Din Syamsuddin (kiri) dan Syafii Maarif (kanan).
Pada masa kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif (1998-2005), dengan slogannya “menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik”, bisa dikatakan Muhammadiyah menerapkan kebijakan netralitas pasif.
Pada periode kepemimpinan Din Syamsuddin (2005-2015), Muhammadiyah berubah dari netralitas pasif ke netralitas aktif dengan slogan “menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik”. Seperti apakah politik Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Haedar Nashir (2015-2020), terutama dalam menghadapi pemilihan presiden pada 17 April 2019 nanti?
Layang-layang kreatif bentuk kecebong dan kampret, nampak indah melayang di langit biru.
Berbeda dari periode-periode sebelumnya, kali ini tidak dimunculkan slogan tertentu untuk merumuskan hubungan Muhammadiyah dengan politik. Ketiadaan slogan tertentu itu bisa memiliki beragam tafsir. Bisa jadi Muhammadiyah memilih untuk apolitik dan bisa juga ini merupakan perwujudan dari kebingungan menentukan sikap di tengah polarisasi politik yang tajam, termasuk di dalam tubuh Muhammadiyah sendiri.
Seperti yang berulang kali ditegaskan oleh Haedar Nashir, Muhammadiyah kali ini memilih untuk menjadi “jembatan” dalam politik nasional yang dikotomis dan saling menafikan. “Jika semua ormas maupun lembaga Islam masuk dalam ranah politik, maka akan terjadi politisasi di Indonesia,” ujarnya.
Memilih untuk menjadi jembatan dalam perpolitikan nasional yang sering kali terbelah antara kubu “kampret” dan “kecebong” atau “Islamis” dan “Pancasilais” dan juga menjembatani hubungan yang timpang antara minoritas dan mayoritas sering harus menempuh jalan terjal dan berliku.
Dalam posisi ini, seseorang atau sebuah organisasi harus siap untuk tak mendapatkan apa-apa dan bahkan dihujat dua kubu yang berkompetisi.
Muhammadiyah menyadari bahwa ketika politik sudah sering kehilangan kewarasannya, perlu ada kelompok yang merelakan dirinya untuk terus mengingatkan, wa tawashau bil-haqqi wa tawashau bis-shabr (mengingatkan tentang kebenaran dan kesabaran).
Masing-masing kubu saat ini seperti buta, atau sengaja membutakan diri, terhadap kelemahan dan cacat dari calonnya. Mereka berusaha, meminjam istilah Avishai Margalit dalam bukunya, The Ethics of Memory (2000), untuk “melupakan” (forget) dan “memaafkan” (forgive) segala cacat dan noda dari calonnya.
Satu kubu melupakan jejak-jejak persoalan yang terkait hak asasi manusia (HAM) dari calon presidennya serta membungkus calon wakil presidennya dengan aura “kesantrian” atau bahkan “keulamaan”. Sementara kubu satunya harus menoleransi “a bit of intolerance” dengan mengangkat beberapa orang yang selama ini memiliki rekam jejak intoleransi menjadi bagian inti pencalonannya guna membentengi diri dari penggunaan isu identitas.
Artikel tentang Jokowi oleh Tom Power, akademisi dari ANU (Australian National University).
Bahkan, mereka ikut mengadopsi elemen dari otoritarianisme (authoritarianism) dalam pemerintahannya demi memenangi Pilpres 2019 nanti (Tom Power, 2018). Meskipun banyak dari pendukung kedua kubu itu yang tahu tentang cacat dan noda ini dan sebelumnya sering berteriak tentang hal ini, kali ini mereka memilih membisu untuk sementara waktu.
Demi akhaffud dararain (memilih yang lebih ringan mudaratnya), kata mereka.
Berbagai ormas Islam memilih untuk terjun langsung dalam gelanggang politik. Bahkan, kantor organisasi Islam tertentu pun saat ini sudah berubah menjadi kantor partai atau posko pemenangan pilpres.
Hal ini di antaranya yang ikut memengaruhi lahirnya polarisasi yang mencoba membenturkan kelompok-kelompok Islam sebagai “NU vs the rest of Islam” atau “Islam Nusantara vs other Islam”.
Old Santri (Santri Tradisional) dan New Santri (Santri Milenial). Terserah mau pilih yang mana, dua-duanya santri.
Dikotomi yang berkembang saat ini bukan lagi antara Muslim dan non-Muslim, melainkan “santri tradisional” vs “santri milenial” atau “old santri” vs “new santri”. Kelompok yang pertama adalah para santri dan alumni pesantren tradisional, kelompok yang kedua adalah didikan halaqoh-halaqoh di berbagai kampus dan alumni sebuah gerakan melawan pencalonan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Desember 2016.
Jika pada tahun 1990-an new santri itu mengacu kepada alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau Universitas Islam Negeri (UIN), saat ini mereka itu tak lagi dimasukkan dalam kategori new santri, tetapi sudah bergabung dengan old santri.
Aliansi NU-PNI-PKI pada masa lalu sudah sering kali disebut di berbagai media sosial. Perlawanan terhadap Islam Nusantara juga terjadi di beberapa tempat, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Banten. Sebagian orang ketakutan jika Nahdlatul Ulama (NU) betul-betul masuk dalam pusat kekuasaan nantinya akan menghalangi Islam yang lain (Islam non-NU), seperti yang terjadi dengan kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah saat ini.
Tugas Muhammadiyah
Selain polarisasi di atas, beredar pula pemahaman yang dikotomis terhadap Pancasila dan kebangsaan, antara kelompok yang mendengungkan “NKRI Bersyariah” dan “NKRI [Tanpa Syariah]”, antara Pancasila dan pemahaman sila pertama yang eksklusif atau “Pancasila yang Bertauhid” dan “Pancasila yang inklusif serta pluralis”.
Berbagai benturan dan potensi perpecahan di masyarakat itulah kiranya yang membuat Muhammadiyah secara institusi tak masuk ke politik praktis. “Agar bangsa ini ada kartu pengaman. Kalau semua instansi keagamaan rebutan dalam kepentingan politik, nanti bangsa ini makin mengalami politisasi”, demikian pilihan politik Muhammadiyah saat ini, seperti ditegaskan Haedar Nashir.
Tugas Muhammadiyah adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa dan saat ini berusaha menjadi jembatan yang mempertemukan berbagai kelompok yang berseberangan. Pemilihan presiden merupakan proses atau ritual politik lima tahunan yang menjadi bagian dari dinamika kehidupan kebangsaan.
Jangan sampai proses ini lantas membuat bangsa ini terpecah dan bermusuhan satu sama lain. Demikian pesan moral yang sering disampaikan di Muhammadiyah.
Ahmad Najib Burhani,
Peneliti Senior LIPI
KOMPAS, 25 Januari 2019