Friday, July 29, 2016

Pembiaran: Menebar Kesempatan, Menuai Pembodohan dan Kerusuhan

Arya Permana, bocah usia 10 tahun, asal Cipurwasari, Karawang, terkena obesitas hingga beratnya mencapai 190 kilogram.

Dalam waktu sebulan, begitu banyak fenomena seputar kesehatan terjadi di negeri ini. Mulai dari perlecehan seksual, obesitas luar biasa, hingga vaksin palsu ––yang bukan suatu kebetulan–– korbannya semua berkisar di dunia anak.

Sebagian besar orang menyebut kejadian-kejadian tersebut hanyalah fenomena puncak gunung es, yang artinya baru terkuak satu-dua kasus, berkat kegencaran teknologi media.

Ibarat gunung es di laut, setiap saat air menyurut, penampakan gunung raksasa semakin mengerikan memperlihatkan kian banyak hal yang sebelumnya tertelan dari pandangan.

Jika mau diurut ke belakang, semua masalah itu bermuara pada satu kata yang amat terlalu sering muncul di negeri ini: pembiaran.

Pembiaran berimbas pada pembiasaan ––sehingga tak ada seorang pun yang menyadari bahwa anomali sebenarnya telah terjadi.

Rita Agustina dan Hidayat, suami istri tersangka produsen vaksin palsu yang menggemparkan dunia kesehatan anak Indonesia.

Terlalu banyak orangtua yang sebenarnya belum siap menjalankan peran sebagai orangtua, dan akhirnya berakibat fatal saat anak-anak mereka hadir.

Perilaku yang jauh dari gaya hidup sehat, kebiasaan pola makan salah kaprah, semua menjadi contoh yang diam-diam ditiru anak. Tidak pandang jenjang ekonomi, pelecehan, obesitas, korban layanan kesehatan yang buruk, bisa mengintai siapa saja.

Padahal, perkawinan berlandaskan agama di negeri ini mengharuskan pasangan yang akan menikah mengikuti kursus singkat untuk menjadi pasangan suami istri dan calon ayah ibu yang baik dan benar.

Jika kursus ini dianggap bermanfaat, disampaikan oleh ahli yang kompeten dan dijalankan dengan benar, sebagian besar perkara yang menimpa anak tidak mungkin terjadi.

Namun, euphoria pasangan calon pengantin yang hanya fokus pada pesta, pamer keluarga atau persiapan yang terburu-buru akibat kehamilan yang di luar rencana, kursus persiapan perkawinan akhirnya hanyalah sekadar ‘syarat’ yang banyak pasangan mengaku mengabaikannya, bahkan dirasa sebagai birokrasi yang menyebalkan.

Kapan jargon "Indonesia Sehat" akan terlaksana? Kapan-kapaaaann.....

Tidak ada sekolah menjadi orangtua. Betul sekali. Tapi, proses menjadi orangtua pun kerap tak terjadi karena fokus kehidupan hanyalah seputar pemenuhan kebutuhan materi yang kelihatannya tak pernah ada kata ‘cukup’ ––di semua lapisan sosial ekonomi.

Alasan tidak punya waktu bagi pasangan berujung menjadi hilang waktu bagi anak-anak. Isi pembicaraan dalam keluarga pun dangkal, sekadar menanyakan sudah makan belum, pulang jam berapa, besok ulangan apa ––atau pemberitahuan ayah pulang telat, karena lembur, dll.

Kedalaman hati dan perilaku afeksi, akhirnya dicurahkan pada orang-orang yang semestinya berada di luar lingkaran. Maka pelecehan fisik pun rentan terjadi.

Waktu 24 jam yang terburai untuk berkutat dengan uang, asyik dengan tontonan yang tidak menuntun, atau "tertelan" pergaulan dunia maya, membuat manusia mencari kepraktisan dalam memelihara dirinya ––yang seharusnya mendapat waktu lebih.


Alasan dengan membeli makanan, maka hidup jadi lebih praktis ketimbang harus memasaknya sendiri. Maka kebiasaan ini pun menular pada anak, menyebabkan mereka mempunyai ‘normalitas yang baru’ tentang prinsip pola makan.

Iklan-iklan produk industri makanan yang kian liar dan menjadi-jadi menyebabkan kecanduan baru yang tak terelakkan. Ketimpangan informasi, ketidakhadiran negara untuk menyeimbangkan kebenaran tentang informasi kesehatan mengakibatkan kekisruhan yang kian kusut dan ruwet.

Alhasil, malnutrisi ganda melanda bangsa ini. Dari anak yang kurus kering tinggal tulang berbungkus kulit karena gizi buruk, hingga kelebihan berat badan sekian ratus kilo karena obesitas.

Begitu pula semakin banyak orang tanpa latar belakang pendidikan kesehatan formal yang kredibel mengaku pakar kesehatan, mengajar pelbagai jenis diet aneh, menulis buku “kesehatan”, bahkan dijadikan narasumber di mana-mana.


Kesempatan dalam kesempitan
Istilah kesempatan dalam kesempitan sejak zaman dahulu selalu dijadikan peluang emas. Saat pimpinan bangsa ini ribet dengan berbagi jurus untuk merenggut posisi dan kekuasaan, publik terlantar tanpa pengarahan dan apalagi pengawasan.

Berpuluh tahun penjual obat liar marak di pasar-pasar gelap yang terang-terangan berjualan. Agak sarkastik, memang. Tapi itulah faktanya.

Banyak tempat dikenal sebagai lokasi penjualan berbagai macam merk obat penenang hingga obat kanker impor ––yang kasusnya kini kian amburadul, karena toko ‘online’ siap mengantar obat apa saja, termasuk obat untuk aborsi via dunia maya yang diantar langsung ke rumah.

Bukan rahasia umum, apotik hingga kini bebas menjual langsung ke publik, obat yang berlabel ‘harus dengan resep dokter’ termasuk obat antibiotik.


Pemerintah seakan tak hadir bagi rakyat. Jangankan pembersihan atau penangkapan, pengawasan pun sepertinya tidak ada. Padahal sistemnya ada. Semua menunggu kejadian dan kasus. Setelah kejadian baru ada “gerakan”. Seakan kaget, baru bangun dari tidur lama ….

Jadi, perkara vaksin palsu bukan hal yang mengagetkan. Ada permintaan, maka ada penyedia. Ada kesempatan menjual barang palsu, pasti karena ada yang menginginkan ‘harga bagus’ ––dan tak ada satu pihak pun yang mengawasi apalagi melakukan penjaminan.

Dokter belanja di black market, keluguan tanpa berpikir risiko barang haram ––mulai dari pemasokan hingga isinya yang haram alias tak sesuai label, membuat mereka terjebak dalam etika profesi dan SOP (standar operasional prosedur) yang tak dipatuhi.

Kebebasan publik memilih obat paten ketimbang generik, tak ubahnya sama seperti hak publik memilih vaksin impor ketimbang vaksin generik buatan lokal.


Kewenangan pemerintah memang tak mungkin membatasi hak-hak warga negara untuk membuat pilihan. Tapi, wujud negara bisa hadir dalam bentuk distribusi informasi sejelas dan sebanyak mungkin, agar publik jeli dan tidak salah pilih. Termasuk pengawasan terlaksananya sistem dan penindakan bilamana terjadi pelanggaran.

Pembiaran, pembiasaan dan ketidaktahuan yang mengarah pada pembodohan sudah saatnya diakhiri. Percuma saja kita bermimpi tentang mengubah orang lain, mengubah dunia, mencanangkan bermacam-macam revolusi ––yang hanya berakhir sebagai jargon–– tanpa mengubah perilaku diri sendiri.

Seperti Leo Tolstoy pernah mengatakan, “Everyone thinks about changing the world, but no one thinks of changing himself”.

Seyogyanya, semua perubahan dimulai dari diri sendiri ––orang lain dengan serta merta akan mengikut, bilamana perubahan itu bermakna, tanpa perlu disuruh apalagi dipaksa. Siapa sih, yang tidak mau hidup lebih baik?

DR. dr. Tan Shot Yen, M. hum,
Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku
http://health.kompas.com/read/2016/07/20/090300723/pembiaran.menebar.kesempatan.menuai.pembodohan.dan.kerusuhan