Sejumlah analisis genetik telah mengidentifikasi struktur kunci protein virus ini yang menjelaskan mengapa dia bisa menginfeksi sel manusia dengan mudah.
Hingga Selasa (10/3/2020), Coronavirus Disease (Covid-19) telah menginfeksi 114.343 orang di 113 negara. Sebanyak 19 kasus positif di antaranya dilaporkan di Indonesia. Jumlah kasus infeksi diperkirakan akan terus melonjak, terutama di luar China yang baru memasuki wabah.
Seperti diketahui, virus Corona-Baru atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang memicu Covid-19 menyebar jauh lebih mudah daripada yang menyebabkan sindrom pernapasan akut parah atau SARS (juga virus Corona), dan telah menginfeksi lebih dari sepuluh kali lipat jumlah orang yang tertular SARS. Besarnya kasus infeksi menyebabkan total kematian yang diakibatkan SARS-CoV-2 jauh lebih tinggi dibandingkan SARS ataupun MERS, sekalipun mortality rate atau tingkat kematian per kasus infeksi virus baru ini lebih rendah dari pendahulunya.
Untuk menginfeksi, virus Corona menggunakan lapisan protein berbentuk tanduk yang runcing (spike) guna mengikat membran sel inang dengan mengaktivasi enzim furin. Analisis genom dari SARS-CoV-2 telah mengungkapkan bahwa protein lapisan tanduk yang bisa mengaktivasi furin ini yang membedakannya dengan kerabat dekat mereka yang memicu SARS ataupun MERS.
Masalahnya, furin banyak ditemukan di banyak jaringan manusia, termasuk paru-paru, hati, dan usus kecil. “Ini berarti virus itu berpotensi menyerang banyak organ,” kata Lihua Qian, ahli biologi struktural di Universitas Sains dan Teknologi Huazhong, Wuhan, China, tempat wabah dimulai.
Temuan ini dapat menjelaskan beberapa gejala yang diamati pada orang yang terinfeksi Covid-19, seperti gagal hati. Li, yang ikut menulis analisis genetik virus yang diposting pada server pracetak ChinaXiv pada 23 Februari, menyebutkan, SARS dan virus Corona lain tidak memiliki situs untuk mengaktivasi furin sebagaimana SARS-CoV-2.
Para peneliti ini menemukan, kemampuan infeksi Corona-Baru ini menyerupai virus lain yang bisa menyebar dengan mudah di antara orang, termasuk strain virus influenza. Bedanya, pada virus influenza, situs aktivasi ditemukan pada protein yang disebut haemagglutinin.
Dengan pemahaman ini, Li kemudian mencoba mengembangkan molekul guna memblokir furin sehingga hasilnya diharapkan bisa dipakai untuk pengobatan. Namun, progres penelitiannya terhambat oleh wabah.
Namun, menurut Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kemenristek, Herawati Supolo Sudoyo, obat dan vaksin kemungkinan belum akan ditemukan dalam waktu cepat, apalagi jika virus ini mudah bermutasi. Sekalipun demikian, hal ini harus dimulai, termasuk oleh Indonesia agar tidak bergantung pada vaksin dari luar. “Eijkman sedang menjajaki konsorsium dengan pihak industri dan kampus untuk mencari cara memproduksi vaksinya. Tetapi, prosesnya masih panjang karena baru dimulai,” katanya.
Herawati menyarankan, untuk saat ini Pemerintah Indonesia sebaiknya fokus meningkatkan kapasitas pemeriksaan guna mencegah meluasnya infeksi Corona-Baru ini. Pemeriksaan dini juga dibutuhkan untuk mengobati pasien yang positif terinfeksi agar tidak menjadi akut sehingga tak bisa disembuhkan lagi. Sejumlah kajian menunjukkan, infeksi Corona-Baru ini tidak bisa sembuh sendiri sebagaimana influenza, tapi pasien harus mendapatkan perawatan yang baik sebelum virus mencapai paru-paru.
Ahmad Arif
KOMPAS, 10 Maret 2020