Saturday, December 21, 2019

Sembilan Tahun Lalu di Tunisia


Sembilan tahun lalu, Jumat 17 Desember 2010, Tunisia menjadi tempat lahir gerakan perlawanan rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara. Gerakan ini —yang kemudian lebih populer disebut sebagai Revolusi Musim Semi (Arab Spring) ada yang menyebut sebagai Kebangkitan Arab (Arab Awakening) ada juga yang menyebut sebagai Revolusi Martabat— telah menginspirasi gerakan serupa di sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Inilah revolusi di kawasan tersebut sejak Revolusi Iran pada tahun 1979 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Shah Iran dan lahirnya Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini.

Tidak ada yang pernah menduga bahwa apa yang dilakukan seorang pedagang kaki lima yang menjual buah-buahan dan sayur mayur di Sidi Bouzid, Tunisia Tengah, Tarek al-Tayeb Mohamed Bouazizi atau Mohamed Bouazizi, telah mengobarkan api perlawanan rakyat di sejumlah negara untuk melawan penguasa yang dianggap mengkhianati rakyat.


Dikuasai oleh keputusasaan dan semangat untuk memprotes perlakuan pihak berwenang yang dirasakan tidak manusiawi, Mohamed Bouazizi, membakar diri. Bouazizi bukan seorang revolusioner dan tidak memiliki niat untuk mengobarkan revolusi. Ia tidak memiliki agenda politik sama sekali. Apalagi memiliki agenda untuk mengubah institusi yang ada di negerinya. Bouazizi "hanyalah" seorang pemuda berusia 26 tahun, pedagang kaki lima, yang merasakan sulit dan kerasnya hidup, yang orangtuanya sudah berumur.

Akan tetapi, yang dilakukan pada hari Jumat itu, membakar diri di depan balai kota, telah menggugah dan menggerakkan hati —mula-mula orang sekampungnya, kemudian sekotanya, dan akhirnya senegaranya untuk melawan penguasa yang korup, yang mengkhianati rakyat, yang mementingkan diri sendiri, keluarganya, dan kelompoknya.

Tindakan bakar diri yang dilakukan Bouazizi tak pelak lagi adalah sebuah pernyataan yang tegas, mengejutkan sekaligus mengerikan dan yang kemudian bergema dalam hati generasi muda di negerinya, yang merasakan bahwa jalan politik dan harapan ekonomi bagi mereka sudah tertutup. Menggerakkan generasi yang hidup di bawah sistem tirani (Adeed Dawisha, 2013).


Gerakan perlawanan, demonstrasi tanpa dikomando mula-mula pecah di Sidi Bouzid; lalu merembet ke kota-kota sekitar; kemudian ke kota-kota di Tunisia Tengah. Hari-hari berikutnya kaum muda yang tak punya pekerjaan karena memang teramat sulit mencari pekerjaan, bergabung turun ke jalan; disusul para mahasiswa, para anggota serikat buruh, para pengacara, dan akhirnya kaum profesional pun ikut bergabung turun ke jalan melawan penguasa dan pemerintah.

Inilah gerakan murni dari rakyat. Gerakan tanpa pemimpin. Mereka bergerak karena kemarahan. Marah kepada pemerintah, kepada penguasa yang korup. Oleh karena ini gerakan rakyat tanpa pemimpin, sulit bagi penguasa untuk menindak tegas, menangkapi para pemimpinnya. Kalau aparat keamanan —polisi atau tentara— menembak massa, berarti mereka mungkin menembak saudara-saudaranya sendiri, atau bahkan anak-anaknya sendiri. Tetapi, korban tetap ada.

Semula, Bouazizi membakar diri sebagai bentuk protes karena diperlakukan tidak manusiawi oleh aparat keamanan: digusur, dipalak, dipukul, dan dagangannya diporak-porandakan. Bouazizi protes karena diperlakukan tidak adil.

Aksi protes Bouazizi seakan mewakili perasaan para pedagang kaki lima lainnya, orang-orang lainnya, rakyat secara umum yang hidupnya dari waktu ke waktu dikuasai kesusahan dan kesulitan. Pada akhirnya, tujuan gerakan pun adalah untuk menyingkirkan penguasa yang otoritarian dan korup.


Tak Bisa Menghindar
Ketika dunia dilanda gerakan demokratisasi pada tahun 1970-an, pemerintah otoriter di Timur Tengah dan Afrika Utara, sebagian besar tetap menolak proses demokratisasi. Periode ini oleh Samuel P Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century; 1991), disebut sebagai gelombang ketiga demokratisasi yang dimulai di Eropa Selatan pada pertengahan 1970-an. Dari Eropa Selatan, menyebar ke Amerika Selatan pada awal 1980-an dan mencapai Asia Timur, Tenggara dan Selatan pada akhir 1980-an.

Akhir tahun 1980-an, dunia menyaksikan kebangkitan transisi dari pemerintahan otoriter komunis di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, serta kecenderungan menuju demokrasi di Amerika Tengah dan Afrika Selatan. Akan tetapi, gelombang ini tidak mencapai Timur Tengah. Faktanya, wilayah ini secara politik kurang bebas dibandingkan wilayah lain. (Freedom in the World 2011: The Authoritarian Challenge to Democracy, 22 Juli, 2011).

Caterina Perlini dalam Democracy in the Middle East: External Strategies and Domestic Politics (2015) menulis, selama pertengahan dan akhir 1980-an, sejumlah negara di Timur Tengah melancarkan liberalisasi politik dan demokratisasi. Ini sebagai akibat dari meningkatnya perbedaan pendapat dengan para pemimpin otoriter yang menyebabkan kerusuhan besar yang bertentangan dengan tatanan politik yang sudah mapan.


Tekanan domestik ini menyebabkan kemajuan politik di negara-negara seperti Maroko, Aljazair, Tunisia, Mesir, Yaman, dan Jordania. Setiap negara ini mengalami peningkatan aktivitas politik, khususnya melalui pemilihan yang menunjukkan adanya transparansi. Namun, negara-negara yang meliberalisasi sistem politik mereka tetap mempertahankan pembatasan pada partisipasi dan kompetisi politik, dengan ini membatasi oposisi dan menjaga kelangsungan hidup rezim yang ada.

Bahkan, ada sejumlah besar kemunduran. Aljazair misalnya. Upaya kemajuan demokrasi pada tahun awal 1990-an, terhambat, karena militer kembali berkuasa setelah pemilu dimenangi oleh Front Keselamatan Islam (FIS).  FIS merebut 188 dari 430 kursi di parlemen, sementara Front Pembebasan Nasional (FLN) yang berkuasa hanya 15 kursi.

Kemenangan FIS ini yang mendorong militer bergerak dan mengambil alih kekuasaan. Di Mesir misalnya, pemilihan parlemen tahun 2005 dipuji sebagai tanda utama keberhasilan demokrasi. Namun, pluralisme terbatas yang menandai pemilu 2005 memburuk, memberi jalan bagi penindasan yang meluas, penumpasan oposisi, dan penipuan selama pemungutan suara 2010.


Akan tetapi, apa yang terjadi di Tunisia (2010) —yang kemudian disusul sejumlah negara lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara— adalah sebuah keniscayaan dari perkembangan zaman. Demonstrasi, protes yang bermula di Tunisia, semua memprotes ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, kemudian berubah dengan mengusung slogan "rakyat menuntut pergantian rezim". Tujuan mereka adalah untuk membangun masyarakat demokratis dengan menyingkirkan pemerintahan otokratis.

Menurut Samuel P Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century; 1991), gelombang demokratisasi itu ditandai oleh fase pertama yakni munculnya reformis. Para reformis menuntut perubahan dari rezim otokratis dan tirani menjadi pemerintahan yang demokratis dan transparan. Fase ini mendorong masyarakat untuk menyuarakan hak-hak mereka melalui protes, yang akan mengarah pada revolusi melawan pemerintah yang ada.

Dan, negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara pun tidak bisa menghindar dari tuntutan zaman.


Jasa Bouazizi
Dalam kasus Tunisia, siapa reformis itu? Apakah Bouazizi? Barangkali, meskipun Bouazizi tidak memiliki pemikiran atau ide reformasi, ide revolusioner, atau agenda politik, tetapi tindakannya di luar kewajaran —bakar diri sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan— adalah sebuah bentuk dari pembaharuan (reformasi) perlawanan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

Gerakan rakyat tanpa pemimpin, dimulai bulan Desember 2010, di Tunisia kemudian berevolusi untuk menggulingkan rezim pemerintahan Zine al-Abidine Ben Ali yang sudah berkuasa sejak 1987; sebuah rezim yang otokratis dan korup. Apa yang terjadi, kemudian, di Mesir mulai 25 Januari 2011 juga tidak jauh berbeda.

Apa yang terjadi di Tunisia dan juga di Mesir kemudian, memberikan gambaran bahwa apa yang terjadi tidak mengikuti pola reformasi ekonomi dulu lalu disusul dengan demokrasi. Yang terjadi di Tunisia dan juga Mesir, kiranya gerakan demokrasi yang pertama dilakukan dengan menyingkirkan rezim otoritarian dan korup, baru kemudian pembangunan ekonomi, yang hingga kini belum banyak memberikan hasil seperti diharapkan rakyat.


Memang, apa yang terjadi di Tunisia, misalnya, revolusi yang terjadi jauh dari komplet. Selama beberapa tahun Tunisia masih menghadapi kerusuhan-kerusuhan sporadis dan suksesi kabinet interim yang tak stabil. Meskipun demikian, hingga kini Tunisia sebagai penyulut demokratisasi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, memberikan harapan yang lebih menjanjikan dibandingkan negara-negara lain, apalagi dibandingkan Suriah dan Libya.

Di negara-negara lain yang disapu Revolusi Musim Semi (Arab Spring), hingga kini kerap kali muncul gerakan konter-revolusi dan kekerasan, tetapi Tunisia berusaha tetap memegang teguh amanat revolusi yakni demokratisasi. Pemilihan presiden berlangsung damai dan tampaknya sebagian besar bebas dan adil. Meskipun perlu tetap waspada agar politik konsensus yang selama ini dipegang untuk menyelamatkan negara tetap bisa jalan dan terus disepakati.

Hal itu penting. Sebab, ada tanda-tanda penurunan tajam dalam kepercayaan publik pada lembaga-lembaga politik: kepercayaan di Parlemen telah turun hingga 14 persen, dan kepercayaan pada partai-partai politik hanya 9 persen, menurut survei Barometer Arab baru-baru ini.


Persoalan lain adalah pembangunan ekonomi. Dua tahun lalu, 2017, karena buruknya situasi ekonomi, banyak orang Tunisia yang meninggalkan negerinya, menyeberangi Laut Mediterania masuk Eropa. Menurut pemerintah Italia, sekitar 8.000 orang Tunisia pada tahun 2017 masuk ke negeri itu.

Akan tetapi, apa pun yang terjadi sekarang ini, sulit dipungkiri bahwa yang dilakukan oleh Mohamed Bouazizi telah mengubah wajah dan peta, tidak hanya Tunisia, tetapi juga negara-negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Yang dilakukan Bouazizi telah menebarkan benih demokratisasi di kawasan itu. Meskipun, ada negara —Suriah dan Libya, misalnya— yang tergelincir ke kondisi negara gagal.

Trias Kuncahyono,
Wartawan Kompas 1988 - 2018
KOMPAS, 14 Desember 2019

Wednesday, November 20, 2019

Chicha Koeswoyo: "Mamaku Perempuan Luar Biasa"


Namaku Chicha Koeswoyo. Aku lahir dari orangtua yang berbeda agama. Papaku, Nomo Koeswoyo, beragama Islam dan masih keturunan Sunan Drajat, salah seorang Wali Songo. Seorang wali yang sangat terkenal sebagai penyebar agama Islam di wilayah Jawa Timur.

Mamaku seorang perempuan Kristen yang taat. Beliau masih berdarah Belanda. Dan banyak saudara-saudara dari pihak Mama yang menjadi pendeta. Walaupun berbeda agama, Papa dan Mama tidak pernah mempunyai masalah. Keduanya hidup berbahagia dan saling menghargai kepercayaan masing-masing.

Sejak kecil aku dididik secara Kristen. Seperti anak-anak Kristen lainnya, aku diikutsertakan di sekolah Minggu. Setiap kali pergi untuk melaksanakan kebaktian, Papaku sering mengantarkan kami ke gereja. Intinya, kami adalah keluarga yang sangat berbahagia. Baik hari Natal ataupun Hari Lebaran, rumah kami selalu meriah. Semua bersuka-cita merayakan kedua hari besar tersebut.


Usiaku sudah menginjak 16 tahun dan duduk di bangku kelas 1, SMA Tarakanita. Rumah tempat tinggal kami sangat berdekatan dengan masjid. Terus terang, aku sangat terganggu dengan suara azan, apalagi di saat Maghrib. Suara azan dari “toa” masjid begitu keras dan sangat memekakkan telinga. Belum lagi suara azan dari televisi. Setiap kali azan Maghrib berkumandang, aku matikan televisi karena di semua chanel, di semua stasiun tv menayangkan azan yang sama.

Di suatu Maghrib terjadilah sebuah peristiwa yang tidak disangka-sangka. Ketika itu azan Maghrib muncul di layar TV. Seperti biasa aku mencari remote control untuk mematikan televisi. Namun hari itu aku tidak bisa menemukannya. Dengan hati kesal kutelusuri sela-sela sofa, kuangkat semua bantal, kuperiksa kolong meja tapi alat pengontrol jarak jauh itu tidak juga terlihat. Karena putus asa, aku terduduk di sofa lalu duduk menatap layar TV yang sedang menayangkan azan dengan teks terjemahannya. Lalu apa yang terjadi?

Sekonyong-konyong hatiku menjadi teduh. Baris demi baris terjemahan azan tersebut terus kubaca dan entah karena apa, hati ini semakin sejuk. Aku seperti orang terhipnotis dan tubuh ini terasa sangat ringan dengan perasaan yang semakin lama semakin nyaman. Di dalam benak ini seakan-akan ada suara yang berkata padaku; “Sampai kapan kau mau mendengar panggilan-Ku, Chicha. Sudah berapa tahun Aku memanggilmu, masihkah kau akan terus berpaling dari-Ku?”

Lalu aku menangis. Entah karena sedih, marah, bingung, galau, hampa, takut atau mungkin juga semua perasaan itu ada dan berbaur menjadi satu. Aku terus menangis tanpa tahu harus melakukan apa.


Esok harinya, aku curhat pada adikku. Kami berdua memang sangat dekat satu sama lain. Adikku ini ternyata sangat berempati atas apa yang menimpaku. Dia tidak mengeluarkan satupun kata yang menyalahkan kakaknya bahkan dia berkata; “Aku akan support apapun kalau itu memang membahagiakan Kakak.”

“Terima kasih, Dik. Sekarang ikut, Kakak, yuk?”
“Ikut ke mana?” tanyanya.

Dengan diam-diam kami berdua pergi ke sebuah toko Muslim yang letaknya tidak jauh dari rumah. Di sana kami membeli mukena, Kitab Suci Al-Qurȃn dengan tafsir dan terjemahannya. Tidak lupa sebuah buku yang berjudul ‘Tuntunan Shalat’.

Sesampainya di rumah, kami berdua mempelajari cara berwudlu, melakukan shalat dan menghafal bacaannya. Setelah dirasa mampu, kami berdua mencoba mendirikan shalat bersama-sama. Perbuatan kami tentu saja di luar pengetahuan kedua orangtua. Pernah suatu kali Mama mengetuk pintu dan sangat marah karena kami mengunci kamar dari dalam. Begitu mendengar teriakan Mama, secepat kilat kami membuka mukena dan menyembunyikannya di laci paling atas.

“Dengar, ya, Nduk! Kalian nggak boleh mengunci pintu kamar. Selama kalian tinggal di rumah Mama, kalian ikut peraturan Mama,” bentak ibuku dengan galak.

“Iya, Ma,” sahutku dengan suara perlahan karena tak ingin ribut dengan Mama. Apalagi kami sangat perlu menjaga kerahasiaan ini.


Waktu terus berlalu. Bulan Ramadlan pun datang. Tentu saja di bulan suci seperti ini, kami juga ingin melakukan puasa seperti Muslim lainnya. Berpuasa dari waktu Subuh sampai Maghrib sebetulnya sama sekali tidak sulit. Masalah yang lebih pelik datang setiap kali Mama mengajak makan bersama. Mama tentunya curiga karena kami berdua selalu menolak.

“Aku udah makan di sekolah tadi, Ma,” kataku dengan suara bergetar.

Mama menatap aku dengan tajam. Sepertinya dia telah mencium ada yang tak beres dengan kami berdua. Ketegangan pun terjadi. Buatku itu adalah saat yang sangat menegangkan sampai akhirnya Mama menghela napas panjang dan berkata; “Baiklah kalau begitu.”

Bulan penuh rahmat berlalu. Suara Takbir yang begitu merdu di telinga berkumandang. Idul Fithri adalah hari kemenangan, dan kami tidak mau kehilangan momen untuk shalat bersama Jemaah yang lain. Aku dan Adikku berdiskusi menyusun strategi bagaimana cara pergi ke masjid tanpa sepengetahuan orang rumah.


Esok harinya, sekitar jam 6.30 pagi, kami mengendap-endap membuka pintu depan. Setelah itu membuka pagar sampai terbuka lebar. Kami berdua mendorong mobil dalam keadaan mesin mati supaya tidak terdengar oleh orangtua kami yang masih tenggelam dalam nyenyak. Pada Satpam yang menjaga rumah, aku berpesan; “Kalau ada yang tanya, bilang kami mau latihan basket, ya, Pak?”

“Siap, Non!” kata Pak Satpam entah curiga atau tidak.

Setelah mobil dirasa cukup jauh, aku menghidupkan mobil dan meluncur langsung ke masjid terdekat. Sesampainya di sana, banyak tetangga-tetangga menatap kami dengan wajah keheranan. Mereka tentu saja bingung karena semua orang tahu bahwa aku beragama Kristen. Bahkan barisan ibu-ibu yang duduk tepat di depan kami langsung mendekatkan kepalanya dan berbisik kepada kami.

“Cha, ngapain kamu di sini? Shalat Idul Fithri itu buat kaum Muslim. Kamu kan Kristen?”

Aku cuma tersenyum dan tidak berusaha menjawab. Sementara ibu-ibu lain terus berkasak-kusuk sambil menengok bahkan ada yang menunjuk-nunjuk ke arah kami. Kami bergeming dan tidak mempedulikan sikap orang yang merasa aneh dengan kehadiran kami. Dan akhirnya shalat Idul Fithri dapat kami ikuti dengan sukses. Dengan hati berbunga-bunga kami kembali pulang. Alhamdulillah ....


Baru saja sampai di depan pagar, di depan rumah telah berdiri Papa dan Mama. Mereka membantu membuka pagar, membuka pintu mobil lalu Mama langsung melontarkan pertanyaan tanpa basi-basi.

“Dari mana kalian?” tanya Mama dengan suara keras.

“Abis latihan basket, Ma,” sahutku. Kami berdua memang telah berganti pakaian dan semua mukena dan sajadah sudah dimasukkan ke dalam tas dengan rapih.

“Kalian jangan berbohong, ya? Mama menangkap ada yang aneh dengan kalian berdua,” kata Mama lagi.

Aku menatap Mama yang nampak sangat kesal. Sementara Papa cuma cengar-cengir bahkan mengedipkan sebelah matanya pada kami.

“Kami latihan basket, Ma. Masa Mama gak percaya sama anak sendiri?” kata adikku.

Rupanya omongan Adik membuat hati Mama tersentuh juga. Seperti sebelumnya, dia menatap kami bergantian dengan tajam, menghela napas panjang lalu berkata dengan suara halus, “Hmm ... baiklah kalau begitu.”

“Yuk, kita ke atas, Ma,” kata Papa sambil menggamit tangan Mama untuk mengajaknya pergi dari situ. Sebelum masuk ke dalam rumah, Papa sempat-sempatnya menengok ke arah kami dan mengedipkan sebelah matanya sekali lagi sambil tersenyum dengan paras jahil.


Aku masih termangu-mangu di depan rumah. Kecurigaan Mama mulai menghantui perasaanku. ‘Sampai berapa lama aku bisa mempertahankan rahasia ini?’ tanyaku dalam hati.

‘Daripada Mama yang menemukan rahasia ini, bukankah beliau lebih baik mengetahui semuanya langsung dari anaknya sendiri?’

“Mama!” Aku memanggil dan mengejar Mama yag sudah berada di dalam rumah. Mama dan Papa membalikkan badan dan menunggu apa yang akan disampaikan anaknya. Kembali kediaman berulang. Sesaat aku gentar hendak menyampaikan berita ini.

“Ya, Cha? Kamu mau ngomong apa?” tanya Papa.

Keheningan kembali mendominasi. Bibirku bergetar. Semua kata dalam tenggorokan telah berkumpul dan berdesak-desakan untuk keluar dari bibir. Aku masih diselimuti kebimbangan. Ngomong, jangan, ngomong, jangan, ngomong, jangan ....


“Chicha masuk Islam, Ma. Chicha masuk Islam, Papa. Chicha minta maaf, tapi Chicha mendapat hidayah dan tidak bisa menolak panggilan itu ....” Akhirnya tanpa dikendalikan oleh otak semua kata terlontar begitu saja.

“Alhamdulillah ...!” Di luar dugaan, Papa berteriak kegirangan mendengar berita tersebut. Tidak cukup melampiaskan kegembiraannya dengan cara itu, beliau langsung berlutut di lantai dan melakukan sujud syukur atas hidayah yang didapat anaknya.

Melihat sikap Papa, aku tentu saja menjadi lebih tabah. Dengan penuh harap, aku memandang Mama, berharap mendapat dukungan yang sama.

Mama menatapku dengan pandangan tidak percaya. Matanya melotot, dadanya kembang kempis dan bibirnya bergetar hebat.

“Hueeeeek ...!!!” Tanpa diduga tiba-tiba Mama muntah darah dan tubuhnya sempoyongan, untungnya Papa dengan sigap menangkap tubuh Mama dan mendudukkannya di sofa.

“Mamaaaaaa ...!!!” Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana tidak sedih? Tidak ada kesedihan yang paling menyakitkan kecuali mengetahui bahwa kita telah menyakiti hati ibu kita sendiri.


Papa mengurus Mama dengan telaten. Perlahan-lahan kesehatan Mama berangsur-angsur membaik. Tapi sejak peristiwa itu, Mama tidak mau lagi berbicara denganku. Selama ini, Mama dan aku hubungannya sangat dekat. Melihat Mama bersikap seperti itu, aku sedih sekali.

Berkali-kali aku mengajak Mama berbicara tapi beliau tidak menyahut sehingga aku memutuskan untuk mengalah dan membiarkannya sendiri. Itu adalah salah satu periode hidup yang paling menyiksa buatku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa pasrah dan menunggu perubahan sikap Mama.

Bulan demi bulan berlalu. kami masih belum berkomunikasi satu sama lain. Mama sering meninggalkan rumah. Entah kemana. Aku nggak berani bertanya, takut malahan membuatnya lebih marah. Sudah 3 bulan aku tidak berbicara dengan Mama. Hari-hari yang kuhadapi sering aku isi dengan mengurung diri di kamar sambil membaca sejarah para Nabi. Terutama kisah-kisah Rasullulah yang membuatku semakin mantap menjadi seorang Muslim.


“Braaaakkk ...!!!” Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan suara keras. Aku menengok dan terlihat Mama masuk dengan membawa sebuah kotak yang cukup besar. Wajahnya dingin dan sulit ditebak apa yang ada di dalam pikirannya.

“Nduk, Mama mau tanya. Kamu harus menjawab dengan tegas!” katanya.

“Iya, Ma,” sahutku dengan suara hampir tak terdengar. Dalam hati aku bersorak karena akhirnya Mama mau berbicara lagi.

“Kamu sudah mantap mau masuk Islam?” tanyanya lagi tanpa basa-basi.

“Mantap, Ma. Chicha rasa ini benar-benar panggilan Allah,” jawabku pelan tapi tegas.

“Okay, kalau begitu,” kata Mama lalu dia mengangsurkan kotak yang dibawanya ke tanganku.
Dengan terheran-heran, aku menerima kotak tersebut; “Apa ini, Ma?”

“Nggak usah banyak tanya. Kamu buka saja kotak itu sekarang juga.”


Dengan gerak perlahan, aku membuka kotak tersebut. Masya Allah! Ternyata isinya adalah Kitab Suci Al-Qurȃn, mukena, kerudung, buku-buku agama Islam yang lumayan tebalnya. Aku menatap Mama dengan pandangan bertanya.

Mama membalas menatapku dengan tajam; “Kalau kamu ingin menjadi Islam, be a good one!”

Mendengar perkatannya, aku menangis dan menghambur ke pelukan Mama. Mama memeluk aku seerat yang dia bisa. Tangisku makin menjadi-jadi dan membasahi baju Mama di bagian dada.

Setelah tangis mereda, Mama bertanya lagi; “Kamu sudah resmi masuk islam?”

“Chicha udah ngucapin dua Kalimat Syahadat, Ma.”

“Disaksikan oleh ustadz atau kyai?”

“Nggak sih, Ma. Chicha ngucapin sendiri aja.”

“Berarti kamu belum resmi masuk Islam. Besok Mama akan antar kamu ke Mesjid Al-Azhar di Jalan Sisingamangaraja. Mama udah bikin janji dengan kyai di sana untuk mengislamkan kamu.”

“Huhuhuhuhuhu ...” Aku nggak sanggup untuk mengatakan apa-apa kecuali memeluk Mama lagi sembari menangis menggerung-gerung.

Setelah perlakuan Mama yang mendiamkan aku selama tiga bulan, siapa sangka Mama akan bersikap begini akhirnya. Mamaku memang luar biasa.


Esok harinya, di Masjid Al-Azhar, aku resmi memeluk agama Islam di usia 16 tahun. Ah, bahagianya sulit dilukiskan ....

Setelah ritual mengucapkan dua Kalimat Syahadat berakhir, aku menarik Mama untuk menuju ke mobil dan kembali pulang ke rumah.

“Eh, tunggu dulu, Nduk. Sekarang kamu harus ikut Mama ke belakang.”

“Ke belakang mana, Ma?” tanyaku keheranan.

“Ke SMA Al-Azhar. Kamu harus pindah sekolah ke sana.”

“Loh? Kenapa harus pindah? Chicha udah betah sekolah di Tarakanita. Semua teman-teman Chicha ada di sana. Chicha nggak mau pindah.”

“Nduk! Denger kata Mama. Kalau kamu serius pindah ke Islam, kamu nggak boleh setengah-setengah.”

“Maksudnya gimana, Ma?”

“Tarakanita itu sekolah Kristen. Kalau kamu pindah Islam maka kamu harus bersekolah di sekolah Islam. Sekali lagi Mama bilang, kamu nggak boleh setengah-setengah. Ini peristiwa besar dan pilihan hidup kamu. Mama mau kamu total dalam menyikapi pilihan kamu sendiri.”


Lagi-lagi sikap Mama membuatku kagum bukan main. Sepertinya dia telah mempersiapkan semuanya dengan baik dan terencana.

“Mama kok bisa-bisanya punya pemikiran seperti ini?” tanyaku penasaran.

Mama menghela napas panjang lagi, lalu berucap; “Sejak kamu mengatakan mau masuk Islam, Mama sering berkonsultasi dengan teman Mama yang Muslim. Mama minta pendapat dia dan dia banyak menasihati Mama soal ini.”

“Oh, pantes Mama sering pergi belakangan ini. Biasanya kan Mama selalu di rumah.”

“Iya, Cha. Mama butuh support dan teman Mama itu sangat membantu sehingga membuat Mama jadi jauh lebih tenang.”

“Kalau boleh tahu, teman Mama siapa namanya?” tanyaku lagi.

“Namanya doktor Zakiah Darajat.”

“Itu temen Mama? Wah dia orang hebat di kalangan Islam, Ma.”

“Betul. Nama belakangnya mirip dengan Sunan Drajat, leluhur Papa kamu. Jadi setelah kamu resmi masuk Islam, rasanya kamu juga perlu berziarah ke makam beliau.”


Sekali lagi aku memeluk Mamaku. Jadi selama tiga bulan ini, dia mendiamkan anaknya bukan karena hendak mengacuhkan tapi beliau tidak tahu harus bersikap bagaimana. Beliau hendak mencari penerangan pada apa yang terjadi pada anaknya. Sudah pastilah Mama kebingungan tapi akhirnya setelah mendapat pencerahan dari doktor Zakiah Darajat, Mama sekarang malah mendukung pilihan anaknya. Pilihan anak yang berbeda dengan keyakinannya.

Ah, Mamaku memang luar biasa ....

Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya aku hendak mengajak Mama untuk turut memeluk agama Islam. Tapi aku mengurungkan niat itu. Apa yang terjadi padaku pastilah sudah berat buat Mama. Bagaimana mungkin aku mampu mempengaruhinya sementara saudara-saudaranya banyak yang menjadi pendeta.

Beban Mama sudah sangat berat. Semua butuh waktu. Kalau memang Allah SWT mengizinkan, apa yang bagi pikiran manusia tidak mungkin pastinya akan terjadi jika Allah berkehendak.

Waktu berjalan tanpa pernah berhenti. Dengan hati tenteram, aku menjalani hidup sebagai perempuan Muslimah.

Tahun 2002, Mama meninggal dunia. Tiga bulan sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau juga menjadi mualaf dan memeluk agama Islam.

Alhamdulillah ...! Terima kasih, ya, Allah ...!
Ah, Mamaku memang luar biasa ...!

Persembahan buat semua perempuan hebat di Indonesia ...!

Dikisahkan oleh:
Chicha Koeswoyo
Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10156390517326107&id=684961106

Sunday, October 13, 2019

Meragukan Komitmen Demokrasi Presiden Jokowi


Menjamin demokrasi dengan represi?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang lebih dari 30 tokoh kebangsaan ke Istana Merdeka, Kamis (26/9/2019) lalu. Di hadapan mereka, Presiden Jokowi menegaskan komitmennya dalam menjaga iklim demokrasi di Indonesia, termasuk menjamin kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat.

Pilar demokrasi yang harus terus kita jaga dan kita pertahankan. Jangan sampai bapak ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini,” katanya.

Beberapa jam setelah ia menyampaikan sikapnya di hadapan para tokoh bangsa, dua orang aktivis dan jurnalis, Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu dijemput polisi. Dandhy dituduh melakukan pelanggaraan hukum berupa provokasi berbasis SARA dan diancam UU ITE. Sementara Ananda Badudu diduga mendanai aksi mahasiswa yang berujung ricuh.

Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu.

Sebelum Dandhy dan Ananda, mahasiswa di Kendari, ditembak mati. Sementara satu yang lain meninggal karena luka. Tindakan represif aparat dalam merespon demonstrasi sungguh bertolak belakang dengan komitmen yang baru disampaikan oleh Presiden. Ini membuat kami bingung. Siapa yang harus dipercaya? Presiden atau aparat negara?

Sebelumnya kami masih merawat harapan, bahwa Jokowi adalah presiden sipil yang punya komitmen pada demokrasi dan kepentingan publik. Kami masih ingat pesan Jokowi dalam acara Indonesian Young Changemaker Summit (IYCS) 2012 beberapa bulan sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pesan ini yang membuat kami merasa bangga, punya presiden yang tidak anti rkitik.

Saya kangen sebetulnya didemo. Karena apa? Apapun… apapun… pemerintah itu perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang peringatin kalo keliru. Jadi kalau enggak ada demo itu keliru. Jadi sekarang saya sering ngomong di mana-mana ‘tolong saya didemo’. Pasti saya suruh masuk,” kata Jokowi dalam video itu.

"Saya kangen sebetulnya didemo ..... "

Tapi mengapa, setelah berkuasa, setelah terpilih dua periode, Presiden membiarkan Menristekdikti mengancam mahasiswa? Presiden Joko Widodo meminta Menristek untuk ajak mahasiswa tak lagi aksi di jalan. Mengapa perintah ini diterjemahkan sebagai perintah ancaman? Mengapa Menristekdikti menekan Rektor untuk memberikan sanksi pada dosen yang mendorong aksi mahasiswa? Pada siapa presiden berpihak sebenarnya?

Sikap karismatik, terbuka, dan tak anti kritik Jokowi saat itu sungguh memukau. Sebagai representasi sipil, Jokowi menjadi anti tesis Orde Baru yang selalu bilang kritik harus membangun, yang banyak membungkam aktivis dengan kekerasan dan juga teror. Sikap pro demokrasi ini berulang kali ditunjukkan oleh Jokowi, seperti saat Presiden Jokowi menghadiri peringatan hari Ibu ke-86 Desember 2014.

Saat itu Jokowi juga menyerahkan grasi simbolik kepada Eva Bande, aktivis agraria, asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat itu presiden berkata “Jangan sampai ada lagi aktvis perempuan yang memperjuangkan hak rakyat, justru malah akhirnya masuk ke tahanan,” Lalu kemana sikap presiden ini?


Kami juga dulu diyakinkan bahwa Presiden Joko Widodo menjamin prinsip kemerdekaan jurnalisme dan kebebasan berpendapat. Ia bahkan mendapatkan penghargaan Kemerdekaan Pers karena dianggap komitmennya pada kebebasan pers. Tapi saat penghargaan ini dijawab dengan kekerasan, intimidasi, dan penangkapan Jurnalis saat meliput demonstrasi di Jakarta. Apakah kami tidak boleh meragukan anda?

Kini posisi kami berganti, keraguan membuat kami harus bertanya, di mana keberpihakan Presiden Joko Widodo?

Dalam protes yang diajukan oleh Kelompok mahasiswa dan aliansi masyarakat sipil. Tuntutan mereka cukup jelas, mendesak pemerintah untuk memenuhi tujuh tuntutan. Isinya adalah penolakan terhadap RUU yang bermasalah, mendesak pengesahan RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Presiden membatalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR, penolakan TNI dan Polri menempati jabatan sipil, menghentikan aksi militerisme di Papua dan daerah lain, dan bebaskan tahanan politik Papua segera.

Di mana keberpihakan Presiden Jokowi?

Bukannya mendengar, Pemerintah seolah tutup telinga dan justru makin membakar protes publik. Salah satu dari tujuh tuntutan, yaitu menghentikan kriminalisasi aktivis malah dilakukan, setelah Surya Anta dan Veronica Koman, kini Polisi menangkap Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu. Meski keduanya telah dibebaskan, sikap diam Jokowi sudah jelas. Anda tidak peduli dengan tuntutan Aliansi Masyarakat Sipil dan Mahasiswa.

Untuk itu, kami The Geotimes, mendesak Presiden Joko Widodo melakukan koreksi dan reformasi total pada pemerintahannya. Menuntut pelaku pelanggaran HAM untuk dihukum berat, membebaskan para aktivis tanpa syarat, dan menjamin supremasi sipil.

Redaksi Geotimes
https://geotimes.co.id/kolom/sikap-redaksi-kami-meragukan-komitmen-presiden-joko-widodo/

Monday, September 9, 2019

Memindahkan Ibu Kota


Setelah Presiden Joko Widodo mengusulkan secara terbuka pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, langkah berikutnya harus segera disiapkan.

Wacana memindahkan ibu kota negara bergulir sejak masa Presiden Soekarno, yang pada 1957 memilih Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai ibu kota. Presiden Soeharto memilih Jonggol, Jawa Barat, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mewacanakan pemindahan ibu kota.

Permukiman kumuh dibalik gedung-gedung tinggi di Jakarta.

Jakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis serta jasa keuangan dan perdagangan. Peran berganda itu dimungkinkan karena infrastruktur pendukung sangat baik. Harian Kompas menuliskan laporan khusus bagaimana kota-kota baru tumbuh di sekitar Ibu Kota sehingga Jakarta tumbuh menjadi kawasan sangat besar. Dampaknya sangat terasa bagi warga Jakarta. Macet menjadi bagian keseharian.

Daya dukung kota merosot dalam penyediaan air bersih dan perumahan layak bagi setiap warga. Saat musim kemarau kering seperti sekarang, kualitas udara memburuk, salah satunya karena arus lalu lintas kendaraan penduduk kota-kota sekitar menuju ke Ibu Kota. Ketika tiba musim hujan, banjir menjadi ancaman sebagian warga meskipun upaya memperbaiki aliran sungai terus dilakukan.

Landmark ibu kota baru pengganti Monas?

Presiden Joko Widodo, Senin (26/8/2019), di Istana Negara, Jakarta, memilih sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kaltim, sebagai lokasi baru ibu kota. Selanjutnya adalah proses politik, sebab harus mendapat persetujuan DPR. Setidaknya ada lima undang-undang (UU) yang perlu direvisi, dua UU dapat direvisi atau dapat dibuat baru, dan dua UU harus dibuat baru.

Reaksi terhadap usul Presiden beragam. Selain mendukung karena setuju alasan pemindahan, yaitu daya dukung Jakarta dan pemerataan pembangunan, tidak kurang pula yang mengingatkan pentingnya kajian menyeluruh dan mendalam terhadap aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lingkungan.

Apakah pemindahan ibu kota negara akan mengurangi ketimpangan Jawa-luar Jawa, memeratakan pembangunan, mengurangi beban Jakarta, dan menumbuhkan pusat ekonomi baru di luar Jawa? Kekhawatiran juga muncul mengenai kelestarian hutan Kalimantan, salah satu paru-paru dunia yang juga penting bagi Indonesia.


Sejumlah yang lain menginginkan transparansi rencana induk pembangunan, termasuk tata ruang dan tata wilayah serta desain kota agar tidak mengulangi pengalaman Jakarta menjadi kota yang tumbuh tidak beraturan.

Pertanyaan lain, sudahkah disiapkan rekayasa sosial bagi masyarakat setempat untuk menerima perubahan besar yang akan terjadi? Juga bagi aparat sipil dan keluarganya yang harus berpindah kerja. Belum lagi biaya yang ditaksir hingga Rp 466 triliun dan harus disiapkan saat ekonomi sedang dalam tantangan besar.

Dengan begitu banyak pertanyaan dari masyarakat, proses diskusi —bukan sekadar diseminasi rencana— perlu dilakukan agar semua pihak mendukung rencana tersebut. Prinsipnya, lebih baik mengutamakan kehati-hatian meskipun mungkin memerlukan waktu yang lebih panjang.

Tajuk Rencana Kompas
KOMPAS, 28 Agustus 2019

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak.

Tanggapan Greenpeace Indonesia
Terhadap Rencana Pemindahan Ibukota Indonesia ke Kalimantan Timur

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur, di daerah yang akan mencakup sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Greenpeace Indonesia sebagai organisasi lingkungan memiliki beberapa kekhawatiran terkait keputusan ini, karena akan membutuhkan konversi hutan dan lahan untuk pembangunan kota, yang tentunya akan berdampak pada lingkungan.

Dalam tanggapannya Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak mengatakan:

“Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur jika tanpa menjadikan perlindungan lingkungan sebagai pertimbangan utama, dikhawatirkan hanya akan menciptakan berbagai masalah-masalah lingkungan di ibu kota baru nanti, seperti yang terjadi di Jakarta saat ini.

Kita bisa lihat fakta bahwa polusi udara di Jakarta selain berasal dari sektor transportasi, juga bersumber dari banyaknya PLTU batu bara yang ada di sekeliling Jakarta. Jika nanti sumber energi ibu kota baru masih mengandalkan batu bara seperti saat ini di Jakarta, maka jangan harap ibu kota baru akan bebas dari polusi udara.

Apalagi jika pemerintah tetap membangun PLTU-PLTU batu bara mulut tambang, seperti yang direncanakan saat ini di beberapa lokasi di Kalimantan Timur. Rencana pembangunan PLTU-PLTU batu bara mulut tambang ini harus dihentikan, karena bertentangan dengan konsep smart, green city untuk ibu kota baru tersebut, di mana sumber energi kota seharusnya dari energi terbarukan.

Keberadaan tambang-tambang batu bara tersebut tidak hanya akan menghasilkan polusi udara, tapi juga berbagai bencana lingkungan lain seperti banjir dan kekeringan, seperti yang sudah terjadi di Samarinda, salah satu kota terdekat dengan wilayah ibu kota baru ini.”


“Ancaman krisis iklim yang berkombinasi dengan salah urus lingkungan Jakarta, juga jangan hanya menjadi alasan pemindahan ibu kota. Namun harus menjadi catatan kritis dan pertimbangan utama bagi strategi pembangunan Indonesia ke depan.

Saat ini laju penurunan permukaan tanah di Jakarta antara 1-15 cm per tahun, yang berkombinasi dengan kenaikan tinggi muka air laut yang sudah mencapai 8,5 cm, akan menyebabkan sebagian besar Jakarta Utara tenggelam pada tahun 2050. Pemindahan ibu kota ini hanya akan memindahkan atau bahkan menciptakan masalah-masalah lingkungan baru, bila tidak mempertimbangkan krisis iklim yang sudah berlangsung sekarang.

Diperlukan komitmen yang sangat kuat dari pemerintah untuk menjamin tidak ada konversi lahan berlebihan dan deforestasi tambahan, juga penerapan konsep compact city yang bertumpu pada transportasi publik massal berbasis listrik, pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber energi utama, dan pengelolaan sampah menuju zero waste city. Hanya dengan hal-hal tersebut ibu kota baru ini tidak memperburuk krisis lingkungan dan krisis iklim yang sudah terjadi sekarang,” tambah Leonard.


Data Greenpeace menunjukkan bahwa lokasi ibu kota baru ini pun tidak bebas dari kebakaran hutan dan kabut asap. Selama krisis kebakaran hutan tahun 2015 ada sebanyak 3.487 titik api di Kabupaten Kutai Kartanegara. Tahun ini sudah ada 105 titik api, dengan musim kebakaran hutan yang belum menunjukkan tanda berhenti.

Analisis Greenpeace menunjukkan total area ‘burnscar’ yang terkena dampak kebakaran hutan seluas 35.785 hektar antara 2015-2018. Pengembangan ibu kota baru harus dipastikan tidak menggunakan kawasan lindung atau cagar alam, karena pasti akan menyebabkan deforestasi tambahan dan ancaman terhadap hewan langka Kalimantan seperti Orangutan.

“Masalah lingkungan sekali lagi harus digarisbawahi sebagai pertimbangan mendasar dalam proses relokasi ibu kota. Sangat disayangkan bahwa proses ini dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak melalui proses konsultasi publik yang memadai. Dalam negara demokrasi, diskusi terbuka untuk mendengarkan aspirasi publik, termasuk dengan masyarakat adat setempat, harus menjadi bagian integral dalam pengambilan keputusan publik sepenting ini. Ini harus menjadi catatan penting bagi Presiden Jokowi,” tutup Leonard.

Greenpeace Indonesia
27 Agustus 2019

Sunday, August 11, 2019

Kemunduran Demokrasi: Polarisasi Versus Demokrasi


Judul di atas saya ambil dari sebuah artikel dalam Journal of Democracy edisi Juli 2019. Artikel itu ditulis oleh Milan Svolik, ahli ilmu politik, dosen di Yale University. Ia dikenal melalui studinya yang "keren" tentang bagaimana kemunculan kekuasaan yang otoriter serta tipe-tipenya ("The Politics of Authoritarian Rule", Cambridge, 2012).

Artikel yang ditulis oleh Svolik di atas langsung menarik perhatian saya karena apa yang ia tulis sedikit-banyak "nyambung" dengan keadaan di Indonesia saat ini.

Tesis Svolik sederhana saja: sekarang telah terjadi "democracy breakdown", merosotnya demokrasi di berbagai negara, dan ini diakibatkan antara lain oleh polarisasi politik yang tajam dalam masyarakat. Jika dihadapkan kepada dua pilihan antara demokrasi di satu pihak dan "kepentingan politik" di pihak lain, biasanya publik yang sudah mengalami polarisasi akan lebih mendahulukan kepentingan politik mereka ketimbang membela nilai-nilai demokrasi.


Dalam situasi yang normal, tanpa ada dilema harus memilih antara demokrasi dan kepentingan politik, publik biasanya akan cenderung mengatakan bahwa mereka mendukung demokrasi. Namun, dalam keadaan yang mendesak dan dilematis, mereka akan tak segan-segan mengorbankan demokrasi demi mendukung kepentingan politik mereka.

Dahulu, ancaman demokrasi umumnya datang dari kudeta militer. Di era pasca-Perang Dingin, ancaman justru datang dari arah lain, yaitu polarisasi dalam masyarakat yang begitu mendalam, di mana "political cleavages", pembelahan politik dalam masyarakat, begitu akut sehingga sulit dijembatani.

Dalam situasi seperti ini, publik yang semula —dalam keadaan normal— mendukung demokrasi, tak segan-segan memilih kepentingan politik yang diperjuangkan oleh kandidat dan tokoh politik mereka ketimbang membela nilai-nilai demokrasi yang cenderung "netral" dan "abstrak" itu. Demikian secara singkat tesis yang dikemukakan oleh Svolik.


Artikel Svolik ini pantas kita renungkan, terutama jika kita percaya bahwa demokrasi adalah benar-benar "the only game in town", satu-satunya sistem yang kita anggap relatif paling pas untuk keadaan sekarang, dengan segala kekurangan dan cacat-cacatnya; atau dengan bahasa fikih, jika kita percaya bahwa demokrasi adalah "akhaffud dararain", sistem yang mengandung kelemahan paling sedikit dibandingkan dengan sistem-sistem lain, termasuk dan terutama sistem khilafah.

Artikel Svolik ini mengungkap banyak hal menarik. Pertama, setelah berlalunya era Perang Dingin, sebagian besar democracy breakdown terjadi bukan melalui kudeta militer, melainkan apa yang dia sebut sebagai executive take-over, kudeta sistem yang dilakukan justru oleh presiden atau kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Dengan kata lain, kudeta oleh petahana.

Dia mengemukakan data yang menarik: dari 197 kasus terjadinya kemunduran demokrasi periode 1973-2018, terdapat 88 kasus yang disebabkan oleh executive take-over itu. Salah satu kasus yang menarik dan masih dekat dengan kita saat ini adalah Turki. Setelah berhasil berkuasa melalui proses yang demokratis dan bertahan dalam kekuasaan selama lebih dari satu dekade, PM dan kemudian Presiden Recep Tayyip Erdogan pelan-pelan melakukan "kudeta sistem" dari "dalam" dengan mengadopsi kebijakan yang justru berlawanan dengan demokrasi.

Watak Erdogan yang kian otoriter makin tampak akhir-akhir ini, terutama kebijakannya yang amat brutal dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Lawan politik yang menjadi korban kebijakan Erdogan saat ini tentu saja adalah kelompok Fethullah Gulen.


Kedua, kenapa publik mau memilih petahana yang sudah jelas-jelas memiliki tendensi antidemokrasi? Di sini Svolik membawakan suatu tesis yang menarik. Kemunduran demokrasi dalam era media sosial bisa terjadi bukan karena "kudeta dari atas", melainkan karena ada "gerak dari bawah" berupa dukungan dari publik. Karena "kepincut" oleh janji-janji politik pemimpin populis, publik tak segan-segan memilihnya walau ia terang-terangan memiliki kecenderungan antidemokrasi. Kita bisa menyebut ini sebagai semacam "kudeta dari bawah".

Kasus terpilihnya Presiden Donald Trump di Amerika Serikat adalah contoh terbaru yang masih segar. Sudah tentu Trump terpilih melalui prosedur yang demokratis, melalui pemilu terbuka.

Namun, setelah terpilih, Trump mulai menunjukkan tendensinya yang antidemokrasi. Para pendukung Trump yang fanatik tetap memberikan sokongan meski Trump melakukan tindakan-tindakan yang melawan keadaban politik.

Kasus terakhir adalah twit Trump yang dengan brutal mem-bully Elijah Cummings, seorang anggota DPR dari sebuah distrik di Maryland.


Trump naik ke puncak kekuasaan tentu bukan karena ia melakukan kudeta militer, melainkan melalui cara lain: menunggangi polarisasi politik masyarakat Amerika. Bukan hanya itu. Ia kemudian memperdalam dan mengambil keuntungan dari polarisasi itu untuk memenangi pertarungan politik.

Di Indonesia, kita mengalami kondisi yang nyaris serupa: kita menyaksikan polarisasi politik yang tajam antar dua kubu: "cebong" dan "kampret". Dalam polarisasi semacam ini, posisi tengah yang sedikit agak netral bisa diserang oleh kedua belah pihak yang sedang berseteru.

Dalam situasi semacam ini, setiap pihak bisa mendukung secara militan platform atau kebijakan politik kandidat yang ia pilih, karena platform itu menguntungkan kepentingan kelas mereka, walau dilihat dari segi lain, kebijakan itu bisa saja mengandung ancaman atas demokrasi.


Salah satu tesis Svolik yang menarik dalam artikel itu ialah, dalam situasi yang polaristik ini, seorang pemilih yang telah mendukung kubu politik tertentu dengan fanatik, lebih siap untuk mengorbankan nilai-nilai demokrasi demi membela kepentingan politik mereka sendiri ketimbang pemilih lain yang netral, tidak menjadi bagian dari kubu ini atau itu.

Salah satu kelemahan artikel Svolik itu: tidak menyebut secara jelas kenapa terjadi polarisasi yang tajam dalam perkembangan demokrasi sekarang. Menurut saya, salah satu penyumbang terbesar dalam polarisasi ini adalah media sosial.

Pelajaran penting dari artikel Svolik adalah ancaman terbesar atas demokrasi saat ini bukan datang dari kudeta militer, melainkan justru dari "dalam" demokrasi itu sendiri, yaitu pertentangan dan polarisasi yang tajam di masyarakat. Komunikasi digital saat ini menjadi elemen penting yang menggerakkan polarisasi-tajam ini.


Seorang ilmuwan politik senior Seymour Martin Lipset sebetulnya telah mengingatkan hal ini sejak lama dalam bukunya yang telah klasik, Political Man (1959): "Inherent in all democratic systems is the constant threat that the group conflicts which are democracy's lifeblood may solidify to the point where they threaten to disintegrate society". Dalam setiap sistem demokrasi, selalu ada ancaman inheren, yaitu konflik antargolongan dalam masyarakat.

Dalam kadar yang normal, konflik ini menjadi "lifeblood", darah yang menghidupi demokrasi agar segar-bugar. Akan tetapi, jika konflik ini "dipelintir" secara masif melalui percakapan media sosial atau platform lain yang penuh dengan kebencian dan caci-maki, ia bisa berubah menjadi ancaman disintegrasi.

Ulil Abshar Abdalla
Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta
KOMPAS, 6 Agustus 2019

Monday, July 22, 2019

Anies, Anak Bangsa Yang Mendunia


Sudah lama sekali, kami merindukan ada tokoh politik Indonesia yang bisa tampil di forum internasional. Dulu tokoh politik seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, Sjahrir, Natsir, Adam Malik maupun Soedjatmoko adalah contoh tokoh-tokoh politik yang dihormati di gelanggang dunia.

Anies Rasyid Baswedan dan Habib Rizieq Syihab.

Kini Indonesia beruntung, ada seorang Gubernur di DKI Jakarta yang bisa membawa nama baik bangsa kita dan dihormati di forum-forum global. Namanya Anies Baswedan. Dia sudah berada di arena global jauh sebelum jadi Menteri ataupun Gubernur. Lihat saja track record-nya.

Anies bercengkerama bersama keempat anaknya.

Tapi lihat apa yang para jurnalis dan tim redaksi, khususnya media online, lakukan pada dia. Beramai-ramai menyerang, lihatlah beritanya: sinis pilihan fotonya, framing negatif beritanya. Seakan jangan sampai ada anak bangsa yang membanggakan di gelanggang internasional.

Anies bersama Presiden Jokowi.

Bukankah Indonesia perlu mewarnai dunia di semua bidang, mulai dari budaya, seni, keilmuan hingga politik?

Anies Baswedan dan sepupunya, Novel Baswedan.

Saat ini, kami sedang bangga melihat ada tokoh politik bisa membagikan pengalaman di Jakarta dan Indonesia untuk dunia. Dan pada saat yang sama kami malu membaca media domestik dan online kita justru menuliskannya dengan nada sinis, negatif dan seakan rabun dunia.

Sandi Uno, Anies Baswedan bersama Sang Mentor Politiknya, Prabowo Subianto.

Umumnya politisi Indonesia pergi ke luar negeri memang sekadar studi banding, ephumismenya jalan-jalan, sementara tokoh seperti Anies Baswedan justru ke luar negeri untuk memberi ceramah, untuk membuat dunia mengerti tentang Jakarta dan Indonesia dan ikut kontribusi untuk kemajuan dunia. Beda sekali!

Anies bersama isteri dan keempat anaknya.

Ikut melaksanakan ketertiban dunia” itu amanah Pembukaan UUD 1945, sudah saatnya Indonesia kembali tampil di forum dunia, seperti pada masa awal kemerdekaan, saat tokoh-tokoh nasional adalah juga Tokoh Asia dan Tokoh Dunia.

Anies Baswedan, The Next President?

Sekadar harapan saja untuk para jurnalis dan pemimpin redaksi terutama media online, buatlah kami bangga membaca berita bahwa ada tokoh dari Jakarta, dari Indonesia dikenal dan dikagumi dunia.

Salam,

Tony Rosyid
Pengamat politik dan Pemerhati Bangsa
Kumparan.com, Jakarta 13/7/2019