Monday, August 24, 2020

Bahasa Ajip Rosidi


Ada kelakar di antara rekan-rekan di Bandung, Jawa Barat,  tentang mengapa Ajip Rosidi, sepulang ia dari Jepang, justru memilih Magelang, Jawa Tengah, sebagai tempat kediamannya. Bukan Jakarta atau Bandung yang merupakan tempat kegiatan utamanya hingga tahun-tahun pengujung hayatnya.

Boleh jadi dia lebih sering berada di dua kota ini ketimbang di Magelang. Di Pasar Minggu, Jakarta, ada rumahnya yang lingkungannya tenang dan nyaman. Juga ada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang selalu dia sempatkan diri buat mengunjungi tiap kali dia sedang berada di Jakarta. Di Bandung, ia membangun perpustakaan. Di sana juga ada lokasi usaha penerbitannya, PT Dunia Pustaka Jaya.

Khusus di Bandung, tampaknya banyak yang ia kangenkan dari masa lalu, raut kota dan paras muka teman-teman lama. Terasa bahwa dia sangat mencintai kota itu. Mungkin karena kultur dan bahasa Sunda yang setia menghidupi cekungan Priangan itu. Luar biasa cintanya dia pada kesundaan, tetapi tetap pedas kritiknya terhadap hipokrisi sosial serupa benalu yang inheren di dalam kulturnya.

Perpustakaan pribadi Ajip Rosidi di Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Fadli Zon)

Jadi, kenapa ia menyusahkan diri, memaksakan badan yang menua dan digerogoti rupa-rupa penyakit, bolak-balik Magelang-Bandung-Jakarta dengan Kijangnya? Menurut celoteh yang usil, Ajip merasa perlu menjauh sebab di dua kota ini banyak "musuhnya", dari bekas-bekas polemik tentang sastra dan lain-lain.

Namanya guyon, pasti berlebihan dan tanpa batas, tapi Ajip memang keras kepala selama itu berkaitan dengan prinsip pemikiran. Ada kalanya, saking kerasnya polemik, tak ayal serangan melenceng ke luar konteks hingga menyambar soal pribadi. Tentu saja, kasus semacam ini di kancah pemikiran lazim terjadi, siapa pun orangnya.

Sebagai seorang otodidak —ini yang kerap ia banggakan: hidup tanpa ijazah, frase yang jadi judul otobiografinya— kuat kesan bahwa pada dirinya ada semacam arogansi atau sikap batin atas wawasan dan bahasa yang ia gunakan selaku penulis. Yang saya maksud bukan sombong dalam hal adab, sebab sebagai pribadi, ia hangat dan rendah hati.


Kita tahu Ajip menulis beragam genre: sajak, novel, kritik sastra dan sosial, kisah perjalanan, hingga opini politik. Wajar jika seorang sastrawan berambisi mengukuhkan sikap bahasanya, yang menurut pandangannya sendiri punya dasar yang kuat.

Biasanya, hanya editor selaku pembaca pertama draf atau naskah yang dapat mengenali sikap bahasa seorang penulis. Khalayak yang menjumpai tulisannya berupa artikel atau buku yang sudah rapi disunting editor koran, majalah, atau penerbit buku relatif berjarak buat mengenali sikap bahasa penulis yang sesungguhnya. Bahasa pada teks yang muncul di koran atau buku yang sudah dipajang di etalase sedikit banyak sudah dicampuri tangan editor, tak sepenuhnya mewakili sikap bahasa si penulis.

Kebetulan, Ajip mengelola penerbitan yang semula didirikan dengan dukungan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan seiring berjalannya waktu dan dinamika bisnis, penerbitan itu ia kelola sendiri dan terus mencetak buku-bukunya. Boleh jadi, situasi ini memungkinkan dia mempertahankan sikap bahasa yang dia tetapkan sejak tahap draft hingga dipublikasikan.

Ong Hok Ham, Tjipta Lesmana, dan Ajip Rosidi.

Dari draft naskah dan buku-buku yang dia sunting sendiri, saya mencatat sejumlah kata yang dipakai dengan keras kepala tanpa toleransi dengan, misalnya, suasana zaman atau, sebutlah "dinamika bahasa". Beda dengan Ong Hok Ham atau Tjipta Lesmana, yang sepintas gayanya menarik, ternyata naskah aslinya memaksa editor berjibaku merapikan sebelum disajikan ke publik, draf Ajip disusun dengan kesungguhan penulis sekaligus editor cermat: kesungguhan yang memagari sikap bahasanya, termasuk kegigihannya membubuhi diakritik pada huruf /e/ untuk membedakan, misalnya, "pesan" dengan "pepesan".

Membaca draf Ajip serasa membaca teks dari zaman lampau. Kata-kata tertentu ditulis tanpa peduli tren dan sikap evaluatif, misalnya "sistim" (bukan "sistem"), "sipat" (bukan "sifat"), "masarakat" (bukan "masyarakat"), "sastera" (bukan "sastra") —tapi pada catatan saya, ia tak menulis "Inggeris", entahlah. Ia menolak pengembalian "kuatir" ke lafaz Arab "khawatir". Ia tulis "ahir" (bukan "akhir"); "sekedar" (bukan "sekadar"). Ia gigih dengan diakritik, maka ia tulis "modren" (bukan "modern")— antara 2017 dan 2019, sekilas saya lihat Goenawan Mohamad di media sosial menyinggung pentingnya diakritik bagi /e/, meski ia tak menyebut nama Ajip.

Tampak kuat kecenderungan Ajip memformalkan ragam lisan sehari-harinya pada tulisannya, sebagai contoh: "tadinya" (untuk "semula"); "dirobah" dan "merobah" (bukan "diubah" dan "mengubah" menurut ejaan yang baku). Eksesnya, kelisanan Ajip mendominasi bahasa tulisnya, misalnya ia gunakan koma bukan untuk memisahkan unsur-unsur dalam perincian, atau pemisah anak kalimat yang mendahului induk kalimat, melainkan sebagai jeda jika kalimat dianggap terlalu panjang, untuk bernapas, sonder peduli batasan subyek dan predikat.


Kasus ini bertebaran di berbagai tulisannya, tapi cukup saya petik dari "Mengatasi berbagai Masalah Bahasa Indonesia", artikel dari kolom bahasa setiap pekan di koran yang kemudian dibukukan. Perhatikan penempatan koma pada empat kalimat berikut: "Bahwa hal itu telah terjadi, menunjukkan bahwa pelajaran bahasa Indonesia kita tidak berhasil." "Selama ini telah diakui, bahwa bahasa pers besar pengaruhnya bagi perkembangan bahasa nasional." "Harus diakui bahwa para anak didik khususnya dan masyarakat umumnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca majalah." "Dari bahasa yang digunakan kelihatan bahwa sekalipun wartawan surat kabar terkemuka, kurang banyak membaca."

Pada Ajip, pengertian arbitrer dalam bahasa sedemikian luasnya sehingga dia membolehkan dirinya membikin sistem sendiri tanpa memusingkan sistematika berfondasi kaidah tertentu yang bukan hanya konsisten, tetapi juga harus punya akar kuat bagi perkembangan bahasa di dalam zaman yang kesetanan menantang kelembaman semua bahasa dunia saat ini. Kecuali dalam hal diakritik pada aksara /e/.

Kurnia JR,
Pujangga
KOMPAS, 11 Agustus 2020


Biografi Singkat Ajip Rosidi

Ajip Rosidi, dibaca dengan ejaan baru: Ayip Rosidi, lahir di Jatiwangi, Jawa Barat, 31 Januari 1938 – meninggal di Magelang, 29 Juli 2020 pada umur 82 tahun. Beliau adalah salah seorang sastrawan Indonesia, penulis, budayawan, dosen, pendiri, dan redaktur beberapa penerbit, juga pendiri serta ketua Yayasan Kebudayaan Rancage.

Pendidikan
Ajip Rosidi mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Jatiwangi (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953) dan terakhir, Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956). Meski tidak tamat sekolah menengah, namun dia dipercaya mengajar sebagai dosen di perguruan tinggi Indonesia, dan sejak 1967, juga mengajar di Jepang. Pada 31 Januari 2011, ia menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Aktris senior Nani Wijaya (72) resmi diperistri sastrawan Ajip Rosidi (79). Akad nikah dilaksanakan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, Ahad (16/4/2017).

Proses kreatif
Ajip mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian melakukan telaah dan menulis komentar tentang sastra, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastra Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik.

Ia mulai mempublikasikan karya sastranya tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang, Siasat Indonesia, Zenith, Kisah, dll. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif di Indonesia karena telah menghasilkan 326 judul karya yang dimuat dalam 22 majalah.

Bukunya yang pertama, berjudul “Tahun-tahun Kematian” terbit ketika usianya baru 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya sekitar seratus judul.

Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dimuat dalam bunga rampai atau terbit sebagai buku, a.l. dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perancis, Kroatia, Rusia, dll.


Aktivitas
Pada umur 12 tahun, saat masih duduk di bangku kelas VI Sekolah Rakyat, tulisan Ajip telah dimuat dalam ruang anak-anak pada harian Indonesia Raya.

Sejak SMP Ajip sudah menekuni dunia penulisan dan penerbitan. Ia menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955). Pada tahun 1965-1967 ia menjadi Pemimpin redaksi Mingguan Sunda; Pemimpin redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979); Pendiri penerbit Pustaka Jaya (1971). Mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS) yang banyak merekam Carita Pantun dan mempublikasikannya (1970-1973).

Bersama kawan-kawannya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari di Bandung (1962), penerbit Cupumanik (Tjupumanik) di Jatiwangi (1964), Duta Rakyat (1965) di Bandung, Pustaka Jaya (kemudian Dunia Pustaka Jaya) di Jakarta (1971), Girimukti Pasaka di Jakarta (1980), dan Kiblat Buku Utama di Bandung (2000). Terpilih menjadi Ketua IKAPI dalam dua kali kongres (1973-1976 dan 1976-1979). Menjadi anggota DKJ sejak awal (1968), kemudian menjadi Ketua DKJ beberapa masa jabatan (1972-1981). Menjadi anggota BMKN 1954, dan menjadi anggota pengurus pleno (terpilih dalam Kongres 1960). Menjadi anggota LBSS dan menjadi anggota pengurus pleno (1956-1958) dan anggota Dewan Pembina (terpilih dalam Kongres 1993), tetapi mengundurkan diri (1996). Salah seorang pendiri dan salah seorang Ketua PP-SS yang pertama (1968-1975), kemudian menjadi salah seorang pendiri dan Ketua Dewan Pendiri Yayasan PP-SS (1996). Salah seorang pendiri Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (1977).

Sejak 1981 diangkat menjadi guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daigaku (1982-1994), tetapi terus aktif memperhatikan kehidupan sastra-budaya dan sosial-politik di tanah air dan terus menulis. Tahun 1989 secara pribadi memberikan Hadiah Sastra Rancagé setiap tahun, yang kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikannya.

Setelah pensiun ia menetap di desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Meskipun begitu, ia masih aktif mengelola beberapa lembaga nonprofit seperti Yayasan Kebudayaan Rancagé dan Pusat Studi Sunda. Pada tahun 2008, beberapa sastrawan mengapresiasi karyanya yang dituangkan dalam buku berjudul Jejak Langkah Urang Sunda 70 Tahun Ajip Rosidi.


Karya-karyanya
Ada ratusan karya Ajip. Beberapa di antaranya:
1. Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955)
2. Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956)
3. Pesta (kumpulan sajak, 1956)
4. Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956)
5. Sebuah Rumah buat Hari Tua (kumpulan cerpen, 1957)
6. Perjalanan Penganten (roman, 1958, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh H. Chambert-Loir, 1976; Kroatia, 1978, dan Jepang oleh T. Kasuya, 1991)
7. Cari Muatan (kumpulan sajak, 1959)
8. Membicarakan Cerita Pendek Indonesia (1959)
9. Surat Cinta Enday Rasidin (kumpulan sajak, 1960);
10. Pertemuan Kembali (kumpulan cerpen, 1961)
11. Kapankah Kesusasteraan Indonesia lahir? (1964; cetak ulang yang direvisi, 1985)
12. Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna (kumpulan sajak, bahasa Sunda, 1967);
13. Jeram (kumpulan sajak, 1970);
14. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia (1969)
15. Ular dan Kabut (kumpulan sajak, 1973);
16. Sajak-sajak Anak Matahari (kumpulan sajak, 1979, seluruhnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh T. Indoh, dan dimuat dalam majalah Fune dan Shin Nihon Bungaku (1981)
17. Manusia Sunda (1984)
18. Anak Tanah Air (novel, 1985, diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Funachi Megumi, 1989)
19. Nama dan Makna (kumpulan sajak, 1988)
20. Sunda Shigishi hi no yume (terjemahan bahasa Jepang dari pilihan keempat kumpulan cerita pendek oleh T. Kasuya 1988)
21. Puisi Indonesia Modern, Sebuah Pengantar (1988)
22. Terkenang Topeng Cirebon (kumpulan sajak, 1993)
23. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995)
24. Mimpi Masa Silam (kumpulan cerpen, 2000, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang)
25. Masa Depan Budaya Daerah (2004)
26. Pantun Anak Ayam (kumpulan sajak, 2006)
27. Korupsi dan Kebudayaan (2006)
28. Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan (otobiografi, 2008)
29. Ensiklopédi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya (2000)

Disamping itu, Ajip juga menulis drama, cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, lelucon, dan memoar serta menjadi penyunting beberapa bunga rampai.


Penghargaan
1. Hadiah Sastera Nasional 1955-1956 untuk puisi (diberikan tahun 1957) dan 1957-1958 untuk prosa (diberikan tahun 1960).
2. Hadiah Seni dari Pemerintah RI 1993.
3. Kun Santo Zui Ho Sho ("Bintang Jasa Khazanah Suci, Sinar Emas dengan Selempang Leher") dari pemerintah Jepang sebagai penghargaan atas jasa-jasanya yang dinilai sangat bermanfaat bagi hubungan Indonesia-Jepang 1999.
4. Anugerah Hamengku Buwono IX 2008 untuk berbagai sumbangan positifnya bagi masyarakat Indonesia di bidang sastera dan budaya.
5. Doktor Honoris Causa (HC) untuk Program Studi Budaya, Fakultas Sastra dari Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia,
Ensiklopedia bebas
https://id.wikipedia.org/wiki/Ajip_Rosidi