Tuesday, December 22, 2015

Freeport dan Bisnis Orang Kuat


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan salah satu politisi Senayan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan DPR-RI yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapat jatah 20,64 persen saham PT Freeport Indonesia yang didivestasikan ke pihak nasional (pemerintah pusat, daerah, BUMN-BUMD, dan swasta nasional).

Politisi itu juga meminta jatah 49 persen saham PLTA Urumuka, sebuah PLTA yang direncanakan menjadi pembangkit listrik terbesar di Indonesia. Permintaan itu muncul dalam transkrip pembicaraan antara politisi, salah satu pengusaha, dan perwakilan Freeport. Jika Freeport sepakat dengan permintaan politisi itu, maka raksasa tambang asal Amerika Serikat itu bisa mengakumulasi modal dari kekayaan tambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua, sampai tahun 2041.

Freeport memang sedang melakukan renegosiasi kontrak; penerimaan negara, luas lahan, perpanjangan kontrak, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dalam negeri, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri dengan pemerintah. Renegosiasi adalah meninjau kembali kontrak-kontrak lama yang dianggap merugikan negara. Renegosiasi kontrak adalah perintah konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan pertambangan strategis perlu dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat.

Menteri ESDM Sudirman Said.

Namun, sampai saat ini, Freeport dan pemerintah belum sepakat untuk membangun smelter di Papua. Freeport bersikukuh tetap membangun smelter di Gresik, Jawa Timur, berpartner dengan Mitsubishi Material Corp. Pembangunan smelter baru ini juga untuk mengantisipasi produksi tembaga dari tambang underground; Deep Ore Zone Block Cave, Big Gossan, Deep Mill Level Zone Block Cave, dan Grasberg Block Cave, sebesar 24.000 pound tembaga tahun 2018.

Padahal, pilihan lokasi pembangunan smelter di Gresik tak adil. Antara Papua dan Gresik adalah jarak yang jauh. Melintasi pulau yang jauh dan melewati lautan luas minus infrastruktur laut. Lokasi yang jauh membutuhkan logistik pengangkutan. Pilihan lokasi pembangunan smelter di Gresik menyebabkan Papua kehilangan kesempatan investasi karena produk ikutan dari tembaga sangat banyak.

PT Smelting yang berkapasitas 300.000 ton, misalnya, memproduksi sulfuric acid (920.000 ton per tahun), gypsum (35.000 ton, untuk industri semen), copper slag (655.000 ton untuk semen dan beton), anode slime (1.800 ton untuk pemurnian emas dan perak), dan copper telluride (50 ton, untuk semikonduktor). Jika smelter baru dibangun di Mimika, Papua mendapat untung besar karena produk ikutan itu akan membuka ruang bagi mekarnya proses industrialisasi di Papua.

Ketua DPR Setya Novanto, Presiden Joko Widodo, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.

Bukan hanya smelter. Freeport dan pemerintah juga belum sepakat soal masa berakhir kontrak. Freeport meminta perpanjangan kontrak sampai 2041, sementara kontrak berakhir hanya sampai 2021. Ruang bagi perusahaan milik negara seperti PT Aneka Tambang Tbk untuk mendapat saham yang didivestasikan Freeport Indonesia juga tertutup karena ketiadaan dana untuk membeli saham Freeport yang amat mahal itu.

Boleh jadi, itulah sebabnya mengapa DPR tak sepakat dengan upaya pemerintah memasukkan injeksi modal senilai 3 miliar dollar AS dalam APBN 2016. Padahal, injeksi modal itu sangat penting bagi perusahaan milik negara untuk mendapat saham Freeport sehingga BUMN menjadi kuat. Sayangnya, pemerintah dan politisi cenderung mendivestasikan saham Freeport melalui penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) di pasar modal yang tak mungkin bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, tetapi hanya untuk kesejahteraan politisi dan pemodal yang memiliki uang banyak dan memiliki akses ke bank untuk membeli saham Freeport.

Sudirman Said, Muhammad Riza Chalid, Setya Novanto.

Bisnis orang kuat
Tambang Grasberg adalah tambang paling menguntungkan di dunia. Pada akhir tahun 2010, Freeport menghasilkan penjualan 6,72 miliar dollar AS untuk Freeport McMoRan. Tambang itu juga menghasilkan laba kotor sebesar 4,17 miliar dollar AS pada akhir tahun 2010. Cadangan tembaga mencapai 33,7 juta pound dan emas mencapai 33,7 juta ons, selain sekitar 230.000 ton ore milled per hari.

Saking kayanya tambang Grasberg, sehingga merangsang setiap orang ingin mendapat keuntungan dari Freeport. Tak banyak publik di Tanah Air yang paham bahwa banyak juga pebisnis lokal yang turut mendapat keuntungan dari operasi tambang Grasberg. Perusahaan-perusahaan lokal ini tak terjun langsung dalam operasi produksi, tetapi mereka hanya menyediakan jasa, berupa penyedia jasa pelabuhan untuk bongkar-muat bahan tambang, jasa pemasok BBM, sampai pada jasa pemasok katering untuk ribuan karyawan Freeport Indonesia. Itulah sebabnya mengapa politisi Senayan meminta jatah 49 persen saham PLTA Urumuka.

PT Ancora International Tbk (OKAS), misalnya, menyediakan pasokan ammonium nitrate (bahan peledak) sebesar 40.000 ton tahun 2011 dan meraup pendapatan Rp 281 miliar dari Freeport. PT Kuala Pelabuhan Indonesia (anak usaha PT Indika Energi Tbk) menyediakan jasa pelabuhan dan untung Rp 233 miliar pada tahun 2011. Darma Henwa (Bakrie Group) mengantongi kontrak senilai 11 juta dollar AS untuk membangun dua terowongan 4,8 kilometer dan akses jalan 4.000 meter. Sementara Pangan Sari Utama menyediakan katering seluruh karyawan Freeport. Bisnis ini tentu bukan bisnis kecil, tetapi bisnis ratusan miliar rupiah.

Jejaring Bisnis Muhammad Riza Chalid.

Semua perusahaan-perusahaan di atas adalah milik orang-orang kuat di Republik ini. Freeport adalah bisnis orang kuat; politisi, penguasa partai politik dan pengusaha yang memiliki akses dekat dengan penguasa atau yang memiliki nilai tawar besar dengan pemerintah.

Pola kerja sama Freeport dengan perusahaan-perusahaan lokal tergantung dari rezim yang memimpin Republik. Pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Freeport Indonesia lebih memberi karpet merah kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang dekat akses kekuasaan. Sementara pada zaman pemerintahan Jokowi-Kalla, pola kerja sama itu kelihatannya akan bergeser ke perusahaan milik negara (BUMN). Pergeseran ini boleh jadi karena pemerintahan Jokowi-Kalla mau memberi ruang besar kepada perusahaan BUMN dalam membangun negeri ini.

Freeport Indonesia telah melakukan penjajakan kerja sama dengan PT Bukit Asam (Tbk), PT Pindad, dan PT Bahana untuk meningkatkan penyerapan penggunaan barang dan jasa dalam negeri atau lokal konten dengan harga yang kompetitif. Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin mengatakan realisasi belanja lokal Freeport Indonesia per 10 Juli 2015 mencapai 422 juta dollar AS. (Baca Kontan.co.id, 20/9/2015)

Anak-anak Papua, pemilik sejati bumi Papua, termasuk segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Jika kerja sama dengan BUMN terealisasi, perusahaan-perusahaan seperti Ancora Resources dan AKR Corporindo merugi. Begitupun jika Freeport diwajibkan membangun smelter di Papua, maka PT Kuala Pelabuhan Indonesia (PT Indika Energi Tbk) yang menyediakan jasa pelabuhan untuk Freeport tak dapat mengais untung lagi dari Freeport. Begitupun perusahaan jasa pengangkutan konsentrat, seperti Meratus Line (Charles Menero), akan merugi karena tak bisa mengangkut konsentrat dari Mimika menuju smelter Freeport di Gresik.

Ketika pemerintah pada Januari 2014, mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah ke luar negeri, pasti banyak perusahaan pengapalan yang mendapat jatah bisnis dari Freeport berteriak kencang, karena tak ada lagi pasokan bahan tambang untuk diekspor.

Perusahaan lokal yang mendapat untung dari Freeport tentu bukan karena faktor kompetensi dan kinerja mereka dalam bidangnya masing-masing. Jika begitu soalnya, tentu masih banyak perusahaan lokal lain yang lebih kompeten dari mereka. Perusahaan itu justru menjadi mitra bisnis Freeport karena pemiliknya adalah orang-orang kuat di negeri ini.


Bagi Freeport, mendapat mitra bisnis yang dekat dengan penguasa akan mempermudah ekspansi bisnis mereka di Grasberg. Keamanan investasi mereka juga bisa terjaga dan tekanan pebisnis lokal untuk menyerukan nasionalisasi Freeport mengecil. Sementara, bagi penguasa, masuknya perusahaan lokal untuk berbisnis dengan Freeport sebagai balas budi karena memang mereka telah banyak mengeluarkan dana ketika kampanye pemilihan pemimpin negeri ini.

Korporasi lokal-global kemudian bahu-membahu membendung renegosiasi kontrak. Padahal, baik korporasi global maupun korporasi lokal memiliki karakter sama. Dua-duanya tak dapat menjamin keadilan sosial, mengangkat derajat kaum miskin alias membunuh demokrasi dengan bendera logika kepentingan diri (self-interest). Jika renegosiasi kontrak gagal, pemerintah kehilangan momen mengembalikan amanat konstitusi UUD 1945 dan korporasi tetap permanen menjarah habis kekayaan alam negeri kita di Grasberg, Papua.

Kesejahteraan rakyat terbengkalai, lingkungan tak terurus, dan pembagian keuntungan tak adil. Pelanggaran hak asasi manusia, seperti tragedi kematian yang merenggut nyawa 28 pekerja di lubang tambang Big Gossan (14/5/2013) milik Freeport diabaikan begitu saja. Semua itu terjadi karena multi-kepentingan yang ingin mengais untung dari Freeport.

Karikatur Presiden AS, Barack Obama yang menguras emas Papua melalui Freeport.

Kembalikan martabat konstitusi
Langkah Menteri ESDM melaporkan politisi Senayan yang ingin mendapat jatah bisnis Freeport perlu kita dukung. Langkah itu penting untuk membongkar kepentingan politik yang menghambat renegosiasi kontrak dan sebagai bagian dari reformasi tata kelola kelembagaan DPR. DPR bertugas mengawasi kinerja pemerintah untuk mempercepat renegosiasi kontrak Freeport agar tak keluar dari konstitusi UUD 1945. Renegosiasi harus dapat meningkatkan penerimaan negara agar rakyat sejahtera.

DPR seharusnya mengawal kinerja pemerintah agar Freeport membangun smelter di Papua, bukan bekerja meminta jatah saham atau menarik untung berbisnis bersama Freeport. Pembangunan smelter di Papua dapat meningkatkan efek pengganda (multiplier effect) bagi pembangunan dan mengurai kesenjangan pembangunan di Papua. Pembangunan smelter di Papua penting untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, termasuk Papua.

Nasionalisasi Freeport memang tak mudah karena pemerintah harus berhadapan dengan multi-kepentingan, baik kepentingan dari negara asal Freeport, Amerika Serikat, maupun pengusaha lokal yang mengais untung dari Freeport. Maka, butuh pemimpin tegas dan kuat untuk mengembalikan kedaulatan tambang kita di Grasberg ke pangkuan konstitusi UUD 1945. Pemimpin tegas tak akan loyo berhadapan dengan kekuatan asing dan oligarki politik lokal.


Demi mengembalikan martabat konstitusi UUD 1945, Presiden perlu mengambil keputusan tegas agar tak memperpanjang kontrak karya Freeport setelah tahun 2021, jika perusahaan itu tak mau membangun smelter pengolahan tembaga di Papua, mendivestasikan saham ke pihak nasional, menciutkan luas lahan, dan menaikkan penerimaan negara, sesuai dengan isi poin renegosiasi kontrak.

Akhirnya, Presiden harus diingatkan bahwa tambang di mana saja akan habis cadangannya jika dieksploitasi besar-besaran. Penurunan deposit tambang, seperti tembaga menunjukkan bahwa sektor pertambangan selalu ada titik puncak berhenti berproduksi. Investor hanya menginvestasikan modalnya pada saat lokasi pertambangan masih memiliki potensi tinggi. Setelahnya, mereka akan melepaskan areal pertambangan dan meninggalkan kerak-kerak tambang tanpa adanya reklamasi pasca tambang.

Ferdy Hasiman,
Guru Besar di Bidang Antropolinguistik;
KPS Linguistik S-3 Universitas Hasanuddin

KOMPAS, 20 November 2015

Sunday, November 22, 2015

Puasmu Kapan, Pemimpin?


Belakangan rakyat kita ramai bergunjing tentang ulah para tokoh yang tak pernah puas. Anda tentu tahu yang saya maksud. Yang satu suka memaki, yang satunya gemar menyalahkan, yang lainnya tak pernah puas dengan mencari-cari kesalahan pada orang yang bekerja, dan kini ada lagi mereka yang suka meminta-minta jatah. Maaf, mereka bukan orang tak punya. Maksud saya, jabatan bagus mereka sudah punya, kekuasaan untuk menyejahterakan rakyat ada di tangan, dan satu lagi, uang juga sudah bukan masalah. Bahkan ada yang sampai punya pulau, mobil-mobil mewah, jet pribadi, dan properti di mana-mana.

Alamak, mengapa jadi kurang bersyukur? Memang keterlaluan yang terjadi beberapa hari ini. Sudah dipilih oleh rakyatnya sebagai pemimpin kok tega-teganya masih menjadi makelar atau calo atau apa pun. Intinya sama, mencari rente. Apa gaji yang dia terima, yang diambil dari uang pajak yang kita bayarkan setiap tahun, masih kurang?

Beranjak dari gunjingan itu, sekarang saya ajak Anda untuk sama-sama membuka wawasan soal pemimpin dan kepemimpinan. Ini isu yang seru. Yang mengawali dari munculnya penguasa yang tak pernah puas, apalagi bersyukur. Materinya mengasyikkan untuk menjadi bahan obrolan di sela-sela jam-jam kantor, saat ngopi di kafe, menjelang jeda makan siang atau sesudahnya, atau menjelang pulang kerja.

Saya lihat, ada dua isu utama yang terkait, yaitu pemimpin dan kepemimpinan. Ini bukan hanya di tataran pemerintahan, tetapi juga organisasi lain. Pertama, kita mesti rada jeli untuk membedakan antara pemimpin dengan atasan. Kita bisa saja punya atasan, tetapi belum tentu punya pemimpin.

Kedua, kita juga mesti rada jeli dalam memahami konsep pemimpin dan kepemimpinan. Kita mungkin saja punya banyak pemimpin, tetapi miskin kepemimpinan. Mari kita bahas lebih detail.


Atasan vs Pemimpin
Kita sebenarnya bisa dengan mudah menemukan mana yang atasan dan mana yang pemimpin. Ciri-cirinya sederhana. Pertama, pemimpin selalu menjadi orang pertama yang bertanggung jawab kalau ada sesuatu yang salah. Dia bukan saja berani mengakui bahwa dirinya bersalah kalau memang bersalah, tapi juga siap menanggung segala risikonya. Kalau ada masalah, dialah orang yang pertama kali tampil di depan.

Bagaimana dengan atasan (dan juga bawahan)? Sebaliknya. Kalau ada yang salah, dia malah sembunyi dan sibuk mencari-cari siapa saja pihak yang bisa disalahkan. Pokoknya jangan sampai dia yang disalahkan. Harus orang lain. Itu ciri pertama.

Ciri kedua, seorang pemimpin biasanya juga tidak berusaha agar dirinya kelihatan menonjol dan menjadi yang terbaik. Justru sebaliknya, dia lebih suka untuk memberikan kesempatan kepada bawahannya agar merekalah yang terlihat menonjol dan menjadi yang terbaik. Mengapa? Simpel saja. Seorang pemimpin tahu persis bahwa keberhasilan bawahannya adalah keberhasilan dirinya. Jadi, buat apa repot-repot menonjolkan diri.


Kalau atasan? Sebaliknya, dia justru akan berusaha terlihat menonjol dan menjadi yang terbaik. Peduli setan kalau kinerja bawahannya pas-pasan. Atasan yang semacam ini selalu sibuk mencari cara agar hanya dirinya yang terlihat menonjol. Gayanya main perintah.

Ketiga, pemimpin biasanya rendah hati dan sederhana. Ia tidak gengsi untuk berbaur dengan bawahannya. Kalau bertemu bawahan, ia tak segan-segan untuk menyapa terlebih dahulu. Kalau atasan? Ah, Anda tahulah gayanya. Kalau ketemu bawahan, ada yang pura-pura buang muka atau menunggu disapa lebih dulu.

Keempat, seorang pemimpin biasanya tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan kepentingan organisasinya. Ia tahu bagaimana caranya menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadinya dengan kepentingan organisasi. Kalau atasan? Jelas, kepentingan pribadinya yang dia utamakan. Peduli setan dengan kepentingan organisasinya.

Kelima, pemimpin yang baik selalu mengutamakan musyawarah sebelum membuat keputusan. Ia selalu mendengarkan dulu masukan dari bawahannya, baru setelah itu mengambil keputusan. Kalau atasan? Dia lebih suka mengambil jalan pintas dengan membuat keputusan sesuai dengan pertimbangannya sendiri. Maaf, kata “pertimbangan” mungkin masih terlalu baik. Saya ganti saja, “Dia akan mengambil jalan pintas dengan membuat keputusan sesuai dengan “selera” sendiri. Lebih cocok, bukan?

Keenam, pemimpin adalah seseorang yang berani membuat keputusan yang sulit. Berani menyampaikan kabar buruk, meski dengan risiko popularitasnya bakal turun. Kalau atasan? Dia tidak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Sukanya hanya menyampaikan kabar baik, supaya popularitasnya naik terus. Padahal, perjalanan organisasi tak selamanya selalu bergerak ke atas. Bisa saja suatu ketika roda organisasi berada di bawah. Bahkan sampai di titik nadir.


Pemimpin vs Kepemimpinan
Untuk bisa menjalankan perannya sebagai pimpinan, seorang pemimpin mesti memiliki kemampuan untuk memimpin. Inilah yang disebut dengan kepemimpinan. Anda merasa ruwet? Saya coba dengan definisi yang ini: Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar dia atau mereka mau melakukan sesuatu guna mencapai tujuan tertentu.

Nah, supaya bisa mengajak seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu, seorang pemimpin yang akan menjalankan peran kepemimpinannya mesti memiliki beberapa hal.

Pertama, kekuasaan. Apa jadinya seorang pemimpin tanpa kekuasaan? Dia tidak akan bisa memaksa orang lain untuk menjalankan perintahnya. Tapi kekuasaan itu apa sih? Apa selalu karena menjabat? Bagaimana kalau ia tak lagi menjabat? Punyakah ia reputasi? Keahlian? Kehormatan?

Kedua, wewenang. Ini adalah hak mendasar yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Kita, melalui UU atau regulasi lainnya, mesti memberikan hak yang paling mendasar ini. Bayangkan seorang pemimpin tanpa wewenang, dia pasti tak akan bisa membuat keputusan atau mengambil kebijakan tertentu.

Ketiga, pengaruh. Jelas seorang pemimpin mesti memiliki pengaruh. Dengan pengaruhnya, seorang pemimpin akan mampu membuat orang lain atau sekelompok orang untuk tunduk dan mau mengikuti kepemimpinannya.

Setuju atau tidak, Amerika adalah pemimpin dunia yang paling berkuasa saat ini.

Keempat, pengikut. Seorang pemimpin yang berpengaruh pasti akan mempunyai banyak pengikut. Mereka inilah yang bersama-sama dengan pemimpinnya akan membawa organisasi bergerak untuk mewujudkan tujuannya. Itulah kurang lebih wawasan yang saya tawarkan tentang pemimpin dan kepemimpinan.

Kini, setelah memiliki wawasan tersebut, mari kita potret wajah para pemimpin kita. Saya bukan orang yang pesimistis, tetapi kalau melihat gunjingan yang beredar di masyarakat dan ramai diberitakan di berbagai media massa, saya tiba-tiba merasa ngeri. Bayangkan dengan kualitas pemimpin seperti yang ramai kita gunjingkan di atas, apa Anda mau menjadi pengikutnya? Saya? Jelas tidak!

Lalu, saya menjadi semakin ngeri ketika tahu bahwa salah satu tugas mulia dari seorang pemimpin adalah mempersiapkan calon-calon pemimpin berikutnya. Kalau benar begitu, apa Anda rela anak-anak muda kita dididik menjadi pemimpin oleh orang-orang yang kita gunjingkan sejak tadi? Saya? Jelas tidak!

Rhenald Kasali,
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
KORAN SINDO, 19 November 2015

Monday, October 12, 2015

Permadi dan “400 Satrio Piningit”


Permadi SH adalah sosok yang unik. Setidaknya, dilihat dari sisi “julukan”. Pada diri lelaki asal Semarang itu, setidaknya melekat tiga julukan. Ia bisa dijuluki sebagai aktivis, mengingat untuk sekian lama Permadi malang-melintang sebagai Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Permadi juga dikenal sebagai paranormal. Dari tahun 80-an, Permadi sudah bercokol sebagai salah satu tokoh paranormal nasional. Sekitar tahun 1985, dia dan kawan-kawan pernah memprakarsai “seminar tuyul” di Semarang.

Predikat ketiga adalah Permadi sebagai seorang politisi. Sejak bergabung dengan PDI Perjuangan, kiprahnya cukup mengesankan. Sebagai anggota dewan, dia cukup vokal. Karenanya, acap berbenturan dengan eksekutif, bahkan sesama anggota dewan, terlebih sesama kader PDIP. Dia bahkan mengaku pernah berkonflik dengan Megawati Soekarnoputri, sekalipun keduanya sangat dekat.

“Kurang dekat gimana… tengah malam dia sering menelepon saya, meminta datang ke rumahnya, lalu dia curhat sambil nangis,” ujar Permadi sambil tersenyum, “dan itu tidak hanya sekali,” tambahnya.


Belakangan, dia bahkan memutuskan keluar dari DPR RI, keluar pula dari PDI Perjuangan. Kini, dia malah bercokol sebagai salah satu anggota dewan Pembina DPP Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto. “Saya masuk Gerindra karena diminta oleh Prabowo. Meski banyak masukan saya tidak dipakai, saya ya bertahan. Kecuali Prabowo memecat saya dari Gerindra, baru saya keluar,” katanya.

Nah, itu sekilas tentang Permadi. Lebih dalam tentang ketiga julukan yang melekat pada dirinya, ternyata tersimpan banyak sekali cerita menarik. Bahkan sangat menarik. “Makanya saya ingin membukukan. Tapi saya inginnya menerbitkan sepuluh buku sekaligus, karena memang sangat banyak dan beragam temanya,” ujar Permadi pula.

Salah satu yang menarik adalah ketika berbicara tentang “Satrio Piningit”. Permadi mengaku, selama ini dia telah menerima sedikitnya 400 (empat ratus) orang tamu yang mengaku sebagai Satrio Piningit, titisan Bung Karno. “Setiap menerima mereka, saya selalu test, apakah bisa ‘mendatangkan’ Bung Karno di hadapan saya. Ternyata banyak yang palsu, hanya mengaku-aku, kecuali satu. Ya, hanya ada satu yang benar-benar memuaskan saya,” kata Permadi.


Sang “Satrio Piningit” yang satu itu, ketika diminta ‘menghadirkan’ Bung Karno, lebih dari itu, bahkan bisa ‘menghadirkan’ Raja Brawijaya. “Saya berdialog dengan Brawijaya, juga Bung Karno. Saya puas. Karena saya rasa, yang ‘hadir’ benar-benar Bung Karno. Dia bisa menjawab semua pertanyaan saya dengan sangat memuaskan. Berbeda dengan Satrio Piningit ‘gadungan’ lainnya, yang sangat mengecewakan,” ujar Permadi.

Apa saja yang ia dialogkan dengan “Bung Karno?” Permadi menjawab, “Banyak hal. Mulai dari soal ideologi sampai wanita, ha…ha…ha…,” katanya sambil tertawa. Bahkan dia juga mengonsultasikan ihwal julukan yang ia pakai, “Penyambung Lidah Bung Karno”. Atas predikat itu, Bung Karno pada prinsipnya merestui.

Roso Daras
https://rosodaras.wordpress.com/2013/07/08/permadi-dan-400-satrio-piningit/

Thursday, September 17, 2015

Foto Itu: Aylan Kurdi


... and the grave
Proves the child ephemeral...

-- W.H. Auden

Foto itu ––foto yang mengharu-biru perasaan itu, foto yang tak ingin kita lihat itu, foto yang ditakutkan akan membawa mimpi buruk bagi orang-orang lembut hati di seluruh dunia itu–– dengan segera jadi penanda kecemasan kita hari ini. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun telungkup di garis pantai Turki. Jidatnya yang rapuh dan kecil tercelup ombak yang menghanyutkan tubuhnya kembali. Warna biru celana pendeknya dan merah kausnya seakan-akan memanggil-manggil seantero Semenanjung Bodrum.

Kemudian diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah. Bersama kakaknya, Galip, yang berumur lima tahun dan ibunya, Rehan, ia tenggelam ketika perahu yang membawa mereka terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah Yunani, empat kilometer saja jaraknya dari sana, tapi tak sampai. Hanya si ayah, Abdullah, yang lepas dari bencana. Ada 12 orang pengungsi dalam dua kapal yang penuh, dan delapan di antaranya anak-anak.


Tak mudah kita untuk bertanya, apalagi menjawab, apa yang akan terjadi berikutnya pada bapak yang malang itu. “Masa depan saya hilang”, hanya itu yang dikatakannya setelah memakamkan jasad anak-anak dan isterinya. Ia kembali ke Suriah.

Hari buruk itu 2 September 2015, menjelang musim gugur Yunani. Abdullah pernah inginkan masa depan dan musim Kanada yang tenang: ia meninggalkan tanah kelahirannya yang dihancurkan perang yang kejam antara “IS”, ad-Dawlah al-Islamiyah, dan tentara pemerintah dan pasukan pemberontak dan pasukan Kurdi dan entah apa lagi. Tapi Kanada, dengan birokrasi yang dingin hati, menolak Abdullah dan anak isterinya masuk.

Mereka pun mencoba mencari negeri lain, lewat sebuah ujung Turki, mencoba menyeberangi laut Aegia, mencapai pulau tempat kelahiran Hipokrates, bapak kedokteran, di wilayah Yunani itu. Mereka seperti ribuan pengungsi yang kini menabrak pagar Republik Hungaria, menerobos tepi-tepi Eropa ––barisan harapan yang berubah jadi barisan perkabungan yang panjang.


Perkabungan atas rubuhnya ribuan rumah asal dan runtuhnya bumi kelahiran. Perkabungan untuk orang-orang yang terusir, Timur Tengah yang remuk redam, Afrika yang dihantam kebengisan, negeri yang dirobek sengitnya perlawanan terhadap kekuasaan yang zalim, dicincang mata-gelap fanatisme agama, dijahanami kerakusan memperoleh wilayah, minyak bumi, dan posisi, disulut dendam yang tersimpan bertahun-tahun.

Kita, jauh dari sana sekalipun, mau tak mau ikut dalam barisan itu. Bukan cuma untuk Aylan. Kita juga murung untuk Abdullah yang berkata, “masa depan saya hilang”. Sebab apa gerangan yang akan tiba nanti dengan harapan-harapan manusia yang patah ––setelah dunia menghela nafas lega karena perang nuklir tak jadi meletus 25 tahun yang lalu, tapi ternyata hidup tak lebih jauh dari putus asa?

Foto itu, foto di pasir basah itu. Aylan.


Tiap anak lahir dengan pesan bahwa Tuhan belum hilang harapan kepada manusia”, konon Rabindranath Tagore pernah berkata. Penyair besar Bengali ini selalu punya frase-frase yang canggih dan cerah, yang manis ––dan agak memabukkan. Tapi mungkin karena ia belum menyaksikan Aylan kecil tergeletak dengan muka tersungkur. Aylan yang datang dengan pesan yang baik tapi tiba-tiba tenggelam.

Di pantai semenanjung itu, adakah Tuhan masih belum hilang harapan dan semangat kepada manusia? Sebaliknya masih belum hilangkah semangat manusia di hadapan Tuhan, setelah anak-anak dengan cepat dan mudah jadi korban kekuatan-kekuatan besar yang brutal ––di dunia yang tak mereka pilih, tak mereka pahami, seperti mereka juga tak memilih dan memahami pesan Tuhan–– jika pun itu ada?

Barangkali pesan itu, kalaupun ada, memang keras, muram. Tapi sejarah selalu menunjukkan bahwa pada saat yang sama yang keras dan muram itu juga mengundang sebuah komitmen: yang lahir akan bisa segera hilang, yang tak bersalah atau pun yang berdosa tak akan bertahan, tapi yang hidup layak dipertahankan.


Hanya mereka yang pernah berada dalam barisan harapan dan perkabungan saja yang bisa mengalami kontradiksi itu dengan teguh dan diam: keteguhan yang berbisik seperti doa.

Saya kira itulah yang ada dalam baris-baris “Lullaby”, Nina Bobok, yang ditulis Auden dalam tahun-tahun yang terancam perang dan kematian, antara 1930-1940-an. Ia tak bisa membawakan optimisme Tagore. Tapi ia juga jauh dari kegetiran kepada hidup, meskipun di dunia yang cidera.

Barangkali kita bisa membaca “Lullaby” dan teringat Aylan yang tersenyum dalam foto bersama Galip sebelum ayah-ibunya berangkat mengungsi:

... kubur
mengingatkan betapa sementara
anak itu. Tapi di pelukanku
sampai fajar datang
biarlah makhluk yang hidup, telentang
fana, berdosa, tapi
indah, sepenuhnya.


Goenawan Mohamad,
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 7 September 2015



Aylan Kurdi

Aylan Kurdi. Bocah 3 tahun itu, hingga Selasa lalu, bukan siapa-siapa. Ia anak kedua pasangan Abdullah Kurdi dan Rehan Kurdi. Anak pertama mereka diberi nama Galip Kurdi (5). Mereka adalah orang Kurdi yang tinggal di Kobani.

Kobani, kota di perbatasan antara Suriah dan Turki. Kota yang masuk Provinsi Aleppo, Suriah utara, adalah kota lama yang sering juga disebut Ayn al-Arab. Kobani sebenarnya adalah nama sebuah perusahaan Jerman yang membangun jaringan rel kereta api Konya-Baghdad pada tahun 1911. Dan pada tahun 1980-an, saat Hafez al-Assad berkuasa di Suriah, nama Kobani diubah menjadi Ayn al-Arab sebagai usaha untuk Arabisasi.

Sejak Rabu lalu, kisah Aylan Kurdi mendunia. Semua itu gara-gara foto: foto Aylan tertelungkup di pantai dekat kota wisata Bodrum, Turki barat daya. Foto itu memperlihatkan bocah kecil berbaju kaus warna merah cerah, bercelana pendek, dan bersepatu. Wajah bocah kecil itu mencium pasir pantai yang basah. Badannya tidak hanya basah, tetapi juga sudah dingin. Badan itu sudah tak bernyawa lagi. Tewas!


Kematian Aylan mengguncang dunia setelah fotonya tersebar luas. Ia tewas. Galip tewas. Rehan juga tewas. Mereka tewas ketika tengah berusaha mewujudkan mimpinya pergi ke Jerman. Mereka tewas ketika meninggalkan kampung halamannya di Kobani yang hancur. Kobani yang sebelumnya berpenduduk sekitar 45.000 orang-Kurdi, Arab, Turkoman, dan Armenia-selama enam bulan dua hari (13 September 2014 - 15 Maret 2015) dikepung oleh kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Penduduk kota itu kabur mencari selamat, begitu pula keluarga Abdullah. Beberapa bulan lalu, 11 anggota keluarga Abdullah tewas dibunuh NIIS.

Apakah kematian tragis Aylan Kurdi, juga saudara dan ibunya, benar-benar akan membuka mata dunia, mata negara-negara maju, mata dan hati para pemimpin negara Eropa, mata orang-orang beradab bahwa tragedi kemanusiaan akibat perang sudah demikian tak terkira? Ratusan ribu orang menerjang perbatasan dan berusaha menundukkan laut untuk masuk ke Eropa. Lebih dari 2.500 orang di antaranya tewas saat menggapai mimpi. Ratusan ribu orang mati akibat perang. Ratusan ribu lainnya terluka.

Bukan tidak mungkin tragedi seperti yang dialami Aylan akan terjadi lagi dan lagi. Gelombang manusia mencari selamat akan terus terjadi selama kekerasan, perang, teror, dan segala macam tindakan penghinaan terhadap rasa kemanusiaan masih terus terjadi di Suriah, Irak, Libya, dan sejumlah negara lainnya yang dikuasai nafsu kekerasan.

Dalam Perang: "Menang jadi Arang, Kalah jadi Abu."

Di Suriah dan Irak, jelas, bahwa tindakan brutal NIIS yang menjadi pemicu terjadinya gelombang migrasi. Rasa sakit sebagai akibat tindak kekerasan dapat ditemukan dalam batin orang-orang Suriah, juga Irak, Libya, dan banyak negara di Afrika yang nekat berimigrasi ke Eropa. Rasa sakit yang tersimpan seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat muncul secara tiba-tiba dalam kemarahan sporadis.

Dunia telah kehilangan hatinya. Perasaan “kita semua bersaudara” seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi dan ungkapan Ahimsa, berjuang tanpa kekerasan, telah punah. NIIS, misalnya, tidak mengenal kata “berjuang tanpa kekerasan” karena ideologi mereka adalah kekerasan dan teror. Mereka tidak mengenal istilah rasa kesetiakawanan, tidak mengenal cinta kasih.

Padahal, cinta kasih menjadi kekuatan yang mendorong sekaligus berperan sebagai perekat dalam kesatuan tanpa ada dimensi diskriminatif. Apabila setiap orang mengedepankan cinta kasih, tidak akan ada lagi kebencian dan perang.


Namun, nyatanya ada anak seperti Aylan yang tewas dalam mimpi di pantai. Bolehkah anak tidak bersalah seperti mereka itu ––dan masih banyak lagi anak-anak tidak bersalah di dan dari Suriah, Irak, Libya, negara-negara Afrika–– menderita dan mati karena keganasan orang-orang dewasa yang beku hatinya?

Mengapa anak-anak itu harus dilibatkan dalam penderitaan dan mengalami kematian tragis? Mengapa NIIS, sebagai contoh, membangun masa depan di atas penderitaan dan kematian anak-anak dan genangan air mata ribuan anak-anak lainnya yang tak berdosa?

Itulah yang kita saksikan sekarang. Sejarah seperti berulang: rezim-rezim revolusioner yang menegakkan terorisme dan kekerasan membenarkan penderitaan manusia demi masa depan dan demi keadilan di dunia menurut gambaran mereka. Itulah akar dari otoritarianisme dan totalitarisme, seperti Nazisme atau Stalinisme di zaman modern, yang sangat kejam, brutal, dan nihilistis terhadap kemanusiaan.

Trias Kuncahyono,
Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 6 September 2015

Saturday, August 29, 2015

Non-Finito


Saya kenal banyak pemimpin daerah, tetapi hanya sedikit di antara mereka yang mempunyai visi jangka panjang. Kebanyakan orientasi mereka hanya untuk tiga-empat tahun ke depan. Setelah itu mereka sibuk mempersiapkan diri agar terpilih lagi. Atau, jika dia seorang bupati/wali kota, bagaimana agar naik kelas menjadi gubernur.

Oleh karena orientasinya hanya tiga-empat tahun ke depan, bisa dipastikan banyak programnya yang populer dan hanya berjangka pendek. Misalnya membangun taman-taman kota, merapikan trotoar dan lampu-lampu penerangan jalan, memperbaiki jalan-jalan yang berlubang, serta membenahi fasilitas publik lainnya.

Pendeknya, program-program yang cepat terlihat dan dirasakan masyarakat. Itu tidak jelek. Bagus-bagus saja. Hanya, saya melihat banyak masalah kita yang tidak bisa diselesaikan dengan program-program jangka pendek. Program-program seperti itu tidak menyentuh, apalagi menyelesaikan akar masalahnya. Banyak masalah kita yang harus diselesaikan dengan program-program jangka panjang.

Ridwan Kamil (Kang Emil), walikota Bandung, salah seorang pemimpin daerah yang visioner.

Celakanya, para pemimpin daerah yang mempunyai visi jangka panjang kerap menuai sejumlah hambatan. Misalnya, dia harus berhadapan dengan rakyat yang kerap kali tidak sabar melihat hasil kerjanya. Dia juga harus berhadapan dengan wakil-wakil rakyat di DPRD yang kerap memanfaatkan ketidaksabaran rakyat.

Masalah yang lebih serius adalah tidak ada garansi bahwa proyek-proyek jangka panjangnya bakal tuntas semasa sang pemimpin itu menjabat. Bukankah di negara kita ada ungkapan “ganti pejabat, ganti kebijakan”?

Beruntung kalau proyeknya dilanjutkan. Meski begitu, jelas bukan pemimpin si pemrakarsa yang akan mendapatkan nama, melainkan pemimpin berikutnya. Kondisi seperti itulah yang membuat negara kita belakangan miskin dengan karya-karya besar.

Galileo Galilei, seorang tokoh besar dengan karya besar.

Tidak Selesai
Dunia kita sebetulnya kaya dengan karya-karya besar yang tidak tuntas. Saya menemukannya di Firenze (Florence, Fiorenza, Florentia), Italia. Di sana ada karya-karya agung dari para tokoh pembaharu, tokoh renaissannce. Di antaranya Galileo Galilei, arsitek agung Michelangelo dan Donatello, serta pelukis Leonardo da Vinci.

Karya-karya besar itu dibangun puluhan hingga ratusan tahun. Sejak abad ke-11 hingga 15. Begitu indah dan mengundang rasa ingin tahu jutaan orang dari mancanegara. Udara panas sekitar 40 derajat Celsius ternyata tak menghambat mereka melihat keajaiban renaissance.

Leonardo da Vinci, dengan karya monumentalnya Mona Lisa.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah patung-patung karya Michelangelo. Anda tahu, patung-patung itu dipahat dari batu cadas kelas satu: marmer (marble). Kebetulan, di daerah Tuscany dekat Firenze, ada batu marmer berkualitas prima. Saking kerasnya batu marmer itu, memahatnya tidak hanya membutuhkan kerja keras, tetapi juga ketelitian yang luar biasa, dan tentu saja ada yang tidak selesai.

Salah satu seni patung dari bahan marmer (marble) karya Michelangelo.

Mengapa karya besar itu tak diselesaikan dan tetap dianggap sebagai karya seni yang selesai? Ada banyak teori. Misalnya, pembuatnya ingin menunjukkan betapa keindahan sudah tampak dari karya yang belum diselesaikan.

Teori lain, sang seniman ingin menunjukkan sulitnya membuat sebuah karya. Atau pembuatnya harus segera pindah ke kota lain, berubah pikiran, kehabisan waktu untuk menuntaskan karyanya, atau ditinggal mati penyandang dana.

Patung raksasa Garuda Wisnu Kencana di Bali, yang hingga kini belum selesai terpasang secara utuh.

Penuh Ketidakpastian
Karya-karya besar tadi seakan meninggalkan pesan: adanya kendala yang kini amat menggejala di kalangan pemimpin, yaitu ketidakpastian. Itulah filosofi non-finito dalam setiap perubahan. Para kepala daerah perlu mencamkan hal tersebut. Kalau mereka ingin menghasilkan karya besar, perubahan besar, bersiaplah berhadapan dengan ketidakpastian.

Sewaktu menjadi gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso menggagas pembangunan monorel dan busway. Apa hasilnya? Jakarta semakin macet. Rakyat marah. Apalagi, proyeknya tidak selesai.

Sutiyoso kehabisan waktu. Sebelum proyeknya selesai, jabatannya sudah berakhir. Proyek monorel kini menyisakan tiang-tiang beton berukuran besar di jalan-jalan utama Jakarta. Sementara jalur-jalur busway masih sangat kurang.

Sutiyoso (Bang Yos), mantan Gubernur DKI-Jakarta yang mencanangkan proyek monorail.

Apakah Sutiyoso mewariskan kekacauan bagi ibu kota? Mungkin tidak. Sebab, pembangunan monorel itu memicu tradisi pembangunan infrastruktur publik besar-besaran oleh para penggantinya. Lalu, jalur busway dan bus-busnya juga terus ditambah. Masyarakat pun kini semakin cerewet menuntut pemerintahnya menyediakan angkutan publik yang andal.

Dulu seorang pemimpin perubahan sulit sekali melakukan sesuatu yang berpikiran jauh ke depan. Dia tahu pasti akan kehabisan waktu mengurus banyak hal dan ketidakpastian. Mulai perizinan, anggaran, teknologi, negosiasi dengan politisi, perencanaan, birokrasi, pengadaan, dan sebagainya. Tapi, harap diingat, membangun proyek besar bukan sesuatu yang instan –sebagaimana saya saksikan di Firenze. Prosesnya pun melewati banyak suka dan duka.

Monorail (monorel), antara impian dan kenyataan yang masih belum sinkron.

Di negara kita mungkin banyak orang dengan cepat menilai sebagai proyek gagal. Lalu, sang pemimpin segera akan dipenjarakan atau dikriminalisasi. Tapi, saya berharap itu tidak menciutkan nyali para pemimpin kita untuk membangun karya-karya monumental atau proyek-proyek jangka panjang.

Para penegak hukum dan auditor hendaknya juga harus belajar opportunity cost, bukan cuma monetary cost. Dulu kita berhasil melakukannya. Misalnya, kita bangga mempunyai candi atau Stadion Utama Gelora Bung Karno. Betul monetary cost-nya besar. Tapi tengoklah, opportunity benefit-nya juga besar. Saya berharap kita akan memilikinya lagi.

Hendaknya kita jangan menjadi bangsa yang kerdil, yang beraninya hanya menjadi UMKM, atau membangun jalan tol puluhan kilometer saja. Kita butuh energi besar, mewariskan karya-karya besar, dan melakukan perubahan besar.

Rhenald Kasali,
Akademisi, Praktisi Bisnis
dan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

JAWA POS, 30 Juli 2015

Wednesday, August 12, 2015

Aku Merdeka


Kemerdekaan anak menggagas dan berpikir mandiri kerap dikorbankan demi nafsu orang dewasa memamerkan kehebatan nilai rapor anaknya. Padahal, kemerdekaan dan kebahagiaan anak sama penting dengan keberhasilannya. Oleh karena itu, anak bersama guru serta masyarakat sudah saatnya merencanakan langkah untuk belajar berdaya.

Aku becus
"Aku tak becus," teriak anak Ibu Kiran Bir Sethi suatu saat sepulang dari sekolah. Perkataan ini menggetirkan karena bagaimana mungkin seorang anak yang sejatinya sinonim dengan pengharapan dan impian malah mengimani keputusasaan dan ketakbecusan. Lebih menyakitkannya lagi, perkataan ini keluar dari mulut anak kandungnya sendiri.

Berbekal studinya dalam bidang desain atau reka cipta dan dukungan keluarga orangtuanya yang pereka cipta juga, Ibu Kiran kemudian menggagas Sekolah Riverside di kota Ahmedabad, India, pada tahun 2001. Pegangannya, beliau ingin anak belajar menyelesaikan masalah dengan pemikirannya sendiri sehingga mereka dapat berujar, "Aku becus." Ini terjadi sebelum Presiden Obama berkampanye: "I can."

Kiran Bir Sethi, penggagas Sekolah Riverside dan penebar wabah virus motivasi "I can".

Sekolah ini berhasil, tetapi murid yang diterima hanya 20-an tiap tahun. Masih banyak anak yang juga perlu mengalami, padahal beliau belum ingin menambah sekolahnya. Maka, kemudian Ibu Kiran mengawali gerakan global Design for Change (DFC) pada tahun 2009.

Sekolah dan komunitas di mana pun di dunia boleh menggunakan gagasannya. Berkat kepeloporan menggagas wabah virus "Aku becus" ini, beliau memperoleh berbagai penghargaan regional dan internasional.

Melalui pendekatan DFC, hari ini anak dari Argentina sampai Portugal, dari Afrika Selatan sampai Denmark, belajar menyelesaikan masalah di lingkungannya dengan solusi dan jawaban dari hasil temuannya sendiri.

Pendekatannya, pertama, kelompok anak menentukan masalah di lingkungannya yang mereka rasa perlu untuk diselesaikan. Kemudian, mereka mengimajinasikan kemungkinan jawaban untuk permasalahan tersebut. Kadang, jika perlu, mereka berdiskusi dengan orang dewasa. Dan, sesudah dirasa matang, mereka mewujudkan jawaban tadi dan diujicobakan secara nyata. Setelah berhasil, mereka membagikan cerita keberhasilan itu melalui berbagai media.

Rangkaian empat langkah merasakan-mengimajinasikan-mewujudkan dan membagikan ini merupakan bagian dari Design Thinking atau Berpikir Reka Cipta. Rumusan ini sederhana sehingga anak mudah memahaminya. Bahkan, anak-anak usia 5 tahun di Kamerun, Afrika, mampu menerapkannya.

Kiran Bir Sethi, di tengah para siswa Sekolah Riverside.

Suatu hari, beberapa anak di sekolah École Maternelle Saint Joseph Manyanet YaoundÉ mendatangi Bu Guru Vicki dan menyampaikan kekhawatirannya. Mereka khawatir karena beberapa anak di sekolah itu bermain "sepak bola" dengan menendangi botol plastik bekas kemasan minuman. Mereka merasa bahwa permainan tersebut berbahaya karena botol plastik itu dapat mencederai mata anak.

Setelah mendengar keluhan itu, Bu Vicki mengajak mendiskusikannya. Dalam diskusi itu, ada anak yang mengusulkan sekolah membuat larangan permainan sepak bola. Ada juga yang mengusulkan larangan membawa botol plastik. Setelah mendiskusikan berbagai usulan secara sistematis serta memberikan hak tiap anak berpendapat, mereka sampai pada pemahaman bahwa percuma jika sekolah membuat larangan. Larangan tak menyelesaikan masalah, ungkap anak-anak itu.

Kemudian disepakati bahwa permasalahan ini perlu diselesaikan pada akar masalahnya, yaitu tidak tersedianya bola di sekolah. Oleh karena itu, mereka mengangankan dan berpikir untuk membuat bola. Tetapi, mereka belum tahu caranya. Maka, mereka minta gurunya mendampingi untuk membuat bola.

Sang ibu guru, yang memang termasuk dalam gerakan DFC itu, kemudian mengusulkan kepada anak-anak untuk merancang penelitian tentang bahan apa yang cocok untuk membuat bola. Lalu, mereka mencari beberapa macam bahan bekas untuk dicoba. Dalam penelitian itu, tiap bola dengan bahan berbeda diuji coba, sampai akhirnya mereka menyimpulkan bahwa bola berbahan tas plastik bekas paling cocok karena dapat memantul dengan baik.

Pintu gerbang Sekolah Riverside di Ahmedabad, India.

Dengan dibantu orangtua mereka, anak-anak kemudian mengumpulkan tas plastik bekas di rumah dan membawanya ke sekolah. Di sana, mereka belajar bersama dengan gurunya membuat bola dan digunakan untuk bermain. Sekarang mereka senang karena anak tetap dapat bermain sepak bola tanpa perlu khawatir lagi. Setelah itu, dengan bantuan ibu gurunya, anak-anak Kamerun ini membuat video tentang kisah keberhasilannya dan diunggah ke kanal YouTube, dengan judul Having a Ball.

Dari pengalaman sederhana tetapi bermakna tadi, anak berusia belia tersebut telah menerapkan empat langkah berpikir reka cipta. Mereka telah "menggagas dunia" dari lingkungannya sendiri.

Anak merasakan sebagai manusia terhormat yang berhak menggagas dan becus bernalar. Walau lewat masalah yang tampak sederhana bagi orang dewasa, namun anak telah mengasah dan mempraktikkan keterampilan abad ke-21, sebutlah seperti merumuskan masalah, berpikir kreatif dan kritis, serta berkomunikasi.

Perasaan percaya diri anak sekaligus keterampilannya bernalar ini mewabahkan virus keyakinan "Aku becus" ke berbagai pelosok dunia.


Aku merdeka
Berita baiknya, beberapa masyarakat pendidikan dan anak Indonesia bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah menyiapkan rencana agar anak Indonesia dapat menggagas dunia. Melalui gerakan ini, anak memupuk keberdayaannya dan ini menjadi bekal dalam perjalanannya kelak menjadi insan merdeka.

Upaya ini bertolak belakang dengan kebijakan pendidikan yang kerap menghamba regulasi birokratis, sarat modal dan mengamini pragmatisme. Gerakan ini memutarbalikkan pandangan lembaga pendidikan sebagai jawatan yang kerap menempatkan anak sebagai obyek ekonomi, sekadar bakal calon tenaga kerja untuk memutar roda pabrik dan industri.

Di sini, anak justru merupakan subyek dalam pembangunan bangsa dan sebagai tokoh utama pelaku perbaikan pendidikan. Inilah sejatinya hal yang sejalan dengan hakikat keberdayaan dan kemerdekaan anak.

Bagi pendidikan nasional secara umum, semangat "menggagas dunia" ini akan menegaskan kembali makna pendidikan dan relevansinya pada kehidupan warga. Tujuh puluh tahun adalah waktu yang lama untuk menunggu anak Sang Republik berteriak, "Aku becus. Aku berdaya. Aku merdeka."

Iwan Pranoto,
Guru Besar Matematika ITB
KOMPAS, 27 Juli 2015

Tuesday, July 7, 2015

Bukan Kekayaan, tapi Kesejahteraan Asia


Kita khawatir pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang ditandatangani 50 negara di Beijing hari Senin (29/6/2015) hanya akan menguntungkan beberapa negara dan mengabaikan keseluruhan pokok persoalan tujuan pembangunan di kawasan ASEAN. Padahal pada Pasal 1 anggaran dasar dan rumah tangga AIIB menyebutkan, tujuan bank ini wajib “… menciptakan kekayaan dan meningkatkan konektivitas infrastruktur di Asia.”

Kalau memang bank pembangunan multilateral ini bertujuan menciptakan “kekayaan”, bisa dipastikan mekanisme kerjasama dan kemitraan regional melalui konektivitas infrastruktur tidak akan tercapai. Alasannya sederhana. Bank multilateral yang baru ini hanya mengejar kekayaan dan keuntungan dalam menggelar pendanaan masif infrastruktur di kawasan Asia yang diperkirakan memerlukan dana sekitar 8 triliun dollar AS sampai dengan tahun 2020.

Masalahnya, sejumlah pembangunan infrastruktur publik yang dibangun pemerintah di berbagai kawasan membutuhkan waktu yang sangat panjang dan lama untuk mencapai keuntungan. Belum lagi berbicara tentang kembalinya modal dari beragam jenis pembangunan infrastruktur tersebut.


Di Asia, kita condong melakukan kerjasama dan kemitraan untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan menciptakan kekayaan dari berbagai infrastruktur yang ingin digelar di kawasan ini. Masih menjadi pertanyaan, bagaimana caranya mencari kekayaan dari upaya membangun jalur kereta api cepat antara Jakarta dan Bandung, atau kembalinya modal dalam membangun infrastruktur konektivitas laut antara Indonesia bagian barat dan timur?

Berbagai proyek infrastruktur yang dibangun selama ini belum menunjukkan keuntungannya hanya dari mengelola infrastruktur tersebut. Karena kalau “kekayaan” menjadi tujuan seperti yang dimaksud AIIB, pertanyaannya adalah kenapa berbagai proyek infrastruktur di kawasan Asia ini tidak berkembang walaupun suku bunga jangka panjang sangat rendah dan pasokan keuangan dari berbagai pemerintahan Asia sangat cukup?

Kita membenarkan argumentasi kalau infrastruktur adalah kunci potensi pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi yang lain, kita meragukan berbagai proyek infrastruktur tersebut akan mampu “menciptakan kekayaan” seperti tercantum dalam pasal pendirian AIIB tersebut. Karena pertanyaan kita adalah siapa yang akan “mendapatkan kekayaan” dalam investasi AIIB tersebut?


Kita bukan ingin menjadi pesimistis dengan kemunculan bank investasi pembangunan baru seperti AIIB yang dipelopori RRC ini. Namun, kita perlu realistis dalam melihat keseluruhan prospek kerja sama dan kemitraan yang ingin dibangun di tengah kebangkitan Tiongkok ini. Bagaimana kita bisa mengharapkan “kekayaan bersama” ketika hubungan bilateral perdagangan kita, antara RI-RRC berada dalam posisi merugi setiap tahun?

Sejak 2010 neraca perdagangan RI-RRC merugi 4,7 miliar dollar AS, dan menurun pada 2011 merugi 3,2 miliar dollar AS, namun meningkat drastis dengan kerugian RI pada 2012 dan 2013 mencapai masing-masing sekitar 7,7 miliar dollar AS, dan kerugian yang berlipat dua pada 2014 hingga mencapai 13 miliar dollar AS.

Dari perdagangan bilateral RI-RRC tersebut jelas tidak tecermin “kekayaan bersama” seperti didengungkan para pemimpin kedua negara. Dan tingkat perdagangan bilateral yang negatif ini sungguh tidak mencerminkan upaya pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan, apalagi mengharapkan “terciptanya kekayaan” dari investasi infrastruktur AIIB.

Kasihan lagi Indonesia!

Rene L Pattiradjawane,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 1 Juli 2015

Friday, June 19, 2015

Anomali Demokrasi


Setiap pergantian rezim selalu menjanjikan harapan perubahan masa depan. Gagasan “Revolusi Mental” yang diusung Joko Widodo ––sebagai panduan perubahan, dan menjadi agenda Kabinet Kerja–– telah membentangkan jutaan harapan rakyat Indonesia bagi perubahan cepat, segera, dan radikal di aneka bidang: penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pembangunan kualitas manusia, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Akan tetapi, setiap perubahan menuntut “kekuasaan nyata”, yaitu pemimpin yang dituruti, diikuti, dan dipatuhi secara nyata, bukan sekadar simbolik. Kekuasaan semacam ini diharapkan mampu menciptakan kedisiplinan, kepatuhan, dan loyalitas terhadap otoritas kekuasaan sebagai syarat mutlak perubahan. Bila kekuasaan nyata ini tak bekerja, perubahan akan bergerak seperti bola liar, yang dapat membawa kepada situasi ketakpastian dan chaos.

Sayangnya kekuasaan nyata itu tak mampu ditunjukkan Jokowi. Berbagai ketakpatuhan, ketakdisiplinan, dan ketaktaatan diperlihatkan bawahannya, yang menunjukkan degradasi kekuasaan tertinggi negara. Di pihak lain, ada semacam “kekuasaan tak tampak”, yang meski tak terlihat, tetapi mampu menunjukkan efek kekuasaannya dalam “mengendalikan” dan “mengarahkan” perubahan.


Anomali kekuasaan
Kekuasaan sangat sentral dalam setiap perubahan karena perubahan perlu kekuatan pendorong, energi dan mesin penggerak. Makna kekuasaan paling luas adalah “potensi bagi perubahan”, yaitu kemampuan mencapai tujuan bersama, baik pada tingkat keluarga, kelompok, organisasi, lembaga keagamaan, perusahaan, partai politik, dan negara-bangsa. Kekuasaan adalah “kapasitas” untuk mengubah potensi menjadi kenyataan. (Boulding 1989)

Kekuasaan “normal” dalam sistem demokrasi ditunjukkan oleh kemampuan otoritas kekuasaan merealisasikan segala potensi bagi perubahan, yang ditampakkan pula oleh kedisiplinan, kepatuhan, dan ketaatan aparat-aparat negara yang terlibat di dalamnya, serta berfungsinya aparatus negara yang ada. Dalam hal ini, “kapasitas” bagi perubahan ditunjukkan oleh efektivitas relasi tiga unsur perubahan: pemimpin tertinggi, aparat, dan aparatus.

“Aparatus” adalah segala sesuatu yang memiliki kapasitas mengarahkan, menentukan, memodelkan, mengendalikan atau mengamankan gestur, perilaku, opini atau wacana yang berkaitan dengan perubahan. Di antara aparatus ini adalah sekolah, ruang pengadilan, penjara, tempat ibadah, ruang rehabilitasi, istana presiden, persenjataan, UU, bahkan tulisan, filsafat, karya seni, media, dan bahasa. Aparatus adalah “kendaraan” di mana kekuasaan dimanifestasikan. (Agamben 2009).


“Anomali kekuasaan” adalah penyimpangan dari relasi kekuasaan yang “normal”, ke arah yang “abnormal”. Di sini ada distorsi kepada otoritas kekuasaan, ketika fungsi kekuasaan nyata diambil alih kekuatan-kekuataan tak tampak, di mana, ironisnya, para aparat negara justru patuh kepada kekuatan tak tampak ini. Kondisi ini menyebabkan aparatus negara tak berfungsi normal karena digerogoti kekuatan-kekuatan tak tampak itu.

Fungsi “normal” aparat hukum seperti kepolisian adalah menegakkan aturan hukum demi kebenaran. Anomali hukum adalah penyimpangan fungsi aparat hukum, yang alih-alih menegakkan hukum, justru melindungi kepentingan korps mereka, khususnya atas tuduhan keterlibatan korupsi. Anomali tingkat aparat ini menggiring pula kepada anomali di tingkat aparatus hukum, yang kini tak lagi mengarahkan perilaku, opini atau wacana ke arah pengungkapan kebenaran, tetapi malah memalsukan kebenaran.

Di dalam sistem pemerintahan demokratis, sistem kekuasaan tak hanya terbagi secara horisontal sebagai manifestasi prinsip check and balance (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), juga secara vertikal bersifat hierarkis. Fungsi aparat adalah menjalankan tugasnya sebatas otoritasnya, dengan mematuhi otoritas kekuasaan lebih tinggi. Anomali kekuasaan adalah ketika otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh kepada otoritas di atasnya, seperti yang ditunjukkan aparat kepolisian.

Anomali kekuasaan pada rezim pemerintahan Jokowi ditandai anomali kekuasaan horisontal dan vertikal sekaligus. Di satu sisi, otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh kepada kekuasaan lebih tinggi, seperti ditunjukkan aparat kepolisian. Di sisi lain, ada intervensi sistem kekuasaan yang setara, seperti yang ditunjukkan Menteri Hukum dan HAM terhadap lembaga yudikatif.


Skeptisisme politik
Relasi kekuasaan demokratis yang ditunjukkan melalui aktivitas kepemerintahan menentukan kualitas demokrasi. Otoritas kekuasaan tak saja harus ditunjukkan secara penuh, utuh, berkesatuan, konsisten, dan berkelanjutan, tetapi juga tak mengandung unsur ambiguitas, ambivalensi, dan kontradiksi. Kekuasaan tak mungkin mengandung dua sifat kontradiktif sekaligus: berkuasa sekaligus tak berkuasa, memerintah sekaligus diperintah, melarang sekaligus menyuruh.

Ambiguitas adalah kekacauan makna dalam bahasa. Padanannya dalam perilaku adalah ambivalensi, yaitu keadaan mengambang di antara dua tindakan. Kata-kata ambigu biasanya adalah turunan dari perilaku ambivalen. Ironisnya, ambiguitas ucapan dan ambivalensi tingkah laku inilah yang menandai rezim sekarang ini: ucapan ambigu (“tidak akan impor beras”, tetapi “boleh impor beras”) dan tindakan ambivalen (meminjam ke Bank Dunia, tetapi meminta dihapuskan Bank Dunia).

Ambiguitas dan ambivalensi sangat memengaruhi tingkat “keterpercayaan” kepada elite kekuasaan. Keterpercayaan adalah ekspektasi masyarakat akan perilaku yang konsisten dan benar berlandaskan norma-norma bersama. Sebaliknya, ambiguitas menunjukkan inkonsistensi, yang dapat melunturkan kepercayaan. Ambiguitas ucapan dan ambivalensi tindakan adalah dua aspek yang berpotensi menumpuk akumulasi ketakpercayaan kepada rezim pemerintah sekarang.

Keterpercayaan adalah fondasi politik demokratis karena ia merupakan akar dari keyakinan akan kapasitas, kompetensi, dan kemampuan seorang elite politik. Karena itu, di dalam politik ada semacam “politik keyakinan”, yaitu semacam vitalitas yang memberi masyarakat politik semacam optimisme kolektif akan kapabilitas dan kapasitas sebuah rezim kekuasaan dalam mencapai tujuan atau cita-cita bersama masyarakat-bangsa, melalui otoritas kekuasaan yang dimiliki.


Sebaliknya, “politik skeptisisme” menumbuhkan ekspektasi bahwa tujuan bersama tak mungkin tercapai karena aneka prasangka, benturan, konflik, ketakharmonisan di antara aparat dan institusi-insitusi politik tak mampu diselesaikan pemegang kekuasaan tertinggi.

Tak berfungsinya otoritas tertinggi kekuasaan tampak dalam pembiaran “kriminalisasi” kepada lembaga negara, seperti KPK oleh kekuatan-kekuatan “tak tampak”, yang tetap terjadi hingga kini. Anomali kekuasaan dan ketakmampuan menunjukkan kekuasaan nyata oleh pemimpin tertinggi ini, dikhawatirkan akan menyebabkan eskalasi dan meluasnya sikap skeptisisme dan menumpuknya ketakpercayaan rakyat kepada otoritas kekuasaan, yang pada gilirannya dapat mengancam kelanjutan rezim pemerintah.

Untuk menghentikan eskalasi skeptisisme dan akumulasi ketakpercayaan, Jokowi dituntut berpikir keras dan serius untuk menemukan cara memulihkan kekuasaannya, khususnya untuk menghentikan mesin-mesin kekuatan tak tampak yang merongrong otoritasnya. Hanya dengan cara itu dapat ditunjukkan kharisma kekuasaannya dalam memimpin, mengarahkan, memandu, menyelesaikan, memberi solusi, dan memutuskan berbagai masalah negara-bangsa di atas kekuatan diri sendiri sebagai pemimpin tertinggi.

Yasraf Amir Piliang,
Pemikir Sosial dan Kebudayaan
KOMPAS, 3 Juni 2015

Friday, May 15, 2015

Imperialisme Jasa


Beberapa tahun belakangan, saya harus menahan diri untuk mengekspresikan rasa kesal pada satu hal ini: ongkos parkir. Sejak parkir umum yang semestinya menjadi konsekuensi logis toko, pusat perbelanjaan, hotel, perkantoran, rumah sakit sebagai pelayanan atau fasilitas lumrah bagi para konsumen atau tamunya, telah diambil alih perusahan jasa perparkiran, hal yang semula gratis secara wajar, kini menjadi sangat mahal secara tidak wajar.

Beberapa perkantoran atau pusat perbelanjaan, memasang tarif sekali masuk Rp 5.000 dan biaya Rp 4.000/jam, sehingga hanya untuk perundingan bisnis atau belanja sekitar 3 jam, kita harus membayar tak kurang dari Rp 17.000. Jumlah yang mungkin tak seberapa bagi sebagian orang, tetapi secara akumulatif nilainya mencengangkan. Hanya dengan lapak sekitar 6 meter persegi beralas konblok, aspal, semen atau lainnya, para pengusaha jasa perparkiran mendapat pemasukan tidak kurang dari Rp 1,5 juta/bulan (dalam hitungan rata-rata hanya 12 jam sewa per harinya). Pemasukan itu (atau Rp 18 juta/tahun), tentu setara sebuah rumah kontrakan tipe 54/92 yang cukup mewah, atau kos/kontrakan/apartemen sangat mewah, dengan luas tanah jauh lebih lapang, dengan bangunan bagus dan fasilitas lain. Dengan dasar perhitungan apa perusahaan jasa parkir bisa mendapatkan penghasilan begitu menakjubkan, padahal hanya dengan modal sekadar palang dan pos kecil dengan seorang petugas?


Tak lain semua itu mungkin hanya karena satu bentuk perdagangan yang menggila pada tiga dekade belakangan: bisnis jasa. Inilah bentuk perdagangan kedua, setelah manufaktur, yang paling pesat pertumbuhannya, sekaligus paling telengas dalam mengisap dompet konsumennya. Dalam esensinya yang menawarkan kenyamanan, kemegahan, rasa nikmat, gengsi, dan hal-hal abstrak lain, bisnis jasa hampir tak punya ukuran atau standar untuk harga. Semua berlangsung absurd, ditentukan setidaknya seberapa jauh konsumen terilusi atau tertipu imaji atau simulacra ilusif yang ditawarkan para pedagang jasa.

Katakanlah, secangkir kopi atau soto betawi yang dengan mudah kita temukan di berbagai kedai kaki lima, tiba-tiba melonjak hingga lebih 2.000 persen ketika ia kita beli di sebuah restoran atau mal yang megah dan ber-AC kuat. Begitu pun dengan jasa yang ditambahkan (sebagai nilai tambah) pada barang-barang manufaktur, seperti busana, peralatan rumah tangga, hingga gawai.

Yang terlebih menyakitkan lagi, ialah yang terjadi dengan semena-mena pada industri jasa yang sangat mendasar, seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan, ketika sewa ruang kelas 1 atau VIP di sebuah rumah sakit, misalnya, lebih mahal dari tarif kamar berkelas sama di hotel berbintang empat, tetapi dengan fitur dan fasilitas yang jauh lebih minim.

Kemahalan yang sama harus dibayar pasien (yang sudah menderita karena penyakitnya) untuk kunjungan dokter yang sama, teknologi sama, waktu konsul yang sama dengan beberapa kelas di bawahnya.


Represif
Jasa, kini benar-benar tidak hanya memberi keuntungan nauzubillah bagi para pedagangnya, tetapi secara kontradiktif memberi bukan melulu beban, tetapi semacam siksaan kepada konsumennya yang lebih kerap tidak berdaya. Seperti kita di bandara, tempat wisata, bar, resto, hotel, atau berbagai ruang eksklusif lainnya, harus menemukan harga barang-barang biasa dengan harga yang luar biasa karena berlipat-lipat nilainya. Semua itu terasa represif karena kita tidak mampu menawar, melawan, dan terlindungi oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk itu. Kita seperti terimperialisasi oleh satu hal yang sangat absurd, namun nyata dampak praktisnya: jasa.

Akan tetapi, dari semua ilustrasi kecil itu, hal paling menyakitkan dan terasa menjajah kesadaran kita adalah skema kredit atau leasing yang selama ini menjadi tumpuan bahkan modus masyarakat mewujudkan harapan atau mimpi-mimpi modern (hedonistik)-nya. Tanpa dapat kita menawar sedikit pun, atau bahkan hampir seperti fait accompli, karena kita harus menerima ketentuan kredit/leasing itu, walaupun sebenarnya kita telah dijebak dan terjebak pada aturan utang yang sangat merugikan. Dan tentu saja, di sisi yang lain amat sangat menguntungkan bagi para pengusaha jasa (pemberi kredit).

Sudah umum diketahui, cicilan yang kita bayar untuk pembelian kredit rumah, kendaraan bermotor, gawai, hingga perjalanan wisata bahkan umrah, hampir 90 persen untuk pembayaran bunga pada setengah periode awal masa kreditnya. Sehingga ketika kita ingin melunasi kredit di pertengahan masa, kita menemukan jumlah utang pokok ternyata masih menggunung, lebih dari 80 persen. Betapa licin, cerdik, tetapi juga culas dan memeras skema kredit yang tidak adil seperti ini. Betapa besar jumlah keuntungan yang diraup secara tidak adil oleh lembaga keuangan pemberi kredit yang sebenarnya telah mendapat pelunasan di tengah jalan. Betapa culasnya, ketika kita sudah membayar hampir lunas utang kita, namun perhitungan bunga kredit dan masa pelunasannya ternyata masih cukup panjang untuk diakhiri.


Bank, sebagai lembaga keuangan pemberi kredit utama, termasuk bank pemerintah yang menggunakan uang rakyat sebagai modalnya, menggunakan skema yang sama untuk bisnis jasa yang mengerikan ini. Bahkan bank-bank pemerintah pun, seperti halnya bank swasta, menciptakan tarif yang mokal-mokal dengan memasang tarif untuk beberapa transaksi, seperti biaya administrasi, transfer elektronik, bahkan sekadar untuk cek saldo hingga saat kita setoran. Bayangkan, jika hanya untuk cek saldo kita ditagih Rp 6.500, maka bila 25 persen dari 100 juta nasabah sebuah bank besar melakukan cek saldo dalam sehari, bank akan mendapat pemasukan tak kurang dari Rp 162,5 miliar/hari.

Hanya dalam sehari, hanya untuk cek saldo, dan hanya 25 persen. Hitunglah per bulan atau per tahun, juga untuk semua bentuk transaksi. Hampir tanpa biaya signifikan dengan tarif itu yang harus bank keluarkan, karena semua hanya menggunakan gelombang elektromagnetik yang notabene milik publik. Apa yang sedang terjadi? Mengapa perdagangan atau ekonomi (pos)modern berbasis teknologi ini begitu kuat menjerat kesadaran terdalam kita, hingga akhirnya kita benar-benar kehilangan kesadaran? Lalu kita menerimanya sebagai satu hal yang given, yang wajar, normal dan biasa? Mana lebih dahsyat imperialisme mutakhir saat ini dibanding dengan bentuknya yang sama di masa lalu?


Dehumanisasi konsumen
Kapitalisme dengan model terkejamnya, pasar bebas, memang harus diakui melakukan semacam represi yang mendehumanisasi konsumen, menjadikan manusia hanya sebagai sapi perah untuk memenuhi kebutuhan susu pundi-pundi triliunan rupiah maupun dollar dari para pemilik modal besar, bahkan pemerintah pun mengikutinya dengan cara telengas (Anda tahu, kan, telepon atau listrik Anda akan segera diputus hanya karena keterlambatan pembayaran dalam hitungan hari?). Semua itu hanya menggunakan perangkat paling ampuh dan absurd dari ekonomi kapitalistik ini: harga. Khususnya di genre perdagangan mutakhirnya: jasa.

Jasa sebagai perdagangan mutakhir mungkin bisa disebut sebagai level lanjutan dari perdagangan berbasis pertanian (agrikultur) di masa pramodern dan industri manufaktur di masa modern. Sejak masa lalu bisnis memang sudah ada, bahkan untuk perbankan di Tiongkok sudah sejak paruh awal milenium kedua, dan dalam pengertian modern (warkat antara lain) sejak usai Perang Salib abad ke-12, ditemukan dan dijalankan para Ksatria Templar bagi para peziarah ke kota suci Jerusalem.

Namun, sebagai jenis perdagangan utama dunia, jasa baru mulai diakui secara formal sejak awal tahun 80-an, ketika Amerika Serikat (bersama negara-negara satelit ekonominya, seperti Kanada, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Singapura) dengan intensif dan teguh memaksakan jenis perdagangan itu ke dalam aturan perdagangan global WTO. Sejak saat itu, nilai perdagangan jasa yang sangat minor sebelumnya, tak lebih dari 10 persen ketimbang agrikultur dan manufaktur meningkat dengan sangat cepat. Jika dua pendahulunya membutuhkan ribuan tahun dan ratusan tahun, jasa hanya membutuhkan sedikit dekade untuk melesat.


Bisa dibayangkan di wilayah di mana perdagangan tradisional masih dominan, seperti Sub-Sahara Afrika, pada 2005 perdagangan jasa sudah mengambil porsi 47 persen dari kapasitas ekonomi kawasan itu, sementara agrikultur hanya 16 persen dan manufaktur 37 persen. Bahkan data WTO mutakhir menunjukkan angka mencengangkan perdagangan jasa mengambil porsi lebih dari 50 persen total perdagangan dunia, melibatkan sepertiga tenaga kerja profesional, dan menguasai dua pertiga pendapatan global.

Kita semua mafhum, ke mana keuntungan terbesar terkumpul, tidak lain pada para pemilik modal besar yang menguasai aneka ragam mata komoditas jasa, mulai dari hotel, resto, penerbangan, turisme, pendidikan, transportasi, hiburan, hingga pelacuran, alkohol, dan perjudian. Keuntungan berlipat itu berbanding terbalik dengan kesejahteraan konsumen, khususnya rakyat kelas bawah, yang menderita kemiskinan absolut karena terisap pendapatan minusnya untuk jasa-jasa yang mereka juga —secara alamiah— ingin menikmatinya (tentu karena rayuan maut advertensi dan gaya hidup kelas atas dan menengah).

Sampai kapankah situasi ini? Bisakah ia berakhir? Mohon ampun, saya akan menyatakan dengan tegas: ia tak akan berakhir. Artinya? Jelas, pengisapan yang imperialistik ini akan terus berlanjut, hingga rakyat kebanyakan —tidak hanya yang ada di Sorong atau Tulungagung, tetapi juga Leningrad, Paris, dan New Delhi— benar-benar kempis kantong ekonomi bahkan harapan kesejahteraannya. Hingga pada masa di mana, kita, rakyat kebanyakan, tinggal menjadi budak-budak dari industri. Budak dari industri yang penghasilannya mengalir deras dari perasan keringat, air mata bahkan darah kita semua sebagai konsumen. Dan ironisnya, semua itu juga akan habis dengan cepat hanya untuk mengonsumsi hasil industri yang kita buat sendiri.

Maka, sebagian dari kita bekerja jauh lebih keras dibanding yang lain. Jauh lebih keras hingga lupa dengan tanggung jawab keluarga atau sosial di sekitarnya, hanya untuk menambal kekurangan-kekurangan pokok hidupnya, karena penghasilannya melalui apa yang disebut false consciousness diisap kenikmatan-kenikmatan jasa. Kita akan kerja lembur terus, akan cari sampingan terus, dan bila semua kemungkinan penghasilan alternatif itu sudah menyempit, kita pun akan menengok alternatif lain, yang ilegal bahkan kriminal.


Tidak mengherankan, bukan saja korupsi dan manipulasi merajalela, praktik dagang licik dan penuh tipu terjadi, tetapi juga kejahatan —yang mematikan— terjadi hanya untuk uang yang tak seberapa. Sebagian lagi melacurkan diri, karena tinggal memiliki itu satu-satunya modal yang bisa dijual. Dan betapa miris hati ini, ketika remaja-remaja belasan tahun itu kini menjual dirinya, lewat media-media sosial, dengan berbagai tawaran yang mengiris-iris harga diri.

Apakah tidak ada yang tersentuh dengan fenomena gila seperti ini? Di manakah mereka kaum elite yang mendapatkan limpahan berkah dan amanah dari kita, selaku khalayak? Tidakkah mata dan hati mereka tidak mampu lagi menangis? Atau justru tenggelam sebagai bagian dari arus besar hedonisme atau menjadi cecunguk dari peradaban dagang seperti itu? Sadar atau tak sadar, kita telah mengimperialisasi rakyat kita sendiri, khalayak yang telah memberikan kenikmatan dan kemelimpahan harta.

Di mana pemerintah? Padahal, di sementara lain, bangsa ini sangat terkenal dengan kebudayaan, kesenian, dan kekuatan kreatifnya, namun malah tidak mampu mengambil keuntungan dari bisnis jasa yang sebenarnya justru menjadi kekuatannya? Saya tidak ingin lagi berdoa, untuk kesadaran mereka —kaum elite— misalnya. Saya menuntut dengan keras: jangan biarkan, bahkan sekali-sekali jangan pernah menjadi komprador untuk menghancurkan bangsa ini dengan skema perdagangan seperti di atas. Bila itu terjadi, maka pasti akan menghancurkan harapan masa depan yang lebih mulia bagi anak cucu kita. Dan itu berarti akan menghancurkan peradaban kita di masa depan.

Radhar Panca Dahana,
Budayawan
KOMPAS, 7 Mei 2015