Saturday, January 18, 2020

Penanggalan Merah Gus Dur


Komika dan sutradara film Ernest Prakasa (37) tak pernah ketemu Gus Dur. Namun, sosok ini melayangkan ingatannya ke masa kecil. Setiap tahun baru Imlek, orangtuanya bersusah payah meminta izin agar ia tidak perlu bersekolah. "Selalu izin sakit," katanya.

Penanggalan kalender saat Imlek waktu itu belum berwarna merah. Ekspresi keagamaan yang berhubungan dengan etnis Tionghoa juga dilarang dilakukan di muka umum.

Sosok Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bagi Ernest, dan kemudian bagi sebagian besar kalangan Tionghoa, identik dengan sosok pembebas. "Gus Dur jadi inspirasi kebebasan walau saya tidak pernah ketemu," kata Ernest saat Rembug Budaya serangkaian peringatan Haul Gus Dur ke-10, akhir tahun 2019 di kediaman keluarga Gus Dur di Ciganjur, Jakarta.


Haul Gus Dur tahun 2019 mengambil tema "Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan", sebuah frase penting dalam pemikiran Presiden ke-4 RI itu. Bahwa kebudayaan bukan artefak arkeologis semata, melainkan juga pergumulan kemanusiaan yang berujung pada martabat hidup.

Oleh sebab itu, seluruh ekspresi kebudayaan harus dipandang sejajar karena ia akan selalu mengarah pada derterminasi nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan.

Dalam kebudayaan, menurut pemikiran Gus Dur, tidak dikenal istilah dominasi dan rasa terancam. Keduanya, berada dalam terminologi politik praktis, yang biasanya dipraktikkan oleh rezim mayoritas yang sedang berkuasa.


Pada masa Orde Baru dengan alasan sangat politis, terutama pascaperistiwa G30S-PKI, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.

Pada instruksi pertama dan kedua, terlihat bahwa pelaksanaan perayaan keagamaan dan peribadatan dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Bahkan, disebutkan agar dilakukan secara tidak mencolok di depan umum.

Inpres ini memang tidak menyebut kata "dilarang", sebagai ungkapan yang meniadakan kebebasan berekspresi kebudayaan. Akan tetapi, imbas pelaksanaannya sangatlah diskriminatif: penggunaan bahasa Mandarin, pertunjukan Barongsai dan wayang Potehi, persembahyangan Imlek dianggap subversif.

Banyak kasus saat pertunjukan wayang Potehi secara politis dianggap menyebarkan ajaran Komunisme. Perlahan-lahan, lebih dari tiga dekade, pendukung wayang Potehi dan Barongsai nyaris punah.


Sesungguhnya, jika mau membuka lembar sejarah, sejak masa kolonialisme Belanda, orang-orang Tionghoa telah terdiskriminasi secara struktural. Semasa Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier tahun 1740 telah terjadi pembunuhan lebih dari 10.000 orang Tionghoa.

Peristiwa yang terjadi antara 9-22 Oktober 1740 itu lebih dikenal dengan sebutan Tragedi Angke atau Chinezenmoord, pembunuhan orang-orang Tionghoa. Eskalasi kekerasan kemudian menyebar ke seluruh Jawa, terutama terhadap buruh-buruh pabrik gula beretnis Tionghoa.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, kita masih ingat Presiden Soekarno mengeluarkan PP No 10/1959 yang menetapkan semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 Desember 1959.

Peraturan ini pertama-tama ditujukan kepada kalangan Tionghoa, yang memang sebagian besar hidup dari berdagang, terutama karena ada peraturan lainnya yang melarang mereka memiliki tanah.


Imbas peraturan ini sungguh mengenaskan. Selama periode 1960-1961, lebih dari 100.000 orang Tionghoa yang tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia "diusir" kembali ke China.

Sebaliknya, Pemerintah China mengirimkan kapal-kapal dagang "bobrok" untuk mengangkut mereka "pulang kampung". Nyatanya, berdasarkan banyak fakta, mereka diisolasi di daerah-daerah rawa dan hutan dan dibiarkan menjalani hidup tanpa bantuan pemerintah.

Begitulah, kemudian banyak kampung di China yang mempraktikkan kebudayaan Indonesia sampai sekarang.


Selain Inpres No 14/1967, terdapat setidaknya tujuh produk perundang-undangan Orde Baru yang berbau diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa.

Sebut, misalnya, Surat Edaran Menteri Penerangan Nomor 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina dan Instruksi Mendagri Nomor 455.2-360 tentang Penataan Klenteng.

Intinya, seluruh peraturan perundangan itu membatasi berbagai macam ruang gerak ekspresi kebudayaan yang pada akhirnya bertujuan membunuh martabat kemanusiaan.

Pada konteks inilah Gus Dur hadir dan menyadari bahwa pemusnahan secara terstruktur dan masif terhadap ekspresi kebudayaan orang-orang Tionghoa telah dilakukan oleh negara.


Rentang sejarah sejak masa kolonialisme Belanda sampai kepada pemerintahan demokrasi dengan asas Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, peminggiran dan pemusnahan, seolah-olah menjadi tindakan yang sah dan legal. Maka, sampai kini sebutan "china" intensinya nyaris sama dengan sebutan rasis, seperti "negro" terhadap orang-orang kulit hitam di dunia Barat.

Sebagai presiden, Gus Dur kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden No 6/2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Praktis sejak dinyatakan tidak berlaku, ekspresi kebudayaan etnis Tionghoa seperti meledak di mana-mana.

Bahkan, Gus Dur menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keputusan Presiden No 19/2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif, hanya bagi mereka yang merayakannya.

Seterusnya, Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional sejak tahun 2002. Kini, setiap perayaan Imlek di Indonesia, angka pada penanggalan sudah berwarna merah, tidak lagi hitam.


Rekomendasi penting Rembug Budaya Haul Gus Dur ke-10, di antaranya berbunyi: kebudayaan harus melestarikan kemanusiaan dengan menangkap pergumulan kemanusiaan, khususnya pengalaman hidup kelompok-kelompok rentan/lemah, seperti perempuan, penghayat kepercayaan, dan difabel.

Selain itu, terdapat rekomendasi bahwa negara dan masyarakat perlu membangun model praktik keberagamaan yang kontekstual dengan konstruksi budaya Indonesia.

Agama dan budaya tidak saling mengalahkan, bukan dikotomi yang kontradiktif, melainkan dialektis, keduanya saling belajar dan mengambil. Beragama yang berkebudayaan berarti praktik beragama yang membawa manfaat dan maslahat termasuk untuk alam.

Rekomendasi yang ditujukan kepada para stakeholder kebudayaan ini sejalan dengan pemikiran dan tindakan Gus Dur. Pada konteks sekarang, praktik kebudayaan oleh kelompok-kelompok rentan, termasuk kalangan Tionghoa, menjadi upaya-upaya untuk merawat rasa kemanusiaan.

Agama tak lain adalah bagian dari praktik berkebudayaan, yang secara tradisional telah berlangsung berabad-abad di pelosok Nusantara. Praktik-praktik penghayat kepercayaan serta ekspresi kelompok rentan adalah bagian dari pelaksanaan ekspresi keberagamaan yang harus dilindungi negara.


Agama dan budaya adalah dua hal dialektis yang saling memberi dan menghargai dalam rangka mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Tindakan Gus Dur dengan menerbitkan instruksi presiden dan kemudian mencabut instruksi presiden sebelumnya dilakukan sebagai wujud pemihakan negara terhadap kebebasan ekspresi kebudayaan minoritas yang telah dikekang selama lebih dari setengah abad di negara kita.

Penggantian warna hitam menjadi merah pada kalender di setiap hari raya Imlek adalah perayaan kemenangan terhadap perlakuan diskriminatif serta peninggian harkat dan martabat manusia.

Di situ, Indonesia sejajar dengan negara-negara Barat dalam upaya penegakan hak asasi manusia dan Gus Dur berada di garis depan .…

Semoga kita tidak bergerak mundur dalam menghadapi ultrakonservatisme yang kini marak terjadi dalam cara kita menjalankan dan menghayati agama.

Putu Fajar Arcana,
Wartawan senior Kompas
KOMPAS, 8 Januari 2020