Friday, September 14, 2018

Industri Digital: Intervensi Asing Melalui Media Sosial


Media sosial yang diyakini sebagai media paling efektif untuk menjangkau orang lain, telah menjadi ajang perang informasi tak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tataran global. Kini berbagai cara dilakukan untuk mempengaruhi opini seseorang hingga mereka mengikuti informasi dan pandangan yang sengaja dibuat oleh orang lain untuk dirinya.

Awal pekan ini kita dihebohkan oleh langkah Facebook yang kembali mencopot sejumlah akun, grup, dan halaman baik di Facebook maupun Instagram yang digolongkan sebagai akun dengan perilaku terkoordinasi yang aneh. Mereka mencopot sebanyak 652 entitas yang diduga terkait dengan Rusia dan Iran. Mereka diketahui melakukan tindakan mempengaruhi terkait dengan kegiatan politik di Amerika Serikat, Inggris, Amerika Latin, dan Timur Tengah.

Sebelumnya, yaitu sebulan yang lalu Facebook juga menghapus 32 akun dan halaman yang diduga digunakan untuk kepentingan politik. Mereka hendak mempengaruhi pemilihan tengah waktu (midterm) yang akan berlangsung di Amerika Serikat. Pemilik akun juga diketahui mendorong pengikutnya untuk mengikuti sebuah gerakan dengan turun ke lapangan.


Media sosial termasuk Facebook banyak digunakan untuk menyebar opini, berita palsu, dan narasi-narasi yang bertujuan untuk kepentingan tertentu. Facebook menghapus sejumlah akun yang dicurigai sebagai akun dengan perilaku terkoordinasi yang aneh.

Dalam pengumuman pekan ini, Facebook menyebutkan, operasi di Iran melibatkan 254 halaman Facebook dan 116 akun Instagram. Mereka mampu menarik satu juta pengikut. Akun-akun itu telah berbelanja iklan sejak 2012 hingga tahun lalu dengan nilai 12.000 dollar AS.

Salah satu akun diketahui telah berbelanja iklan 6.000 dollar AS pada bulan Agustus ini. Lembaga yang pertama mencurigai akun-akun itu adalah FireEye dan mereka memberitahukan ke Facebook.

Akun lainnya diketahui telah mencoba membajak sejumlah akun dan menyebarkan virus tertentu. Akun yang ketiga telah menyelenggarakan 25 event dan memiliki 813 pengikut. Mereka menyebarkan konten tentang Timur Tengah namun juga tentang Amerika Serikat dan Inggris.


Facebook telah menjelaskan masalah ini kepada pemerintah AS dan Inggris. Sebuah investigasi tengah dilakukan namun karena alasan sensitivitas, mereka tidak mau menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan penghapusan akun-akun yang diduga menjalankan tindakan bermotif politik.

Beberapa hari sebelum langkah Facebook ini, Twitter juga telah menghapus sebanyak 284 akun yang diduga terkait dengan Iran. Mereka melakukan manipulasi informasi yang terkoordinasi.

Twitter tengah bekerjasama dengan aparat hukum dan juga perusahaan digital lainnya untuk menangani masalah ini agar menjadi jelas masalahnya. Microsoft juga telah mengumumkan bila intelijen militer Rusia telah mencoba untuk membajak akun-akun politisi Amerika.


Dari berbagai kejadian itu terlihat bahwa pihak asing berusaha terlibat dalam berbagai peristiwa politik di sebuah negara. Mereka dinilai sangat agresif dalam upaya untuk mempengaruhi hal-hal sensitif semisal hasil pemilihan umum atau keputusan politik di sebuah negara. Mereka membuat narasi-narasi yang bertujuan untuk menguntungkan mereka dan disebar melalui akun-akun media sosial serta menggunakan teknik pemasaran digital yang bisa menarget orang per orang secara tepat.

Dari berbagai kasus itu, pemerintah Indonesia harus mewaspadai kemungkinan aktifitas pihak-pihak luar yang ingin mempengaruhi hasil pemilihan presiden pada April 2019 mendatang. Melihat begitu kerasnya pertentangan di media sosial saat ini, maka kita harus mewaspadai kemungkinan intervensi asing melalui media sosial.

Apalagi posisi Indonesia sangat dibutuhkan, baik oleh Amerika Serikat, Rusia, China, dan Jepang dalam konteks politik global.

Andreas Maryoto,
Wartawan senior Kompas.
KOMPAS, 23 Agustus 2018


Waspada, Krisis Digital Dapat Terjadi Kapan Saja

Ketika kehidupan makin banyak bergantung pada teknologi digital maka kita harus bersiap ketika terjadi krisis. Kita tidak dapat menggantungkan atau memuja-muja sepenuhnya kehadiran berbagai produk teknologi digital.

Peran manusia ternyata masih menentukan sehingga tidak semuanya dapat dijalankan dengan teknologi digital. Apalagi, ketika tata kelola yang baik masih harus dibangun dan masih dalam proses, maka sistem dengan teknologi digital sehebat apapun dapat mengalami krisis.

Kita baru saja menyaksikan betapa rumitnya urusan tiket Asian Games 2018 sehingga pengelolaan dipindahkan dari Kiostix ke Blibli.com, Loket.com, dan Tiket.com. Itu karena publik tidak puas dengan sistem manajemen tiket sebelum pembukaan Asian Games dilakukan.

Tokopedia juga terpaksa memecat sejumlah karyawannya yang diketahui melakukan tindakan tidak terpuji. Tokopedia ingin menegakkan tata kelola yang benar. Kasus lainnya sudah banyak terjadi di beberapa perusahaan teknologi dan juga perbankan di Indonesia.


Keterandalan teknologi digital ternyata juga memunculkan masalah sehingga bisa memunculkan krisis. Tata kelola yang tidak memadai, kemampuan infrastruktur yang minim, kekurangandalan sistem, hingga kelemahan keterampilan para pengembang dalam menerjemahkan kebutuhan digitalisasi, menjadi penyebab munculnya krisis digital. Salah satu hasil survei menyebutkan krisis digital sebagian besar disebabkan dari dalam perusahaan teknologi itu sendiri!

Kalangan ahli manajemen krisis pun berpendapat, krisis digital bisa terjadi kapan saja dan pada siapa saja. Krisis ini telah pernah menimpa sejumlah perusahaan-perusahaan besar sehingga siapapun bakal bisa terkena krisis ini tanpa pandang bulu.

Kejadian seperti ini terus meningkat sehingga perusahaan perlu membuat protokol mengenai rencana tanggap darurat terhadap krisis. Sayangnya, sebagian besar tanggapan terhadap krisis digital masih membahas soal krisis reputasi perusahaan berkaitan dengan berita di media sosial. Padahal krisis dalam konteks itu sebenarnya adalah krisis komunikasi digital.


Di dalam salah satu blog tentang pengelolaan krisis disebutkan beberapa komponen yang diperlukan saat terjadi krisis digital. Pertama adalah, teknologi digital itu sendiri yang digunakan untuk melakukan komunikasi antarpihak di dalam perusahaan.

Teknologi digital harus digunakan untuk mempercepat arus informasi penanganan krisis. Model lama dengan cara manual harus ditinggalkan karena kemampuan menangani krisis akan terhambat bila dilakukan dengan cara manual dan konvensional.

Kedua adalah, aksesibilitas informasi oleh karyawan. Ketika krisis maka semua karyawan secara proporsional harus mudah mengakses informasi sehingga tidak terjadi simpang siur.

Ketiga adalah, aktivasi para pemangku kepentingan agar bisa terlibat dalam menangani krisis. Ketika krisis membesar dan cenderung ditangani sendiri maka mereka telah mengabaikan para pemangku kepentingan lainnya yang sebenarnya bisa ikut terlibat dalam menangani krisis.

Apalagi, mereka sebenarnya memiliki kemampuan dan pengaruh yang bisa ikut menangani krisis.


Keempat adalah, kecepatan merespons melalui infrastruktur yang tersedia dapat mempercepat respons terhadap berbagai jenis krisis.

Krisis digital memiliki cakupan yang sangat luas dari mulai krisis karena kemampuan infrastruktur yang tidak memadai, tindakan yang tidak terpuji dari mereka yang mengelola teknologi digital, hingga masalah komunikasi berbasis teknologi digital.

Kita masih perlu belajar banyak agar kita bisa menangani krisis di era yang makin bergantung pada teknologi digital. Penanganan krisis digital menjadi mutlak karena menyangkut kepercayaan publik atau konsumen sehingga hal ini harus menjadi prioritas utama yang harus segera dipulihkan. Dan tentu saja, keamanan sistem merupakan kunci dalam mencegah terjadinya krisis yang berulang.

Andreas Maryoto,
Wartawan senior Kompas.
KOMPAS, 30 Agustus 2018