Thursday, January 15, 2015

Mahomet

Voltaire, tokoh Prancis yang membuat lakon teater dengan judul: "Le Fanatisme, ou Mahomet le Prophete."

April 1741, sebuah lakon tentang “Mahomet” dipanggungkan di sebuah teater di Lille, Prancis utara. Penulisnya akan dikenang orang berabad-abad (meskipun lakon ini jarang dibicarakan), karena ia Voltaire, karena Voltaire selalu mengutarakan pikiran-pikiran yang cerdas, kadang-kadang dalam, kadang-kadang dangkal, bisa kocak, bisa kasar, tapi umumnya merisaukan. Khususnya tentang sesuatu yang berlanjut hingga abad ke21 ini: manusia dan fanatisme dan kebengisan.

Ia mengerjakan karyanya itu, Le Fanatisme, ou Mahomet le Prophete, sejak 1739. Dari judulnya sudah kelihatan bahwa ia mengaitkan fanatisme dengan Nabi yang membawa Islam ke dunia.

Cerita yang terdiri atas lima babak ini berkisar pada rencana Mahomet untuk mengalahkan Zopire, Gubernur Kota Mekah. Dalam babak ke-4, Zopire dibunuh pemuda yang ia sayangi, Seid, yang sebenarnya anaknya sendiri tapi telah jadi pengikut Mahomet yang dengan patuh menjalankan perintah pembunuhan itu. Pada saat yang sama, Seid diracun Omar, orang kepercayaan Mahomet. Anak muda itu mati pelan-pelan. Ia harus disingkirkan agar tak lagi berada di dekat Palmira, gadis yang menawan hati sang Prophete. Di akhir lakon, Palmira menampik Mahomet dan perempuan itu bunuh diri.

Saya tak tahu adakah Mahomet sebuah karya utama dalam riwayat Voltaire; lakon ini tak seterkenal karyanya yang lain, Candide, misalnya, meskipun berkali-kali dipentaskan. Tapi ada seorang pengkritiknya yang layak didengar meskipun bukan datang dari kalangan sastra dan dikutip pendapatnya hampir seabad kemudian: Napoleon Bonaparte.

Napoleon Bonaparte, mengkritik lakon "Mahomet" karya Voltaire.

Ketika penguasa Prancis ini berjumpa dengan Goethe pada 1808 di Kota Erfurt, ia menyatakan ketidaksukaannya kepada Mahomet –meskipun Goethe-lah yang menerjemahkan lakon itu. Sebuah “karikatur”, kata Napoleon –dan saya bisa mengerti kenapa demikian– Mahomet tak mendalam, mudah ditebak tendensnya, tokohnya hampir sepenuhnya satu sisi. Mirip sebuah melodrama. Atau sebuah propaganda.

Goethe tak membantah. Ia pengagum Voltaire tapi pada saat yang sama amat kuat simpatinya kepada Islam; ia dijuluki “Meccarus” karena itu. Tak mengherankan bila ia mencoba mengubah sosok Mahomet dalam versi Jerman lakon ini. Ia tak ingin mengulang “sikap kasar” Voltaire. Dalam teks asli Mahomet mengatakan kepada Zopire ia siap jadi lebih kejam ketimbang musuhnya itu, Je serai plus que toi cruel, impitoyable, sementara dalam teks Goethe yang kita temukan adalah kalimat, “Kau mengundangku untuk bengis,” Du forderst selbst zur Grausamkeit mich auf.
Bagi Goethe, berbeda dari bagi Voltaire, kekerasan dalam sejarah Islam terjadi karena sesuatu yang datang dari luar. Tapi bersama Voltaire ia menolak iman yang melahirkan kebengisan dan agama yang bersandar pada kekuasaan yang tak mau digugat.

Dalam Mahomet, sang tokoh utama menyatakan ambisinya: ia, dengan “iman yang lebih murni” ketimbang keyakinan lain, ingin menegakkan imperium yang mencakup semesta. Mungkin sebab itu dalam tafsir Goethe, Mahomet adalah sindiran bagi Gereja Katolik –meskipun anehnya Voltaire mempersembahkan karyanya buat Paus Benediktus XIV. Bisa jadi ini caranya melindungi diri dari sensor. Permusuhan antara Voltaire dan Gereja memang termasyhur, dan di zamannya kekuasaan atas nama agama memang bisa terdengar bodoh tapi tetap mengancam: sebuah sajak Voltaire diperintahkan Parlemen Paris untuk dibakar di depan umum, 23 Januari 1759.

Gothe, tokoh Jerman yang menerjemahkan lakon "Mahomet" karya Voltaire.

Dari Voltaire ke Goethe, cukup panjang masa itu. Tapi ada yang berlanjut terus: hasrat akan kehidupan rohani yang berbeda dari yang ditunjukkan agama-agama. Para sejarawan mengatakan niat itu lahir bersama Zaman Pencerahan yang mengutamakan nalar manusia. Tapi saya kira tak hanya terbatas di masa itu. Tiap kali agama-agama bergerak jadi mekanisme pembalasan, tiap kali Tuhan dirindukan dengan cara lain.

Voltaire menampik agama-agama, ketika pada saat yang sama ia juga menolak atheisme. Ia menyebut diri seorang “theis”. Sekitar tahun 1750 ia mengumumkan penjelasannya tentang apa yang disebutnya “theisme”.

Seorang theis adalah seseorang yang menerima dengan teguh adanya satu Wujud Yang Maha Luhur yang menghukum kejahatan tanpa sikap yang kejam, dan yang dengan baik hati memberi anugerah kepada laku kebajikan. Seorang theis tak tahu bagaimana cara Tuhan menghukum, bagaimana cara Tuhan menganugerahi, bagaimana cara Tuhan mengampuni, sebab ia tak menganggap dirinya mengerti laku Tuhan. Yang ia ketahui Tuhan itu adil ....

Voltaire: hampir tiga abad kemudian. Rasanya ada yang salah di hari ini ketika dari Prancis ia seakan-akan perlu mengulang kata-katanya lagi.

Goenawan Mohamad,
Esais, Mantan Pemred Majalah Tempo
TEMPO.CO, 12 Januari 2015

Monday, January 12, 2015

Reputasi Kita dari Musibah


Rasa duka kita atas musibah yang menimpa pesawat AirAsia QZ8501 belum terbayar kendati banyak pesta malam pergantian tahun yang telah diubah menjadi semacam renungan dan doa. Duka masih kita rasakan menyaksikan keluarga yang ditinggal dalam kepedihan. Apalagi, mereka semua berangkat dalam suasana gembira, menyambut hari libur. Saya berdoa semoga keluarga yang ditinggalkan kuat dalam menghadapi cobaan ini.

Di sisi lain, saya juga mengapresiasi leadership dan kerja tim SAR, Polri, Kementerian Perhubungan, BUMN, jajaran TNI, dan peran masyarakat di bawah komando Basarnas. Berkat manajemen yang baik, hanya dalam tempo dua hari, lokasinya berhasil ditemukan. Ini ibarat PSSI tiba-tiba muncul jadi juara Asia. Sebagian di antara kita mungkin tidak percaya, persis seperti anggota DPR yang mengancam akan mem-panja-kan pemerintah (saya kira kini politikus yang enteng bicara itu harus merasa malu atas ucapannya). Tapi, sebagian dari kita sadar, sejak dulu kita gagal kalau kurang bersatu, maka ketika kita solid, banyak yang bisa kita menangkan.

Apa yang bisa kita petik dari kasus ini?


Perhatian Dunia
Sejak dulu Indonesia selalu dikenal sebagai negeri dengan taburan berlian di garis khatulistiwa. Laut kita kaya; tanah kita subur; pemandangannya indah. Tidak banyak yang menyebut negeri kita sebagai negeri rawan bencana. Padahal, kita berada di kawasan ring of fire. Di bawah perut bumi kita, lahar selalu bergolak dan menggeser posisi tanah dan bebatuan. Akibatnya, kita rawan gempa dan tanah longsor.

Diberi kekayaan berlimpah, sebuah bangsa bisa menjadi manja sehingga hidup dalam kutukan kemiskinan (bahkan ini ada teorinya). Sebaliknya, ditempa bencana besar bertubi-tubi sesungguhnya bisa menjadikan kita bangsa yang tanggap, tahan uji, dan gesit bertindak. Sebab, bila tidak, kita akan punah.

Demikianlah, sebagai negeri bahari, laut kita luas, tempat bertemunya dua samudra. Kadang ramah, tapi sering juga tidak bersahabat dengan ombak tinggi dan arus kuat. Kita juga mesti siaga terhadap tsunami. Curah hujan di negara kita juga tinggi sehingga setiap tahun banjir selalu mengancam. Sudah begitu, penduduk kita tumbuh cepat sekali sehingga berebut tempat dan memorak-porandakan tanggul-tanggul alam.

Itu sebabnya, kita harus selalu siaga dengan bencana. Dan setiap terjadi bencana di sini selalu menjadi perhatian dunia karena yang menjadi korban selalu banyak, bahkan kita berada dalam lima teratas dunia. Alam ini sungguh mengganggu transportasi dan keamanan manusia. Debu gunung saja bisa membatalkan banyak skedul penerbangan. Apalagi angin dan awan yang menggumpal.


Hilangnya pesawat AirAsia dan proses evakuasinya telah menjadi breaking news di media utama dunia seperti CNN, BBC, atau Al Jazeera. Di media sosial, tagar #QZ8501 juga menjadi trending topic dunia. Mereka yang prihatin atas musibah tersebut juga membuat tagar #prayforQZ8501.

Tanpa kita sadari, cara kita menanganinya yang terkesan lumpuh di masa lalu juga menjadi penilaian dunia dan berpengaruh serius terhadap reputasi bangsa dalam banyak hal. Dunia bisa jadi belum sepenuhnya paham bahwa tantangan alam yang dihadapi Indonesia ini begitu dahsyat. Karena itu, mereka hanya melihat kita tidak mampu, titik!

Misalnya, ketika tsunami melanda Aceh, bukan pemerintah pusat yang tiba menolong warga kita pada kesempatan pertama, melainkan tentara dengan pesawat berbendera Singapura dan Amerika Serikat. Sementara bantuan internasional terus berdatangan, kita masih sibuk rapat sana, rapat sini.

Pada kasus hilangnya pesawat MH370 di Samudra Hindia dan tenggelamnya pesawat Adam Air 574 di perairan Majene pada 2007, kita juga terkesan tak berdaya. Sementara berbagai bangsa sibuk unjuk ketangkasan dalam upaya menemukannya, kita baru sebatas menjadi penonton.

Demikian jugalah korban yang terjadi dalam berbagai bencana alam: letusan Gunung Merapi, longsor di Banjarnegara, atau tenggelamnya kapal Tampomas. Semua menjadi headline dunia dan terkesan kita masih amatiran. Pencegahan dan peringatan dini malfunctioning; proses evakuasinya lamban dan terkesan tradisional dengan alat pacul dan otot manusia. Bukan teknologi.


Ajang Pamer Teknologi
Tapi, satu hal kita saksikan, setiap terjadi bencana besar adalah ajang berbagai negara unjuk kemampuan manajerial dan teknologi. Misalnya pada kasus hilangnya pesawat MH370. Di sana kita menyaksikan unjuk kemampuan teknologi navigasi, teknologi sensor, hingga penggunaan robot untuk melacak benda-benda yang berada di dasar laut yang dalam dari berbagai negara: Prancis, Amerika, Australia, Tiongkok, dan Kanada.

Namun baiklah, kini secara membanggakan tiba-tiba kita sanggup menangani kasus AirAsia secara profesional. Tiba-tiba dengan percaya diri kita mendengar para pakar mengatakan bahwa kita punya alat-alatnya. Bangga saya menonton ketangkasan Basarnas.

Penanganan medianya juga baik. Ini mendapat pujian dunia. Bahkan, kita diakui sebagai negara yang paling berpengalaman dengan tim SAR terbaik di kawasan. Ini sekaligus memupus prasangka bahwa kita bukan bangsa pembelajar. Terbayar sudah biaya sekolah kita yang amat mahal itu. Itu sebabnya, kita pantas memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Basarnas dan segenap pendukungnya.


Pelajaran Berharga
Tapi, kita tentu tak boleh larut dalam kesombongan. Dari kasus jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, saya kira kita bisa memetik beberapa pelajaran berharga. Apa saja?

Pertama, soal kepemimpinan. Dalam kasus ini, saya kira kita bisa melihat dengan jelas betapa cepat dan tegasnya duet pemimpin kita, Jokowi-JK, hingga panglima TNI. Alignment vertikal dan horizontal para aparatur terkait dan pasukan di lapangan dalam bekerja terlihat solid. Kita melihat komitmen yang jelas, tak ada yang memulai dengan keluhan tak ada “ransum” atau logistik. Semua turun dan semua bergotong royong saling melengkapi antara militer dan lembaga science (BPPT). Hubungan dengan dunia internasional pun digarap dengan baik.

Kedua, dengan kepemimpinan yang tegas, arahan yang jelas, soliditas tim pun tercipta. Kita bisa melihat hal itu. Panglima TNI mengirimkan personelnya dan dengan tegas menempatkan timnya di bawah koordinasi kepala Basarnas yang dipimpin jenderal bintang tiga. Jadi tidak berjalan sendiri. Begitu pula tim dari Kepolisian Negara RI (Polri) dan masyarakat.

Ketiga, kita masih harus terus melakukan investasi besar-besaran, baik untuk membeli maupun mengembangkan teknologi guna mencegah, menemukan, dan melakukan evakuasi dalam aneka bencana. Kalau kita mau, tak akan lagi ada cerita keputusan untuk lintas di atas sebagian kawasan udara kita diatur air traffic controller dari Singapura. Ini masih terjadi karena investasi kita masih kurang, reputasi kita juga belum dibangun. Padahal, kalau dibangun, kita bisa buat sekolah penanggulangan bencana terbaik dunia yang bisa mendatangkan devisa besar-besaran.


Kita tentu tak pernah menghendaki datangnya bencana. Tapi, siapa yang sanggup menolak jika bencana itu akhirnya datang juga? Maka, penting bagi kita memiliki mindset ala John D. Rockefeller, “I always tried to turn every disaster into an opportunity.” Artinya, kalau reputasi kita dalam menangani bencana buruk, maka reputasi terhadap segala kualitas buatan kita pun dianggap setara dengan keburukan penanganan bencana itu. Insinyur-insinyur kita akan dihargai murah di pasar tenaga kerja dunia, demikian juga Indonesia brand. Kita bisa memutar baliknya dengan upaya serius dalam penanganan bencana karena ia selalu menjadi perhatian dunia yang penontonnya jauh lebih tinggi dari sekadar menjadi tuan rumah Olimpiade atau perebutan Piala Dunia.

Lalu, yang tak kalah penting adalah kita harus segera bangkit. Kata Kathie Lee Gifford, seorang musisi dan penulis lagu, “If I could learn to treat triumph and disaster the same, then I would find bliss.” Bukankah selalu ada berkah di balik musibah?!

Rhenald Kasali,
Akademisi, Praktisi Bisnis, dan
Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

JAWA POS, 7 Januari 2015