Namun jika koneksi online itu terlalu berlebihan, sehingga mengabaikan koneksi secara offline (face-to-face interactions) dengan orang-orang di sekitarnya maka bahaya bakal muncul. Salah satu bahaya itu adalah ancaman terhadap pilar-pilar kebersamaan keluarga.
Di era Baby Boomers dan Gen-X, salah satu kebersamaan keluarga itu tergambar saat seluruh anggota keluarga berkumpul bersama di meja makan. Sambil menikmati hidangan mereka ngobrol begitu akrab diselingi gurauan dan candaan. Mereka saling bertukar cerita mengenai berbagai kejadian hari itu. Sesekali si bapak memberikan petuah dan si ibu berbagi pengalaman bijak.
Hal ini tak hanya terjadi di meja makan, tapi juga di ruang tamu saat mereka nonton TV bareng; di restoran saat mereka makan bersama; di rumah kerabat saat mereka kumpul keluarga besar; di mobil saat perjalanan ke sekolah atau tempat kerja; di tempat wisata saat mereka liburan bareng keluarga.
Singkatnya: family time now becomes screen time.
Seiring makin massifnya screen time “menjajah” family time, kini persoalan-persoalan di keluarga mulai muncul.
Survei di Inggris menunjukkan, lebih dari sepertiga anak usia SMP minta orangtua mereka berhenti mengecek smartphone saat makan bersama. Sekitar 82% dari mereka berkeyakinan bahwa saat makan bersama seharusnya “smartphone free”. Celakanya, sekitar 46% dari mereka merasa diabaikan orangtua saat mereka meminta menanggalkan smartphone.
Sedihnya, sekitar 62% dari mereka mengatakan bahwa orangtua mereka terdistraksi (distructed) saat mereka mencoba berbicara dengannya. Dan sumber distraksi itu adalah smartphone.
Screen time berlebihan juga bermasalah terkait hubungan antara suami dan istri. Ingat, ketika suami atau istri merasa terabaikan karena salah satu dari mereka sibuk dengan layar HP, maka hal ini bisa menjadi sumber ketidakpuasan hubungan keluarga. Apabila terus berakumulasi, maka hal ini bisa menjadi sumber percekcokan di dalam rumah tangga.
Mengabaikan lawan bicara dengan sibuk bermain HP tak hanya tidak santun, tapi juga bisa merusak kualitas hubungan antara suami-istri maupun ortu-anak. Survei yang dilakukan di AS menemukan bahwa setengah orangtua mengatakan mereka terabaikan oleh pasangan karena screen time; lebih dari sepertiga mengatakan terkena depresi akibat hal tersebut; dan hampir seperempat mengatakan hal tersebut menjadi sumber konflik di dalam keluarga.
Sungguh ironis, smartphone membuat kita bisa terkoneksi dan bercengkerama dengan begitu banyak orang lain dari belahan bumi manapun, tapi justru mengabaikan orang-orang terdekat di rumah kita sendiri.
Inilah barangkali paradoks terhebat abad ini. Sebut saja itu “Paradoks Smartphone”. Bunyinya: “Mendekatkan yang jauh; menjauhkan yang dekat”.
Yuswohady
http://www.yuswohady.com/2019/03/30/begini-cara-milenial-membunuh-kebersamaan-keluarga/
Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya 'booming' (peningkatan besar), tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari "baby boom echo" umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II.
https://id.wikipedia.org/wiki/Milenial