kemudian, tepatnya 2019, PDB "Negeri Tirai Bambu" ini sudah menjadi 14,55 triliun dollar AS atau nyaris sama dengan PDB seluruh negara Uni Eropa. China benar-benar digdaya dan tidak ada satu pun negara di dunia yang mampu menandingi nilai perdagangan China.
Nilai perdagangan China (ekspor-impor) pada tahun 2018 mencapai 4,6 triliun dollar AS. Jumlah ini melampaui nilai perdagangan AS yang mencapai 4,3 triliun dollar AS.
Hubungan dagang China juga kian menguat dengan negara-negara besar di dunia, termasuk AS, Jepang, dan India yang merupakan negara importir terbesar produk China.
Pada satu sisi, kondisi ini menguntungkan Indonesia karena bisa memotong komponen biaya produksi untuk energi. Namun, di sisi lain, penurunan ini justru berdampak signifikan terhadap penerimaan negara karena ada bagi hasil migas dalam APBN. Hal ini dikhawatirkan akan menekan neraca perdagangan luar negeri Indonesia.
Demikian juga dengan pariwisata dunia yang terancam turun. Menurut data Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) tahun 2018, wisatawan China yang melakukan perjalanan ke dunia mencapai 150 juta orang dengan nilai belanja 277 miliar dollar AS atau setara Rp 3.739,5 triliun (kurs Rp 13.500 per dollar AS) dolar AS. Posisi kedua ditempati AS dengan nilai belanja separuhnya, yakni 144 miliar dollar AS.
Bagi Indonesia, serangan virus ini juga akan berdampak menurunkan jumlah wisatawan. Data menunjukkan, tahun 2018 wisatawan dari China ke Indonesia mencapai 2,1 juta orang. Jumlah wisatawan China ini sekitar 13,5 persen dari total wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia atau kedua setelah Malaysia.
Ekonomi Indonesia belum meroket, masih tekor.
Kekhawatiran Indonesia
Jika persoalan korona ini berlangsung dalam tiga bulan hingga satu semester ke depan, akan membuat kinerja ekonomi Indonesia melorot. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2020 sebesar 5,3 persen sulit tercapai. Menembus angka 5 persen saja itu sudah merupakan prestasi yang luar biasa.
Kekhawatiran itu karena China saat ini merupakan salah satu investor terbesar Indonesia. China juga merupakan pasar ekspor terbesar bagi produk agroindustri curah atau mentah, barang tambang, dan produk manufaktur lain bagi Indonesia.
Impor terbesar untuk bahan baku dan bahan penolong, khususnya untuk manufaktur otomotif roda dua, empat atau lebih, elektronika, tekstil dan produk tekstil, mainan, kayu, baja, produk pertanian dan olahan, serta buah-buahan, juga dari China.
Dengan demikian, jika penurunan impor ini berlangsung dalam waktu yang lama, akan menurunkan kemampuan produksi industri manufaktur Indonesia.
Hal ini akan menurunkan daya beli dan kegiatan ekonomi lainnya. Praktis akan berdampak pada penurunan penerimaan negara dari pajak dan kegiatan jasa keuangan lainnya. Secara keseluruhan akan membuat kinerja ekonomi Indonesia semakin lesu.
Padahal, tahun 2019, defisit neraca perdagangan Indonesia masih 3,196 miliar dollar AS. Hal ini menunjukkan, berbagai strategi kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini belum efektif.
Di tengah situasi ketakutan akan krisis ekonomi yang kian menghantui, Pemerintah Indonesia melihat adanya ketidakpastian dan risiko global yang sangat besar. Berbagai masalah itu terjadi sangat cepat dan tidak dapat diprediksi waktunya.
Oleh sebab itu, kabar meningkatnya cadangan devisa Indonesia pada Januari dibandingkan bulan sebelumnya menjadi tanda tanya besar. Cadangan devisa Indonesia pada Januari 2020 mencapai 131,7 miliar dollar AS atau naik 2,5 miliar dollar AS dibandingkan bulan Desember 2019.
Melonjaknya cadangan devisa itu merupakan prestasi atau justru sinyal awal kelesuan ekonomi. Sebab, meningkatnya cadangan devisa ibarat pisau tajam bermata dua. Melonjaknya devisa karena prestasi ekspor Indonesia yang meningkat tajam sehingga menghasilkan devisa besar.
Mungkinkah hal itu justru fenomena sebaliknya karena belum dibelanjakan atau memang tidak bisa dibelanjakan. Kondisi itu sebagai akibat dari ketakutan melakukan kegiatan dagang dengan China.
Dengan begitu, semua pihak, termasuk pemerintah, wajib melihat seluruh fenomena dan fakta itu dengan jeli. Jangan sampai membaca data meningkat sebagai sinyal positif, padahal kondisi itu justru fakta negatif awal terjadinya krisis ekonomi global.
Sebab, perlu diingat, Indonesia adalah negara dengan tingkat pengimpor bersih untuk segala urusan, mulai dari makanan, bahan baku industri, energi, hingga jasa wisata.
Banu Astono,
Wartawan harian Kompas tahun 1991-2019
KOMPAS, 13 Februari 2020