Friday, June 19, 2015

Anomali Demokrasi


Setiap pergantian rezim selalu menjanjikan harapan perubahan masa depan. Gagasan “Revolusi Mental” yang diusung Joko Widodo ––sebagai panduan perubahan, dan menjadi agenda Kabinet Kerja–– telah membentangkan jutaan harapan rakyat Indonesia bagi perubahan cepat, segera, dan radikal di aneka bidang: penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pembangunan kualitas manusia, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Akan tetapi, setiap perubahan menuntut “kekuasaan nyata”, yaitu pemimpin yang dituruti, diikuti, dan dipatuhi secara nyata, bukan sekadar simbolik. Kekuasaan semacam ini diharapkan mampu menciptakan kedisiplinan, kepatuhan, dan loyalitas terhadap otoritas kekuasaan sebagai syarat mutlak perubahan. Bila kekuasaan nyata ini tak bekerja, perubahan akan bergerak seperti bola liar, yang dapat membawa kepada situasi ketakpastian dan chaos.

Sayangnya kekuasaan nyata itu tak mampu ditunjukkan Jokowi. Berbagai ketakpatuhan, ketakdisiplinan, dan ketaktaatan diperlihatkan bawahannya, yang menunjukkan degradasi kekuasaan tertinggi negara. Di pihak lain, ada semacam “kekuasaan tak tampak”, yang meski tak terlihat, tetapi mampu menunjukkan efek kekuasaannya dalam “mengendalikan” dan “mengarahkan” perubahan.


Anomali kekuasaan
Kekuasaan sangat sentral dalam setiap perubahan karena perubahan perlu kekuatan pendorong, energi dan mesin penggerak. Makna kekuasaan paling luas adalah “potensi bagi perubahan”, yaitu kemampuan mencapai tujuan bersama, baik pada tingkat keluarga, kelompok, organisasi, lembaga keagamaan, perusahaan, partai politik, dan negara-bangsa. Kekuasaan adalah “kapasitas” untuk mengubah potensi menjadi kenyataan. (Boulding 1989)

Kekuasaan “normal” dalam sistem demokrasi ditunjukkan oleh kemampuan otoritas kekuasaan merealisasikan segala potensi bagi perubahan, yang ditampakkan pula oleh kedisiplinan, kepatuhan, dan ketaatan aparat-aparat negara yang terlibat di dalamnya, serta berfungsinya aparatus negara yang ada. Dalam hal ini, “kapasitas” bagi perubahan ditunjukkan oleh efektivitas relasi tiga unsur perubahan: pemimpin tertinggi, aparat, dan aparatus.

“Aparatus” adalah segala sesuatu yang memiliki kapasitas mengarahkan, menentukan, memodelkan, mengendalikan atau mengamankan gestur, perilaku, opini atau wacana yang berkaitan dengan perubahan. Di antara aparatus ini adalah sekolah, ruang pengadilan, penjara, tempat ibadah, ruang rehabilitasi, istana presiden, persenjataan, UU, bahkan tulisan, filsafat, karya seni, media, dan bahasa. Aparatus adalah “kendaraan” di mana kekuasaan dimanifestasikan. (Agamben 2009).


“Anomali kekuasaan” adalah penyimpangan dari relasi kekuasaan yang “normal”, ke arah yang “abnormal”. Di sini ada distorsi kepada otoritas kekuasaan, ketika fungsi kekuasaan nyata diambil alih kekuatan-kekuataan tak tampak, di mana, ironisnya, para aparat negara justru patuh kepada kekuatan tak tampak ini. Kondisi ini menyebabkan aparatus negara tak berfungsi normal karena digerogoti kekuatan-kekuatan tak tampak itu.

Fungsi “normal” aparat hukum seperti kepolisian adalah menegakkan aturan hukum demi kebenaran. Anomali hukum adalah penyimpangan fungsi aparat hukum, yang alih-alih menegakkan hukum, justru melindungi kepentingan korps mereka, khususnya atas tuduhan keterlibatan korupsi. Anomali tingkat aparat ini menggiring pula kepada anomali di tingkat aparatus hukum, yang kini tak lagi mengarahkan perilaku, opini atau wacana ke arah pengungkapan kebenaran, tetapi malah memalsukan kebenaran.

Di dalam sistem pemerintahan demokratis, sistem kekuasaan tak hanya terbagi secara horisontal sebagai manifestasi prinsip check and balance (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), juga secara vertikal bersifat hierarkis. Fungsi aparat adalah menjalankan tugasnya sebatas otoritasnya, dengan mematuhi otoritas kekuasaan lebih tinggi. Anomali kekuasaan adalah ketika otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh kepada otoritas di atasnya, seperti yang ditunjukkan aparat kepolisian.

Anomali kekuasaan pada rezim pemerintahan Jokowi ditandai anomali kekuasaan horisontal dan vertikal sekaligus. Di satu sisi, otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh kepada kekuasaan lebih tinggi, seperti ditunjukkan aparat kepolisian. Di sisi lain, ada intervensi sistem kekuasaan yang setara, seperti yang ditunjukkan Menteri Hukum dan HAM terhadap lembaga yudikatif.


Skeptisisme politik
Relasi kekuasaan demokratis yang ditunjukkan melalui aktivitas kepemerintahan menentukan kualitas demokrasi. Otoritas kekuasaan tak saja harus ditunjukkan secara penuh, utuh, berkesatuan, konsisten, dan berkelanjutan, tetapi juga tak mengandung unsur ambiguitas, ambivalensi, dan kontradiksi. Kekuasaan tak mungkin mengandung dua sifat kontradiktif sekaligus: berkuasa sekaligus tak berkuasa, memerintah sekaligus diperintah, melarang sekaligus menyuruh.

Ambiguitas adalah kekacauan makna dalam bahasa. Padanannya dalam perilaku adalah ambivalensi, yaitu keadaan mengambang di antara dua tindakan. Kata-kata ambigu biasanya adalah turunan dari perilaku ambivalen. Ironisnya, ambiguitas ucapan dan ambivalensi tingkah laku inilah yang menandai rezim sekarang ini: ucapan ambigu (“tidak akan impor beras”, tetapi “boleh impor beras”) dan tindakan ambivalen (meminjam ke Bank Dunia, tetapi meminta dihapuskan Bank Dunia).

Ambiguitas dan ambivalensi sangat memengaruhi tingkat “keterpercayaan” kepada elite kekuasaan. Keterpercayaan adalah ekspektasi masyarakat akan perilaku yang konsisten dan benar berlandaskan norma-norma bersama. Sebaliknya, ambiguitas menunjukkan inkonsistensi, yang dapat melunturkan kepercayaan. Ambiguitas ucapan dan ambivalensi tindakan adalah dua aspek yang berpotensi menumpuk akumulasi ketakpercayaan kepada rezim pemerintah sekarang.

Keterpercayaan adalah fondasi politik demokratis karena ia merupakan akar dari keyakinan akan kapasitas, kompetensi, dan kemampuan seorang elite politik. Karena itu, di dalam politik ada semacam “politik keyakinan”, yaitu semacam vitalitas yang memberi masyarakat politik semacam optimisme kolektif akan kapabilitas dan kapasitas sebuah rezim kekuasaan dalam mencapai tujuan atau cita-cita bersama masyarakat-bangsa, melalui otoritas kekuasaan yang dimiliki.


Sebaliknya, “politik skeptisisme” menumbuhkan ekspektasi bahwa tujuan bersama tak mungkin tercapai karena aneka prasangka, benturan, konflik, ketakharmonisan di antara aparat dan institusi-insitusi politik tak mampu diselesaikan pemegang kekuasaan tertinggi.

Tak berfungsinya otoritas tertinggi kekuasaan tampak dalam pembiaran “kriminalisasi” kepada lembaga negara, seperti KPK oleh kekuatan-kekuatan “tak tampak”, yang tetap terjadi hingga kini. Anomali kekuasaan dan ketakmampuan menunjukkan kekuasaan nyata oleh pemimpin tertinggi ini, dikhawatirkan akan menyebabkan eskalasi dan meluasnya sikap skeptisisme dan menumpuknya ketakpercayaan rakyat kepada otoritas kekuasaan, yang pada gilirannya dapat mengancam kelanjutan rezim pemerintah.

Untuk menghentikan eskalasi skeptisisme dan akumulasi ketakpercayaan, Jokowi dituntut berpikir keras dan serius untuk menemukan cara memulihkan kekuasaannya, khususnya untuk menghentikan mesin-mesin kekuatan tak tampak yang merongrong otoritasnya. Hanya dengan cara itu dapat ditunjukkan kharisma kekuasaannya dalam memimpin, mengarahkan, memandu, menyelesaikan, memberi solusi, dan memutuskan berbagai masalah negara-bangsa di atas kekuatan diri sendiri sebagai pemimpin tertinggi.

Yasraf Amir Piliang,
Pemikir Sosial dan Kebudayaan
KOMPAS, 3 Juni 2015