Thursday, April 21, 2016

Bagaimana Pelajar Kita Belajar Matematika?


Pelajar di mana saja, memiliki kebiasaan menghafal dalam belajar Matematika. Namun, agar dapat bermatematika di jenjang yang lebih tinggi, kemampuan menghafal semata tidaklah cukup. Hal ini dilaporkan dalam artikel “PISA In Focus” (OECD, Maret 2016) dan makalah “How Teachers Teach and Students Learn: Successful Strategies for School,” (Echazarra A dkk, 2016).

Dari laporan tersebut dapat dibaca bahwa pelajar Indonesia termasuk yang banyak menggunakan cara menghafal dalam belajar Matematika. Ini seperti menyahihkan pendapat umum selama ini: pendidikan di Indonesia banyak menekankan pada penghafalan.

Namun, perlu digarisbawahi, pelajar dari negara yang berhasil di PISA Matematika (skornya tinggi) ternyata juga banyak yang menghafal dalam belajar Matematika. Ini menguatkan keyakinan umum bahwa menghafal, seperti fakta dasar perkalian, memang diperlukan dalam bermatematika. Namun, keberhasilan pelajar menyelesaikan masalah Matematika jenjang yang tinggi lebih ditentukan oleh penguasaan strategi memanfaatkan hafalannya, bukan semata karena mampu menghafal.

Matematika itu asyik dan menyenangkan.

Menghafal
Laporan pemetaan pendidikan global ini membenarkan pendapat bahwa kemampuan menghafal membantu pelajar mengerjakan masalah sederhana, rutin, dan tak menuntut pemahaman konsep Matematika secara mendalam. Namun, hal itu tak berarti banyak saat pelajar mengerjakan permasalahan kompleks dan belum pernah dihadapi. Agar pelajar dapat menyelesaikan masalah canggih pada jenjang tertinggi, mereka juga butuh kemampuan berpikir tingkat tinggi ––seperti menganalisis–– dan dituntut pula untuk lebih kreatif.

Sementara kemampuan berpikir tingkat tinggi berkembang melalui cara control (mengendalikan apa yang dipelajari dan bagaimana mempelajarinya dengan mengenali apa yang belum paham dan lalu mempelajarinya) serta elaborating (belajar mendalam). Dilaporkan juga bahwa pelajar yang belajar dengan dua cara ini lebih berhasil menyelesaikan masalah canggih dan mampu mencapai skor tinggi, ketimbang yang mengutamakan belajar dengan cara menghafal.

Anggapan awam sebelumnya bahwa negara-negara “Timur” menuntut kepatuhan pada prosedur dan menitikberatkan pada menghafal, ternyata tidak benar. Justru laporan ini menunjukkan, pelajar dari negara, seperti Vietnam, Makau-Tiongkok, dan Rusia paling sedikit belajar Matematika dengan menghafal. Mereka cenderung belajar dengan cara lebih mendalam.

Wake up ... to education: "Mind full of education is best than sack full of garbage."

Belajar dengan menghafal amat membantu menyelesaikan masalah Matematika yang sifatnya rutin dan sederhana. Kecuali itu, belajar dengan cara menghafal juga membantu pelajar yang belum cakap bermatematika.

Pelajar kerap memilih jalan pintas menghafal karena berbagai alasan. Misalnya, mereka tak memiliki ketertarikan pada Matematika, mereka tak percaya dirinya berbakat dalam bermatematika, serta mereka menganggap tak ada gunanya memahami konsep Matematika secara mendalam karena pada akhirnya dengan cara menghafal sudah terbukti meringankan beban pikirannya.

Kemudian, khusus untuk Indonesia, jalan pintas menghafal banyak diterapkan karena dengan jalan ini pelajar berhasil memperoleh nilai Matematika yang tinggi, yakni dengan menghafal cara mengerjakan kumpulan soal tahun-tahun sebelumnya.

Hal ini dimungkinkan karena soal ujian seringkali hanya merupakan daur ulang dari soal ujian tahun-tahun sebelumnya serta hanya diubah angkanya saja. Dampak jalan pintas menghafal semakin menonjol sehingga mengecilkan cara belajar lain di dalam sistem persekolahan kita. Secara tak sadar, kebiasaan menghafal sebagai jalan pintas dalam belajar ini mendapat sokongan kebijakan untuk mewabah.


Dalam pengerjaan soal Matematika yang mudah atau sederhana, tak ada perbedaan peluang keberhasilan bagi pelajar, antara yang belajar dengan cara menghafal dengan yang belajar dengan cara mendalam.

Perbedaannya baru terlihat pada pengerjaan soal Matematika canggih, yang menuntut kreativitas dan berpikir analisis. Dilaporkan pula bahwa, pelajar kita yang mampu mengerjakan soal Matematika canggih di jenjang tertinggi, tak terdeteksi secara signifikan. Sementara pelajar dari sistem pendidikan lain yang belajar mendalam ternyata mampu mengerjakan soal Matematika jenjang tertinggi ini.

Bahkan, pelajar yang mengutamakan belajar dengan cara menghafal, peluangnya menyelesaikan masalah yang canggih justru makin mengecil. Secara kuantitatif dilaporkan bahwa, kelompok pelajar yang mengutamakan belajar dengan cara menghafal ternyata peluangnya untuk menyelesaikan masalah yang canggih, empat kali lebih rendah.


Perbaikan
Dapat dilihat bahwa dengan kajian pemetaan pendidikan yang tepat pada proses belajar, seperti yang dilakukan PISA In Focus ini, dapat dirancang kebijakan yang tepat dan berbasis data, guna meningkatkan mutu belajar bagi para pelajar kita.

Karena itu, seharusnya cukup beralasan untuk berharap kepada pengelola ujian nasional dapat terinspirasi untuk benar-benar kembali mewujudkan ujian nasional sebagai sarana pemetaan pendidikan yang sebaik-baiknya. Bukan sebuah dosa untuk meniru sistem pemetaan pendidikan global yang sudah ada, apalagi jika dapat dibuat dengan lebih baik.

Mengenai kebijakan pembelajaran Matematika, pelajar membutuhkan kesempatan untuk mempraktikkan beragam cara belajar, dan bukan hanya dengan cara menghafal.

Guru atau orangtua yang melatihkan cara menghafal secara konvensional dengan mengulang bacaan terus-menerus perlu berhati-hati. Sangat mungkin terjadi cara ini tak cocok dengan semua pelajar atau anak. Sebagian pelajar mungkin akan merasa jenuh. Kejenuhan ini melahirkan kebosanan, dan pada akhirnya mengikis motivasi mereka dalam belajar Matematika.

Karena itu, perlu digagas kegiatan belajar-mengajar yang berdasar pada rasa penasaran, seperti layaknya dalam permainan komputer. Rasa penasaran ini dapat muncul apabila saat kegiatan belajar-mengajar: baru (pembelajaran dan materinya tak mengulang); menantang (tingkat kesulitan yang tak terlalu jauh dengan kemampuan pelajar); dan aman (atmosfer kelas yang menyokong tiap pelajar untuk mencoba cara baru dan tak menghakimi ketika mereka salah).

Iwan Pranoto,
Guru Besar Matematika ITB,
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di New Delhi

KOMPAS, 5 April 2016