Saturday, August 29, 2015

Non-Finito


Saya kenal banyak pemimpin daerah, tetapi hanya sedikit di antara mereka yang mempunyai visi jangka panjang. Kebanyakan orientasi mereka hanya untuk tiga-empat tahun ke depan. Setelah itu mereka sibuk mempersiapkan diri agar terpilih lagi. Atau, jika dia seorang bupati/wali kota, bagaimana agar naik kelas menjadi gubernur.

Oleh karena orientasinya hanya tiga-empat tahun ke depan, bisa dipastikan banyak programnya yang populer dan hanya berjangka pendek. Misalnya membangun taman-taman kota, merapikan trotoar dan lampu-lampu penerangan jalan, memperbaiki jalan-jalan yang berlubang, serta membenahi fasilitas publik lainnya.

Pendeknya, program-program yang cepat terlihat dan dirasakan masyarakat. Itu tidak jelek. Bagus-bagus saja. Hanya, saya melihat banyak masalah kita yang tidak bisa diselesaikan dengan program-program jangka pendek. Program-program seperti itu tidak menyentuh, apalagi menyelesaikan akar masalahnya. Banyak masalah kita yang harus diselesaikan dengan program-program jangka panjang.

Ridwan Kamil (Kang Emil), walikota Bandung, salah seorang pemimpin daerah yang visioner.

Celakanya, para pemimpin daerah yang mempunyai visi jangka panjang kerap menuai sejumlah hambatan. Misalnya, dia harus berhadapan dengan rakyat yang kerap kali tidak sabar melihat hasil kerjanya. Dia juga harus berhadapan dengan wakil-wakil rakyat di DPRD yang kerap memanfaatkan ketidaksabaran rakyat.

Masalah yang lebih serius adalah tidak ada garansi bahwa proyek-proyek jangka panjangnya bakal tuntas semasa sang pemimpin itu menjabat. Bukankah di negara kita ada ungkapan “ganti pejabat, ganti kebijakan”?

Beruntung kalau proyeknya dilanjutkan. Meski begitu, jelas bukan pemimpin si pemrakarsa yang akan mendapatkan nama, melainkan pemimpin berikutnya. Kondisi seperti itulah yang membuat negara kita belakangan miskin dengan karya-karya besar.

Galileo Galilei, seorang tokoh besar dengan karya besar.

Tidak Selesai
Dunia kita sebetulnya kaya dengan karya-karya besar yang tidak tuntas. Saya menemukannya di Firenze (Florence, Fiorenza, Florentia), Italia. Di sana ada karya-karya agung dari para tokoh pembaharu, tokoh renaissannce. Di antaranya Galileo Galilei, arsitek agung Michelangelo dan Donatello, serta pelukis Leonardo da Vinci.

Karya-karya besar itu dibangun puluhan hingga ratusan tahun. Sejak abad ke-11 hingga 15. Begitu indah dan mengundang rasa ingin tahu jutaan orang dari mancanegara. Udara panas sekitar 40 derajat Celsius ternyata tak menghambat mereka melihat keajaiban renaissance.

Leonardo da Vinci, dengan karya monumentalnya Mona Lisa.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah patung-patung karya Michelangelo. Anda tahu, patung-patung itu dipahat dari batu cadas kelas satu: marmer (marble). Kebetulan, di daerah Tuscany dekat Firenze, ada batu marmer berkualitas prima. Saking kerasnya batu marmer itu, memahatnya tidak hanya membutuhkan kerja keras, tetapi juga ketelitian yang luar biasa, dan tentu saja ada yang tidak selesai.

Salah satu seni patung dari bahan marmer (marble) karya Michelangelo.

Mengapa karya besar itu tak diselesaikan dan tetap dianggap sebagai karya seni yang selesai? Ada banyak teori. Misalnya, pembuatnya ingin menunjukkan betapa keindahan sudah tampak dari karya yang belum diselesaikan.

Teori lain, sang seniman ingin menunjukkan sulitnya membuat sebuah karya. Atau pembuatnya harus segera pindah ke kota lain, berubah pikiran, kehabisan waktu untuk menuntaskan karyanya, atau ditinggal mati penyandang dana.

Patung raksasa Garuda Wisnu Kencana di Bali, yang hingga kini belum selesai terpasang secara utuh.

Penuh Ketidakpastian
Karya-karya besar tadi seakan meninggalkan pesan: adanya kendala yang kini amat menggejala di kalangan pemimpin, yaitu ketidakpastian. Itulah filosofi non-finito dalam setiap perubahan. Para kepala daerah perlu mencamkan hal tersebut. Kalau mereka ingin menghasilkan karya besar, perubahan besar, bersiaplah berhadapan dengan ketidakpastian.

Sewaktu menjadi gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso menggagas pembangunan monorel dan busway. Apa hasilnya? Jakarta semakin macet. Rakyat marah. Apalagi, proyeknya tidak selesai.

Sutiyoso kehabisan waktu. Sebelum proyeknya selesai, jabatannya sudah berakhir. Proyek monorel kini menyisakan tiang-tiang beton berukuran besar di jalan-jalan utama Jakarta. Sementara jalur-jalur busway masih sangat kurang.

Sutiyoso (Bang Yos), mantan Gubernur DKI-Jakarta yang mencanangkan proyek monorail.

Apakah Sutiyoso mewariskan kekacauan bagi ibu kota? Mungkin tidak. Sebab, pembangunan monorel itu memicu tradisi pembangunan infrastruktur publik besar-besaran oleh para penggantinya. Lalu, jalur busway dan bus-busnya juga terus ditambah. Masyarakat pun kini semakin cerewet menuntut pemerintahnya menyediakan angkutan publik yang andal.

Dulu seorang pemimpin perubahan sulit sekali melakukan sesuatu yang berpikiran jauh ke depan. Dia tahu pasti akan kehabisan waktu mengurus banyak hal dan ketidakpastian. Mulai perizinan, anggaran, teknologi, negosiasi dengan politisi, perencanaan, birokrasi, pengadaan, dan sebagainya. Tapi, harap diingat, membangun proyek besar bukan sesuatu yang instan –sebagaimana saya saksikan di Firenze. Prosesnya pun melewati banyak suka dan duka.

Monorail (monorel), antara impian dan kenyataan yang masih belum sinkron.

Di negara kita mungkin banyak orang dengan cepat menilai sebagai proyek gagal. Lalu, sang pemimpin segera akan dipenjarakan atau dikriminalisasi. Tapi, saya berharap itu tidak menciutkan nyali para pemimpin kita untuk membangun karya-karya monumental atau proyek-proyek jangka panjang.

Para penegak hukum dan auditor hendaknya juga harus belajar opportunity cost, bukan cuma monetary cost. Dulu kita berhasil melakukannya. Misalnya, kita bangga mempunyai candi atau Stadion Utama Gelora Bung Karno. Betul monetary cost-nya besar. Tapi tengoklah, opportunity benefit-nya juga besar. Saya berharap kita akan memilikinya lagi.

Hendaknya kita jangan menjadi bangsa yang kerdil, yang beraninya hanya menjadi UMKM, atau membangun jalan tol puluhan kilometer saja. Kita butuh energi besar, mewariskan karya-karya besar, dan melakukan perubahan besar.

Rhenald Kasali,
Akademisi, Praktisi Bisnis
dan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

JAWA POS, 30 Juli 2015

Wednesday, August 12, 2015

Aku Merdeka


Kemerdekaan anak menggagas dan berpikir mandiri kerap dikorbankan demi nafsu orang dewasa memamerkan kehebatan nilai rapor anaknya. Padahal, kemerdekaan dan kebahagiaan anak sama penting dengan keberhasilannya. Oleh karena itu, anak bersama guru serta masyarakat sudah saatnya merencanakan langkah untuk belajar berdaya.

Aku becus
"Aku tak becus," teriak anak Ibu Kiran Bir Sethi suatu saat sepulang dari sekolah. Perkataan ini menggetirkan karena bagaimana mungkin seorang anak yang sejatinya sinonim dengan pengharapan dan impian malah mengimani keputusasaan dan ketakbecusan. Lebih menyakitkannya lagi, perkataan ini keluar dari mulut anak kandungnya sendiri.

Berbekal studinya dalam bidang desain atau reka cipta dan dukungan keluarga orangtuanya yang pereka cipta juga, Ibu Kiran kemudian menggagas Sekolah Riverside di kota Ahmedabad, India, pada tahun 2001. Pegangannya, beliau ingin anak belajar menyelesaikan masalah dengan pemikirannya sendiri sehingga mereka dapat berujar, "Aku becus." Ini terjadi sebelum Presiden Obama berkampanye: "I can."

Kiran Bir Sethi, penggagas Sekolah Riverside dan penebar wabah virus motivasi "I can".

Sekolah ini berhasil, tetapi murid yang diterima hanya 20-an tiap tahun. Masih banyak anak yang juga perlu mengalami, padahal beliau belum ingin menambah sekolahnya. Maka, kemudian Ibu Kiran mengawali gerakan global Design for Change (DFC) pada tahun 2009.

Sekolah dan komunitas di mana pun di dunia boleh menggunakan gagasannya. Berkat kepeloporan menggagas wabah virus "Aku becus" ini, beliau memperoleh berbagai penghargaan regional dan internasional.

Melalui pendekatan DFC, hari ini anak dari Argentina sampai Portugal, dari Afrika Selatan sampai Denmark, belajar menyelesaikan masalah di lingkungannya dengan solusi dan jawaban dari hasil temuannya sendiri.

Pendekatannya, pertama, kelompok anak menentukan masalah di lingkungannya yang mereka rasa perlu untuk diselesaikan. Kemudian, mereka mengimajinasikan kemungkinan jawaban untuk permasalahan tersebut. Kadang, jika perlu, mereka berdiskusi dengan orang dewasa. Dan, sesudah dirasa matang, mereka mewujudkan jawaban tadi dan diujicobakan secara nyata. Setelah berhasil, mereka membagikan cerita keberhasilan itu melalui berbagai media.

Rangkaian empat langkah merasakan-mengimajinasikan-mewujudkan dan membagikan ini merupakan bagian dari Design Thinking atau Berpikir Reka Cipta. Rumusan ini sederhana sehingga anak mudah memahaminya. Bahkan, anak-anak usia 5 tahun di Kamerun, Afrika, mampu menerapkannya.

Kiran Bir Sethi, di tengah para siswa Sekolah Riverside.

Suatu hari, beberapa anak di sekolah École Maternelle Saint Joseph Manyanet YaoundÉ mendatangi Bu Guru Vicki dan menyampaikan kekhawatirannya. Mereka khawatir karena beberapa anak di sekolah itu bermain "sepak bola" dengan menendangi botol plastik bekas kemasan minuman. Mereka merasa bahwa permainan tersebut berbahaya karena botol plastik itu dapat mencederai mata anak.

Setelah mendengar keluhan itu, Bu Vicki mengajak mendiskusikannya. Dalam diskusi itu, ada anak yang mengusulkan sekolah membuat larangan permainan sepak bola. Ada juga yang mengusulkan larangan membawa botol plastik. Setelah mendiskusikan berbagai usulan secara sistematis serta memberikan hak tiap anak berpendapat, mereka sampai pada pemahaman bahwa percuma jika sekolah membuat larangan. Larangan tak menyelesaikan masalah, ungkap anak-anak itu.

Kemudian disepakati bahwa permasalahan ini perlu diselesaikan pada akar masalahnya, yaitu tidak tersedianya bola di sekolah. Oleh karena itu, mereka mengangankan dan berpikir untuk membuat bola. Tetapi, mereka belum tahu caranya. Maka, mereka minta gurunya mendampingi untuk membuat bola.

Sang ibu guru, yang memang termasuk dalam gerakan DFC itu, kemudian mengusulkan kepada anak-anak untuk merancang penelitian tentang bahan apa yang cocok untuk membuat bola. Lalu, mereka mencari beberapa macam bahan bekas untuk dicoba. Dalam penelitian itu, tiap bola dengan bahan berbeda diuji coba, sampai akhirnya mereka menyimpulkan bahwa bola berbahan tas plastik bekas paling cocok karena dapat memantul dengan baik.

Pintu gerbang Sekolah Riverside di Ahmedabad, India.

Dengan dibantu orangtua mereka, anak-anak kemudian mengumpulkan tas plastik bekas di rumah dan membawanya ke sekolah. Di sana, mereka belajar bersama dengan gurunya membuat bola dan digunakan untuk bermain. Sekarang mereka senang karena anak tetap dapat bermain sepak bola tanpa perlu khawatir lagi. Setelah itu, dengan bantuan ibu gurunya, anak-anak Kamerun ini membuat video tentang kisah keberhasilannya dan diunggah ke kanal YouTube, dengan judul Having a Ball.

Dari pengalaman sederhana tetapi bermakna tadi, anak berusia belia tersebut telah menerapkan empat langkah berpikir reka cipta. Mereka telah "menggagas dunia" dari lingkungannya sendiri.

Anak merasakan sebagai manusia terhormat yang berhak menggagas dan becus bernalar. Walau lewat masalah yang tampak sederhana bagi orang dewasa, namun anak telah mengasah dan mempraktikkan keterampilan abad ke-21, sebutlah seperti merumuskan masalah, berpikir kreatif dan kritis, serta berkomunikasi.

Perasaan percaya diri anak sekaligus keterampilannya bernalar ini mewabahkan virus keyakinan "Aku becus" ke berbagai pelosok dunia.


Aku merdeka
Berita baiknya, beberapa masyarakat pendidikan dan anak Indonesia bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah menyiapkan rencana agar anak Indonesia dapat menggagas dunia. Melalui gerakan ini, anak memupuk keberdayaannya dan ini menjadi bekal dalam perjalanannya kelak menjadi insan merdeka.

Upaya ini bertolak belakang dengan kebijakan pendidikan yang kerap menghamba regulasi birokratis, sarat modal dan mengamini pragmatisme. Gerakan ini memutarbalikkan pandangan lembaga pendidikan sebagai jawatan yang kerap menempatkan anak sebagai obyek ekonomi, sekadar bakal calon tenaga kerja untuk memutar roda pabrik dan industri.

Di sini, anak justru merupakan subyek dalam pembangunan bangsa dan sebagai tokoh utama pelaku perbaikan pendidikan. Inilah sejatinya hal yang sejalan dengan hakikat keberdayaan dan kemerdekaan anak.

Bagi pendidikan nasional secara umum, semangat "menggagas dunia" ini akan menegaskan kembali makna pendidikan dan relevansinya pada kehidupan warga. Tujuh puluh tahun adalah waktu yang lama untuk menunggu anak Sang Republik berteriak, "Aku becus. Aku berdaya. Aku merdeka."

Iwan Pranoto,
Guru Besar Matematika ITB
KOMPAS, 27 Juli 2015