Wednesday, September 24, 2008

Indonesia Tak Punya Manajemen Demokrasi yang Baik


Demokrasi di Indonesia belum menjadi berkah bagi kemajuan kehidupan rakyat, bahkan justru menambah beban mereka. Hal itu bukan dikarenakan sistem yang salah, melainkan manajemen demokrasi yang tidak baik. Hal itu diungkapkan pengamat politik Eep Saefulloh Fatah dalam diskusi terbatas di Grha Kompas Gramedia, Bandung, pada Selasa (5/8/2008) malam. Peserta yang hadir ialah para pengamat politik, akademisi, aktivis partai politik, dan penggiat demokrasi di Kota Bandung, antara lain Tjetje Hidayat Padmadinata, Dede Mariana, Asep Warlan Yusuf, Upa Sapari, dan Kang Acil dari Bandung Spirit.

Eep menuturkan, selama sepuluh tahun reformasi, demokrasi berjalan tanpa manajemen yang baik. Akibat yang timbul antara lain ialah biaya demokrasi yang mahal dan ketidakmampuan demokrasi memenuhi hak rakyat. “Bayangkan saja, dalam setahun, rakyat bisa mengikuti hampir sebelas kali coblosan pemilu, yakni mulai dari pemilihan kepala desa, camat, bupati, gubernur, legislatif tingkat satu dan dua, lalu DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan Presiden,” ujar Eep. Indonesia, kata Eep, rata-rata mengadakan pemilu sepuluh kali dalam sebulan.

Rakyat di satu sisi telah jenuh dan letih menghadapi proses demokrasi yang berlarut-larut, sementara mereka tidak merasakan dampak positif dari penyelenggaraan itu. Kualitas pemilu yang buruk, lanjut Eep, disebabkan oleh tugas Komisi Pemilihan Umum yang makin berat karena KPU kini mengurusi pula pemilihan kepala daerah. “Wewenang KPU besar, tapi kompetensi mereka masih kecil,” kata Eep.

Muda soal ideologis
Mengenai isu generasi tua dan muda dalam Pemilu 2009, Eep mengungkapkan bahwa usia bukan menjadi jaminan. “Muda bukan soal biologis, tetapi soal ideologis,” ujarnya. Akan menjadi sia-sia apabila pemimpin berusia muda tampil dengan membawa pandangan-pandangan yang lama. Meski demikian, Eep menilai demokrasi Indonesia akan kembali memiliki harapan jika yang muncul dari Pemilu 2009 adalah para pembaru dari politisi generasi kedua reformasi. “Selama ini generasi kedua tidak bisa muncul karena sistem yang tidak mendukung,” ujarnya.

Tjetje Hidayat mengungkapkan, kualitas legislatif terpilih pada Pemilu 2009 nantinya tidak bisa diharapkan karena ada permainan uang di balik pencalonan. Siapa pun calon yang memiliki uang, kata Tjetje, bisa menempati nomor urut teratas. Praktik tersebut lazim berjalan di dalam mekanisme internal partai politik. “Saya mungkin akan golput saat memilih calon legislatif karena sudah tahu kebobrokan mekanismenya,” ujar Tjetje. Adapun solusi untuk buruknya manajemen demokrasi, kata Asep Warlan Yusuf, ialah dengan menyiapkan desain yang jelas tentang arah kehidupan bernegara.

KOMPAS, 7 Agustus 2008
Technorati Profile

Tuesday, September 2, 2008

Bercerai Kita Runtuh


Indonesia bersatu karena faktor eksternal. Namun, keruntuhannya akibat faktor internal.
Kita tak mampu menjaga kesatuan karena tak ada "musuh" bersama. Kini, zamannya lu, lu; gue, gue, bukan "kamu adalah aku", kita; tetapi "kami dan mereka".
Mengakui yang lain, yang berbeda, menghormati, dan ikut menjaga keberbedaan kini dinilai tidak waras. Yang waras adalah gua, gua; lu, lu. Kamu bukan aku. Dan karena kamu mengganggu keberadaanku, kamu harus minggir atau aku lenyapkan.

Prinsip "kamu bukan aku" ini sudah menjalar dalam hubungan negara-rakyat, milik umum-milik privat, perusahaan-buruh, kepala sekolah-murid, lurah-penduduk. Kita kaget saat rel KA digergaji agar gerbongnya terguling, saat kaca-kaca jendela KA retak dilempari batu, lampu-lampu taman dipecahi, monumen dan arkeologi dikotori grafiti, trotoar jadi kaki lima, kolong jalan layang menjadi hunian.
Itu semua hanya gejala kecil yang baru timbul. Selama ini kita menganggap waras-waras saja saat prinsip lu, lu; gue, gue, yang jauh lebih raksasa, telah berlangsung puluhan tahun. Gua pejabat, lu rakyat. Lu memotong rel KA, gua memotong anggaran perbaikan kampung dan dana bantuan bencana. Lu menyerobot lahan kosong di kota, gua menyerobot ratusan hektar hutan tropis. Lu bikin grafiti di sejumlah situs purbakala, gua telah lama membiarkan benda milik negara diperdagangkan di luar negeri. Lu bikin rumah di kolong jembatan layang, gua menggusur hunian kumuh di kota demi "kepentingan umum". Apa yang kini kau lakukan, cuma tiruan dari yang aku lakukan puluhan tahun lalu.

Zaman edan
Gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu tanaman di halaman tetangga tampak seperti gajah. Kita buta terhadap hukum kausalitas. Kekurangajaran rakyat kecil, ketidakwarasan rakyat kecil, kenekadan rakyat kecil yang kian berani dan menonjol akhir-akhir ini adalah akibat pertunjukan teater negara yang selama ini kita mainkan. Jika para pembesar boleh menggusur paksa, membabati hutan, membiarkan banjir, lumpur, menyerbu keluarga kami, mengapa saya tidak boleh membangun rumah di lahan kosong milik mereka? Jika mereka boleh memotong anggaran miliaran rupiah sehingga jembatan runtuh, bangunan SD ambruk, dan jatuh korban, mengapa saya tidak boleh memotong rel kereta api, menggali jalan umum. Mengapa mereka yang sudah puluhan tahun melanggar hukum dibiarkan hidup mewah, sedangkan kami yang melanggar hukum demi nyawa sendiri dituduh biadab?
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ketika guru-guru (lelaki) kencing berdiri di tepi jalan, murid-murid mungkin kaget akan ketidakwarasan guru-guru ini. Namun, saat kencing berdiri itu dianggap waras-waras saja oleh para guru, para murid menirunya lebih ekstrem. Mereka kencing sambil berlari sepanjang jalan. Inilah zaman edan. Dalam zaman edan, yang waras itu edan, dan yang edan itu waras. Inilah yang terjadi pada zaman reformasi ini. Membunuh, merampok, dan mencuri milik umum itu dianggap baik, menipu publik itu baik asal semua ada hubungannya antara urusan privat dan umum. Semua ketidakwarasan itu waras belaka selama terjadi oposisi biner antara privat dan publik. Namun, ketidakwarasan itu jelas tidak waras jika menyangkut hubungan publik-publik dan privat-privat.
Mencuri milik negara atau milik umum itu wajar. Malah tidak waras kalau ada pribadi yang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Merusak milik negara itu juga wajar-wajar belaka, baik pribadi pejabatnya maupun rakyat kecil yang terpepet. Sebaliknya, atas nama negara, atas nama publik, seorang pejabat sah-sah saja menggusur, merampas, menghancurkan milik rakyat kecil.
Yang berkuasa dan yang tak berdaya adalah pasangan kembar oposisi. Pasangan kembar ini bukan saling melengkapi, saling menghormati, saling mengakui, dan saling mengawini, melainkan pasangan perseteruan. Negara dan rakyat pasangan permusuhan, pertikaian, perceraian. Setelah bersatu pada masa revolusi, bulan madu negara-rakyat ini menjadi pasangan musuh. Rakyat mulai berani dan beringas merusak barang-barang milik negara, milik umum.

Kontradiksi etika
Rakyat adalah murid yang baik, penurut. Tetapi jika yang seharusnya dipatuhi, disegani, dituruti, diteladani malah kencing berdiri, apa boleh buat jika rakyat mengencingi guru-guru itu. Negara ini rusak oleh pemimpinnya sendiri. Para pengelola negara bersikap kontradiktif dengan etikanya sendiri. Yang seharusnya menjadi teladan, menjadi pecundang. Yang seharusnya mengayomi, ikut merusak. Yang seharusnya melayani, minta dilayani. Yang seharusnya membantu malah minta bantuan. Bukan melindungi, malah mengancam.
Bagaimana rakyat dapat tahan menonton teater negara ini. Kini saatnya rakyat memainkan teaternya sendiri. Jika dalam teater negara rakyat jadi korban, dalam teater rakyat negara jadi korban. Rakyat mulai merusak milik negara. Lambang-lambang pemerintahan dihujat. Benda-benda milik pemerintah dirusak.
Ini tanda-tanda zaman, sebuah gejala-gejala awal. Rakyat sudah tidak waras lagi menggergaji rel kereta api, merusak jalan tol, membakar gedung mewah kabupaten, mencorengi monumen-monumen negara. Jika teater negara ini tidak segera menghentikan lakon lamanya, tidak heran jika ketidakwarasan rakyat akan meningkat bukan saja pada lambang milik negara dan pemerintahan, melainkan menjurus kepada aktor-aktornya. Peradilan rakyat akan muncul. Revolusi Perancis dan revolusi Khmer Merah di Kamboja bisa terwujud di Indonesia. Kegilaan tidak akan dapat dibendung lagi.
Seuntung-untungnya yang gila, lebih untung yang tidak ikut gila, meski tak dapat bagian.

Jakob Sumardjo, Esais
KOMPAS, 25 Agustus 2007