Sunday, May 30, 2021

Tribute To Muhammad Fanani Afaroaitum


Untuk menggambarkan sosok sahabat, saudara, dan guru sekaligus teman "berantem" Muhammad Fanani Afaroaitum, tentu bukan hal yang mudah bagi saya. Bisa dipastikan tentu ada saja hal-hal yang terlewatkan. Karena terlalu banyak sisi-sisi menarik dan penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan rasanya saya tidak mampu menyajikannya secara utuh.

Di depan teman-teman dan para muridnya (dia sendiri tidak pernah menyebut peserta pengajiannya sebagai murid atau mendaulat dirinya sebagai guru atau ustadz) saya pernah mengatakan bahwa dia adalah mutiara ilmu! Oleh sebab itu jangan sampai dia keburu "hilang" sebelum kita sebanyak mungkin berhasil mendapatkannya. Dan ternyata benar, bahwa mutiara itu kini telah pergi, kembali kepada pemiliknya, 11 Mei 2021 yang lalu.


Perkenalan saya dengan dia terjadi sejak kami masih sama-sama remaja. Semasih sama-sama menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia. Terjadi sekitar tahun 1970-an akhir. Sempat "berpisah" dalam waktu cukup lama, ketika kami berselisih faham. Dia termasuk pemikir kelompok fundamentalis, sedangkan saya cenderung liberalis dan bahkan di kalangan beberapa teman Pelajar Islam Indonesia "garis keras" menyebut saya sebagai sekuleris.

Dan kami dipertemukan kembali oleh Allah, sekitar tahun 1983-an.

Sejak pertemuan kembali tersebut kami kembali dekat dan komunikasi kami semakin lebih intens. Hubungan kami dan keluarga masing-masing cukup dekat bahkan layaknya hubungan saudara. Kalau kami bertemu setelah dalam waktu yang lama, atau pada waktu peristiwa yang istimewa/tertentu (suasana haru, sedih, gembira atau pun bahagia), kami biasa berjabat tangan, berpelukan dan cipika-cipiki. Baik dengan dia atau dengan yang lain, termasuk dengan saudara-saudara perempuannya. Saya memanggil dia dengan sebutan om dan kepada saudara-saudara perempuannya bulik, serta menyebut pak dhe kepada saudaranya yang lebih tua. Hal itu untuk membahasakan bagaimana anak-anak saya menyebut mereka.

Muhammad Fanani berdiri di tengah bersebelahan dengan Prof Dawam Rahardjo. Sementara itu penulis Tribute ini, Mas Joko Kahhar, berdiri nomor tiga dari kiri.

Pertemuan kembali dengan dia tersebut diawali dengan mengadakan "pengajian" di tempat tinggal saya, Kuncen, Jogyakarta. Saya sangat excited dengan materi pengajian yang dia sampaikan. Juga cara penyajiannya yang tidak seperti dalam pengajian-pengajian yang umum kita kenal. Lebih seperti kuliah, di mana dosen berdiri di sebelah depan white board dengan spidol dan para mahasiswa dengan ballpoint dan buku catatan masing-masing, bahkan juga ada alat perekam suara. Kemudian berkembang dengan menggunakan projector, power point. Dan belakangan sejak pandemi covid-19 menggunakan fasilitas IT yang lagi trendy, channel Youtube dan Zoom Meeting.

Dari materi-materi yang disampaikannya itu lah yang di kemudian hari mampu merubah sudut pandang saya mengenai Islam/Al-Qurȃn dan pemahaman keberagamaan saya selama ini. Hal yang mengesankan saya pertama adalah ketika dia menguraikan pengertian dan definisi atas berbagai istilah fundamental dan memiliki nilai-nilai strategis di dalam Islam/Al-Qurȃn. Misalnya, tentang pengertian dan definisi iman, shalat, zakat, dsb.

Dan hal yang juga amat mendasar dan "baru" bagi saya adalah ketika dia memperkenalkan istilah metodologi Al-Qurȃn. Bagaimana seharusnya kita membaca/memahami dan mendudukkan Al-Qurȃn sebagai petunjuk hidup manusia di dunia. Hal itu yang juga sekaligus telah mematahkan pemahaman dikotomik saya sebelumnya tentang makna dunia-akhirat, habluminallaah-habluminannas, ibadah-mu'amalah, dsb.

Mas Muhammad Fanani berdiri di belakang, nomor dua dari kiri.

Demikian pula bagaimana sebetulnya memahami metodologi Al-Qurȃn; sistematika Al-Qurȃn; analitika Al-Qurȃn; obyektivita Al-Qurȃn. Bagaimana Al-Qurȃn bisa difahami sebagai teori sosial, budaya dan peradaban manusia sesuai dengan mau-Nya Allah. Bagaimana mampu menjadikan Al-Qurȃn sebagai pedoman hidup yang sempurna dan menanamkan kesadaran Al-Qurȃn ke dalam diri, sehingga fungsional di dalam realitas kehidupan muslim/mukmin sehari-hari.

Pembelajaran Al-Qurȃn (biasa disebut dengan studi Al-Qurȃn) yang dia sampaikan tidak cukup dengan memahami teks Al-Qurȃn dengan terjemahan dan tafsir yang sudah ada selama ini secara membabi-buta. Tetapi seharusnya juga menggunakan pendekatan kritis dari aspek filologis, epistemologis, etimologis, dll. Memahami makna teks Al-Qurȃn mulai dari asal kata, bentuk dan jenis kata, gaya bahasa, sehingga menemukan makna dan definisi sebuah teks Al-Qurȃn yang paling logis. Dengan panduan bagaimana Al-Qurȃn tersebut mengartikan dirinya sendiri (ayatin bayinatin).

Dan manusia yang telah diberi mandat untuk mengajarkan sekaligus memberi contoh ke dalam perilaku hidup, oleh Allah, sebagai pemilik teks/Al-Qurȃn tersebut adalah Rasulullah saw. Oleh sebab itu, kita juga harus menyandarkan pemahaman kita terhadap Al-Qurȃn, sebagaimana Rasulullah saw mengajarkannya dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bukan hanya bertumpu pada pendapat (subyektif) kita masing-masing.

Dari kiri: Adib Susila Siraj, Joko Kahhar (tengah) dan Muhammad Fanani (paling kanan).

Interaksi, komunikasi dan aktivitas belajar-mengajar (studi) Al-Qurȃn yang berlangsung selama berpuluh tahun itu terus dia jalani tanpa kenal lelah. Bahkan meliputi hampir sebagian besar kota di negeri ini.

Dengan ghirah dan mobilitas yang luarbiasa itu dia mengajar kepada semua lapisan masyarakat tanpa memandang kelas, kedudukan sosial. Bahkan dari kalangan orang-orang yang tidak berpendidikan tinggi hingga profesor, doktor, rektor, dosen dsb. Dari masyarakat kebanyakan sampai kalangan ningrat di dalam lingkungan keraton.

Dia telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk berdakwah dalam arti yang sesungguhnya. Dan dari pengalaman belajar-mengajar (studi) Al-Qurȃn itu, dia telah sempat menyusun beberapa risalah berkaitan dengan tata-bahasa Al-Qurȃn ("berbeda" dengan buku-buku pelajaran bahasa Arab pada umumnya. Terutama berkaitan dengan pengertian mendasar tentang bahasa Al-Qurȃn dan bahasa Arab atau kalau boleh diperluas tentang budaya Al-Qurȃn dan budaya Arab).


Tentu dalam kesempatan ini saya tidak mungkin mengungkapkan materi-materi studi yang dia sampaikan selama ini. Karena disamping membutuhkan forum khusus, rasanya saya tidak mampu melakukannya seorang diri dengan secara memadai dan utuh.

Kini setelah dia meninggalkan kita, agaknya tidak ada di antara teman dan para muridnya yang mampu menggantikannya. Kecuali mereka yang masih memiliki dan mau melanjutkan ghirah yang telah dia tanamkan selama ini, kepada teman-teman dan murid-muridnya tersebut. Paling tidak, bisa dan mau melanjutkan aktivitas studi Al-Qurȃn di wilayah atau daerah tempat tinggal mereka masing-masing.

Misalnya untuk wilayah Jogja, bisa disebut ada dua bersaudara yang selama ini telah menunjukkan kredibilitas dan konsistensi mereka (dengan segala hormat dan permintaan maaf, saya tidak menyebut nama). Setidaknya kepada mereka berdua kita masih bisa berharap agar kiranya mau menjadi "penjaga gawang" agar kegiatan studi (ilmu) Al-Qurȃn tersebut terus berlanjut.

Joko Kahhar
Jogya, Jumat, 14 Mei 2021
https://www.facebook.com/joko.kahhar